Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Ahmad Zaini Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Menurut Peraturan Perundangan-undangan Ketenagakerjaan Ahmad Zaini
Al Ahkam Vol 13 No 1 (2017): Januari-Juni 2017
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/ajh.v13i1.1753

Abstract

Salah satu bidang diantara bidang hukum perburuhan yang sangat penting jika dihubungkan dengan masalah perlindungan pekerja adalah bidang pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama PHK yang dilakukan oleh majikan.Persoalan PHK menjadi mengemuka jika pengusaha ingin memutuskan hubungan kerja, padahal pekerja masih ingin tetap bekerja.Mengemukanya persoalan ini terletak pada keinginan pengusaha yang lazimnya serba kuat berhadapan dengan keinginan pekerja yang lazimnya serba lemah. Masalah pemutusan hubungan kerja selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih mendalam. Tenaga kerja selalu menjadi pihak yang lemah apabila dihadapkan dengan piak pemberi kerja Tidak jarang para pekerja selalu mengalami ketidakadilan apabila berhadapan dengan kepentingan perusahaan.Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan buruh/pekerja. Tujuan tersebut dilandasi oleh filosofis dasar bahwa buruh selalu merupakan subordinasi dari pengusaha. Oleh karena itu, hukum perburuhan dibentuk untuk menetralisir ketimpangan tersebut. Dengan demikian, ketika undang-undang tidak mampu menyeimbangkan subordinasi tersebut, maka hal tersebut terjadi karena kegagalan secara substansi dan kepentingan di lapangan yang lebih berpihak kepada para pengusaha. Kata Kunci Perlindungan pekerja, PHK, Subordinasi, Pengusaha, Pekerja, Pemerintah.
NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, DAN HAM Ahmad Zaini
Al Qisthas: Jurnal Hukum dan Politik Ketatanegaraan Vol 11 No 1 (2020): Januari-Juni 2020
Publisher : Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/alqisthas.v11i1.3312

Abstract

Tahun 1948 untuk pertama kali umat manusia di bumi memproklamasikan penghormatan dan keyakinan mereka tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai, dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak perduli jenis kelamin, tanpa membedakan warna kulit. Hak asasi berlaku bagi semua, apakah bangsa besar, kaya dan maju, ataukah bangsa kecil, miskin, primitive dan terbelakang. Saat itulah mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis dan egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar. Hak asasi manusia merupakan hak yang bersifat fundamental, yaitu hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak ia lahir yang berkaitan dengan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga keberadaannya merupakan keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus diimbangi, dihormati dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan dan gangguan dari manusia lainnya. Karena hak asasi manusia merupakan hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang sangat bersifat kodrat, yakni ia tidak bisa lepas dari dan dalam kehidupan manusia. Sebagai hak dasar, maka kedudukan hak asasi manusia sangat penting, bahkan dianggap merupakan ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum dan merupakan jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan/kekuatan lain dan tidak memihak, legalitas dalam arti hukum dan segala bentuknya. Implementasi hak asasi manusia pada suatu negara selalu mengacu pada kerangka konstitusi dan pandangan hidup bernegara yang bersangkutan. Berbeda dengan kesan yang timbul selama ini, yang memberikan gambaran bahwa hak asasi manusia diarahkan untuk menentang negara dan pemerintah. Instrument hak asasi manusia Persatuan Bangsa-bangsa justru menegaskan bahwa perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia di suatu negara merupakan tanggungjawab negara yang bersangkutan. Sebagai negara hukum, dalam penjabaran hak asasi manusia, negara Indonesia mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Perspektif Pancasila dan UUD 1945 terhadap hak asasi manusia harus dilakukan secara menyeluruh sebagai suatu sistem yang di dalamnya memuat ruang gerak kehidupan kenegaraan yang bukan saja saling bergantung, tetapi juga saling memberikan kontribusi. Dari ketiga ciri yang melekat pada suatu negara hukum, maka akan nampak jelas, jika pemerintahan suatu negara memberikan pernyataan bahwa negaranya adalah negara hukum, maka negara tersebut harus memiliki ketiga ciri tersebut. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah suatu negara dapat dikategorikan sebagai suatu negara hukum atau tidak dapat ditelusuri dari unsur-unsur yang melekat padanya. Demikian juga dalam kaitannya dengan hak asasi manusia yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya, perlindungan terhadap hak asasi manusia atau tidak daapt ditelusuri unsur-unsur yang terdapat dalam negara hukum tersebut. Kata kunci : Demokrasi, Negara hukum, Rule of Law, Hak Asasi Manusia.
THE EXSISTENCE OF HUMAN RIGHTS IN INDONESIA Ahmad Zaini; Mohammad Zainor Ridho; Entol Zaenal Muttaqin
Al Qisthas: Jurnal Hukum dan Politik Ketatanegaraan Vol 11 No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/alqisthas.v11i2.3797

Abstract

Human rights are fundamental rights, namely the basic rights possessed by humans that they carry since they are born that are related to their dignity and dignity as the creation of God Almighty, so that their existence is a necessity, cannot be contested, even must be balanced, respected and maintained from all kinds of threats, obstacles and disturbances from other humans. Because human rights are basic human rights or basic rights that have been born as a gift from God Almighty, this right is very basic in nature and human life which is very natural, that is, it cannot escape from and in human life. As a legal state, in the elaboration of human rights, the Indonesian state refers to the Pancasila and the 1945 Constitution. The Pancasila perspective and the 1945 Constitution on human rights must be carried out as a system which includes the movement of state life which is not only interdependent but also contribute to each other.
MEDIASI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Ahmad Zaini
Al Qisthas: Jurnal Hukum dan Politik Ketatanegaraan Vol 9 No 2 (2018): Juli - Desember 2018
Publisher : Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/alqisthas.v9i2.1573

