Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : Kultivasi

Pupuk anorganik sebagai alternatif media untuk pertumbuhan eksplan nilam (Pogostemon cablin Benth) kultivar Sidikalang dan Tapaktuan secara in-vitro Amien, Suseno; Wiguna, M. F.
Kultivasi Vol 15, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Pertanian UNPAD

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.867 KB)

Abstract

Kultur jaringan selama ini dipahami oleh sebagian masyarakat merupakan suatu teknologi yang mahal, terutama dalam menyediakan bahan kimia untuk media. Hasil percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa percobaan dengan media pupuk anorganik dapat digunakan sebagi  media tanam in-vitro. Namun media tersebut belum diteliti secara rinci manfaatnya untuk tanaman nilam. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh media pupuk anorganik yang sesuai untuk pertumbuhan kultivar nilam (Pogostemon cablin Benth) Sidikalang dan Tapak Tuan. Penelitian dilakukan di laboratorium teknologi kultur jaringan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dari bulan Mei sampai Agustus 2010. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan dua faktor perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Faktor pertama adalah kultivar nilam (n) yang terdiri dari dua taraf yaitu kultivar Sidikalang (n1) dan Tapak-tuan (n2). Faktor kedua adalah media yang digunakan (m), terdiri dari lima taraf yaitu media MS (m1), Gandasil (m2), Growmore (m3), Hyponex (m4) dan Vitabloom (m5).Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara kultivar dan media untuk karakter waktu pem-bentukan tunas, tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan bobot basah plantlet. Media MS dibandingkan dengan empat media pupuk anorganik yang diuji merupakan media  terbaik untuk karakter jumlah daun dengan rata-rata 28 buah, tinggi tunas dengan rata-rata 2,25 cm dan bobot basah plantlet dengan rata-rata 0,69 g. Media hyponex menunjukkan pengaruh terbaik untuk karakter jumlah akar dengan rata-rata 56 cm dan panjang akar dengan rata-rata 1,85 cm. Kata kunci :  Nilam ∙ Kultur jaringan ∙ Media pupuk anorganik ∙ Planlet 
Keragaan tiga jenis planlet anggrek Phalaenopsis asal Protocorm yang diinduksi Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) secara in vitro Romiyadi, Romiyadi; Komariah, Ai; Amien, Suseno
Kultivasi Vol 17, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Pertanian UNPAD

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1018.873 KB)

Abstract

Abstract. This research was conducted to determine the effect of concentration of Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) to performance of three types of Phalaenopsis Planlets and to know the optimum concentration of EMS on any type of Phalaenopsis orchids. The experiment was conduc-ted at Tissue Culture Laboratory of the Faculty of Agriculture, Winaya Mukti University, Sumedang. It used a completely randomized design (CRD) with factorial pattern, that consisted of two factors and replicated twice.The first factor was the type of Phalaenopsis that resulted form hybridization which consisted of v1 (Phalaenopsis 717 X Phalae-nopsis Fire Bird), v2 (Phalaenopsis Tianong Rose X Sibling), and v3 (Phalaenopsis Luchia Pink X Phalae-nopsis Chain Xen Mammon). The second factor was the concentration of EMS that consisted of e0 (0% EMS/control), e1 (0,05% EMS), e2 (0,10% EMS), e3 (0,15% EMS), e4 (0,20% EMS), and e5 (0,25% EMS). Explant protocorm of three types of Phalae-nopsis soaked in a solution of EMS by each treat-ment for 3 hours, and cultured on MS medium Basal Modified Multiplication Shoot for 10 weeks. The experimental results showed that there are interaction between the three types of Phalae-nopsis result of a cross with a concentration of EMS to variable number of roots. Orchids P. 717 X P. Fire Bird had higher  number of leaves, number of roots, leaf leang, and root length than the other. The result showed that there were interaction between three species of Phalaenopsis orchid from the crossing with EMS concentration on root variables. Orchid P. 717 X P. Fire Bird has the number of leaves, the number of roots, the number of shoots, leaf length and root length better than other types. EMS concentrations independently at all levels of treatment can not increase the number of leaves, the number of roots, fresh weight of planlet, leaf length, and root length.Keywords: Phalaenopsis, the concentration of EMS, in vitro cultureSari. Penelitian ini mempelajari dan mengetahui pengaruh konsentrasi Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) terhadap keragaan planlet tiga jenis anggrek Phalaenopsis asal protocorm dan mencari konsentrasi optimum EMS untuk setiap jenis anggrek Phalae-nopsis secara in vitro.Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti Sumedang. Eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial, yang terdiri atas dua faktor dan diulang sebanyak dua kali.Faktor pertama adalah jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan yang terdiri atas tiga jenis, yaitu v1 (Phalaenopsis 717 X Phalaenopsis Fire Bird), v2 (Phalaenopsis Tianong Rose X Sibling), dan v3 (Phalaenopsis Luchia Pink X Phalaenopsis Chain Xen Mammon). Faktor kedua adalah EMS yang terdiri atas enam taraf perlakuan, yaitu e0 (0% EMS/kontrol), e1 (0,05% EMS), e2 (0,10% EMS), e3 (0,15% EMS), e4 (0,20% EMS), dan e5 (0,25% EMS). Eksplan berupa protocorm dari tiga jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan yang direndam dalam larutan EMS berdasarkan masing-masing perlakuan selama 3 jam, dan dikulturkan pada media MS Modified Multiplication Shoot Basal selama 10 minggu.Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara tiga jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan dengan konsentrasi EMS terhadap variabel jumlah akar.Anggrek P. 717 X P.Fire Bird memiliki jumlah daun, jumlah akar, jumlah tunas, panjang daun dan panjang akar yang lebih baik dibandingkan jenis lainnya. Konsentrasi EMS secara mandiri pada semua taraf perlakuan tidak dapat meningkatkan jumlah daun, jumlah akar, bobot segar planlet, panjang daun, dan panjang akar.Kata Kunci: Phalaenopsis, Konsentrasi EMS, dan Budidaya In Vitro
Keragaan tiga jenis planlet anggrek Phalaenopsis asal Protocorm yang diinduksi Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) secara in vitro Romiyadi Romiyadi; Ai Komariah; Suseno Amien
Kultivasi Vol 17, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1018.873 KB) | DOI: 10.24198/kultivasi.v17i1.16077

