Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

HUBUNGAN JENIS KEPITING BAKAU (Scylla Spp.) DENGAN MANGROVE DAN SUBSTRAT DI TAMBAK SILVOFISHERY ERETAN, INDRAMAYU (Relationship of Mudcrab (Scylla Spp.) with Mangrove and Substrate in Silvofishery Ponds, Eretan, Indramayu) . Sunarto; . Sulistiono; Isdradjad Setyobudiandi
Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management Vol. 6 No. 1 (2015): Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut
Publisher : Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (827.98 KB) | DOI: 10.29244/jmf.6.1.59-68

Abstract

ABSTRACTMudcrab is one of the fishery commodity with high economic value in Indonesia. High market and price stimulated the development of the mudcrabs business in this country. The aim of this research was to evaluate interaction between habitat characteristics and the mudcrabs (Scylla spp.) species. The research was conducted in silvofishery ponds of Eretan village, Indramayu, West Java from September-November 2013 and August-September 2014. Sampling was conducted at five stations. They were BDR (Brackishwater dominated Rhizophora sp.), BDA (Brackishwater dominated Avicennia sp.), BCDR (Brackishwater cannal dominated Rhizopora sp.), BCDA (Brackishwater cannal dominated Avicennia sp.) and SMF (Side of the mangrove forest). The result showed there were two species of the mudcrabs Scylla paramamosain and Scylla olivacea. S. paramamosain was dominated than S. olivacea at all stations. Total number of the S. paramamosain was 107 ind (consisted of 67 male and 40 female), while total number of the S. olivacea was 28 ind (consisted of 17 male and 11 female). Composition of the mudcrabs species in each station was 91% S. paramamosain and 9% S. olivacea at BDR, 89% S. paramamosain and 11% S. olivacea at BDA, 86% S. paramamosain and 14% S. olivacea at BCDR, 68% S. paramamosain and 32% S. olivacea at BCDA, 73% S. paramamosain and 27% S. olivacea at SMF. Differences between kinds of mudcrab in each stations showed there are interaction between kinds of mudcrabs with habitat characteristics.Keywords: Indramayu, mangrove, mudcrabs, substrate,-------ABSTRAKKepiting bakau (Scylla spp.) merupakan salah satu komoditas perikanan di Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi. Luasnya pemasaran dan tingginya nilai jual kepiting bakau membuat bisnis tersebut semakin berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jenis kepiting bakau dengan karakteristik habitatnya. Penelitian ini dilakukan dari Agustus-November 2013 dan Agustus-September 2014 pada kawasan tambak silvofishery Desa Eretan, Indramayu, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun pengamatan diantaranya TSDR (Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp.), TSDA (Tambak silvofishery dominan Avicennia sp.), KDR (Kanal dominan Rhizopora sp.), KDA (Kanal dominan Avicennia sp.) dan PHM (Pinggiran hutan mangrove). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua jenis kepiting bakau yaitu Scylla paramamosain dan S. olivacea. Di lokasi penelitian jumlah Scylla paramamosain yang tertangkap sebanyak 107 individu yang terdiri dari 67 jantan dan 40 betina, sedangkan jumlah S. olivacea yang tertangkap sebanyak 28 individu yang terdiri atas 17 jantan dan 11 betina. Hasil penelitian menunjukkan pada umumnya jumlah S. paramamosain yang tertangkap melebihi S. olivacea. Persentase kepiting bakau yang tertangkap pada tiap stasiun pengamatan yaitu 91% S. paramamosain dan 9% S. olivacea pada TSDR, 89% S. paramamosain dan 11% S. olivacea pada TSDA, 86% S. paramamosain dan 14% S. olivacea pada KDR, 68% S. paramamosain dan 32% S. olivacea pada KDA, 73% S. paramamosain dan 27% S. olivacea pada PHM. Perbedaan jumlah jenis kepiting bakau yang diperoleh pada tiap stasiun penangkapan menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kepiting bakau dengan habitat hidupnya.Kata kunci: Indramayu, mangrove, kepiting bakau, substrat,
REVIEW INDIKATOR DARI INDEK PSA NOAA UNTUK IKAN PELAGIS KECIL (TEMBANG: Sardinella sp.; Famili Clupeidae) DAN IKAN DEMERSAL (KURISI: Nemipterus sp.; Famili Nemipteridae) . Yonvitner; Isdradjad Setyobudiandi; Ahmad Fachrudin; Ridwan Affandi; Etty Riani; Nurfitri Triramdani
Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management Vol. 8 No. 2 (2017): Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut
Publisher : Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (492.416 KB) | DOI: 10.29244/jmf.8.2.123-135