Abstract

Abstrak Sengketa di pengadilan terjadi karena diantara subjek hukum terjadi perselisihan terhadap suatu kasus, utamanya adalah perdata. Namun merujuk kepada proses pengadilan yang berlaku di Indonesia, terdapat fasilitas mediasi yang diberikan oleh lembaga pengadilan agar para pihak yang bersengketa dapat didamaikan dan tidak melanjutkan ke proses hukum acara. Mediasi sangat penting dalam meminimalisir sebuah perkara atau sengketa berakhir panjang, karenanya di bawah ini akan dijelaskan mengenai urgensi mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa Kata Kunci: Mediasi, Sengketa, Alternatif
Demokrasi: Pemerintah oleh Rakyat dan Mayoritas Ahmad Zaini
Al Ahkam Vol 14 No 2 (2018): Juli - Desember 2018
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/ajh.v14i2.1485

Abstract

Demokrasi hampir selalu berkonotasi dengan kekuasaan rakyat. Namun demikian, apakah rakyat benar-benar berkuasa dalam demokrasi layak dipertanyakan. Saat ini demokrasi boleh dikatakan sebagai sebuah sistem politik yang paling dominan. Namun demikian, banyak orang memahami demokrasi secara serabutan. Kata “demokrasi” pertama kali muncul pada mazhab politik serta filsafat Yunani kuno di negara kota Athena. Kekuasaan tersebut dipimpin oleh Cleisthenes yang merupkan “bapak demokrasi Athena”. dan pada saat itulah warga Athena mendirikan negara demokrasi pertama yang terjadi pada tahun 508-507 SM. Zaman Kuno ini tentunya terjadi pada negara kota Yunani yaitu Athena. Negara kota Athena pada saat itu memakai jenis dasar kekuasaan demokrasi langsung. Dan juga hal tersebut memiliki dua ciri utama.Ciri utama yang pertama yaitu pemilihan acak warga yang biasa mengisi jabatan administratif serta yudisiala di dalam pemerintahan. Kedua, bahwa majelis legislatif terdiri dari semua warga negara Athena. Demokrasi dicirikan oleh kesejahteraan umum individu. Keputusan dibuat sesuai keinginan mayoritas. Kadang-kadang, kondisi demokrasi ini dapat mempengaruhi minoritas yang tidak setuju dengan apa yang diinginkan mayoritas. Namun, demokrasi juga dicirikan dengan menghormati hak-hak minoritas, karena alasan ini, kebutuhan dan pendapat mereka diperhitungkan dan pada beberapa kesempatan dapat mencegah keputusan yang diambil oleh mayoritas dijalankan. Saat ini bentuk demokrasi yang paling umum di dunia adalah perwakilan, di mana warga memilih wakil untuk membuat keputusan politik, merumuskan undang-undang dan mengelola program yang mempromosikan kebaikan bersama.Kata kunci : Demokrasi, Pemerintah, Rakyat, Mayoritas
Intellectual Property Rights as The Resource for Creative Economic in Indonesia Ika Atikah; Ahmad Zaini; Iin Ratna Sumirat
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 22, No 4 (2022): December Edition
Publisher : Law and Human Rights Research and Development Agency

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/dejure.2022.V22.451-464

Abstract

Intellectual Property (IP) objects from copyright such as songs and films have economic value that can improve the country’s economy and can even be used as collateral for credit, but the condition is that they must be registered with the ministry of law and human rights. Law No. 24/2019 has not yet regulated in detail the mechanism for granting credit to creative economy actors with intellectual property collateral objects. The research method used here is in the form of a doctrinal approach to laws and regulations. Primary sources are relevant legal regulations related to intellectual property and credit financing, and secondary sources are books and journals. The purpose of this research is to understand credit financing with collateral in the form of songs and films. PP No.24/2022 provides flexibility for creative economy actors to obtain credit financing not only at bank financial institutions but also at non-bank financial institutions. However, the special conditions that are regulated are that the intellectual property has been registered or registered with the ministry that organizes government affairs in the field of law, the intellectual property has been self-managed, and or the rights have been transferred to another party.
Pragmatism of Polygamous Family In Muslim Society: Beyond Islamic Law Sam'ani Sam'ani; Rokhmadi Rokhmadi; Nasihun Amin; Ahmad Zaini; Suprijati Sarib
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 7, No 1 (2023)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v7i1.15874

Abstract

Pragmatism has become a common motive in polygamous marriages, despite ignoring the principles of Islamic law. Issues ranging from unfair treatment and dishonest attitudes towards wives to the rejection of polygamous pregnant wives have colored the attitudes of pragmatic polygamous life. This article reveals pragmatic motives that become the reasons why a woman is willing to be istri selir-sirri (concubine) in polygamy. This research uses a qualitative approach in which data was collected from observation, interviews, and library studies. The findings of this study suggest that pragmatic motives exist in polygamies, such as the husband's economic stability accompanied by lust satisfaction, the woman's needs for social-economic improvement, and the need for comfort and security. The lack of power among women in relation to men of high social and economic status causes them to agree to be the second wife (selir) despite the sirri marriage status, which is officially unregistered and sometimes unknown even to their own family. As the article sees only the pragmatic sides of polygamy, it still needs further development.