Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Faktor Risiko yang Mempengaruhi Hasil Emisi Otoacustic Refer atau Gagal pada Neonatus Gatot Irawan; Muyassaroh Muyassaroh; Tety Nidiawati
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 2 No. 3 (2014): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36408/mhjcm.v2i3.191

Abstract

Latar Belakang : Skrining pendengaran neonatal sangat penting. Bayi lahir risiko tinggi lebih sering mengalami refer atau gagal pada pemeriksaaan skrining pendengaran dibanding bayi lahir tanpa risiko. Banyak faktor risiko yang mempengaruhi hasil skrining pendengaran ini terutama pada bayi yang lahir risiko tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko yang mempengaruhi hasil Emisi Otoakustik (EOA) gagal atau refer bila emisi atau respon terhadap stimulasi akustik tidak ada/berkurang pada naonatus.Metode : Dilakukan penelitian retrospektif menggunakan data rekam medik neonatus yang dirawat ruang Perawatan Bayi Risiko Tinggi (PBRT) RSUP Dr. Kariadi Semarang selama periode 1 Januari – 31 Desember 2013. EOA dilakukan satu hari sebelum neonatus pulang dari Rumah Sakit. Faktor risiko yang dianalisis antara lain jenis kelamin, prematuritas (usia kehamilan <37 minggu), bayi berat lahir rendah (<2500 gram), asfiksia, bayi baru lahir secara bedah sesar, hiperbilirubinemia. Analisis dengan uji regresi multivariat.Hasil : Didapatkan 857 sampel. Hasil yang menyatakan refer pada pemeriksaan EOA 249 (29%), pass 608 (71%). Neonatus laki-laki secara signifikan merupakan faktor risiko mengalami refer (OR 1,49; 95% CI 1,11-2,02, p=0,008), usia kehamilan <37 minggu (OR 4,72; 95% CI 2,75-8,09, p=0,000), berat lahir < 2500 gram (OR 5,88; 95% CI 3,98-8,69, p=0,000). Sedangkan neonatal asfiksia (OR 1,57; 95% CI 0,93-2,70, p=0,10), neonatal yang lahir secara bedah sesar (OR 1,45; 95% CI 0,65-3,22, p=0,35), neonatal hiperbilirubinemia (OR 0,95; 95% CI 0,54-1,68, p=0,86), neonatal sepsis (OR 4,91; 95% CI 0,44-54,45, p=0,20) tidak merupakan faktor risiko mengalami refer pada pemeriksaan EOA.Simpulan : Jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah dan prematuritas merupakan faktor risiko terhadap terjadinya refer pada Skrining EOA
Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Pelajar Pengguna Personal Listening Devices (PLDs) Muyassaroh Muyassaroh; Dimas Dimas; Citra Citra
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 3 No. 1 (2015): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.936 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v3i1.202

Abstract

Latar belakang : Pelajar SMA/sederajat sebagian besar memiliki hobi mendengarkan musik menggunakan personal listening devices (PLDs). Penggunaan PLDs meningkatkan risiko kurang pendengaran sensorineural (KPSN) akibat bising. Pengetahuan yang baik tentang PLDs akan menurunkan risiko KPSN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dengan perilaku pelajar pengguna PLDs. Metode : Survey pengguna PLDs pada pelajar SMA/sederajat di kota Semarang bulan Mei 2014. Pengambilan data dilakukan dengan pengisian kuesener terpimpin yang telah diujicobakan. Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil : Subyek penelitian sebanyak 308 sampel, laki-laki 191 (62,0%) dan perempuan 117 (38,0%). Rerata skor pengetahuan 8,17±1,96 sedangkan rerata skor perilaku 5,35±2,29. Skor pengetahuan berhubungan dengan skor perilaku (p=0,000) dengan tingkat korelasi lemah (r=0,295). Simpulan : Terdapat hubungan pengetahuan dengan perilaku pelajar pengguna PLDs.
Cost Effectiveness Kemoterapi Kombinasi Neoadjuvant Cisplatin - Paclitaxel Dibanding Cisplatin 5 Flourourasil Terhadap Respon Klinis pada Karsinoma Nasofaring Dwi Antono; Muyassaroh Muyassaroh; Alfian Sulaksana
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 3 No. 1 (2015): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.576 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v3i1.204

