Imelda Betaubun, Ance
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Diaper Dermatitis Tri Irfanti, Rakhma; Imelda Betaubun, Ance; Arrochman, Ferry; Fiqri, Ahmad; Rinandari, Ummi; Anggraeni, Reti; Yustin Ellistasari, Endra
Cermin Dunia Kedokteran Vol 47, No 5 (2020): CME - Continuing Medical Education
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (877.502 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v47i5.362

Abstract

Diaper dermatitis (juga dikenal sebagai ruam popok, nappy rash, atau dermatitis iritan karena popok) adalah istilah umum untuk meggambarkan inflamasi akut pada area terkena popok; kondisi ini umumnya terjadi pada bayi. Etiologi dermatitis popok adalah multifaktorial. Diagnosis dan penatalaksanaan tepat mendapatkan hasil optimal; diperlukan kerjasama antara orang tua, pengasuh, dan tenaga medis.Diaper dermatitis (also known as diaper rash, nappy rash, or irritant dermatitis due to diapers) is a general term used to describe acuteinflammation in an area affected by a diaper; this condition generally occurs in infants. The etiology of diaper dermatitis is multifactorial. Proper diagnosis and management get optimal results; collaboration between parents, caregivers, and medical personnel is needed.
Profil Penggunaan Kortikosteroid Sistemik untuk Terapi Sindrom Stevens Johnson (SSJ) – Nekrolisis Eepidemal Toksik (NET) di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Moewardi Surakarta, Indonesia - Januari 2016 -Desember 2017 Tri Irfanti, Rakhma; Imelda Betaubun, Ance; Fiqri, Ahmad; Anggraeni, Reti; Rinandari, Ummi; Kariosentono, Harijono
Cermin Dunia Kedokteran Vol 48, No 4 (2021): Dermatologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.835 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v48i4.1364

Abstract

Latar belakang: Nekrolisis epidermal disebut Sindrom Stevens Johnson (SSJ) apabila yang terlibat kurang dari 10% dari area tubuh, 10% sampai 29% disebut SSJ overlap NET dan lebih dari 30% NET. Tujuan : Untuk mengetahui gambaran umum pasien SSJ-NET serta penggunaan kortikosteroid sistemik di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2016 – Desember 2017. Metode : Studi deskriptif retrospektif dengan populasi dan sampel penelitian pasien rawat inap di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, periode Januari 2016 – Desember 2017. Sampel menggunakan data sekunder dari status rekam medis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hasil: Total pasien 26 orang terutama berusia 46 – 55 tahun dan 56 – 65 tahun (23%). Laki-laki lebih banyak (57%). Diagnosis SSJ (61%) terbanyak dibandingkan SSJ overlap NET (19%) ataupun NET (19%). Hipertensi sebagai penyakit penyerta terbanyak (15%). Keterlibatan mukosa terbanyak pada mulut (88 %) dan penyebab terbanyak SSJ-NET melibatkan lebih dari satu macam obat (53%). Obat penyebab yang dicurigai terutama adalah antibiotik golongan sefalosporin dan parasetamol (23%). Rerata lama terapi deksametason adalah 10 hari dengan dosis rata-rata 25 mg per hari. Simpulan: Pengobatan kortikosteroid sistemik pada kasus SSJ – NET di RSUD dr. Moewardi Surakarta pada umumnya menghasilkan perbaikan klinis dengan rata-rata perawatan 10 hari dan dosis rata-rata deksametason 25 mg per hari.Background: Epidermal Necrolysis is classified into several degree of severity based on the area of the body involved, below 10% is SJS, 10% - 29% is SJS overlap TEN and 30% is TEN. Objective: To provide general description of SJS-TEN patients and systemic corticosteroids therapy in Dr.Moewardi General Hospital Surakarta January 2016 - December 2017. Methods: A retrospective descriptive study on in-patients in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta between January 2016 and December 2017. Results: Total sample was 26 patients, mostly male (57%) in 46 - 55 year-old and 56 - 65 year-old (23%). The most common diagnosis was SJS (61%) followed by SJS overlap TEN (19%) and TEN (19%). Hypertension was the most frequent comorbid disease (15%). Mostly affected was mouth mucosa (88%) and caused by mostly more than one drug (53%). Suspected causative drugs were mostly cephalosporin and paracetamol (23%). The average duration of dexamethason therapy was 10 days with an average dose 25 mg per day. Conclusion: SSJ - NET cases in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta were mostly treated with systemic corticosteroids for an average of 10 days and an average dose of dexamethason 25 mg per day.
Keratoakantoma Regio Gluteal Paramitasari, Anggana Rafika; Arrochman, Ferry; Dewi, Susanti Rosmala; Imelda Betaubun, Ance; Zulfikar, Dendy; Yustin Ellista Sari, Endra
Cermin Dunia Kedokteran Vol 46, No 5 (2019): Pediatri
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (680.871 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v46i5.482

Abstract

Keratoakantoma (KA) adalah neoplasma jinak sel skuamosa yang jarang berkembang menjadi karsinoma dan bermetastasis. Keratoakantoma sering dijumpai pada daerah terpapar sinar matahari dan secara klinis sulit dibedakan dari karsinoma sel skuamosa (KSS). Walaupun jarang, KA dapat muncul di tempat yang tidak terpapar matahari. Kasus seorang wanita 59 tahun dengan benjolan di bokong sejak 15 tahun yang makin membesar. Pasien pernah dioperasi namun lesi muncul kembali. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tumor soliter regio gluteal 2 x 2,5 x 0,5 cm sewarna kulit terfiksir, bagian inti berbentuk seperti kawah dengan tepi berbatas tegas. Dermoskopi menunjukkan gambaran massa keratin hitam kekuningan di tengah lesi, dengan zona berwarna keputihan dan struktur vaskuler berbentuk hairpin di sekitar lesi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan tumpukan massa keratin dan nekrotik yang mengarah ke diagnosis KA. Pasien diterapi dengan eksisi luas.Keratoacanthoma (KA) is a benign neoplasm usually found in sun-exposed body surface. It is rarely developed into metastatic carcinoma, but difficult to be distinguished with squamous cell carcinoma (SCC). Previous surgery, obesity, and scratching lead to chronic trauma in gluteal region can be rare risk factors. The case is a 59 year-old woman with tumour in buttock area for 15 years. The tumour was previously removed but reccurent. Physical examination shows fixed solitary tumor 2 x 2,5 x 0,5 cm, with central yellowish and hyperpigmentation mass. Dermoscopic examination reveals yellowish and black mass in the centre, whitish halo and hairpin vascular pattern around the lesion. Histopathologic examination results keratin mass in the epidermis consistent to KA. This patient was treated with wide excision.Â