Abstract

Abstract. This research was conducted to determine the effect of concentration of Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) to performance of three types of Phalaenopsis Planlets and to know the optimum concentration of EMS on any type of Phalaenopsis orchids. The experiment was conduc-ted at Tissue Culture Laboratory of the Faculty of Agriculture, Winaya Mukti University, Sumedang. It used a completely randomized design (CRD) with factorial pattern, that consisted of two factors and replicated twice.The first factor was the type of Phalaenopsis that resulted form hybridization which consisted of v1 (Phalaenopsis 717 X Phalae-nopsis Fire Bird), v2 (Phalaenopsis Tianong Rose X Sibling), and v3 (Phalaenopsis Luchia Pink X Phalae-nopsis Chain Xen Mammon). The second factor was the concentration of EMS that consisted of e0 (0% EMS/control), e1 (0,05% EMS), e2 (0,10% EMS), e3 (0,15% EMS), e4 (0,20% EMS), and e5 (0,25% EMS). Explant protocorm of three types of Phalae-nopsis soaked in a solution of EMS by each treat-ment for 3 hours, and cultured on MS medium Basal Modified Multiplication Shoot for 10 weeks. The experimental results showed that there are interaction between the three types of Phalae-nopsis result of a cross with a concentration of EMS to variable number of roots. Orchids P. 717 X P. Fire Bird had higher  number of leaves, number of roots, leaf leang, and root length than the other. The result showed that there were interaction between three species of Phalaenopsis orchid from the crossing with EMS concentration on root variables. Orchid P. 717 X P. Fire Bird has the number of leaves, the number of roots, the number of shoots, leaf length and root length better than other types. EMS concentrations independently at all levels of treatment can not increase the number of leaves, the number of roots, fresh weight of planlet, leaf length, and root length.Keywords: Phalaenopsis, the concentration of EMS, in vitro cultureSari. Penelitian ini mempelajari dan mengetahui pengaruh konsentrasi Ethyl Methyl Sulfonate (EMS) terhadap keragaan planlet tiga jenis anggrek Phalaenopsis asal protocorm dan mencari konsentrasi optimum EMS untuk setiap jenis anggrek Phalae-nopsis secara in vitro.Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti Sumedang. Eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial, yang terdiri atas dua faktor dan diulang sebanyak dua kali.Faktor pertama adalah jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan yang terdiri atas tiga jenis, yaitu v1 (Phalaenopsis 717 X Phalaenopsis Fire Bird), v2 (Phalaenopsis Tianong Rose X Sibling), dan v3 (Phalaenopsis Luchia Pink X Phalaenopsis Chain Xen Mammon). Faktor kedua adalah EMS yang terdiri atas enam taraf perlakuan, yaitu e0 (0% EMS/kontrol), e1 (0,05% EMS), e2 (0,10% EMS), e3 (0,15% EMS), e4 (0,20% EMS), dan e5 (0,25% EMS). Eksplan berupa protocorm dari tiga jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan yang direndam dalam larutan EMS berdasarkan masing-masing perlakuan selama 3 jam, dan dikulturkan pada media MS Modified Multiplication Shoot Basal selama 10 minggu.Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara tiga jenis anggrek Phalaenopsis hasil persilangan dengan konsentrasi EMS terhadap variabel jumlah akar.Anggrek P. 717 X P.Fire Bird memiliki jumlah daun, jumlah akar, jumlah tunas, panjang daun dan panjang akar yang lebih baik dibandingkan jenis lainnya. Konsentrasi EMS secara mandiri pada semua taraf perlakuan tidak dapat meningkatkan jumlah daun, jumlah akar, bobot segar planlet, panjang daun, dan panjang akar.Kata Kunci: Phalaenopsis, Konsentrasi EMS, dan Budidaya In Vitro
Pengaruh perlakuan ethyl methanesulphonate terhadap perkecambahan dan pertumbuhan kentang granola (biji) Hanifah Nuraeni Suteja; Neni Rostini; Suseno Amien
Kultivasi Vol 18, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.603 KB) | DOI: 10.24198/kultivasi.v18i1.19110

