Praptomo Baryadi Isodarus
Sanata Dharma University, Yogyakarta

Published : 21 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

PENGEMBANGAN DWIBAHASAWAN YANG SEIMBANG UNTUK MEMPERTAHANKAN BAHASA-BAHASA DAERAH DI INDONESIA I. Praptomo Baryadi
Sintesis Vol 8, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v8i2.1020

Abstract

Dalam tulisan ini dibahas perihal pergeseran bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang dalam satu dasa warsa terakhir ini menjadi keprihatinan banyak pihak. Pergeseran bahasa-bahasa daerah di Indonesia ini dikhawatirkan dapat mengancam kebertahanan kebhinekaan bahasa dan kekayaan budaya di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kuatnya dominasi penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah komunikasi. Selain itu, ada gejala bahasa daerah tidak diajarkan oleh orangtua kepada anaknya dan juga bahasa daerah tidak dipelajari oleh para siswa di sekolah.Solusi yang dapat ditawarkan adalah pengembangan dwibahasawan yang seimbang bagi anak bangsa Indonesia agar menguasai bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara setara.Dwibahasawan yang seimbang itu kemudian dapat dikembangkan menjadi multibahasawan yang seimbang, yaitu menguasai bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan satu bahasa asing atau lebih. Agar tetap bertahan hidup, bahasa daerah harus diwariskan dari generasi ke generasi melalui pendidikan dalam keluarga dan di sekolah. Selain itu, masyarakat berkewajiban memperkuat pewarisan bahasa daerah itu melalui penyediaan berbagai ranah komunikasi bagi penggunaan bahasa daerah. Pewarisan bahasa daerah itu akan semakin kuat jika didukung oleh pemerintah, lembaga kebahasaan, dan peneliti bahasa sesuai dengan porsi tugasnya masing-masing.Kata kunci: pergeseran bahasa, bahasa daerah, dwibahasawan, bhineka tunggal ika, masyarakatanekabahasa
WACANA PROSEDURAL PERIHAL PELAKSANAAN TUGAS PERAWAT Praptomo Baryadi Isodarus
Sintesis Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v10i1.166

Abstract

Artikel ini memaparkan hasil penelitian tentang wacana prosedural perihal pelaksanaan tugasperawat kesehatan di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kaidah pembentukanwacana prosedural. Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, ada empat tipe kalimatyang menjadi basis unsur pembangun wacana prosedural tentang pelaksanaan tugas perawat,yaitu kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat perintah, dan kalimat ekuatif. Sebuah wacana proseduraldapat dibangun hanya oleh salah satu tipe kalimat dan dapat pula disusun oleh perpaduan duatipe kalimat atau lebih, Kedua, penahapan atau urutan perbuatan dalam wacana proseduraldapat ditunjukkan melalui tiga cara, yaitu urutan kalimat, kata penghubung perturutan, dan katabilangan tingkat. Dari tiga cara tersebut, yang menjadi basis adalah urutan kalimat.
PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA SEBAGAI REPRESENTASI RELASI KEKUASAAN Praptomo Baryadi Isodarus
Sintesis Vol 14, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v14i1.2550

Abstract

Tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang pada masa sekarang lebih menonjol digunakan sebagai sarana sopan santun berbahasa, jika diteliti sejarah awal perkembangannya, sebenarnya dimanfaatkan untuk merepresentasikan relasi kekuasaan. Artikel ini menyajikan hasil kajian tentang penggunaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa sebagai representasi relasi kekuasaan. Ada dua hal yang diteliti, yaitu aspek kebahasaan yang membentuk tingkat tutur dalam bahasa Jawa dan penggunaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa untuk merepresentasikan relasi kekuasaan. Untuk menjelaskan dua hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Selain itu, penelitian ini juga dilaksanakan dengan menerapkan metode observasi untuk pengumpulan data, metode distribusional dan metode padan pragmatis untuk analisis data, serta metode informal dan metode formal untuk penyajian hasil analisis data. Ada dua temuan dari penelitian ini. Pertama, yang pokok dari tingkat tutur dalam bahasa Jawa adalah ngoko dan krama. Tingkat tutur ngoko dan krama dibedakan dari kosa katanya sehingga ada kosa kata ngoko dan ada kosa kata krama. Dalam penggunaannya, tingkat tutur menimbulkan berbagai variasi, yaitu ngoko lugu, antya-basa, basa-antya, wredha krama, kramantara, mudha krama madya krama, madyantara, dan madya ngoko. Temuan kedua adalah penggunaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa merepresentasikan relasi kekuasaan penutur dengan mitra tutur. Pada mulanya, pengembangan tingkat tutur memperkuat kedudukan dinasti Mataram sebagai supremasi kekuasaan di Jawa. Pada perkembangan selanjutnya, selain sebagai wujud sopan santun berbahasa, tingkat tutur ngoko dan krama digunakan untuk merepresentasikan relasi kekuasaan personal, yaitu antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan ngoko digunakan dalam komunikasi menurun, yaitu komunikasi penutur yang berstatus lebih tinggi kepada mitra tutur yang lebih rendah. Tuturan krama dipakai dalam komunikasi menaik, yaitu komunikasi antara penutur yang berstatus sosial lebih rendah kepada mitra tutur yang berstatus lebih tinggi.
PERUBAHAN PARADIGMA DALAM KAJIAN BAHASA Praptomo Baryadi Isodarus
Sintesis Vol 15, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v15i1.3273

