Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

MODEL KONSENSUS DAN REKONSILIASI KONFLIK ANTAR-UMAT BERAGAMA DI ACEH SINGKIL Fairusy, Muhajir Al
Al-Ijtima`i: International Journal of Government and Social Science Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Islam Negery Ar-raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (13.699 KB)

Abstract

Beberapa kali potensi dan percikan kasus konflik antarumat beragama di Singkil (sejak awal tahun 2000), dan disorot oleh banyak media, ternyata berimbas meluas pada masyarakat Aceh (secara kolektif), yang berindikasi pada klaim intoleran oleh publik luar. Apalagi, situasi ini terjadi di tengah gencarnya regulasi penerapan Syariat Islam. Jika merujuk pada pondasi persoalan, posisi Singkil sebagai wilayah perbatasan Aceh, yang didiami oleh multi etnik dan agama, menjadikan wilayah ini “rawan” meletus konflik atas nama multikultural. Situasi ini, kian menciptakan jarak sosial dan budaya antarmanusia. Kepentingan kelompok semakin besar, dan cenderung mengabaikan sisi kemanusiaan antarpemeluk agama. Padahal, tujuan agama, terutama Islam menuntut penganutnya, untuk mengedepankan rasa kemanusiaan paling tinggi, terutama lewat sisi kemanusiaan. Apalagi, implementasi Syariat Islam di Aceh, sisi toleransi umat beragama seyogjanya menjadi sektor paling diperhatikan dalam menopang peradaban Islam yang humanis di Aceh dan jauh dari kesan intoleran. Kajian ini adalah sebuah usaha untuk memetakan jejak rekam konflik antarumat beragama di Aceh Singkil, dan upaya rekonsiliasi damai yang dibangun kembali karena kesadaran akan faktor klan. Selain itu, kajian ini, beruapaya meneropong kembali rekam jejak konsensus dan lesson learn benih-benih perdamaian di Aceh Singkil. Karena itu, menarik melihat bagaimana dialektika damai antarumat beragama seharusnya direkonstruksi secara serius, di tengah kondisi rakyat Indonesia yang sedang bergerak menuju wajah Islam Nusantara. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan sosial, dan paradigma keislaman. Teknik pengumpulan data melalui Library Research (kajian kepustakaan), dan wawancara dengan informan yang dianggap profesional terhadap kajian ini. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peran dan pengaruh kesadaran akan klan dan etnik begitu besar, dalam upaya rekonsiliasi konflik atas nama agama, guna menjaga keseimbangan sosial antarmanusia di wilayah multikultural seperti Aceh Singkil. Di sisi lain, Syariat Islam di Aceh, dengan mengonsumsi wacana toleransi, tampak mulai ikut memunculkan sisi kemanusiaan dalam menangani beberapa kasus intoleransi yang dapat muncul kapan saja di perbatasan Aceh.
MODEL KONSENSUS DAN REKONSILIASI KONFLIK ANTAR-UMAT BERAGAMA DI ACEH SINGKIL Al Fairusy, Muhajir
Al-Ijtima`i: International Journal of Government and Social Science Vol 1 No 1 (2015): Al-Ijtima`i: International Journal of Government and Social Science
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (543.387 KB)