Abstract

ABSTRACTFishing activity have been caused change of fish's structure community and stock depletion.  In the future, this phenomenon also give impact to disturbance the stock sustainability. The study of vulnerability to be relevant before decide that stock has been depleted. The vulnerability study that has been developing based on productivity indicator, particularly for big pelagic fish. This research was conducted from any sources data that relevant to review indicator performance based on statistic approach with mean and confidence interval. PSA parameter for Sardinella and Nemipterus differ from others. This data relevant to apply as reference point for tropical small pelagic fish.Keywords: demersal, indicator, pelagic, performance, PSA ABSTRAKAktifivitas penangkapan terus mendorong terjadinya perubahan struktur komunitas ikan yang dapat menyebabkan penurunan stok dan keberlanjutan. Kajian kerentanan menjadi relevant sebelum memutuskan bahwa stok tersebut diambang penurunan. Kajian kerentanan yang dikembangkan selama ini adalah kelompok ikan pelagis besar.  Kajian ini dilakukan untuk merevisi indikator produktivitas sehingga bisa adaptif bagi ikan pelagis kecil. Data dikumpulkan dari berbagai sumber data sekunder untuk kemudian diolah secara statistik dengan pendekatan nilai rataan (mean) dan confidence interval untuk menentukan batas atas dan batas bawah. Hasil kajian menunjukkan bahwa parameter PSA untuk ikan tembang secara umum berubah dari kriteria PSA sebelumnya, begitu juga dengan ikan kurisi. Hasil modifikasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai reference point bagi ikan pelagis kecil dalam analisis PSA yang lebih tepat bagi ikan ikan tropis.Kata kunci: demersal, indikator, pelagis, performa, PSA
ANALISIS KERENTANAN PERIKANAN TANGKAP AKIBAT PERUBAHAN IKLIM PADA SKALA PROVINSI (Province Scaled Fisheries Vulnerability on Climate Change) Allasay Kitsash Addifisyuka Cintra; Isdradjad Setyobudiandi; Achmad Fahrudin
Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management Vol. 8 No. 2 (2017): Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut
Publisher : Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (397.807 KB) | DOI: 10.29244/jmf.8.2.223-233

