Claim Missing Document
Check
Articles

CALON TUNGGAL PILKADA KURANGI KUALITAS DEMOKRASI Muhammad Anwar Tanjung; Retno Saraswati
Jurnal Yudisial Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v12i3.319

Abstract

ABSTRAKSecara filosofis pemilihan kepala daerah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk dipilih dan memilih dalam suatu proses pemilihan yang berlangsung secara demokratis. Faktanya terjadi peningkatan jumlah daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal. Penelitian ini membahas calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Menurut peneliti putusan Mahkamah Konstitusi perlu disikapi oleh pemangku kepentingan yang terlibat untuk tetap menjaga proses pemilihan ini berlangsung secara demokratis. Penelitian ini termasuk penelitian non-doktrinal. Fakta terkini pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal perlu dikawal sehingga pemilihan tetap berlangsung secara demokratis. Penelitian ini menyimpulkan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah memerlukan konstruksi hukum yang tepat (tidak dibiarkan terlepas) untuk menjamin demokrasi berjalan secara demokratis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Kerangka hukum harus menjamin pembatasan maksimal dukungan kursi calon kepala daerah yang diusung partai politik atau gabungan partai politik, sehingga dapat menghilangkan monopoli individu atau kelompok pemodal terhadap persyaratan dukungan calon kepala daerah.Kata kunci: pemilihan kepala daerah; calon tunggal; demokrasi. ABSTRACTPhilosophically, regional head elections are the implementation of people's sovereignty to be elected and vote in a democratic election process. There has been an increase in the number of regional elections with a single candidate. This research discusses the only candidate in the election of regional heads based on the Constitutional Court Decision Number 100/ PUU-XIII/2015. According to researchers, the decision of the constitutional court needs to be addressed by the stakeholders that involved keeping the election process going on democratically. This study is non-doctrinal research. The latest facts about the election of a regional head with a single candidate need to be guarded so that the polls will continue democratically. This research concludes that a single candidate in the local head election requires an appropriate legal construction (not left aside) to ensure democracy runs democratically after the Constitutional Court Decision Number 100/ PUU-XIII/2015. The legal framework must guarantee the maximum support limitation for regional head candidate seats that carried by political parties or the association to eliminate the monopoly of individuals or groups of financiers regarding the support requirements of local head candidates.Keywords: regional head election; single candidate; democracy.
Changing World Order, Student Movement and Radicalism Azis Andriansyah; Retno Saraswati; Irma Cahyaningtyas; Sukirno Sukirno
Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal) Vol 5, No 2 (2022): Budapest International Research and Critics Institute May
Publisher : Budapest International Research and Critics University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/birci.v5i2.4743

Abstract

The development of ideology influenced the Indonesian student movement from period to period. By looking at the history of the movement in Indonesia, we can see that students are the motor of the movement. Students become agents of change who can change the direction of a change, bring down the ruling regime and create regime change. This paper tries to see the influence of the world order on the student movement. How does a foreign policy or an ideology spread and enter Indonesia? This paper looks at the student movement since the ethical politics that developed in the Netherlands led the Dutch to establish high schools and thus start the Indonesian student movement. Then how do these student movements continue to develop so that, in the end, youth have an essential role in realizing Indonesian independence? Do not stop until the achievement of independence. The student movement tried to realize the ideals of Indonesia through various criticisms of various regimes. In the end, this paper looks at how the existence of the internet and globalization affect the student movement. This research shows that changing times can spread ideas. The spread of this idea is getting faster and unstoppable in the age of information technology. Therefore at this time, good ideologies and destructive ideologies such as radicalism can spread without being seen by the eye. Currently, various stakeholders need various efforts to direct students so that they do not fall into radicalism.
The Fulfillment of Rights to Citizenship for Migrant Worker Deportees in Nunukan District Muh. Afif Mahfud; Kadek Cahya Susila Wibawa; Lita Tyesta ALW; Retno Saraswati
LAW REFORM Vol 18, No 1 (2022)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (688.554 KB) | DOI: 10.14710/lr.v18i1.44655

