Ghina Faradisa Hatta
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga Pukovisa Prawiroharjo; Febriani Endiyarti; Zubairi Djoerban; R Sjamsuhidajat; Broto Wasisto; Frans Santosa; Rianto Setiabudi; Ghina Faradisa Hatta; Anna Rozaliyani
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.938 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.34

Abstract

Terdapat peningkatan prevalensi HIV/AIDS maupun jumlah pasien yang mendapatkan diagnosis HIV/AIDS di Indonesia. Sangat disayangkan, diagnosis ini seringkali dikaitkan dengan stigma bahwa penyakit ini menular secara seksual, walaupun banyak kasus yang tidak demikian adanya. Muncul pertanyaan yang sering menimbulkan konflik etis pada dokter, yakni apakah dokter boleh membuka diagnosis HIV pasiennya kepada pihak ketiga, antara lain pihak perusahaan yang membiayai pemeriksaan, pihak asuransi yang membiayai pengobatan, atau pasangan dan keluarga. Tinjauan etik ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada sejawat dalam praktik seharihari terkait dilema etis ini. Secara umum, informasi medis terkait HIV/AIDS dapat diberikan kepada pihak ketiga sesuai yang diperbolehkan UU seperti atas kemauan pasien sendiri, demi kebaikan kesehatan pasien, atas perintah pengadilan, atau dalam situasi dilema etis dengan argumentasi nilai etis keadilan untuk membuka informasi lebih tinggi dibandingkan nilai etis menghargai otonomi pasien, yakni demi mencegah penularan.
Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif Pukovisa Prawiroharjo; Ghina Faradisa Hatta; Anna Rozaliyani; Fadlika Harinda; Prijo Sidipratomo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (141.621 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v4i1.40

Abstract

Ketika perlakuan dokter dalam konteks layanan kesehatan tidak memenuhi ekspektasi pasien/keluarganya, maka komplain akan muncul. Tidak jarang terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan pertimbangan klinis yang melatarbelakangi perlakuan dokter terhadap pasien. Dalam konteks emergensi, pemusatan perhatian tenaga kesehatan untuk menangani komplain dapat membawa risiko tambahan terhadap pasien yang membutuhkan penanganan gawat darurat. Untuk itu, manajemen rumah sakit perlu untuk membentuk tim khusus penanganan komplain. Dalam menangani komplain, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan terlebih dahulu sebelum memberikan respons, mengingat komplain adalah sarana evaluasi pelayanan yang baik.
Tinjauan Etik Pembukaan Rahasia Medis dan Identitas Pasien pada Situasi Wabah Pandemi COVID-19 dan Kaitannya dengan Upaya Melawan Stigma Pasien Positif Rulliana Agustin; Anna Rozaliyani; Ghina Faradisa Hatta; Pukovisa Prawiroharjo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26880/jeki.v4i2.46

Abstract

Surveilans kesehatan masyarakat merupakan hal dasar yang perlu dilaksanakan pada kejadian wabah penyakit menular. Akan tetapi, pembukaan rahasia medis yang dikumpulkan pada kondisi wabah (termasuk nama, alamat, diagnosis, riwayat keluarga, dan sebagainya) tanpa persetujuan pasien dapat berisiko bagi individu yang bersangkutan. Penanganan data tersebut perlu dilakukan secara hati-hati karena individu terkait dapat menghadapi stigmatisasi maupun diskriminasi bila informasi terkait dirinya, terutama data dengan hasil tes positif, bocor ke publik. Maka dari itu, pengaturan dan panduan penggunaan pembukaan rahasia medis dalam kondisi wabah penyakit menular memerlukan pendalaman etik yang baik. Terdapat beberapa peraturan dan panduan yang mengatur kerahasiaan pasien dalam kondisi wabah. Regulasi hukum serupa pun juga ditemukan pada negara lainnya, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia Pukovisa Prawiroharjo; Putri Dianita Ika Meilia; Ghina Faradisa Hatta
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.842 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v4i1.41

Abstract

Sikap dan perilaku pasien terhadap berita buruk, misalnya diagnosis penyakit terminal ataupun kondisi medis buruk lainnya, harus ditangani secara khusus. Di balik kewajiban dokter untuk bersikap jujur dan mengedepankan autonomy pasien, prinsip etik beneficencedan non-maleficence menjadi pertimbangan dalam penahanan sebagian atau seluruh informasi yang dapat melemahkan psikis atau sik pasien. Selain itu, budaya patrilineal dan matrilineal di Indonesia yang masih kental juga mempengaruhi keluarga pasien saat turut serta membuat keputusan atas kondisi medis pasien. Prima facie dalam masalah ini perlu ditinjau dengan mempertimbangkan faktor budaya, kondisi sik dan psikis pasien, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menjadi pilar dari pertimbangan etik kedokteran di Indonesia.
Tinjauan Etik Penentuan dan Pola Koordinasi Dokter Penanggungjawab Pelayanan (DPJP) pada Layanan Medis Multidisiplin Pukovisa Prawiroharjo; Anna Rozaliyani; Ghina Faradisa Hatta; Mohammad Baharuddin
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.483 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v4i1.42