Abstract

Beberapa kali potensi dan percikan kasus konflik antarumat beragama di Singkil (sejak awal tahun 2000), dan disorot oleh banyak media, ternyata berimbas meluas pada masyarakat Aceh (secara kolektif), yang berindikasi pada klaim intoleran oleh publik luar. Apalagi, situasi ini terjadi di tengah gencarnya regulasi penerapan Syariat Islam. Jika merujuk pada pondasi persoalan, posisi Singkil sebagai wilayah perbatasan Aceh, yang didiami oleh multi etnik dan agama, menjadikan wilayah ini “rawan” meletus konflik atas nama multikultural. Situasi ini, kian menciptakan jarak sosial dan budaya antarmanusia. Kepentingan kelompok semakin besar, dan cenderung mengabaikan sisi kemanusiaan antarpemeluk agama. Padahal, tujuan agama, terutama Islam menuntut penganutnya, untuk mengedepankan rasa kemanusiaan paling tinggi, terutama lewat sisi kemanusiaan. Apalagi, implementasi Syariat Islam di Aceh, sisi toleransi umat beragama seyogjanya menjadi sektor paling diperhatikan dalam menopang peradaban Islam yang humanis di Aceh dan jauh dari kesan intoleran. Kajian ini adalah sebuah usaha untuk memetakan jejak rekam konflik antarumat beragama di Aceh Singkil, dan upaya rekonsiliasi damai yang dibangun kembali karena kesadaran akan faktor klan. Selain itu, kajian ini, beruapaya meneropong kembali rekam jejak konsensus dan lesson learn benih-benih perdamaian di Aceh Singkil. Karena itu, menarik melihat bagaimana dialektika damai antarumat beragama seharusnya direkonstruksi secara serius, di tengah kondisi rakyat Indonesia yang sedang bergerak menuju wajah Islam Nusantara. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan sosial, dan paradigma keislaman. Teknik pengumpulan data melalui Library Research (kajian kepustakaan), dan wawancara dengan informan yang dianggap profesional terhadap kajian ini. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa peran dan pengaruh kesadaran akan klan dan etnik begitu besar, dalam upaya rekonsiliasi konflik atas nama agama, guna menjaga keseimbangan sosial antarmanusia di wilayah multikultural seperti Aceh Singkil. Di sisi lain, Syariat Islam di Aceh, dengan mengonsumsi wacana toleransi, tampak mulai ikut memunculkan sisi kemanusiaan dalam menangani beberapa kasus intoleransi yang dapat muncul kapan saja di perbatasan Aceh.
PALAWIK DALAM PASUNGAN KEMISKINAN: Relasi Patron Klien dalam Industri Perikanan Kepulauan Banyak, Aceh Singkil Fairusy, Muhajir al
Aceh Anthropological Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v2i2.1160

Abstract

Discussion of maritime human life and fisheries, at least be an effort to reaffirm the existence of coastal society and culture. Moreover, if the people are in the geopolitical boundaries of Aceh, which is rarely touched the attention of social researchers. This study is an attempt to understand, and describe the portrait of fisherman life of the Pulau Banyak, Aceh Singkil, which is stuck in a patron-based client relationship. Interest to study coastal communities, as an effort to see the phenomenon of poverty of fisherman community of Pulau Banyak, which is termed palawik. Therefore, it is important to see thoroughly the dynamics of the life of the fishing industry that has been held by the fishermen community. This research is descriptive, with historiography approach, and phenomenology paradigm. Data collection techniques through Library Research, and in-depth interviews with informants to find the emic side. The results showed that the Pulau Banyak fisheries industry is the main livelihood of the island community. In order to seek social security, most fishermen establish patron-clientpatterned relationships with tauke. However, the patronage pattern of working relationships has trapped and locked fishermen into poverty.
MAKNA RITUAL KHANDURI BUNGONG KAYÉE DALAM MASYARAKAT LHOK PAWOH KEC. SAWANG KAB. ACEH SELATAN Subhi, Muhibbul; Al-Fairusy, Muhajir; Nasir, Muhammad
Aceh Anthropological Journal Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v5i2.5632

Abstract

Studi ini mendiskusikan ritual khanduri bungong kayée, tradisi yang berlangsung di tengah masyarakat Lhok Pawoh, Aceh Selatan. Tradisi ini bertujuan untuk meminta keberkahan bagi sang pencipta, guna menyuburkan tanaman yang sudah berbuah, dan selamat dari hama dan gangguan lain yang dapat menggugurkan bungong kayée (bunga kayu). Bunga kayu sebagai cikal buah dipandang pembawa manfaat oleh masyarakat tempatan. Penelitian ini beranjak dari pertanyaan, bagaimana prosesi ritual khanduri bungong kayée dalam masyarakat Lhok Pawoh dan apa makna simbolis terhadap prosesi ritual khanduri bungong kayée bagi masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan analis deskriptif, menganalisis fenomena sosial masyarakat Lhok Pawoh dalam ritual khanduri bungong kayée. Data diperoleh dari informan yang mengetahui tentang ritual khanduri bungong kayée; tokoh adat, tokoh agama, cendikiawan dan masyarakat biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa khanduri ini melibatkan simbol-simbol agamam Islam, dimulai dengan membaca kitab suci al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan ritual shamadiyah yang dipimpin oleh agamawan setempat. Selain itu, dilakukan pula pembakaran kemenyan, dengan tujuan mengharumkan lokasi ritual. Tradisi ini ditutup dengan penyantunan pada anak yatim, yang dimaknai sebagai upaya meminta keberhakan melalui perantara anak yatim, sebagai kelompok manusia yang dianggap wajib untuk disantuni dalam ajaran Islam jika menginginkan keberkahan dan rezeki melimpah.
“ENDA KALAK SINGKEL” STRENGTHENING CONSCIOUSNESS OF COMMUNITY IDENTITY OF ACEH’S BORDER; ETHNIC CONTESTATION AND RELIGION IN SINGKIL Muhajir Al-Fairusy; Irwan Abdullah
Islam Futura Vol 20, No 2 (2020): Jurnal Ilmiah Islam Futura
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jiif.v0i0.6862

