Pukovisa Prawiroharjo
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Published : 30 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

High blood pressure tends to increase carotid intima-media thickness in adult females Imran, Yudhisman; Prawiroharjo, Pukovisa; Mawi, Martiem
Universa Medicina Vol 35, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2016.v35.135-142

Abstract

BackgroundAtherosclerosis is initiated by endothelial dysfunction, as a result of increasing degradation of nitrit oxide by reactive oxygen species, thereby increasing oxydative stress. Dyslipidemia is one of the risk factors of endothelial dysfunction. The aim of this study was to evaluate the relationship of blood pressure and serum lipid level with carotid intima-media thickness (CIMT) in subjects aged between 55-65 years.MethodsA cross sectional study was carried out in 52 male and female subjects aged between 55-65 years. Age, gender, body mass index (BMI), blood pressure, lipid profile, and CIMT were assessed in all subjects. The independent t-test was used to to analyze the relationship between all variables and CIMT. The level of statistical significance was set at p<0.05ResultsMean age was 59.19 ± 3.68 years, prevalence of thickened CIMT was 66.5%, and plaques were found in 9 subjects. There wwre no significant differences in age, BMI, systolic and diastolic blood pressure, and lipid profile between normal and thickened CIMT (p>0.05). However, there was a significant difference in gender between the two groups (p=0.011). In females, mean systolic and diastolic blood pressure were higher in the thickened CIMT group than in the normal CIMT group, but the difference was not significant (p>0.05). ConclusionsOur findings suggest that high blood pressure tends to increase CIMT in female adults. An increasing value of CIMT should be considered as a sign of cerebrovascular disease.
Sikap Etis Dokter terhadap Pasien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine Frans Santosa; Agus Purwadianto; Prijo Sidipratomo; Peter Pratama; Pukovisa Prawiroharjo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.459 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.16

Abstract

Saat ini, internet telah banyak menyajikan informasi tentang kedokteran dan kesehatan. Di satu sisi informasi yang tersaji berupa penemuan-penemuan baru dan keberhasilan ilmu kedokteran di bidang eksperimen, operatif, invasif, maupun konservatif, yang sangat berguna bagi dokter dalam menjalankan profesinya untuk menolong pasien dan membantu edukasi awam kepada pasien. Namun di sisi lain, informasi ini tidak dapat dipilih dan dipilah dengan baik oleh awam sehingga salah satunya melahirkan banyaknya pasien yang berusaha "mendiagnosis" dirinya sendiri, bahkan menterapi dirinya sendiri. Jenis pasien demikian semakin banyak, dan di tengah usaha coba-coba mereka mendiagnosis dan menterapi diri sendiri, mereka pergi ke dokter untuk meminta obat sebagaimana yang ia baca di internet untuk diresepkan atau bahkan lebih jauh lagi, dapat menyanggah diagnosis dan pendapat profesional dokter yang menangani. Diperlukan sikap etis dokter untuk dapat menghargai pasien sekaligus meluruskan dengan terang dan tegas terhadap informasi keliru yang dipercaya pasien.
Tinjauan Etik Penyampaian Diagnosis HIV/AIDS pada Pihak Ketiga Pukovisa Prawiroharjo; Febriani Endiyarti; Zubairi Djoerban; R Sjamsuhidajat; Broto Wasisto; Frans Santosa; Rianto Setiabudi; Ghina Faradisa Hatta; Anna Rozaliyani
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (167.938 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.34

Abstract

Terdapat peningkatan prevalensi HIV/AIDS maupun jumlah pasien yang mendapatkan diagnosis HIV/AIDS di Indonesia. Sangat disayangkan, diagnosis ini seringkali dikaitkan dengan stigma bahwa penyakit ini menular secara seksual, walaupun banyak kasus yang tidak demikian adanya. Muncul pertanyaan yang sering menimbulkan konflik etis pada dokter, yakni apakah dokter boleh membuka diagnosis HIV pasiennya kepada pihak ketiga, antara lain pihak perusahaan yang membiayai pemeriksaan, pihak asuransi yang membiayai pengobatan, atau pasangan dan keluarga. Tinjauan etik ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada sejawat dalam praktik seharihari terkait dilema etis ini. Secara umum, informasi medis terkait HIV/AIDS dapat diberikan kepada pihak ketiga sesuai yang diperbolehkan UU seperti atas kemauan pasien sendiri, demi kebaikan kesehatan pasien, atas perintah pengadilan, atau dalam situasi dilema etis dengan argumentasi nilai etis keadilan untuk membuka informasi lebih tinggi dibandingkan nilai etis menghargai otonomi pasien, yakni demi mencegah penularan.
Benarkah Dokter Spesialis yang Tugas Jaga Pasti Melakukan Pelanggaran Etik Jika Sekedar Menjawab Konsul per Telepon untuk Pertolongan Kegawatdaruratan? Pukovisa Prawiroharjo; Radi Muharris Mulyana; Prijo Sidipratomo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.272 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i1.13