Abstract

ABSTRACTFisheries has significant roles for the Indonesian economy. Climate change influences Indonesian fisheries through a range of direct and indirect pathaway. A scientific based approach such as vulnerability is needed to determine the risks of climate change and adaptation strategies. Therefore, this study was conducted to analyze the vulnerability of fisheries to climate change on  province scaled in Indonesia. Vulnerability index (VI) is obtained with composite index of exposure (EI), sensitivity (SI) and adaptive capacity (ACI) of ten provinces representing the eastern and western parts of Indonesia by using purposive sampling method. Source of data for indices variables were using recorded datas from relevant institutions. The results showed that fisheries status of North Sulawesi (VI = 0,78), Central Sulawesi (VI = 0,72) and Gorontalo (VI = 0,61) were very vulnerable despite the composition of constituent vulnerability index was different. This difference determined the specific policies to be taken to each province to reduce vulnerability. Short term policies are taken to reduce the vulnerability of the most vulnerable areas on Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, and Gorontalo. Medium term policy is carried out in high sensitivity areas, namely Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, and Kalimantan Timur and in low adaptive capacity areas such as Jambi, Gorontalo and Bangka Belitung. Long term policy is conducted for areas with high exposure such as Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara and Kalimantan Timur.Keywords: Climate change, fisheries, vulnerability, provinceABSTRAKPerikanan tangkap memiliki peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Adanya perubahan iklim akan berdampak merugikan secara langsung maupun tidak langsung pada perikanan tangkap Indonesia. Suatu pendekatan ilmiah diperlukan untuk menentukan risiko perubahan iklim dan strategi adaptasi perikanan tangkap, salah satunya adalah analisis kerentanan (Vulnerability). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kerentanan perikanan tangkap akibat perubahan iklim pada skala provinsi di Indonesia. Indeks kerentanan (VI) didapatkan dengan mengkompositkan indeks keterpaparan (EI), kepekaan (SI) dan kapasitas adaptif (ACI) dari sepuluh provinsi yang mewakili bagian timur dan barat Indonesia dengan metode purposive sampling. Sumber variabel penyusun indeks variabel menggunakaan rekaman data dari instansi terkait.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa provinsi Sulawesi Utara (VI=0,78), Sulawesi Tengah (VI=0,72) dan Gorontalo (VI=0,61) berstatus sangat rentan walaupun komposisi penyusun indeks kerentanannya tidak sama. Perbedaan ini menentukan bahwa jenis kebijakan yang diambil menjadi spesifik pada tiap provinsi untuk mengurangi kerentanan. Short term policy diambil untuk mengurangi dapak di daerah yang paling rentan yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Medium term policy dilakukan pada daerah yang kepekaannya tinggi yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur dan kapasitas adaptifnya rendah yaitu Jambi, Gorontalo dan Bangka Belitung. Long term policy dilakukan untuk daerah yang keterpaparannya tinggi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.Kata kunci: perubahan iklim, perikanan tangkap, kerentanan, provinsi
KAJIAN KETERKAITAN EKOLOGI Acanthaster planci DAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KABUPATEN BINTAN Syarviddint Alustco; Yusli Wardiatno; Isdradjad Setyobudiandi
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 1 (2011): Juni 2011
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (498.18 KB)

Abstract

Kabupaten Bintan memiliki hamparan ekosistem terumbu karang, berbagai aktivitas antropogenik masyarakat di wilayah ini seperti eksploitasi sumberdaya perikanan, pariwisata, penambangan pasir diduga sebagai penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang. Kerusakan ini dijelaskan dari hasil penelitian CRITC-LIPI Coremap II 2006, bahwa tutupan karang hidup rata-rata 25,27 %, tidak hanya itu populasi megabenthos sebagai indikator lingkungan yang tercatat menunjukkan kekawatiran. Perlu penelitian yang berkaitan dengan faktor bioekologi terhadap Kualitas Tutupan Karang Hidup. Beberapa metode telah digunakan untuk mendeskripsikan kondisi terumbu karang tersebut. Hasil penelitian diperoleh di kawasan I dengan 11 stasiun pengamatan: luasan tutupan karang hidup berkisar 34-99 %, tidak ditemukan adanya Acanthaster planci. Kawasan II dengan 4 stasiun pengamatan, tutupan karang hidupnya berkisar 65-87%, ditemukan A. planci di 3 stasiun. A. planci lebih banyak ditemukan di substrat Acropora branching (ACB) dengan jumlah 14 individu, 6 individu pada substrat coral massive dan coral foliose, 4 individu pada substrat coral submassive, dan 3 individu pada dead coral (DC). Kelimpahan A. planci lebih terkait pada jenis substrat dan bentuk karang bila dibandingkan dengan luas penutupan karang hidup. Kerusakan terumbu karang di kawasan I lebih disebabkan oleh kondisi perairan seperti sedimentasi dan berbagai aktivitas langsung dari masyarakat. Sedangkan di kawasan II kerusakan dipengaruh oleh destructive fishing,disamping kelimpahan A. planci diduga telah mempengaruhi tutupan karang hidup dengan kelimpahan 25 ekor/0,5 ha setara (50 ind/ha). Ini melebihi daya dukung terumbu karang sebanyak 30 ind/ha. Monitoring dan DPL diperlukan untuk mengontrol kelimpahan A. planci.Kata kunci: Acanthaster planci, komunitas terumbu, Pulau Bintan, terumbu karang
Physical Effects On The Behavior Of Littorina Littorea (L) Isdradjad Setyobudiandi; Raden Ario; Eddy Soekendarsi
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol. 1 No. 1 (1993): Juni 1993
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3492.29 KB)