Abstract

Artikel ini membahas perubahan paradigma dalam kajian bahasa. Persoalan yang dibicarakan adalah (i) perubahan paradigma apa saja yang telah terjadi dalam kajian bahasa selama ini dan (ii) apa ciri dari setiap paradigma. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan teori paradigma dari Thomas Khun (1989) dan Harimurti Kridalaksana (1993). Kajian ini dilakukan melalui studi pustaka. Dari studi pustaka, diketahui bahwa sekurang-kurangnya telah terjadi empat ragam perubahan paradigma dalam kajian bahasa, yaitu paradigma filsafat, paradigma historis, paradigma formal, dan paradigma fungsional. Paradigma filsafat dalam kajian bahasa berkembang sejak abad ke-5 sebelum Masehi. Pada masa itu kajian bahasa masih merupakan bagian dari filsafat. Paradigma historis mendominasi pengkajian bahasa pada abad ke-19. Penelitian bahasa berparadigma historis dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur dalam dua bahasa atau lebih yang dipandang sekerabat untuk menyusun kaidah perubahan-perubahan yang terjadi. Paradigma formal berkembang selama abad ke-20. Ciri penting dari paradigma formal adalah bahasa diteliti dari struktur internalnya dalam kurun waktu tertentu. Paradigma fungsional dalam kajian bahasa mulai berkembang pada menjelang abad ke-21. Paradigma fungsional berpandangan bahwa penggunaan bahasa itu tidak semata-mata berhubungan dengan faktor-faktor internal (di dalam) bahasa, tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (di luar) bahasa.
IMBUHAN PEMBENTUK KATA KERJA DALAM BAHASA DAYAK KENYAH BAKUNG Meri Tiana Yan; Praptomo Baryadi Isodarus; Maria Magdalena Sinta Wardani
Sintesis Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v13i2.2296

Abstract

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan imbuhan pembentuk kata kerja dalam bahasa Dayak Kenyah Bakung. Imbuhan pembentuk kata kerja itu dianalisis bentuk, fungsi, dan maknanya. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap. Metode yang digunakan untuk analisis data adalah metode agih dan teknik baca markah. Metode yang digunakan untuk penyajian hasil analisis data adalah metode informal dan formal. Pertama, imbuhan kata kerja yang ditemukan adalah awalan {ke-}, {le-}, {m-}, {me-}, {n-}, {ne-}, {ng-}, {nge-}, {ngem-}, {ny-}, {p-}, {pe-}, {te-}, konfiks {nge-/-en}, dan sisipan {-em-}. Kedua, fungsi imbuhan kata kerja yang ditemukan dalam bahasa Dayak Kenyah Bakung ada dua jenis, yaitu berfungsi derivatif dan berfungsi inflektif. Ketiga, makna imbuhan kata kerja dalam bahasa Dayak Kenyah Bakung, yaitu setiap imbuhan bisa menyatakan bermacam-macam makna tergantung bentuk dasar yang dilekatinya, misalnya awalan {ke-}, {le-}, {m-}, {me-}, {n-}, {ng-}, {nge-}, {ngem-}, {p-}, {ny-}, {pe-}, sisipan {-em-} menyatakan makna melakukan. Awalan {le-}, {m-}, {nge-}, {ngem-}, {ny-}, {p-}, {pe-}, konfiks {nge-/-en} menyatakan makna membuat jadi. Awalan {m-} dan {n-} mengungkapkan makna melakukan kerja dengan alat. Awalan {me-} dan {nge-} mengandung makna mengeluarkan. Awalan {n-} dan {ny-} menimbulkan makna menggunakan. Awalan {ne-}, {nge-}, dan {ngem-} mengandung maknamembuat. Awalan {ng-} dan {ngem-} menyatakan makna menjadi. Awalan {ng-} menyatakan makna mengganti. Awalan {nge-} menyatakan makna menjadikan berada di. Awalan {p-} dan {pe-} menimbulkan makna sudah terjadi. Awalan {pe-} menyatakan makna saling berada di, menyebabkan. Awalan {pe-} dan {te-} menyatakan makna tidak sengaja.
DASAR PENAMAAN KUE JAJANAN PASAR DI PASAR LEMPUYANGAN Anindita Ayu Gita Coelestia; Praptomo Baryadi Isodarus
Sintesis Vol 15, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v15i1.3123