Abstract

Perawatan pasien yang melibatkan banyak disiplin ilmu dan perjumpaan dokter-pasien yang terpisah-pisah berpotensi menimbulkan perbedaan pendekatan dan rekomendasi antardokter. Kondisi ini dapat menyebabkan kebingungan pasien dan tumpang tindih dalam tatalaksana pasien. Prinsip layanan medis mencakup patient-centered care dan layanan berkesinambungan (continuity of care). Ketimpangan prinsip etik dapat dijumpai dalam layanan medis multidisiplin meliputi prinsip etik beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice. Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali tujuan dasar pelayanan medis multidisiplin, serta potensi ketimpangan dalam praktiknya.
Tinjauan Etik Layanan Konsultasi Daring dan Kunjungan Rumah Berbasis Aplikasi Pukovisa Prawiroharjo; Julitasari Sundoro; Jonathan Hartanto; Ghina Faradisa Hatta; Ali Sulaiman
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (170.502 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.33

Abstract

Teknologi digital telah merambah berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah jasa layanan kedokteran berbasis aplikasi di gawai baik berupa konsultasi kedokteran maupun fasilitasi kunjungan rumah oleh dokter. Berbagai keuntungan dan kenyamanan dirasakan oleh pasien yang menggunakan layanan ini. Namun, layanan ini memerlukan berbagai adaptasi terutama dalam pertimbangan etik dan regulasi. Perusahaan aplikasi sebagai pihak ketiga dan penyedia layanan, seyogyanya juga mengambil tanggungjawab sebagai “fasilitas layanan kesehatan daring” termasuk menjaga rekam medik, mengelola komplain hingga sengketa medik, serta memiliki tata kelola organisasi layaknya fasilitas layanan kesehatan pada umumnya. Dokter yang menjadi subyek layanan perlu mawas diri dari kekeliruan dalam memberikan simpulan dan konsultasi, terlebih dalam memberikan resep obat. Terutama jangan sampai penyakit yang berpotensi mengakibatkan kematian atau kecacatan tidak teridentifikasi. Pemberian saran dan motivasi kepada masyarakat yang menjadi klien pengguna layanan untuk melanjutkan upaya diagnosis dan penanganan lebih lanjut ke fasilitas layanan kesehatan harus senantiasa dilakukan. Izin praktek dokter perlu diregulasi khusus sehingga dokter yang menjadi subyek layanan terlindung dari aspek hukum administratif. Pemerintah bersama organisasi profesi perlu meregulasi proses-proses yang berkaitan dengan perwujudan hal-hal tersebut.
Korteks Prefrontal pada Kelompok Remaja Adiksi Pornografi Lebih Kecil dibandingkan Remaja Tanpa Adiksi Pornografi Pukovisa Prawiroharjo; Rizki Edmi Edison; Hainah Ellydar; Peter Pratama; Sitti Evangeline Imelda Suaidy; Nya'Zata Amani; Diavitri Carissima; Ghina Faradisa Hatta
NEURONA Vol 39 No 4 (2022): Vol 39 No 4 (2022)
Publisher : PERDOSNI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Background and aims: Increasing popularity of Internet has exposed our children pornography addiction. As in other types of addiction, it affects a brain region known as prefrontal cortex (PFC), which is important in executive functions and inhibitory control. However, this region was loosely defined, and there was no consensus for that definition. We aimed to use volumetric MRI in finding the defining region of PFC which would be suitable in distinguishing pornography addicted juveniles. Methods: We enrolled 30 juveniles (12-16 y.o.) consisting of 15 pornography addiction and 15 non-addiction subjects. We proposed several models of PFC definition from mix-and-matched subregions, consisting of orbitofrontal (OFC), inferior frontal gyrus (IFG; pars orbitalis, opercularis, and triangularis), dorsolateral PFC (DLPFC), and anterior cingulate (ACC). Suitable PFC definition was defined as models which volume statistically different between both groups. Brain volumetric was measured using 3D-T1 3T MRI images and analyzed using FreeSurfer® for automatic cortical reconstruction and brain segmentation (recon-all command). Results: We found significant differences between groups in 6 models, which mainly included OFC, ACC, and DLPFC, with models devoid of DLPFC had lowest mean differences. Conclusion: The most suitable definition of PFC for pornography addiction study should consist of OFC, ACC, and especially DLPFC. Inferior frontal gyrus pars orbitalis was not necessary for this purpose, but may increase effect size if it is included.