Abstract

Sari. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi pengaruh ethyl methanesulphonate (EMS) terhadap pertumbuhan tanaman kentang Granola dari biji botani dan memperoleh konsentrasi efektif untuk mendapatkan mutan berdaya hasil tinggi. Percobaan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan di laboratorium kultur jaringan BALITSA, Lembang, yang terdiri dari tahap perlakuan EMS pada biji dengan konsentrasi  0,01%; 0,03%; 0,05%; 0,07%; 0,10%; 0,13%; 0,15%; 0,17%; dan 0,20%; selama 3 dan 6 jam, penanaman biji pada media kultur MS, perbanyakan planlet dan pengamatan planlet. Tahap kedua dilakukan di rumah kasa di Pangalengan yang terdiri dari tahapan aklimatisasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 14 perlakuan EMS yang diulang 3 kali dan pengamatan pertumbuhan tanaman. Hasil menunjukkan bahwa EMS menyebabkan penurunan pada daya kecambah. Pengamatan pertumbuhan di rumah kasa menunjukkan tinggi tanaman, jumlah daun, indeks kandungan klorofil, dan berat ubi pertanaman hasil perlakuan memiliki hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Konsentrasi EMS 0,07% dengan perendaman 3 jam dan konsentrasi 0,01% dengan perendaman 6 jam menghasilkan genotipe 3D12 dan 6A8 yang memiliki hasil panen tinggi. Kata kunci: kentang, EMS, mutasi, pertumbuhan. Abstract. The aim of the study was to evaluate the effect of ethyl methanesulphonate (EMS) on true potato seed germination and growth of potato Granola also obtained effective concentrations of EMS to produce mutants with high yield. Experiment was conducted in two stages. The first stage was carried out in BALITSA tissue culture laboratory, Lembang which consisted of EMS treatment steps in seeds with concentrations of 0.01%, 0.03%, 0.05%, 0.07%, 0.10%, 0.13%, 0.15%, 0.17%, and 0.20% for 3 and 6 hour; seeds planting on MS culture media; planlet propagation and plantlets observations. The second stage was carried out in screen house in Pangalengan which consisted of acclimatization stages using a randomized block design with 14 EMS treatment repeated 3 times and observations of plant growth, and yield. The results showed that EMS caused a decrease in germination. Growth observation results at screen house showed plant height, number of leaves, chlorophyll content index, and weight of tubers from treatment had lower than controls. Treatment with 0.07% EMS concentration for 3 hours and 0.01% consentration for 6 hours produced 3D12 and 6A8 mutan genotypes which had high yields.  Keywords: potato, EMS, mutation, growth.
Multiplikasi cepat tunas tiga aksesi stevia secara in vitro Suseno Amien; Dion Nugraha Aji; Tuti Mamluatul
Kultivasi Vol 19, No 3 (2020): Jurnal Kultivasi
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kultivasi.v19i3.29468