Abstract

Latar belakang : Cisplatin merupakan regimen obat sitostatika pilihan pada karsinoma nasofaring. Kemoterapi kombinasi neoadjuvant menghasilkan angka respon lebih tinggi pada KNF stadium lanjut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui cost effectiveness kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis-pac dibanding cis-5FU terhadap respon klinis pada KNF. Metode : Penelitian deskriptif analitik rekam medik penderita KNF yang mendapatkan 3 siklus kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis pac atau cis - 5 FU di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Juni 2010 - Juli 2013. Analisis dengan uji Chi Square dan Average Cost Effectiveness Ratio (ACER). Hasil : Didapatkan 45 sampel, 25 mendapat kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis-pac dan 20 mendapatkan kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis-5FU. Respon klinis kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis-pac respon positif (65,7%) dan respon negatif (20%) lebih baik dibanding kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis5FU respon positif (34,3%) dan respon negatif (80%) (RP 1,533 dan 95% CI 1,05-2,233). Biaya kemoterapi kombinasi cis-pac lebih murah (86,7%) dibanding kemoterapi kombinasi cis-5FU (13,3%) (RP 5,200 dan 95% CI 1,324-20,416). ACER total biaya kemoterapi kombinasi cis-pac lebih cost effective (190.325,6) dibanding kemoterapi kombinasi cis-5FU (290.604,7). Simpulan : Respon klinis kemoterapi kombinasi neoadjuvant cispac lebih baik dibanding kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis5FU. Pemberian kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis-pac lebih cost effective dibanding kemoterapi kombinasi neoadjuvant cis5FU.
Perbandingan Efektivitas Klinik Larutan Gentian Violet dengan Mikonazol Krim pada Terapi Otomikosis Enny Astuti; Pujo Widodo; Dian Ruspita; Muyassaroh Muyassaroh
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 3 No. 2 (2015): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (617.296 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v3i2.215

Abstract

Latar belakang : Kejadian otomikosis sekitar 9–40% dari seluruh kasus otitis eksterna. Penatalaksanaan otomikosis meliputi ear toilet secara berkala dan medikamentosa dengan antimikotik yang dapat diberikan secara topikal atau dikombinasi secara sistemik. Antimikotik topikal dapat berupa larutan maupun krim. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas klinik larutan gentian violet 1% dengan mikonazol krim 2% pada terapi otomikosis. Metode : Penelitian quasy eksperimental, dengan desain pre dan post test. Subjek adalah penderita otomikosis. Penegakan diagnosis otomikosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pengecatan jamur dari Swab CAE. Subjek terdiri dari 2 kelompok terapi yaitu kelompok gentian violet (GV) dan mikonazol krim, dievaluasi keluhan (gatal, discad, nyeri, kurang dengar dan tinitus) dan tanda klinik (discad, edem dan debris CAE) pada hari ke–3,7,10 dan 14. Subjek diberi terapi lanjutan berupa aplikasi ulang GV atau mikonazol, sebelumnya dilakukan ear toilet untuk evaluasi. Pengecatan jamur ulang pada hari ke–7 dan 14. Uji statistik dilakukan menggunakan uji Chi square dan dan Manova. Hasil : Didapatkan 55 subjek otomikosis, 28 subjek kelompok GV dan 27 subjek kelompok mikonazol krim. Jenis kelamin laki-laki ada 25 subjek (45,4%) dan perempuan 30 subjek (54,6%). Kelompok usia terbanyak 41-50 tahun, sebanyak 19 subjek (34,60%). Hasil analisis pasca terapi menunjukkan perbedaan perbaikan keluhan gatal (p=0,009), discad (p=0,005),nyeri (p=0,012), kurang dengar (p=0,015), tinnitus (p=0,009). Terdapat perbedaan tanda klinik: edem CAE (p=0,009), discad (p=0,011), debris (p=0,008). Tidak terdapat perbedaan perubahan hasil pengecatan jamur pada hari ke-7 (p=0,422), dan hari ke-14 (p=1,000). Simpulan : Terapi larutan gentian violet lebih memberikan perbaikan keluhan dan tanda klinik dibanding terapi mikonazol, tetapi tidak berbeda dalam perubahan pengecatan jamur pasca terapi.
Faktor Risiko Kurang Pendengaran Sensorineural Pada Penderita Penyakit Jantung Koroner Muyassaroh Muyassaroh; Ika Windi
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 3 No. 2 (2015): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.149 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v3i2.216

