Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Obat Antivirus Oseltamivir dan Favipiravir pada Pasien Covid-19 Derajat Sedang di Rumah Sakit Sentra Medika Cisalak Depok Arif Rahmandani; Prih Sarnianto; Yusi Anggriani; Fredrick Dermawan Purba
Majalah Farmasetika Vol. 6, Supl. 1, Tahun 2021
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/mfarmasetika.v6i0.36667

Abstract

Analisis Efektivitas biaya (CEA) merupakan metode farmakoekonomi yang digambarkan dalam rasio biaya-efektivitas agar dapat membantu pengambilan keputusan dalam memilih obat yang efektif secara manfaat dan biaya. Tujuan penelitian ini untuk menentukkan terapi yang lebih cost-effective antara penggunaan Oseltamivir dan Favipiravir pada pasien Covid-19 derajat sedang. Penelitian ini menggunakan metode penlitian cross sectional dengan pengumpulan data secara prospektif dan observational non eksperimental yang merupakan analisa deskriptif kuantitatif menurut perspektif pasien untuk memperoleh efektifitas biaya. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 108 pasien yaitu 50 pasien yang menggunakan antivirus Oseltamivir dan 58 pasien menggunakan antivirus Favipiravir. Hasil penelitian diperoleh dari parameter efektivitas perbaikan nilai C-Reaktif Protein (CRP) pasien yang menggunakan Oseltamivir rata-rata mengalami perbaikan nilai CRP 18.52 mg/L tidak ada perbedaan yang signifikan dengan pasien yang menggunakan antivirus Favipiravir rata-rata mengalami perbaikan nilai CRP 19.36 mg/L. sedangkan dari parameter Length of Stay (LOS) pasien yang menggunakan Oseltamivir rata-rata dirawat inap selama 7.42 hari lebih cepat dibandingkan pasien yang menggunakan antivirus Favipiravir 9.21 hari, untuk rerata biaya total perawatan pasien yang menggunakan antivirus Oseltamivir sebesar Rp32.794.002,- lebih kecil dibandingkan rerata biaya total perawatan pasien yang menggunakan antivirus Favipiravir Rp42.504.281,- sehingga didapat nilai CER Oseltamivr Rp4.419.677,- lebih kecil dibandingkan nilai CER Favipiravir Rp4.615.014,- oleh karena itu penggunaan obat yang lebih cost-effective yaitu antivirus Oseltamivir dibandingkan Favipiravir.
Efektivitas Biaya Antibiotik Seftriakson dan Sefotaxim dalam Pengobatan Pneumonia Dela Lanaya; Yusi Anggraini; Prih Sarnianto
JURNAL KESEHATAN POLTEKKES KEMENKES RI PANGKALPINANG Vol 9, No 2 (2021): JKP Desember 2021
Publisher : Poltekkes Kemenkes Pangkalpinang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32922/jkp.v9i2.381

Abstract

Latar belakang: Pneumonia termasuk penyakit infeksi yang berbahaya bahkan menjadi permasalahan di banyak negara dikarenakan peningkatan jumlah kematian serius. Prevalensi pneumonia di Indonesia tercatat 1,8% dan 4,5%. Seftriakson dan sefotaxim merupakan antibiotik terapi empiris lini pertama yang digunakan di rumah sakit khususnya untuk pasien rawat inap.Tujuan: Mengetahui efektivitas biaya antibotik seftriakson dan sefotaxim dalam pengobatan pneumonia di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang.Metode: Desain penelitian menggunakan metode observasional melalui pendekatan cross sectional terhadap data sekunder pasien pneumonia di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang. Pengambilan data secara retrospektif. Data biaya yang dilihat berupa direct medical cost (biaya medis langsung). Sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sejumlah 85 pasien penerima antibiotik seftriakson dan sejumlah 53 pasien penerima antibiotik sefotaxim dengan pengambilan sampel secara purposive. Hasil: Rerata biaya medis langsung dan efektivitas terapi menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan, dengan p value masing-masing 0,100 dan 0,619. Namun, perhitungan secara akuntansi menunjukkan bahwa, dalam pengobatan pneumonia di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, seftriakson memiliki efektivitas-biaya lebih tinggi, nilai ACER Rp36.453, nilai ICER Rp9.965, dan nilai INB sebesar 10.Kesimpulan: Antibiotik yang paling cost effective dalam pengobatan pneumonia di RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang adalah Seftriakson.
BIAYA MEDIS LANGSUNG PASIEN HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) ARJAWINANGUN DAN RSUD WALED KABUPATEN CIREBON Dosi Ahmad Yani; Prih Sarnianto; Yusi Anggriani
Medical Sains : Jurnal Ilmiah Kefarmasian Vol 4 No 1 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.8 KB) | DOI: 10.37874/ms.v4i1.123