Abstract

This study is an effort to look deeper into the movement to strengthen ethnic identity in Singkil, Aceh. Singkil is one of the border districts of Aceh, and is actually affiliated with the meaning of an area that is inhabited by cross-ethnic and religious communities. So far, the Singkil community has identified itself on a territorial basis; pesisir and hulu. The Singkil Pesisir community is characterized by the use of the Malay-Minang language and settling along the coast. As for the hulu community, they are often identified as part of Pakpak and Alas because they use the kampung language (similar to the Pakpak language), most of whom live on the edge of the Singkil river. Even so, in the last half decade, discourse emerged through a cultural movement initiated by a handful of elite hulu communities, by campaigning for the Singkel (original) term, accompanied by the rejection of Pakpak label as the identity of Singkel as self identity. The question arises as to why ethnic identity strengthens in the midst of the Singkil community's communal life, which should be integrated in one regional identity. The purpose of this study is to measure descriptively the strengthening of ethnic identity in Singkil Regency. The research method used is qualitative with a grounded research approach. Data was also collected through reading related to the study of identity and the Singkil community. The results of the study indicate, if the awareness of ethnic identity strengthens amid the diversity of the Singkil community due to several factors; socio-political, religious, economic conditions and denial of identification of outsiders to the Singkil hulu identity are Pakpak sub-ethnic groups which are seen as degrading.
AMBO MUHAMMADIYAH, MUNAK PESANTREN: The Moderate Islam Characteristics of the Coastal Community Muhajir Al-Fairusy; Irwan Abdullah; Muslim Zainuddin
AL-TAHRIR Vol 20, No 1 (2020): Islam and Social Change
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/altahrir.v20i1.2009