Abstract

Penelitian ini mendeskripsikan dasar penamaan kue jajanan pasar di Pasar Lempuyangan Kota Yogyakarta. Data dikumpulkan menggunakan metode simak, yaitu metode yang digunakan dengan cara peneliti menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2005: 242). Selanjutnya digunakan teknik catat dan teknik simak bebas libat cakap. Ketika menerapkan teknik simak bebas libat cakap, peneliti berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh informannya (Mahsun, 2005: 92). Selain itu, teknik wawancara juga digunakan. Data yang sudah diklasifikasikan dianalisis dengan metode padan translasional. Kemudian hasil analisis data disajikan dengan metode formal, yaitu penyajian kaidah penggunaan bahasa dengan hal-hal yang mudah dilihat, seperti tabel, diagram, bagan, gambar, dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga jenis dasar penamaan, yaitu (i) penamaan berdasarkan satu dasar, (ii) penamaan berdasarkan dua dasar, dan (iii) penamaan berdasarkan tiga dasar. Ketiga jenis tersebut dikategorikan berdasarkan referennya.This research describes the basis for the naming of the traditional snacks at Pasar Lempuyangan, Yogyakarta City. The data were collected using the listening method, which is the method used by the researcher listening to the use of language (Mahsun, 2005: 242). Furthermore, the note-taking technique and the engaging-free listening technique were used proficiently. When applying the proficient free listening technique, the researcher acts as an observer of the use of language by the informant (Mahsun, 2005: 92). Apart from that, interviewing techniques were also used. The classified data were analyzed using the translational equivalent method. Then the results of data analysis are presented with a formal method, namely presenting the rules for using language with things that are easy to see, such as tables, diagrams, charts, pictures, and graphics. The results showed that there were three basic types of naming, namely (i) naming based on one basis, (ii) naming based on two bases, and (iii) naming based on three bases. The three types are categorized based on their references.
IDIOM YANG BERUNSUR KATA KERJA DALAM BAHASA INDONESIA I. Praptomo Baryadi
Sintesis Vol 7, No 1 (2013)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v7i1.976

Abstract

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa idiom yang berunsur kata kerja dalam bahasa Indonesia sangatlah produktif. Berdasarkan bentuknya, kata kerja yang digunakan sebagai unsur pembentuk idiom dalam bahasa Indonesia mencakup (i) akar, (ii) kata kerja dasar, (iii) kata kerja berawalan me(N)-, (iv) kata kerja berawalan ber-, (v) kata kerja berawalan ter-, (vi) kata kerja berawalan di-, (vii) kata kerja berimbuhan ke-an. Kata kerja yang paling produktif digunakan sebagai unsur idiom adalah katakerja berawalan me(N)-.Kategori kata yang secara dominan mengikuti kata kerja di atas sehingga membentuk idiom adalah kata benda. Kategori kata yang lain, misalnya kata kerja, kata sifat, dan frasa preposisional dapat pula mendampingi kata kerja sehingga membentuk idiom, tetapi jumlahnya amat terbatas. Dengan demikian, berdasarkan kategorinya, idiom yang berunsur kata kerja dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi tujuh tipe, yaitu (i) akar + kata benda, (ii) kata kerja dasar + kata benda, (iii) kata kerja berwalan me(N)- + kata benda, (iv) kata kerja berawalan ber- + kata benda, (v) kata kerja berawalan ter- + kata benda, (vi) kata kerja berawalan di- + kata benda, dan (vii) kata kerja berawalan ke-an + kata benda.Aspek semantik akan memperjelas perbedaan konstruksi yang termasuk idiom dan konstruksi yang bukan idiom. Rumus idiom adalah A + B menimbulkan makna C, sedangkan rumus konstruksi bukan idiom adalah A + B menimbulkan makna AB. Dari segi pragmatik, idiom digunakan untuk mengungkapkan maksud secara tidak langsung atau secara tidak harfiah. Idiom digunakan untuk menyembunyikan kenyataan. Idiom yang bersunsur kata kerja dalam bahasa Indonesia dipakai untuk menyembunyikan perbuatan, perilaku, atau keadaan manusia, baik atau buruk, biasa atau luar biasa.Kata kunci : idiom, bahasa Indonesia, kata kerja, semantik, pragmatik.
PERGULATAN MULTIKULTURALISME MASYARAKAT YOGYAKARTA DARI PERSPEKTIF BAHASA I. Praptomo Baryadi
Sintesis Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/sin.v9i1.1031