Abstract

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global dengan biaya tinggi. Terapi Pengganti Ginjal (TPG) yang paling sering dilakukan yaitu hemodialisis (HD). Saat ini sebagian besar pasien PGK yang melakukan HD dijamin pembiayaannya oleh Badan Penyelengara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) dengan besaran jaminan sesuai tarif Indonesian Case-Base Groups (Ina-CBGs) yang pernah mengalami penurunan pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripskan biaya medis langsung pasien yang menjalani hemodialisis untuk mengetahui rata-rata biaya pelayanan selama satu tahun (real cost), mengetahui besaran biaya apabila pelayanan diberikan sesuai standar pelayanan menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia, PERNEFRI (ideal cost) serta membandingkan ideal cost dengan tarif Ina-CBGs untuk RS pemerintah tipe B. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dari sudut pandang pemberi pelayanan (Rumah Sakit) pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Data biaya diambil dari Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) dan data klaim InaCBGs. Analisis data dilakukan untuk melihat rata-rata biaya medik langsung dan membandingkannya dengan biaya untuk pelayanan ideal. Dari 93 pasien yang dianalisis, 51,6% berjenis kelamin laki-laki, usia rata-rata (minimal-maksimal) 48 (20-75) tahun, 86% menikah, pendidikan sekolah dasar atau dibawahnya 49,5%. Biaya medis langsung Rp. 791.967; 9,9% lebih kecil dari biaya klaim InaCBGs. Namun biaya ideal HD rata-rata Rp 958.467; 8,7% lebih besar dari biaya klaim InaCBGs. Kesimpulan penlitian adalah biaya InaCBGs HD masih lebih besar dari real cost, namun lebih kecil dari ideal cost.
Risk factors and costs of household perspectives in hemodialysis patients on Hospital Of Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto Anggelina Aprilia Pangalila; Prih Sarnianto; Shirly Kumala
Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 14, No 1 (2020): Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta Kerja Sama KNPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.768 KB) | DOI: 10.33533/jpm.v14i1.1315

Abstract

The incidence and prevalence of chronic kidney disease (CKD) patients in Indonesia is increasing every year. In the promotion of health promotion and prevention efforts, data related to risk factors and cost analysis are needed from the perspective of patients and / or families related to CKD treatment that requires replacement therapy for kidney function (Hemodialysis / HD). CKD patients undergo HD therapy generally twice a week, making it a relatively large burden on them. This study aims to determine the risk factors for CKD in hemodialysis patients at Bhayangkara Hospital Tk. I R. Said Sukanto and the impact of the cost of HD therapy from a household perspective. In an observational study with this case control method. Primary data was taken through interviews using a structured questionnaire with 100 HD patients (cases) and 100 patients from other poly (control), cross sectional. Risk factor analysis was carried out by logistic regression (p <0.05) and cost analysis using the accounting method. The results showed that in terms of socio-demography, ages above 40-49 years had a risk of 32.7 times and ≥ 50 years had a risk of 17.9 times having CKD compared to <30 years of age with an education level ≤ SD-SMA at risk 16.9 times affected by CKD from the academy / university group, and the income of Rp. 2,000,000 - Rp. 4,000,000 has a risk of 8.4 times being affected by CKD from income groups> Rp. 6,000,000. In terms of biophysiology, hypertension, diabetes and anemia had a risk of 516 times, 54 times and 272 times the effect of CKD. The habit of consuming Chinese and Western herbs increases the risk of developing CKD up to 10.9 times. The cost of the household perspective issued by the patient includes a meal cost of Rp360,000, transportation costs Rp.320,000 and drugs and multivitamins Rp250,000. The potential loss of productivity reaches Rp1,241,904 per patient per month.
Analisa Biaya Pengobatan Demam Tifoid Berdasarkan Clinical Pathway Di Rumah Sakit Harapan Bunda Pieter Hazmen; Shirly Kumala; Prih Sarnianto
Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 13, No 2 (2019): Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta Kerja Sama KNPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (65.646 KB) | DOI: 10.33533/jpm.v13i2.1314