Abstract

Dalam praktik kedokteran sehari-hari, seringkali dokter spesialis dikonsul oleh dokter jaga untuk kasus gawat darurat, dan seringkali pula spesialis tersebut hanya memberikan instruksi per telepon tanpa datang memeriksa pasien. Bila kemudian terjadi kecacatan apalagi kematian pada pasien tersebut, apakah dokter spesialis ini pasti telah melakukan malpraktik etik dan pidana? Tulisan ini akan membahas etika dokter spesialis dalam kegawatdaruratan, khususnya sebagai bagian dari keseluruhan manajemen di Instalasi/Unit Gawat Darurat dan rawat inap di Rumah Sakit, ditinjau dari Kode Etik Kedokteran Indonesia dan berbagai peraturan terkait. Situasi dan kategori tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang dimaksud harus benar-benar dipertimbangkan, dan kerja sama yang erat antara dokter spesialis dan dokter jaga diperlukan untuk menjamin keselamatan pasien.
Etika Menangani Komplain Pasien/Keluarganya pada Konteks Layanan Gawat Darurat dan Elektif Pukovisa Prawiroharjo; Ghina Faradisa Hatta; Anna Rozaliyani; Fadlika Harinda; Prijo Sidipratomo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (141.621 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v4i1.40

Abstract

Ketika perlakuan dokter dalam konteks layanan kesehatan tidak memenuhi ekspektasi pasien/keluarganya, maka komplain akan muncul. Tidak jarang terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan pertimbangan klinis yang melatarbelakangi perlakuan dokter terhadap pasien. Dalam konteks emergensi, pemusatan perhatian tenaga kesehatan untuk menangani komplain dapat membawa risiko tambahan terhadap pasien yang membutuhkan penanganan gawat darurat. Untuk itu, manajemen rumah sakit perlu untuk membentuk tim khusus penanganan komplain. Dalam menangani komplain, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan terlebih dahulu sebelum memberikan respons, mengingat komplain adalah sarana evaluasi pelayanan yang baik.
Tinjauan Etik Pembukaan Rahasia Medis dan Identitas Pasien pada Situasi Wabah Pandemi COVID-19 dan Kaitannya dengan Upaya Melawan Stigma Pasien Positif Rulliana Agustin; Anna Rozaliyani; Ghina Faradisa Hatta; Pukovisa Prawiroharjo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26880/jeki.v4i2.46

Abstract

Surveilans kesehatan masyarakat merupakan hal dasar yang perlu dilaksanakan pada kejadian wabah penyakit menular. Akan tetapi, pembukaan rahasia medis yang dikumpulkan pada kondisi wabah (termasuk nama, alamat, diagnosis, riwayat keluarga, dan sebagainya) tanpa persetujuan pasien dapat berisiko bagi individu yang bersangkutan. Penanganan data tersebut perlu dilakukan secara hati-hati karena individu terkait dapat menghadapi stigmatisasi maupun diskriminasi bila informasi terkait dirinya, terutama data dengan hasil tes positif, bocor ke publik. Maka dari itu, pengaturan dan panduan penggunaan pembukaan rahasia medis dalam kondisi wabah penyakit menular memerlukan pendalaman etik yang baik. Terdapat beberapa peraturan dan panduan yang mengatur kerahasiaan pasien dalam kondisi wabah. Regulasi hukum serupa pun juga ditemukan pada negara lainnya, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Tata Laksana Sidang MKEK Membuat Fatwa Etik Kedokteran Yuli Budiningsih; Pukovisa Prawiroharjo; Anna Rozaliyani; Wawang Sukarya; Julitasari Sundoro
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.749 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.25