Abstract

Abstract: This research intends to investigate why the difference in Islamic interpretation did not cause religious conflict in Pulau Banyak, Aceh Singkil. This phenomenon was sharply different compared to other Aceh regions where people argue each other just because they had different interpretations (khilafiah) on Islam. In those regions, the Muslim majorities in Aceh (aswaja) use the term wahabi to distinguish minority groups and to justify their violence. Meanwhile, in Kepulauan Banyak, there are two Islamic mainstreams namely Muhammadiyah and Pesantren or tarbiyah (the traditional Islam) that are strongly rooted in the society without any clashes recorded. Hence, the question was what makes this dualism in religious interpretation live cooperatively in Kepulauan Banyak. This analytical descriptive research used qualitative methods with grounded research as its approach. Data was collected in three villages in the Kepulauan Banyak District. This research showed that coastal communities prioritize community togetherness rather than their differentiation in Islamic understanding. The collective feeling as a coastal community becomes social cohesion that obscuring religious differences.الملخص: هذا البحث هو محاولة للنظر بشكل أعمق في أسباب عدم تسبب الاختلافات في تنفيذ الفهم الإسلامي بالضرورة في تقسيم شعب بولاو بانياك وأتشيه سينكيل وتضاربه. هذا الشرط يختلف عن أهل أتشيه بشكل عام ، الذين غالبًا ما ينقسمون بتفسيرات مختلفة للإسلام (اقرأ: الخلافية). في الواقع ، ظهر مصطلح الوهابية مؤخرًا لتبرير الجماعات المشتبه في انحرافها ، لأنها تنفي فهم الأغلبية والثقافة المحلية. حتى الآن ، هناك تفاهمان تطورا في مجتمع العديد من الجزر ، وهما المحمدية والتعليم الإسلامي (الفهم التقليدي للإسلام). كلاهما متجذر بقوة في المجتمع المحلي دون اتصال ، والسؤال الذي يطرح نفسه لماذا يمكن أن تتعايش ثنائية الفهم الديني الإسلامي في وسط مجتمع جزر عديدة. هذا البحث وصفي تحليلي مع الأساليب النوعية وأساليب البحث القائمة على أسس. تم جمع البيانات في ثلاث قرى في منطقة كيبولاوان بانياك الفرعية ، بدءًا بالملاحظة والمقابلات ودراسة الأدبيات ، وأخيرًا تحليل البيانات. أظهرت النتائج أن الأهمية الثقافية للعمل الجماعي كمجتمع ساحلي جزري لها الأسبقية على الاختلافات في الفهم الإسلامي. أصبحت حالة الشعور بالجماعة كمجتمع جزري تماسكًا اجتماعيًا ، وطمس التفكك بسبب الاختلافات في الفهم الديني.Abstrak: Penelitian ini adalah upaya untuk melihat lebih dalam mengapa perbedaan dalam menjalankan pemahaman ke-Islaman tak lantas menyebabkan masyarakat Pulau Banyak, Aceh Singkil terbelah dan berkonflik. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya, yang kerap tercerai oleh perbedaan penafsiran keislaman (baca: khilafiyah). Bahkan, belakangan muncul istilah wahabi untuk menjustifikasi kelompok yang ditengarai menyimpang, karena mengingkari pemahaman mayoritas dan kebudayaan lokal. Sejauh ini, ada dua paham yang berkembang di tengah masyarakat Kepulauan Banyak, yaitu Muhammadiyah dan Pesantren (pemahaman Islam tradisionalis). Keduanya mengakar kuat dalam masyarakat setempat tanpa bersinggungan, muncul pertanyaan mengapa dualisme pemahaman keagamaan Islam dapat hidup berdampingan di tengah masyarakat Kepulauan Banyak. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode kualitatif dan pendekatan grounded research. Pengumpulan data dilakukan di tiga kampung dalam Kecamatan Kepulauan Banyak, diawali dengan observasi, wawancara, studi pustaka, dan terakhir analisis data. Hasil penelitian menunjukkan jika makna budaya kebersamaan sebagai masyarakat pesisir kepulauan lebih diutamakan dibanding perbedaan pandangan pemahaman keislaman. Kondisi perasaan kolektivitas sebagai masyarakat kepulauan telah menjadi kohesi sosial, dan mengaburkan disintegrasi akibat perbedaan pemahaman agama.
STRATEGI KOMUNIKASI BUDAYA MUKIM MELAWAN ILLEGAL LOGGING PASCATSUNAMI ACEH Muhajir Al-Fairusy
AT-TANZIR: JURNAL ILMIAH PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM Vol. 10, No. 1 (Juni 2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Teungku Dirundeng Meulaboh Aceh Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.256 KB) | DOI: 10.47498/tanzir.v10i1.286

Abstract

Bencana alam menjadi segmen yang selalu berdampingan dengan kehidupan umat manusia. Sepanjang sejarah bencana alam, beberapa peristiwa tersebut kerap datang tanpa dapat diprediksikan oleh kekuatan teknologi manusia seperti gempa dan tsunami. Pun demikian, ada beberapa peristiwa bencana akibat perilaku menyimpang manusia, seperti banjir bandang dan kebakaran hutan yang dapat mengancam kestabilan hidup manusia dan alam. Bencana alam dapat dimaknai ancaman yang dapat meluluhlantakkan pemukiman manusia dan lingkungan. Karena itu, butuh pencegahan dini mananggulangi bencana akibat perilaku rakus manusia, sembari meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana yang tak dapat diprediksi. Salah satu strategi menghentikan praktik culas manusia yang dapat mengundang bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan dan peningkatan efek rumah kaca adalah dengan memanfaatkan otoritas perangkat lokal, dalam konteks Aceh lembaga adat. Studi ini mendalami bagaimana peran perangkata adat Mukim di salah satu kawasan di Aceh Besar memanfaatkan fungsinya mencegah penebangan liar hutan di kawasan pemukiman Lamteuba. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kualitatif dan pendekatan etnografi untuk menggambarkan bagaimana peran Mukim melakukan penanggulangan dan perlawanan terhadap perilaku dan pelaku kerusakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinergisitas dan modal sosial berupa otoritas sebagai ketua adat yang dimiliki oleh Mukim sekaligus sebagai perangkat adat paling tua di Aceh ternyata mampu membendung dan melawan perilaku eksploitasi pohon (illegal logging) secara liar di hutan ulayat dengan membangun kesadaran masyarakat setempat bagi keberlangsungan hidup dan alam setempat.
“Menjadi Singkel Menjadi Aceh, Menjadi Aceh Menjadi Islam” (Membaca Identitas Masyarakat Majemuk Dan Refleksi Konflik Agama Di Wilayah Perbatasan-Aceh Singkel) Muhajir Al Fairusy
Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) Vol 9, No 1 (2016): Politik dan Perubahan Sosial
Publisher : Sociology Department Of Syiah Kuala University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.159 KB)

