I Wayan Agus Vijayantera
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019 I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28594

Abstract

Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
PERUBAHAN BATAS UMUR MINIMAL MELANGSUNGKAN PERKAWINAN SEJAK DITERBITKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2019 I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8 No. 3 (2020): September, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jpku.v8i3.28606

Abstract

Perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan umur minimal wanita dengan pria yakni pada umur 19 tahun. Akibat hukumnya, seseorang yang telah dewasa atau berakhir haknya sebagai anak sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak, masih belum dapat menikmati haknya untuk melangsungkan perkawinan karena masih harus menunggu umurnya 19 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji secara mendalam mengenai latar belakang perubahan batas umur minimal melangsungkan perkawinan serta menganalisis tujuan hukum perubahan pembatasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Perubahan pengaturan batas umur minimal melangsungkan perkawinan dilakukan akibat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017. Pengaturan pembatasan umur minimal melangsungkan perkawinan dalam pembentukan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 hanya menyamakan kedudukan hukum untuk umur wanita dan pria, namun kurang memperhatikan keberadaan hukum yang sering digunakan sebagai indikator usia dewasa serta kurang memperhatikan keberadaan Program Pendewasaan Usia Perkawinan yang telah disosialisasikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PENGUATAN PERAN SEKAA TERUNA DI DESA ADAT KUTA UNTUK PERLINDUNGAN TRADISI MEDELOKAN PENGANTEN Ni Komang Ratih Kumala Dewi; I Wayan Agus Vijayantera; Putu Sekarwangi Saraswati
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 4 No 1 (2018): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v4i1.13661

Abstract

Sekaa teruna merupakan organisasi kepemudaan yang ada di Bali yang berada di masing-masing banjar pada desa adat di Bali. Organisasi sekaa teruna memiliki sebuah tradisi yang sejak dahulu dilaksanakan yakni tradisi medelokan penganten. Tradisi ini dilakukan organisasi sekaa teruna sebagai implementasi konsep Tri Hita Karana yakni menjaga hubungan baik antara sesama manusia (pawongan). Pola hidup masyarakat di Desa Adat Kuta yang semakin berkembang dalam sektor pariwisata serta gaya hidupnya akibat masuknya berbagai wisatawan ke daerah Kuta, dapat mengakibatkan indikasi berkurangnya peran organisasi sekaa teruna di Desa Adat Kuta dalam menjaga tradisi medelokan penganten, sehingga hal ini menarik untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif dengan menyoroti berbagai masalah terkait dengan tradisi medelokan penganten di Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, serta penguatan peran sekaa teruna guna menjaga tradisi medelokan penganten. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi medelokan penganten merupakan tradisi bagi sekaa teruna yang sangat penting untuk dilestarikan. Kendala utama pelestarian tradisi medelokan penganten yakni kurangnya pemahaman pemuda dalam sekaa teruna terkait melaksanakan tradisi medelokan penganten. Peran sekaa teruna dirasakan perlu juga untuk dilakukan penguatan dengan hukum adat baik berupa awig-awig maupun pararem sehingga peran sekaa teruna semakin kuat untuk menjaga tradisi medelokan penganten.  
KEGAGALAN MENGEMBALIKAN RUMAH DALAM KEADAAN YANG BAIK PADA PERJANJIAN SEWA MENYEWA RUMAH I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Komunikasi Hukum Vol 5 No 1 (2019): Jurnal Komunikasi Hukum
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jkh.v5i1.16756

Abstract

 Sewa menyewa rumah merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan setiap orang atas tempat tinggal. Pada sewa menyewa rumah tentu mengharapkan terjadi tanpa permasalahan baik dimulai dari kesepakatan para pihak hingga berakhirnya perjanjian sewa. Pada berakhirnya perjanjian sewa, terdapat permasalahan ketika penyewa gagal untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik. Berdasarkan hal tersebut, adapun tujuan penulisan adalah untuk menganalisis akibat hukum terhadap kegagalan penyewa untuk mengembalikan rumah yang disewa dalam keadaan yang baik, serta upaya hukum atas sengketa yang timbul akibat penyewa tidak bersedia memberikan ganti rugi. Pada pembahasan, akibat hukum yang timbul adalah kerugian pada pihak pemilik rumah akibat perbuatan penyewa yang digolongkan sebagai wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Tidak bersedianya penyewa untuk membayar ganti rugi mengakibatkan terjadinya sengketa. Upaya hukum untuk penyelesaian sengketa tersebut, perlu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan mengutamakan penyelesaian diluar pengadilan terlebih dahulu sebelum mengupayakan penyelesaian melalui pengadilan. Kata Kunci :sewa menyewa, akibat hukum, upaya hukum.
PERUNDINGAN BIPARTIT SEBAGAI LANGKAH AWAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL I Nyoman Jaya Kesuma; I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 2 No. 1 (2020): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The bipartite negotiation is the first attempt taken to resolve industrial relations problems that occur. Therefore it is interesting to conduct an in-depth analysis of the importance of conducting bipartite negotiations in the resolution of industrial relations disputes and the existence of collective agreements as a legal basis for implementing bipartite negotiation agreements. Bipartite negotiations as an initial effort to settle industrial relations disputes require good faith in the negotiation process, the formation of collective agreements, and the implementation of collective agreements. Carefulness and caution are also needed in the formulation of collective agreements so that agreement clauses not cause in losses or problems in implementation.
PERSYARATAN WAJIB UNTUK MELAKUKAN PERCERAIAN SEBAGAI UPAYA MENEGAKKAN ASAS MEMPERSUKAR TERJADINYA PERCERAIAN Siti Chomsiyah; I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 2 No. 2 (2020): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36733/jhshs.v2i2.1384