Abstract

SariStevia (Stevia rebaudiana (Bertoni)) telah menjadi pelengkap untuk memenuhi kebutuhan bahan pemanis yang terus meningkat di Indonesia. Jumlah varietas unggul Stevia di Indonesia masih terbatas. Keterbatasan ini perlu diimbangi dengan metode perbanyakan yang cepat. Multiplikasi tunas merupakan salah satu metode dalam kultur jaringan yang dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan cepat bibit Stevia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh respon  aksesi-aksesi stevia  terhadap multiplikasi tunas stevia pada komposisi media berbeda. Penelitian telah dilaksanakan dalam dua tahap percobaan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang masing-masing terdiri atas dua faktor. Percobaan pertama terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah tiga aksesi stevia yakni aksesi Bogor, Garut dan Tawangmangu dan faktor kedua adalah jenis sitokinin yakni tanpa sitokinin (kontrol), Zeatin, Kinetin, TDZ, 2-IP dan BA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesi Stevia Garut  memberikan respon paling baik dalam multiplikasi tunas dan  BA merupakan jenis sitokinin yang paling efektif untuk multiplikasi tunas  pada media DKW. Konsentrasi BA 1 mgL-1 merupakan konsentrasi paling efektif dalam multiplikasi tunas stevia. Jumlah tunas yang dihasilkan 7,45 tunas. Aksesi Tawangmangu menunjukkan respon paling baik untuk  tinggi tunas dengan penambahan Zeatin 1,5 mg.L-1 dengan tinggi tunas rata-rata 8,2 cm. Pertumbuhan akar terbaik diperoleh dari media DKW  tanpa penambahan BA untuk aksesi Garut yaitu dengan rata-rata 10,52 akar.Kata kunci: Stevia, Aksesi, Benzyl Adenin, Multiplikasi, In vitro AbstractStevia (Stevia rebaudiana (Bertoni)) has become a complement to the growing demand for sweeteners in Indonesia. The number of superior varieties of Stevia in Indonesia is still limited. This limitation needs to be solved with a fast propagation method. Shoot multiplication is a method in tissue culture that can be used for rapid propagation of Stevia seeds. This study aims to obtain the response of stevia accessions to the multiplication of stevia shoots at different media compositions.  This research comprised two experiments arranged in completely randomized design with factorial pattern and two factors in each experiment. The first experiment, first factor was three accession of stevia, i.e. Bogor accession, Garut accession and Tawangmangu accession. The second factor was the use of cytokinins i.e. without cytokinins (control), Zeatin, Kinetin, TDZ, 2-IP and BA. The second experiment, second factor was concentration of Benzyl Adenine (BA) i.e. BA 0 mgL-1 (control), BA 0.15 mg L-1, BA 0.5 mgL-1, BA 1 mgL-1, BA 1.13 mgL-1 and BA 1.5 mgL-1. Each treatment was replied five times. The results showed that Stevia Garut accession gave the best response in shoot multiplication and BA was the most effective type of cytokinin for shoot multiplication on DKW media. The concentration of BA 1 mgL-1 is the most effective concentration in the multiplication of stevia shoots. The number of shoots produced was 7.45 shoots. Tawangmangu accession showed the best response to shoot height with the addition of Zeatin 1.5 mg.L-1 with an average shoot height of 8.2 cm. The best root growth was obtained from DKW media without the addition of BA for Garut accession with an average of 10.52 roots.Keywords: Stevia, Accession, Benzyl Adenin, Multiplication, In vitro
Pupuk anorganik sebagai alternatif media untuk pertumbuhan eksplan nilam (Pogostemon cablin Benth) kultivar Sidikalang dan Tapaktuan secara in-vitro Suseno Amien; M. F. Wiguna
Kultivasi Vol 15, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.867 KB) | DOI: 10.24198/kultivasi.v15i2.11961

Abstract

Kultur jaringan selama ini dipahami oleh sebagian masyarakat merupakan suatu teknologi yang mahal, terutama dalam menyediakan bahan kimia untuk media. Hasil percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa percobaan dengan media pupuk anorganik dapat digunakan sebagi  media tanam in-vitro. Namun media tersebut belum diteliti secara rinci manfaatnya untuk tanaman nilam. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh media pupuk anorganik yang sesuai untuk pertumbuhan kultivar nilam (Pogostemon cablin Benth) Sidikalang dan Tapak Tuan. Penelitian dilakukan di laboratorium teknologi kultur jaringan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran dari bulan Mei sampai Agustus 2010. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan dua faktor perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Faktor pertama adalah kultivar nilam (n) yang terdiri dari dua taraf yaitu kultivar Sidikalang (n1) dan Tapak-tuan (n2). Faktor kedua adalah media yang digunakan (m), terdiri dari lima taraf yaitu media MS (m1), Gandasil (m2), Growmore (m3), Hyponex (m4) dan Vitabloom (m5).Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi antara kultivar dan media untuk karakter waktu pem-bentukan tunas, tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan bobot basah plantlet. Media MS dibandingkan dengan empat media pupuk anorganik yang diuji merupakan media  terbaik untuk karakter jumlah daun dengan rata-rata 28 buah, tinggi tunas dengan rata-rata 2,25 cm dan bobot basah plantlet dengan rata-rata 0,69 g. Media hyponex menunjukkan pengaruh terbaik untuk karakter jumlah akar dengan rata-rata 56 cm dan panjang akar dengan rata-rata 1,85 cm. Kata kunci :  Nilam ∙ Kultur jaringan ∙ Media pupuk anorganik ∙ Planlet 
Effect of paclobutrazol on growth and root morphology of 12 crossed stevia in Vitro Suseno Amien; Qurrota Aini; Noladhi Wicaksana
Kultivasi Vol 21, No 2 (2022): Jurnal Kultivasi
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kultivasi.v21i2.39366