Abstract

Identitas, dan jati diri merupakan salah satu konsep dalam kajian sosial budaya untuk melihat masyarakat majemuk. Diskusi ini terfokus pada keadaan masyarakat majemuk di Singkel, yang merupakan komunitas hitoregen di perbatasan Aceh. Perbincangan identitas di Singkel, bahkan ketika konflik meletus, jarang dimunculkan. Padahal, identitas merupakan konsep benang merah untuk melihat dinamika masyarakat di sana. Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan etnografi, dengan menggunakan konsep identitas, dan pendekatan paradigma fenomenologi, untuk melihat kesadara manusia dan kelompok masyarakat di Singkel. Pada akhirnya, identitas menunjukkan satu pola dan benang merah, yang harus dibaca secara mendalam untuk mewujudkan integrasi sosial di tengah masyarakat majemuk Singkel. Kata Kunci : Singkel, Masyarakat Majemuk, dan Identitas
PALAWIK DALAM PASUNGAN KEMISKINAN: Relasi Patron Klien dalam Industri Perikanan Kepulauan Banyak, Aceh Singkil Muhajir al Fairusy
Aceh Anthropological Journal Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v2i2.1160

Abstract

Discussion of maritime human life and fisheries, at least be an effort to reaffirm the existence of coastal society and culture. Moreover, if the people are in the geopolitical boundaries of Aceh, which is rarely touched the attention of social researchers. This study is an attempt to understand, and describe the portrait of fisherman life of the Pulau Banyak, Aceh Singkil, which is stuck in a patron-based client relationship. Interest to study coastal communities, as an effort to see the phenomenon of poverty of fisherman community of Pulau Banyak, which is termed palawik. Therefore, it is important to see thoroughly the dynamics of the life of the fishing industry that has been held by the fishermen community. This research is descriptive, with historiography approach, and phenomenology paradigm. Data collection techniques through Library Research, and in-depth interviews with informants to find the emic side. The results showed that the Pulau Banyak fisheries industry is the main livelihood of the island community. In order to seek social security, most fishermen establish patron-clientpatterned relationships with tauke. However, the patronage pattern of working relationships has trapped and locked fishermen into poverty.
MAKNA RITUAL KHANDURI BUNGONG KAYÉE DALAM MASYARAKAT LHOK PAWOH KEC. SAWANG KAB. ACEH SELATAN Muhibbul Subhi; Muhajir Al-Fairusy; Muhammad Nasir
Aceh Anthropological Journal Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v5i2.5632

Abstract

Studi ini mendiskusikan ritual khanduri bungong kayée, tradisi yang berlangsung di tengah masyarakat Lhok Pawoh, Aceh Selatan. Tradisi ini bertujuan untuk meminta keberkahan bagi sang pencipta, guna menyuburkan tanaman yang sudah berbuah, dan selamat dari hama dan gangguan lain yang dapat menggugurkan bungong kayée (bunga kayu). Bunga kayu sebagai cikal buah dipandang pembawa manfaat oleh masyarakat tempatan. Penelitian ini beranjak dari pertanyaan, bagaimana prosesi ritual khanduri bungong kayée dalam masyarakat Lhok Pawoh dan apa makna simbolis terhadap prosesi ritual khanduri bungong kayée bagi masyarakat setempat. Penelitian ini menggunakan analis deskriptif, menganalisis fenomena sosial masyarakat Lhok Pawoh dalam ritual khanduri bungong kayée. Data diperoleh dari informan yang mengetahui tentang ritual khanduri bungong kayée; tokoh adat, tokoh agama, cendikiawan dan masyarakat biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa khanduri ini melibatkan simbol-simbol agamam Islam, dimulai dengan membaca kitab suci al-Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan ritual shamadiyah yang dipimpin oleh agamawan setempat. Selain itu, dilakukan pula pembakaran kemenyan, dengan tujuan mengharumkan lokasi ritual. Tradisi ini ditutup dengan penyantunan pada anak yatim, yang dimaknai sebagai upaya meminta keberhakan melalui perantara anak yatim, sebagai kelompok manusia yang dianggap wajib untuk disantuni dalam ajaran Islam jika menginginkan keberkahan dan rezeki melimpah.