Abstract

Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Ikatan Dokter Indonesia (AD/ART IDI) 2015, wewenang untuk membuat fatwa etik kedokteran dimandatkan tunggal kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat. Dengan demikian, kepengurusan MKEK Pusat 2015-2018 merupakan kepengurusan pertama yang menerima mandat ini. Dalam perjalanannya ternyata sistem yang ada belum efektif, karena tata cara persidangan pembuatan fatwa belum diatur dalam Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja (Ortala) MKEK. Dalam upaya perbaikan Ortala diusulkan agar kewenangan pembuatan fatwa etik kedokteran  dilakukan satu pintu melalui MKEK Pusat dan dimandatkan ke divisi khusus, yang akan membuat fatwa setelah melakukan proses kajian etik ilmiah terlebih dahulu. Sidang fatwa etik kedokteran akan mengundang para penulis kaji etik ilmiah, organisasi profesi yang berkepentingan, dan minimal tiga orang tokoh masyarakat yang terkait. Fatwa yang dibuat bersifat mengikat serta dapat menjadi materi dan bahan pertimbangan dalam sidang pembinaan dan kemahkamahan MKEK. Walaupun demikian, fatwa ini tidak bersifat sakral dan sangat terbuka dengan perubahan.
Etika Menyampaikan Informasi Diagnosis Penyakit Terminal kepada Pasien sesuai Konteks Budaya Indonesia Pukovisa Prawiroharjo; Putri Dianita Ika Meilia; Ghina Faradisa Hatta
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.842 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v4i1.41

Abstract

Sikap dan perilaku pasien terhadap berita buruk, misalnya diagnosis penyakit terminal ataupun kondisi medis buruk lainnya, harus ditangani secara khusus. Di balik kewajiban dokter untuk bersikap jujur dan mengedepankan autonomy pasien, prinsip etik beneficencedan non-maleficence menjadi pertimbangan dalam penahanan sebagian atau seluruh informasi yang dapat melemahkan psikis atau sik pasien. Selain itu, budaya patrilineal dan matrilineal di Indonesia yang masih kental juga mempengaruhi keluarga pasien saat turut serta membuat keputusan atas kondisi medis pasien. Prima facie dalam masalah ini perlu ditinjau dengan mempertimbangkan faktor budaya, kondisi sik dan psikis pasien, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menjadi pilar dari pertimbangan etik kedokteran di Indonesia.
Dokter Beriklan: Sebuah Tinjauan Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Tahun 2012 Pukovisa Prawiroharjo; Putri Dianita Ika Meilia
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.523 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v1i1.4

Abstract

Kebutuhan masyarakat akan informasi kompetensi kedokteran di era di mana perkembangan pemasaran dapat dikemas secara eksplisit maupun implisit, baik di media cetak maupun elektronik, menjadi polemik tersendiri bagi dokter. Untuk menunjukkan kapabilitasnya di hadapan masyarakat, penampilan citra baik paling singkat dapat dilakukan melalui iklan. Penelusuran literatur dilakukan untuk menjawab pertanyaan etik terhadap dokter beriklan. Secara etik, baik iklan diri maupun produk dengan klaim kesehatan dan kecantikan yang melibatkan identitas dan gelar seorang dokter tidak dibenarkan kecuali dokter tersebut memiliki STR non-aktif dan/atau pada iklan produk non-kesehatan non-kecantikan yang tidak memunculkan gelar dan atribut dokter sama sekali pada kontennya. Lebih lanjut terkait pelaksanaannya, diharapkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mampu mengembangkan regulasi baru untuk menindaklanjuti sejawat yang mengalami dilema etik terkait dokter beriklan ini.
Bullying (Perundungan) di Lingkungan Pendidikan Kedokteran Anna Rozaliyani; Broto Wasisto; Frans Santosa; R Sjamsuhidajat; Rianto Setiabudy; Pukovisa Prawiroharjo; Muhammad Baharudin; Ali Sulaiman
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.152 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.36

Abstract

Dalam lingkungan pendidikan kedokteran, bullying atau perundungan masih kerap terjadi. Korban perundungan umumnya peserta didik atau junior, sedangkan pelaku perundungan antara lain pendidik dan senior. Perundungan merupakan bentuk pelanggaran etik dasar dan hak asasi manusia, yang dapat berdampak buruk terhadap peserta didik, lingkungan kerja, maupun kualitas pelayanan kesehatan. Untuk itu diperlukan upaya komprehensif dengan menyertakan berbagai pihak terkait guna mencegah dan menghentikannya. Perbaikan kurikulum pendidikan yang mengutamakan prinsip kesetaraan dan etika kesejawatan, diharapkan dapat mencegah dan menghentikan tindakan perundungan secara bertahap dan sistematis.