Abstract

Latar belakang : Kurang pendengaran sensorineural (KPSN) dapat terjadi pada penderita jantung koroner yang mendapat pengobatan aspirin atau yang disertai dengan penyakit penyerta hipertensi, diabetes melitus atau hiperlipidemia. penyakit kardiovaskuler dan gangguan arteri perifer berhubungan dengan gambaran audiogram berupa penurunan ambang dengar pada frekuensi rendah Metode : Design penelitian belah lintang. Penelitian di unit jantung RSUP Dr. Kariadi Semarang. Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling. Sampel yang telah ditentukan sebanyak 78. Semua sampel dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni dengan hasil KPSN. Penggunaan aspirin dosis rendah, riwayat hipertensi, DM, hiperkolesterol, hiperlipidemi didapatkan dari kuesener dan Rekam medik. Dilakukan pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan laboratorium darah. Analisis data dengan uji Chi square dan regresi logistik. Protokol penelitian telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kedokteran FK UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil : Didapatkan 78 subyek terdiri dari 47 (60,3%) laki-laki dan 31 (39,7%) perempuan. Sebagian besar subjek penelitian (70,6%) berusia 51–60 tahun. Kejadian KPSN pada penyakit jantung koroner sebanyak 46 (59%). Hipertensi (p=0,743, RP=1,167, 95%CI=0,463–2,944), DM (p=0,219, RP=1,905, 95%CI=0,677–5,36), Hiperlipidemi (p=0,414, RP=1,462, 95% CI=0,587–3,638) tidak bermakna terhadap kejadian KPSN. Didapatkan perbedaan bermakna pada penggunaan aspirin dosis rendah (p=0,023, RP=0,3, 95% CI=0,104–0,868). Simpulan : Hipertensi, DM, Hiperlipidemi bukan merupakan faktor risiko KPSN. Penggunaan aspirin dosis rendah merupakan faktor protektif terhadap KPSN.
Pengaruh Pemberian Metilprednisolon Oral Terhadap Perubahan Kadar C-Reactive Protein Penderita Kanker Kepala Leher yang Diberikan Radioterapi Hesti Palupi; Muyassaroh Muyassaroh; Dwi Antono
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 3 No. 2 (2015): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.786 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v3i2.217

Abstract

Latar belakang : Radioterapi dapat memberikan efek inflamasi terus menerus pada kanker kepala leher (KKL). C-reactive protein (CRP) merupakan protein fase akut sebagai parameter status inflamasi terkini. Metilprednisolon bekerja pada efektor akhir untuk menginhibisi inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaruh pemberian metilprednisolon terhadap kadar CRP pada penderita KKL yang mendapat radioterapi. Metode : Penelitian intervensi yang membandingkan perubahan kadar CRP pasien KKL dengan radioterapi antara kelompok yang diberikan metilprednisolon (n=15) dan yang tidak diberikan metilprednisolon (n=15) pada sebelum, 7 kali radioterapi dan 14 kali radioterapi. Hasil : Hasil penelitian didapatkan peningkatan bermakna kadar CRP pada kelompok metilprednisolon dan kontrol setelah 7 kali radioterapi (p<0,05). Perbedaan bermakna perubahan kadar CRP antara kelompok metilprednisolon dan kontrol setelah 14 kali radioterapi (p<0,05). Simpulan : Pemberian metilprednisolon dapat mempengaruhi perubahan kadar CRP pasien KKL yang diberikan radioterapi
Deteksi Dini dan Habilitasi Gangguan Dengar Pada Bayi dan Anak Muyassaroh Muyassaroh
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 4 No. 2 (2017): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.275 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v4i2.325