Abstract

Rights to Citizenship must be protected because it is the basis to be able to access the other rights. Rights to citizenship of migrant workers in Nunukan District is potentially expired and lost if they do not renew their passports. The same case may occur with illegal migrant workers who stay for 5 years abroad. This article aims to analyze the potential of stateless person in Nunukan District, the effort made by the government to handle the issue, and the ideal construction of legal protection for stateless person. This study applied socio legal approach using primary and secondary data which were collected through interview, observation, and in depth interview. Those data then were analyzed qualitatively. Based on the analysis, it is concluded that: (1) the potential of being stateless person in Nunukan District occurred in migrant workers whose passports were expired for more than 5 years, irregular migrant workers who stayed abroad for more than five years, the descendants or children of migrant workers who were born and were raised in Malaysia; (2) the government prevents the occurrence of stateless person: (a) integrated management of handling migrant workers; (b) sweeping in order to prevent irregular migrant workers; (c) simplifying the issuance of Letter of Arrival of Indonesian Citizen (SKDWNI) and Letter of Overseas Arrival (SKDLN); (3)ideal construction of the protection of right to citizenship  for migrant workers is the extension of the scope of migrant workers protection agreement, and the placement of Citizenship and Civil Record Agency officers in order to make the paperwork handling of citizenship document easier.
Politik Hukum Penghapusan Hak Gugat Administratif Pada Persetujuan Lingkungan dalam Sistem Hukum Nasional Moch Gandi Nur Fasha; Retno Saraswati
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 4, Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jphi.v4i2.256-279

Abstract

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi benturan regulasi hukum dalam sistem hukum nasional adalah membentuk omnibus law Cipta Kerja. Implementasi berlakunya omnibus law Cipta Kerja menimbulkan persoalan, yakni hapusnya hak gugat administratif lingkungan. Upaya hukum administratif lingkungan merupakan upaya preventif hukum dalam mencegah sekaligus meminimalisir pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Tulisan ini bermaksud membahas mengenai arah serta karakter daripada politik hukum penghapusan hak gugat administratif pada persetujuan lingkungan dalam sistem hukum nasional. Hasil penelitian menunjukan Arah politik hukum penghapusan hak gugat administratif pada persetujuan lingkungan dalam sistem hukum nasional bertentangan dengan norma hukum Konstitusi Negara Republik Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup serta tidak mencapai nilai keadilan. Karakter politik hukum penghapusan hak gugat administratif pada persetujuan lingkungan dalam sistem hukum nasional adalah hukum konservatif/ortodok.
Tinjauan Perspektif Hukum Mengenai Efektifitas Pemberian Kartu Nelayan dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Devina Ayu Dayang Ruby; Retno Saraswati
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jphi.v3i3.384-395

Abstract

Kartu Nelayan merupakan syarat utama agar nelayan dapat mengakses program yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Program Asuransi Nelayan, Program SeHAT Nelayan, Pemberian Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan, Pemberian BBM bersubsidi dan Permodalan yang bekerjasama dengan pihak perbankan. Adanya perbedaan jam kerja antara Nelayan dan Dinas Perikanan berakibat tidak optimalnya efektifitas dari Kartu Nelayan. Penelitian dilakukan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan studi kepustakaan untuk mengetahui efektifitas dari kehadiran Kartu Nelayan serta hambatan apa saja yang menjadi kendala pengoptimalannya. Pelaksanaan Kartu Nelayan sesuai dengan tujuannya yakni menjadi instrumen bagi pemerintah untuk dapat menyalurkan bantuan kepada nelayan. Kesejahteraan bagi nelayan pemegang Kartu Nelayan sudah meningkat, namun banyak pula nelayan yang belum memegang Kartu Nelayan karena kurangnya kesadaran para nelayan akan pentingnya memiliki Kartu Nelayan. Adanya kenaikan jumlah pemilik Kartu Nelayan hingga Bulan November menunjukan bahwa regulasi sudah terakomodir dengan baik. Hambatan utama yang dihadapi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan yakni lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum di laut, serta Sumber Daya manusia yang belum terlatih dalam pengoperasian komputer untuk menginput data nelayan dan kapal.
TUGAS KEPALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA BERDASAR UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI DESA KENTONG KECAMATAN CEPU KABUPATEN BLORA Adinda Dwi Meilian; Amalia Diamantina; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.995 KB)

Abstract

Tugas Kepala Desa dalam pembangunan desa di Desa Kentong diharapkan dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Kepala Desa dala pembangunan desa di Desa Kentong Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, selain itu juga untuk mengetahui faktor penghambat dan juga upaya yang dilakukan Kepala Desa Kentong dalam menghadapi hambatan tersebut. Jenis penelitian yang digunakan penulis ialah kualitatif yaitu suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum yang didapat dilapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah studi kepustakaan dengan meneliti data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas Kepala Desa dalam pembangunan desa di Desa Kentong sudah dilaksanakan cukup baik seperti Kepala Desa melakukan pembangunan pujasera yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kentong. Hal ini dapat dilihat dari aspek perencanaan yang selalu melibatkan masyarakat setempat untuk bermusyawarah mengenai rencana pembangunan yang akan dilakukan, aspek pelaksanaan selalu melibatkan masyarakat untuk gotong royong melaksanakan pembangunan, serta aspek pengawasan dan pemantauan.
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN (TANAH KERING) DI DESA BRINGIN, KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN PURWOREJO Ria Ayu Novita*, Agung Basuki Prasetyo, Suparno
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 2 (2017): Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (722.807 KB)