Abstract

AbstractStevia (Stevia rebaudiana Bertoni) is a low-calorie alternative sweetener. The superior varieties of Stevia in Indonesia are limited. Availability of seeds plays an important role in the Stevia plant breeding program for both the selection stage and the production of high-yielding varieties. Tissue culture is the best method of Stevia propagation, but the low adaptability of plantlets causes death in the acclimatization phase. The growth and root morphology of 12 crossbreed Stevia were evaluated. A Completely Randomized Design was used with factorial consisting of two factors were Stevia genotypes (STG1,7,8,10, SBG3,4,5,7,10, SGB2,3, and SBT11) and the plant growth regulator (PGR) concentration of Paclobutrazol (PBZ) (0.1, 0.5, and 1.0 ppm) and indole acetic acid (IAA) control (0.5 and 1 ppm). The results showed that the fastest shoot emergence time was SBT11 at 0.1 and 0.5 ppm PBZ media at 4 days after culture (DAC). The fastest root emergence time was SBG7 at 0.1 and 1 ppm PBZ media (8 DAC). The highest shoots were at 1 ppm IAA media (18 cm). The highest number of shoots was STG10 at 1 ppm PBZ and SBG3 at 0.5 ppm IAA (4 shoots). The highest number of internodes was SBG5 at 0.5 ppm IAA (25 internodes). The highest number of leaves was SBG3 at 0.5 ppm IAA (57 leaves). The highest number of roots was SGB2 at 0.5 ppm PBZ (5 roots). The greenest leaf color was SBG7 at 1 ppm PBZ media. The PBZ accelerated the emergence of shoots and roots and the number of roots.Keywords: Genotype, Interaction, in vitro, Paclobutrazol, Stevia. AbstrakStevia (Stevia rebaudiana Bertoni) merupakan sumber pemanis alternatif berkalori rendah. Varietas unggul Stevia di Indonesia terbatas. Ketersediaan bibit menjadi kunci dalam program pemuliaan tanaman Stevia baik untuk pada tahap seleksi maupun produksi varietas unggul. Kultur jaringan adalah metode perbanyakan Stevia terbaik, tetapi kemampuan adaptasi planlet yang rendah menyebabkan kematian pada fase aklimatisasi. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi pertumbuhan dan morfologi akar dari 12 Stevia hasil persilangan. Metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap faktorial dua faktor, yaitu genotipe Stevia (STG1,7,8,10, SBG3,4,5,7,10, SGB2,3, and SBT11) dan konsentrasi zat pengatur tumbuh paklobutrazol (PBZ) (0,1; 0,5; dan 1,0 ppm) serta indole acetic acid (IAA) sebagai kontrol (0,5 dan 1 ppm). Hasil penelitian menunjukkan waktu muncul tunas tercepat adalah SBT11 pada 0,1 dan 0,5 ppm PBZ pada 4 hari setelah tanam (HST). Waktu muncul akar tercepat adalah SBG7 pada 0,1 dan 1 ppm PBZ (8 HST). Tunas tertinggi diperoleh pada media 1 ppm IAA (18 cm). Jumlah tunas terbanyak diperoleh STG10 pada 1 ppm PBZ dan SBG3 pada 0,5 ppm IAA (4 tunas). Jumlah ruas terbanyak diperoleh SBG5 pada 0,5 ppm IAA (25 ruas). Jumlah daun terbanyak diperoleh SBG3 pada 0,5 ppm IAA (57 daun). Jumlah akar terbanyak diperoleh SGB2 pada 0,5 ppm PBZ (5 akar). Warna daun terhijau diperoleh SBG7 pada 1 ppm PBZ.Kata Kunci: Genotipe, Interaksi, in vitro, Paclobutrazol, Stevia.