Abstract

Salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan adalah asas mempersukar terjadinya perceraian. Keberadaan asas mempersulit terjadinya perceraian adalah adanya kewajiban alasan untuk melakukan perceraian hingga proses perceraian wajib melalui pengadilan. Dalam pembahasannya, terdapat beberapa alasan hukum untuk melakukan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Wajib adanya alasan untuk melakukan perceraian diharapkan agar tidak mudah melakukan perceraian. Proses melakukan perceraian diwajibkan melalui prosedur penyelesaian melalui Pengadilan Negeri setempat yang tentunya mewajibkan adanya proses penyelesaian alternatif sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016. Proses melakukan perceraian dengan tahapan yang panjang mulai dari wajib melakukan penyelesaian secara mediasi hingga proses penyelesaian di Pengadilan memiliki harapan supaya para pihak berpikir kembali dan tidak jadi melakukan perceraian.
PEMBENTUKAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING SEBAGAI PENGEMBANGAN SISTEM PEMBELAJARAN DI MASA PANDEMI COVID-19 I Wayan Agus Vijayantera; Ni Komang Ratih Kumala Dewi
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 3 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36733/jhshs.v3i2.2959

Abstract

For educational institutions during the Covid-19 pandemic, in carrying out learning and developing learningsystems, they can collaborate with other institutions tobecome resource persons. This learning system can use a Memorandum of Understanding as a basis for cooperation. Based on this, it is interesting to conduct further studiesregarding thereasonsfortheneed to form a Memorandum of Understanding in implementing a cooperative-based learningsystem during the Covid-19 pandemi cand the methodof compiling a Memorandum of Understanding as a legal basis forworking together to carry outlearning during the Covid-19 pandemic. In the discussion, the Memorandum ofUnderstanding can be used for educational institutions to cooperate with other institutions in implementing an onlinelearning system by inviting the institutions they invite to cooperate as resourcepersons. A Memorandum of Understandingisused as a basis for cooperation because its for missimpleand its implementation is flexible depending on thecommunication of the parties regarding the conditions and technical implementation. With regard to drafting a Memorandum of Understanding, the anatomy of a Memorandum of Understanding is more or less the same as theanatomy of an agreement, only that its contents are simpleranddo not regulate in detail because a Memorandum ofUnderstanding is aninitial agreement which later needs to be followedup with a written or oral agreement. Bagi lembaga penyelenggara pendidikan pada masa pandemi covid-19 dalam melaksanakan pembelajaran serta mengembangkan sistem pembelajaran dapat bekerjasama dengan lembaga lain untuk menjadi narasumber. Sistem pembelajaran ini dapat menggunakan Memorandum ofUnderstanding sebagai landasan kerjasama. Berdasarkan hal tersebut, maka menarik untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai alasan dibutuhkannya membentuk Memorandum ofUnderstanding dalam melaksanakan sistem pembelajaran berbasis kerjasama di masa pandemi covid-19 serta Metode menyusun Memorandum of Understanding sebagai dasar hokum bekerjasama melaksanakan pembelajaran di masa pandemi covid-19. Pada pembahasan, Memorandum of Understanding dapat digunakan bagi lembaga pendidikan untuk bekerjasama dengan lembaga lain dalam melaksanakan sistem pembelajaran online dengan mengundang lembaga yang diajak bekerjasama menjadi narasumber. Memorandum of Understanding digunakan sebagai landasan kerjasama karena bentuknya simpel dan pelaksanaannya fleksibel tergantung pada komunikasi para pihak mengenai kondisi dan teknis pelaksanaannya. Berkenaan dengan menyusun Memorandum ofUnderstanding, anatomi dari Memorandum ofUnderstanding kurang lebih sama dengan anatomi perjanjian, hanya saja isinya lebih simpel dan tidak mengatur secara terperinci karena Memorandum ofUnderstandingmerupakan kesepakatan awal yang nantinya perlu ditindaklanjuti dengan perjanjian tertulis maupun lisan.
PEMBATASAN PELAKSANAAN KEGIATAN PAWIWAHAN PADA MASA PANDEMI COVID-19 DI BALI I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Aktual Justice Vol 6 No 2 (2021): Aktual Justice
Publisher : Magister Hukum Pascasarjana Univeristas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47329/aktualjustice.v6i2.660