Abstract

Dalam tulisan ini dibicarakan perjuangan masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat yang multikultural untuk mewujudkan pandangan kesetaraan dalam perbedaan dalam kehidupannya dari perspektif bahasa. Pilihan perspektif bahasa ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat bahasa di Yogyakarta merupakan masyarakat yang masyarakat diglosik, yaitu masyarakat yang menggunakan banyak bahasa dengan fungsi yang berbeda. Pembahasan menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa untuk mengaransemen interaksi warganya yang beragam sehingga menciptakan kehidupan bersama yang saling menghargai. Dalam hal ini bahasa berperanan untuk mengaransemen hubungan baik antaranggota masyarakat dalam satu suku maupun antaranggota masyarakat yang berbeda suku. Selain itu, masyarakat Yogyakarta sebagai masyarakat diglosik terus bergulat memperjuangkan kesetaraan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain.
SOUND PATTERN OF INDONESIAN PLOSIVES Huili Li; I Praptomo Baryadi; I Dewa Putu Wijana
Linguistik Indonesia Vol 37, No 1 (2019): Linguistik Indonesia
Publisher : Masyarakat Linguistik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (688.859 KB) | DOI: 10.26499/li.v37i1.84

Abstract

As a language which is quite extensively used, Indonesian segments are already known to linguists. Although experimental research methodology is relatively new, it is useful for undertaking further research on Indonesian phonology and phonetics. It can assist in generating phonological and phonetic data as evidence of sounds within a theoretical framework. Sound pattern study by means of experimentation is selected as the theoretical framework for this research. As sound patterns of one language consist of many subparts, this research only focuses on the Indonesian plosive sound pattern. This paper examines sound pattern of Indonesian plosives and their special features. In order to do this research, a quantitative method is adopted for data collection and analysis. Indonesian words with plosives at the beginning of the second syllable and first syllable are respectively designed as stimuli for recordings. Then sound analysis software Praat is applied to measure gap and the voice onset time of plosives as parameters of data. The result of this research shows that the Indonesian plosive sound pattern forms two clear clusters on an acoustic plosive chart. Voiceless plosives have a longer gap duration than their corresponding voiced plosives. Front plosives in the vocal cavity have a longer gap than back plosives, but are shorter in VOT length. Such acoustic results will provide the basis for further research such as auditory phonetics experimental research and second language acquisition. Additionally, the visualization of abstract concepts, compared to the Chinese sound pattern, will help Indonesian learners from China better understand the Indonesian sound pattern and Indonesian language teachers to seek better solution to students’ pronunciation problems.
Hedges and Boosters in Indonesian Scientific Articles Hanung Triyoko; I Dewa Putu Wijana; I Praptomo Baryadi
Register Journal Vol 14, No 1 (2021): REGISTER JOURNAL
Publisher : UIN Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.981 KB) | DOI: 10.18326/rgt.v14i1.65-82

Abstract

Hedging and boosting or ‘pembentengan’ (Indonesian) is the act of scientific writers in maintaining smooth scientific communication. This paper answers two problem formulations, i.e., what are the linguistic manifestations of hedges and boosters in Indonesian scientific articles, and how their meaning reveals the writer's level of confidence in the information conveyed. This study aims to enrich the description of scientific writing practices in Indonesia to support the development of scientific writing skills in general. This research uses descriptive qualitative methods. This research data is in the form of sentences containing hedges and boosters from various scientific journals published in Indonesia through the note-taking technique. The main theory to analyze the data is the theory on hedges and boosters. The data were analyzed semantically, syntactically, and pragmatically. The results show that hedges and boosters in the form of adverbs are the most commonly used in Indonesian Scientific writing. The meaning of hedges and boosters cannot always be determined by their lexical meaning because each hedge and booster has to be seen in its use in the sentence. The Indonesian scientific community has its own agreement in the social interaction of scientific articles.Keywords: scientific writing; hedges and boosters; confidence; doubt; function; interaction