Abstract

Gastropoda, Uttorina littorea (l.) dipelihara pada salinitas antara 9-33"'- . Hewan tidak dapat berlahan hidup pada salinitas kurang dari 8%.. Pada salinitas antara 15.6-19.4"'- hewan tampak lebih aktif dalam kondisi dengan atau tanpa cahaya. Penurunan tingkat aktifitas umumnya terjadi dengan menurunnya salinitas media.Kata-kat. kunci: Littorina littorea, tingkah laku, salinitas, cahaya
Macrozoobenthos Assemblages In Beds Of The Blue Mussel, Mytilus Edulis L : Effecfs Of Location,Patch Size And Position On Diversity And Abundance Isdradjad Setyobudiandi
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol. 3 No. 1 (1995): Juni 1995
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (10.661 KB)

Abstract

Studi keanekaragaman dan kelimpahan hewan makrobentos pada hamparan Mytilus edulis L. dilakukan di Norsminde dan Kerteminde Fjord, Denmark. Patch dari Mytilus dikategorikan menjadi kelompok keciJ, sedang, dan besar. Tiga posisi ditentukan pada patch yang ben:kuran sedang dan besar, yaitu: tepi, tengah, dan pusat. Tidak ditemukan pengaruh dari posisi terhadap jumJah spesies maupun jumlah spesies maupun jumlah individu mollusca  ustacea, polychaeta, and oligochaeta; akan tetapi pola distnbusi kelompok makrobenthos pada tiap lokasi berbeda berdasarkan ukuran patch.diNorsminde Fjord, jumlah individu kelompok crustacea and oligochaeta berbedaberdasarkan ukuran patch; tetapi kondisi tersebut tidak terdapat di Kerteminde. Mollusca dan polychaeta di Norsminde menunjukkan perbedaan sebaran dalam jumlah spesies,berdasarkan patch, sementara di Kerteminde semua kelompok tidak menunjukkan perbedaan. Secara keseluruhan, total makrobentos menunjukkan perbedaan sesuai dengan ukuran patch. Total bentos yang terdapat pada patch berukuran kecil di Norsminde menunjukkan kelimpahan rendah dlbandingkan terhadap ukuran patch lainnya pada lokasi yang sama. Sedangkan, pada patch kecil di Kerteminde makrobentos terdapat dengan kelimpahan tinggi. Pada kedua lokasi makrobentos pada patch berukuran kecil menunjukkan keanekaragaman tinggi dibandingkan dengan ukuran lainnya. Urutan keanekaragaman komunitas (tinggi-rendah) pada tiap ukuran patch di kedua lokasi adalah Patch kecil Patch sedangPatch besar.Kata-kata kunci : makrozoobentos, Mytilus beds, ukuran Patch, keanekaragaman
KELIMPAHAN DAN BIOMASSA POPULASI SIMPING (Placuna placenta, Linn, 1768) DI TELUK KRONJO, KABUPATEN TANGERANG Yonvitner .; Mennofatria Boer; Isdradjad Setyobudiandi; Rokhmin Dahuri; Kardiyo Prapto Kardiyo
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 1 (2011): Juni 2011
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.143 KB)