Abstract

Gangguan pendengaran (hearing loss) dan ketulian (deafness) dapat terjadi pada semua usia sejak lahir sampai usia lanjut, namun kadang-kadang tidak disadari, apalagi jika terjadi pada bayi. Dampak dari gangguan pendengaran dan ketulian tidak hanya berakibat pada terganggunya perkembangan wicara dan bahasa, tetapi pada tahap selanjutnya akan menyebabkan hambatan perkembangan akademik, ketidakmampuan bersosialisasi, perilaku emosional dan berkurangnya kesempatan memperoleh pekerjaan.Semua dampak ini mempengaruhi kualitas hidup anak dan juga orangtua. Identifikasi gangguan pendengaran sejak dini dan intervensi yang sesuai akan mencegah terjadinya segala konsekuensi tersebut. Penyebab gangguan dengar pada bayi dan anak terjadi pada masa prenatal, perinatal dan postnatal. Gangguan dengar atau kelainan pada masa prenatal dapat menyebabkan ketulian pada bayi/tuli sejak lahir. Angka kekerapan terjadinya tuli sejak lahir dibeberapa negara berkisar 1-3/1000 kelahiran. Di Indonesia sebesar 0,1%. Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%.WHO-SEARO (South East Asia Regional Office) Intercountry meeting (Colombo, 2000) mencanangkan program Sound hearing (SH) 2030 “Better hearing for all”, salah satu sasarannya adalah penurunan ketulian sejak lahir. Deteksi dini dilakukan pada setiap bayi baru lahir setelah 24 jam pertama kelahiran, tindakan intervensi sebelum usia 6 bulan apabila ditemukan masalah ganggguan pendengara. Yoshinaga-Itano melaporkan bahwa bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang telah dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan, menunjukkan kemampuan berbahasa normal pada usia 3 tahun.Habilitasi pendengaran pada anak dengan gangguan dengar sejak lahir dengan metode AVT terbukti efektif dapat meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara mendekati anak normal.
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E DALAM MENCEGAH PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF VISUOSPASIAL TIKUS YANG TERPAPAR HEAT STRESS Satria Fadhil Ardika; Ratih Vierda Octaviani; Muyassaroh Muyassaroh
DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL (JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO) Vol 8, No 3 (2019): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO
Publisher : Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.108 KB) | DOI: 10.14710/dmj.v8i3.24509

Abstract

Latar belakang: Salah satu penyebab yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi kognitif adalah heat stress. Peningkatan mortalitas akibat heat stress diperkirakan akan menjadi salah satu dampak yang paling mungkin dari perubahan iklim di masa depan.Vitamin E sebagai antioksidan telah terbukti menjadi salah satu terapi pada gangguan neurodegeneratif yang terkait dengan stress oksidatif. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E dalam mencegah penurunan fungsi kognitif visuospasial tikus yang terpapar heat stress. Metode: Penelitian eksperimental murni dengan rancangan post-test only controlled group dengan jumlah sampel 21 tikus Sprague Dawley jantan dibagi secara acak menjadi 3 kelompok: kontrol negatif (K1) tidak diberikan paparan heat stress dan vitamin E, kontrol positif (K2) diberikan paparan heat stress 43°C selama 15 menit/hari, perlakuan (P) diberikan vitamin E dengan dosis 0,1 mg/g bb/ hari dengan cara sonde lambung 2 jam sebelum diberikan paparan heat stress 43⁰C selama 15 menit/hari. perlakuan dilakukan selama 14 hari. fungsi kognitif visuospasial diuji dengan Morris Water Maze Test (MWM) selama 5 hari. Analisis data dengan SPSS uji One Way Anova. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol negatif (K1), kontrol positif (K2), dan perlakuan (P) (p=0,018). Gangguan fungsi kognitif visuospasial lebih tinggi secara bermakna pada kelompok kontrol positif (K2) dibandingkan dengan kontrol negatif (K1) (p=0,028) dan lebih rendah secara bermakna pada kelompok perlakuan (P) dibandingkan kontrol positif (K2) (p=0,008). Kesimpulan: Pemberian vitamin E dapat mencegah penurunan fungsi kognitif visuospasial tikus yang dipaparkan heat stress.Kata kunci: Fungsi kognitif visuospasial, vitamin E, heat stress
Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten Novina Rahmawati; Suprihati Suprihati; Muyassaroh Muyassaroh
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 41, No 2 (2011): Volume 41, No. 2 July - December 2011
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.232 KB) | DOI: 10.32637/orli.v41i2.51