Abstract

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian meski telah diatur dalam undang-undang, masih banyak perjanjian yang dilakukan tidak berdasarkan dengan undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dan faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab masih digunakannya hukum adat dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa seluruh pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo dilakukan secara lisan. Mengenai hasil pembagian sebagian menggunakan sistem “maro” atau 1 : 1. Sedangkan untuk tanaman buah jeruk hasil pembagiannya adalah “mertelu” atau 1 : 3. Masyarakat tidak mengetahui adanya undang-undang perjanjian bagi hasil. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian masih sulit untuk diterapkan di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Terdapat beberapa faktor penyebab masih digunakannya hukum adat sebagai dasar pelaksanaan perjanjian bagi hasil yaitu faktor masyarakat, faktor kebudayaan, faktor pendidikan, faktor rasa saling percaya antar masyarakat yang masih tinggi, faktor fasilitas dan sarana, serta faktor kesadaran hukum yang masih rendah.
PERKEMBANGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD SERTA SEBAGAI KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH Kholifatul Maghfiroh; Lita Tyesta ALW; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 2 (2018): Volume 7 Nomor 2, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.994 KB)

Abstract

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk duduk dalam jabatan publik yang tersedia. Namun ternyata di dalam persyaratan yang diatur undang-undang, terdapat pembatasan bagi mantan narapidana seperti pada persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari hal tersebut, penulis bermaksud mengkaji perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan mantan narapidana serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2018. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian diskriptif analitis yaitu menguraikan untuk menggambarkan permasalahan yang ada dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan mantan narapidana dimulai dari Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007, Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015, Putusan Nomor 51/ PUU-XIV/2016 dan terakhir yaitu Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang menentukan syarat pencalonan mantan narapidana dikecualikan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik atau bagi mantan terpidana yang telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu telah dimasukannya ketentuan tersebut ke dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Sedangkan pada undang-undang tentang pemilihan kepala daerah belum dilakukan perubahan mengenai syarat tersebut.
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XIV/2016 TERHADAP DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI KABUPATEN TEGAL Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.; Ratna Herawati; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.622 KB)

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIV/2016 mempertegas agar pengelolaan pendidikan dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Lampiran Angka 1 Huruf A Nomor 1 disebutkan bahwa pendidikan menengah adalah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sehingga, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi berwenang mengurusi pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Pengelolaan pendidikan menengah di wilayah Kabupaten Tegal sendiri sebelumnya merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Tegal, namun saat ini telah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ditunjukkan dengan adanya Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) yang terletak di Pekalongan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Bagi Pemerintah Daerah, anggaran pendidikan dapat dialokasikan dan dioptimalkan ke tingkat pendidikan lain. Bagi lembaga pendidikan yaitu munculnya beberapa kebijakan yang kurang sesuai dan pengalihan data-data serta aset yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Selanjutnya bagi masyarakat, yaitu masyarakat dapat lebih diuntungkan karena dana yang dialokasikan untuk pendidikan nonformal lainnya akan lebih banyak, namun hal ini juga dapat menimbulkan kerugian berupa kerancuan dan kesalahpahaman masyarakat terhadap aturan yang berubah-ubah.
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XIV/2016 TERHADAP DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI KABUPATEN TEGAL Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.; Ratna Herawati; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.622 KB)

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIV/2016 mempertegas agar pengelolaan pendidikan dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Lampiran Angka 1 Huruf A Nomor 1 disebutkan bahwa pendidikan menengah adalah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sehingga, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi berwenang mengurusi pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Pengelolaan pendidikan menengah di wilayah Kabupaten Tegal sendiri sebelumnya merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Tegal, namun saat ini telah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ditunjukkan dengan adanya Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) yang terletak di Pekalongan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Bagi Pemerintah Daerah, anggaran pendidikan dapat dialokasikan dan dioptimalkan ke tingkat pendidikan lain. Bagi lembaga pendidikan yaitu munculnya beberapa kebijakan yang kurang sesuai dan pengalihan data-data serta aset yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Selanjutnya bagi masyarakat, yaitu masyarakat dapat lebih diuntungkan karena dana yang dialokasikan untuk pendidikan nonformal lainnya akan lebih banyak, namun hal ini juga dapat menimbulkan kerugian berupa kerancuan dan kesalahpahaman masyarakat terhadap aturan yang berubah-ubah.