Abstract

Kegiatan penangkapan telah menyebabkan terjadinya penurunan stok dan biomasa simping. Penurunan itu dapat terjadi pada stadia spat, muda, dan dewasa. Perubahan ukuran tangkap yang semakin kecil juga merupakan pertanda bahwa telah terjadi upaya penangkapan yang berlebih. Berdasarkan analisis kepadatan, terdapat adanya perbedaan jumlah dan biomassa antara waktu pengamatan. Peningkatan biomassa yang terjadi, yatu 0,46 gram per 2 minggu dan laju penurunan kepadatan sebesar 0,657 ind/2 minggu. Pada bulan April kepadatan rendah, biomassa rendah, dan rasio biomassa terhadap kelimpahan juga rendah. Artinya tekanan penangkapan yang terjadi maupun pengaruh lingkungan besar saat bulan April.Kata kunci: biomassa, kelimpahan, simping, Kronjo
KUALITAS AIR, KEMATANGAN GONAD, DAN KEBERLANGSUNGAN HIDUP POPULASI SIMPING DARI PERAIRAN KRONJO Yonvitner -; Isdradjad Setyobudiandi
Teknotan: Jurnal Industri Teknologi Pertanian Vol 8, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Teknologi Industri Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Reproduksi dan pola perkembangan stadia simping perlu dipelajari untuk mengetahui tingkat kelimpahan larva, spat dan populasi dewasa yang di dukung oleh kualita air yang baik.  Metoda deskriptif digunakan dalam penelitian yang dilakukan di perairan Kronjo selama 3 bulan dengan interval pengamatan setiap bulan.  Data yang dikumpulkan mencakup data kualitas air dan data kematangan gonad simping, kelimpahan dan kepadatan simping. Selama penelitian kondisi kualitas lingkungan tergolong baik dan mendukung kehidupan populasi simping, kecuali TSS yang relatif tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan tingkat kelimpahan relatif sama (1 :1), namun ukuran kematangan gonad dan tingkat survival larva lebih rendah.  Kelimpahan larva, spat dan dewasa juga tidak berbeda antar lokasi pengamatan, namun  larva simping yang bertahan hanya 0,08-0,27 % saja. Populasi dewasa relatif stabil dibandingkan dengan lainnya.  Kondisi ini menunjukkan bahwa walau kondisi di perairan sesuai, namun sudah tidak mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva simping. Kata kunci : simping, kualitas air, kematangan gonad, keberlangsungan hidup, Kronjo
Kualitas habitat populasi simping (Placuna placenta) di Perairan Teluk Kronjo, Tangerang Yonvitner .; Rokhmin Dahuri; Isdradjad Setyobudiandi; Kardiyo Praptokardiyo; Mennofatria Boer
Aquahayati Vol 9, No 1 (2013)
Publisher : Aquahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (56.07 KB)

Abstract

Populasi simping dapat bertahan dan berkembang apabila memiliki kualitas lingkungan hidup yang baik. Penelitian inibertujuan untuk mengkaji karakter habitat dan lingkungan hidup simping di perairan Teluk Kronjo, Tanggerang. Penelitiandilaksanakan selama lima bulan, dari bulan Maret sampai September 2008. Penelitian dilakukan dengan interval satubulan pada enam stasiun dengan tiga kali ulangan. Analisis meliputi analisis deskriptif dan anova dua arah (antara stasiundan antar zona). Status habitat simping dari indikator suhu, kecerahan, pH, BOD, masih mendukung kehidupan simping,sedangkan kekeruhan, TSS, oksigen, redoks, dan COD, berpotensi menghambat pertumbuhan simping. Secara keseluruhankondisi habitat kurang baik namun masih dalam batas syarat minimal untuk mendukung kehidupan simping.Kata kunci: simping, Kronjo, kualitas air
SPATIAL DISTRIBUTION AND HABITAT PREFERENCE OF BIVALVIA IN THE COASTAL WATERS OF SIMPANG PESAK SUB DISTRICT, EAST BELITUNG DISTRICT Irma Akhrianti; Dietriech G Bengen; Isdradjad Setyobudiandi
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 6 No. 1 (2014): Electronik Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Publisher : Department of Marine Science and Technology, Faculty of Fisheries and Marine Science, IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2336.098 KB) | DOI: 10.29244/jitkt.v6i1.8639

Abstract

The coastal waters of Simpang Pesak Sub-district, East Belitung Regency considered as a productive region and had a broad range of habitats for bivalvia. However, research on spatial distribution and habitat preference of bivalvia in this region is limited to none. The objectives of this research were to examine the effects of marine biophysical parameters and substrate quality on bivalvia. The research was started from Mei 2013 until June 2013 by using survey method and random systematic sampling approach. The results showed that there were 16 species of bivalves consisted of 14 genus from 7 family and dominated by Gafrarium pectinatum at station I (13.62 ind/m2, C=0.52, H’=0.6, muddy sandy), and  station II (28.4 ind/m2, C=0.51, H’=1.04, sandy), Gafrarium tumidum at station III (59.9 ind/m2, C=0.51, H’=1.03, sandy), Scapharca pilula at Stasiun IV (61,6 ind/m2, C=0.5, H’=0.89, clay sandy). Spatial distribution and density of bivalves were influenced by particle size, C-organik, and other environmental factors such as current, dissolved oxygen, TSS, temperature, and salinity. Keywords: bivalves, distribution, habitat preference