Abstract

Background: Persistent allergic rhinitis (AR) can lead to Eustachian tuba dysfunction. It could beinfluenced by many factors. Purpose: To prove that AR’s degree, duration, presence of chronic tonsillitisand the use of air conditioner are the risk factors of the Eustachean tube dysfunction in patients withpersistent allergic rhinitis. Method: A cross-sectional study was conducted on patients between 11-54years age who came with persistent AR. Tubal dysfunction was detected by tympanometric examination (MEP negative <-25 mmH2O). The data analysis was analyzed using Chi square test and prevalence ratio. Results: There were 68 subjects. The largest age group was 23-34 years old with mean age is 27.8years. Twenty-six patients (32,8%) with persistent AR had tubal dysfunction. Chi square test for persistentAR’s degree, duration of AR and presence of chronic tonsillitis had no significant relationship with tubaldysfunction. The use of AC was significantly correlated with tubal dysfunction (p>0.05). Multivariatelogistic regression analysis found that it became a risk factor for tubal dysfunction p= 0.019, RP=5.446, CI 95%= 1.321- 22.575. Conclusion: The use of AC becomes a risk factor for tubal dysfunctionin patients with persistent allergic rhinitis. Keywords: persistent allergic rhinitis, Eustachean tube dysfunction, tympanometry Abstrak :  Latar belakang: Rinitis alergi (RA) persisten dapat menimbulkan disfungsi tuba Eustachius. Disfungsituba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tujuan: Membuktikan bahwa derajat RA, lama sakit RA,keberadaan tonsiltis kronik dan pemakaian air conditioner (AC) merupakan faktor risiko terjadinyadisfungsi tuba pada penderita rinitis alergi persisten. Metode: Penelitian dengan metode potong-lintangpada RA persisten usia 11-54 tahun. Disfungsi tuba ditentukan dengan pemeriksaan timpanometri (MEPnegatif/<-25 mmH2O). Analisis hasil dengan uji Chi square dan rasio prevalensi. Hasil: Didapatkan68sampel. Usia terbanyak 23-34 tahun, rerata usia 27,8 tahun. Penderita RA persisten dengan disfungsituba 26 (38,2%). Uji Chi square didapatkan derajat RA persisten, lama sakit dan keberadaan tonsilitiskronik tidak mempengaruhi disfungsi tuba (p>0,05). Analisis regresi logistik multivariate didapatkanpemakaian AC secara independen mempunyai risiko terjadinya disfungsi tuba p=0,019, RP=5,446, CI95%= 1,321-22,575. Kesimpulan: Pemakaian AC merupakan faktor risiko terjadinya disfungsi tubapada penderita rinitis alergi persisten. Kata kunci: rinitis alergi persisten, disfungsi tuba, timpanometri
Gangguan pendengaran sensorineural pada gagal ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis Muyassaroh Muyassaroh; Loriana Ulfa
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 43, No 2 (2013): Volume 43, No. 2 July - December 2013
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (127.195 KB) | DOI: 10.32637/orli.v43i2.74

Abstract

Latar belakang: Etiologi gangguan pendengaran sensorineural (Sensorineural Hearing Loss/SNHL) yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis (GGK) dan hemodialisis masih kontroversi. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah perubahan osmotik yang mengakibatkan hilangnya sel-sel rambut, kolaps ruang endolimfatik, edema dan atrofi sel-sel penunjang, serta kemungkinan paparan dari membran selulose asetat dari dializer yang digunakan menyebabkan produk degradasi asetat masuk ke aliran darah. Tujuan: Kasus ini diajukan untuk mengilustrasikan kejadian kurang pendengaran sensorineural dapat diakibatkan oleh GGK dan/ataupenatalaksanaannya (hemodialisis). Kasus: Dilaporkan dua kasus kurang pendengaran terkait dengan GGK yang dilakukan hemodialisis. Satu kasus usia 53 tahun mengalami SNHL bilateral berat setelah 26 sesi dan satu kasus usia 54 tahun mengalami tuli campur (mixed hearing loss = MHL) bilateral setelah 14 sesi. Penatalaksanaan: Pemasangan alat bantu dengar (ABD) dan hemodialisis. Satu kasus pendengaran lebih jelas dengan pemakaianABD satu kasus tidak ada perubahan. Kesimpulan: Kurang pendengaran pada kedua kasus yang dilaporkan ini kemungkinan disebabkan akibat hemodialisis.Kata kunci: Gangguan pendengaran sensorineural, gagal ginjal kronis, hemodialisis.