Abstract

Pengaturan pembatasan pelaksanaan pawiwahan sebagaimana Surat Edaran Bersama Parisadha Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali dengan Majelis Desa Adat Provinsi Bali jika dianalisis pengaturannya tidak jelas dan bertentangan pula dengan Hak Asasi Manusia khususnya hak untuk melangsungkan perkawinan. Analisis permasalahan tersebut dilakukan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam pembahasannya, latar belakang terbitnya Surat Edaran Bersama tersebut adalah untuk menekan penyebaran virus varian delta Covid-19 di Bali yang saat ini angka kasus yang tertular cukup tinggi. Persoalan konflik norma yang terjadi antara Surat Edaran Bersama dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 terkait hak untuk melangsungkan perkawinan diselesaikan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Persoalan ketidakjelasan norma dalam pengaturan pelaksanaan pawiwahan dalam Surat Edaran Bersama dilakukan interpretasi norma dimana perlu adanya kejelasan bahwa pengaturan point a sifatnya menghimbau masyarakat sehingga tidak kontradiktif dengan pengaturan point b. Kata Kunci : Pembatasan, Pawiwahan, Covid-19.
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN PINJAMAN KOPERASI SIMPAN PINJAM PEDAGANG PASAR KAMBOJA PASAR BADUNG I Gusti Ngurah Made Suta Darma; I Wayan Agus Vijayantera
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 2 No. 1 (2022): EDISI APRIL
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.814 KB)

Abstract

Koperasi menepati kedudukan yang sangat terhormat dalam perekonomian Indonesia. Dengan adanya lembaga yang berbentuk koperasi seperti contoh Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung yang menghimpun dana dari para anggotanya kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada para anggota koperasi dan menimbulkan permasalahan yaitu Bagaimana pelaksanaan perjanjian pinjaman dan bagaimana proses penyelesaian yang dilakukan di Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung bila debitur wanprestasi. Skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum empiris, jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis dan pendekatan fakta. Hasil penelitian menyatakan bahwa jika nasabah mengajukan pinjaman maka nasabah harus meminta blanko pinjaman dan mengisi permohonan pinjaman, seksi simpan pinjam akan memperhitungkan pinjaman tersebut, formulir tersebut akan di ajukan kepada ketua koperasi untuk persetujuan, kemudian formulir yang telah disetujui ketua koperasi diberikan kepada bendahara koperasi untuk pencairan uangnya. Sedangkan penyelesaian kasus wanprestasi pada Koperasi Simpan Pinjam Pedagang Pasar Kamboja Pasar Badung dapat diselesaikan dengan cara non litigasi contohnya dengan cara Rescheduling, Reconditioning, Restructuring, Kombinasi, Penyitaan jaminan
REFLEKSI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM MEMILIH MEMORANDUM OF UNDERSTANDING SEBAGAI BENTUK LANDASAN KERJASAMA INSTITUSI I Wayan Agus Vijayantera; I Gusti Ngurah Anom
Jurnal Yusthima Vol. 2 No. 1 (2022): YUSTHIMA : Jurnal Prodi Magister Hukum FH Unmas Denpasar
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (657.252 KB)

Abstract

Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bentuk landasan kerjasama yang biasa digunakan institusi. Tujuan penulisan ini untuk menganalisis konsep dan teknis pembentukan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama institusi, dan terkait refleksi dari asas kebebasan berkontrak atas dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama. Memorandum of Understanding (MoU) perlu dianalisis mengingat di sistem hukum di Indonesia tidak ada pengaturannya. Atas hal tersebut, maka perlu dianalisis permasalahan hukum tersebut menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil pembahasan terhadap permasalahan yakni Memorandum of Understanding (MoU) dapat digunakan sebagai landasan dalam melaksanakan kerjasama antar institusi dengan mekanisme ditindaklanjuti dengan perjanjian tertulis maupun lisan sebelum pelaksanaan aktivitas kerjasama yang menyangkut hak, kewajiban, dan sebagainya. Dipilihnya Memorandum of Understanding (MoU) sebagai landasan kerjasama antar institusi tentu merupakan cerminan dari asas kebebasan berkontrak terkait memilih bentuk landasan kerjasama sesuai dengan kebutuhan para pihak.