Abstract

Clinical pathways are used in quality and cost control with indicators of length of stay. Cases of typhoid fever at Harapan Bunda Hospital include the criteria for the first rank of High Volume in 2018 and Problem Prone in the cost of treatment. The purpose of the study is to analyze the cost of treatment based on the implementation of clinical pathways in antibiotic therapy. Observational research with comparative studies of the use of injection antibiotics based on clinical pathway implementation. Retrospective data collection with dependent outcome therapy variables (cost and length of stay) while the independent variable regimen of antibiotic use. The population of typhoid fever patients according to the criteria for the implementation of clinical pathway ICD code (A0.10) 571 patients. Samples using total sampling that fulfills the criteria of direct inclusion are made into samples divided by the antibiotic regimen of the payment system, the group with the least amount excluded. There were 4 observation groups: generic ceftriaxone (n = 52) branded ceftriaxone (n = 51), generic cefotaxime (n = 53) and branded cefotaxime (n = 57) totaling 213 patients. Satatistic test results of length of stay (p> 0.05) explained that they did not have a significant difference, the average value (5.1596). Medical expenses for generic cefotaxime (Rp 4,072,002,6792), generic cherryax (Rp 4,479,480,4808), branded cefotaxime (Rp 6,945,258,3333) and branded ceftriaxone (Rp 7,296,933,5686). Conclusions based on JKN (AMiB) antibiotic payment systems are cheaper than general and the cheapest cefotaxime cheapest generic antibiotics.
Pengaruh Faktor Determinan terhadap Hasil Terapi Hipertensi Pasien pada Tiga Puskesmas di Jakarta Pusat Andam Dewi Pertiwi; Prih Sarnianto; Hesty Utami Ramadaniati
Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 13, No 2 (2019): Jurnal Profesi Medika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta Kerja Sama KNPT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.337 KB) | DOI: 10.33533/jpm.v13i2.902

Abstract

Hypertension has been known as risk factor of cardiovascular diseases necessitating the good control of blood pressure. The evident also shows the increased number of uncontrolled hypertensive patients. This study aimed to identify the determinants of controlled blood pressure in primary health centre hypertensive patients. The benefits of this research is to educated to public about factors that influence hypertension controlled. This research lasted for five months was conducted through patient interview of respondents meeting inclusion criteria in three primary health centres/PHC (PHC Menteng, PHC Tanah Abang, and PHC Johar Baru). Some data of the interview were validated by reviewing patient’s medical record. There were 26 factors used to analyse the determinants which included sociodemographic, biophysiology, dietary consumption patterns, use of hormonal contraceptives, physical activity, and stress). The result of multivariate regression analysis revealed two significant determinants, namely the presence of cardiovascular diseases (odd ratio/OR = 0,091, P-value = 0,004) and physical activity (OR = 10,647, P-value = 0,002). Patients with history of cardiovascular disease had 10,99 times risk to experience uncontrolled hypertension compared with those with no history of the disease. In addition, patients with routine physical activity at least 5 days/week (150 minutes/week) were 10,647 times to have controlled blood pressured as opposed to their counterpants.
ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA GLIKOSAMINOGLIKAN DARI ORGAN IKAN PARI (Trygon sepfren) Thamrin Wikanta; Riyadini Perwita; Prih Sarnianto; Murdinah Murdinah
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 8, No 6 (2002): (Vol.8 No.6 2002)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4950.427 KB) | DOI: 10.15578/jppi.8.6.2002.11-20

Abstract

Tulisan ini melaporkarq hasil penelitian tentang isolasi dan karakterisasi senyawaglikosaminoglikan dari beberapa organ ikan pari (Trygon sephen) yang mencakup proses ekstraksi melalui tahapan pencernaan, presipitasi dan pemurnian, serta identifikasi senyawa menggunakan teknik spektrofotometri inframerah, khromatografi cair kinerja tinggi dan elektroforesis.
Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan Data e-Catalogue Tahun 2014-2015 Ary Dwiaji; Prih Sarnianto; Hasbullah Thabrany; Muhammad Syarifudin
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (205.077 KB) | DOI: 10.7454/eki.v1i1.1933

Abstract

AbstrakSejak dimulainya JKN, pengadaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilaku- kan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Didasarkan pada RKO dan HPS, penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi harga. Rantai proses tersebut akan berdampak pada jenis (molekul) dan jumlah obat yang tayang dalam e-Catalogue maupun jumlah dan volume permintaan oleh faskes publik (e-Order).TujuanPenelitian bertujuan untuk mengevaluasi e-Order menurut kategorisasi obat, yaitu generik (OGB) dan dengan merek dagang (OMD), pada data e-Catalogue 2014-2015.MetodePada penelitian ini dilakukan pula wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam peny- usunan e-Catalogue. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis profil penawaran obat JKN (e-Catalogue atau RKO) dan kesenjangannya dengan permintaan oleh fasilitas kesehatan publik, baik pada kelompok OGB maupun OMD.Hasil Penelitian dan PembahasanHasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dalam e-Catalogue, pada 2014 ditawarkan 800 item obat (50,3% OGB; 49,7% OMD) dari 73 perusahaan farmasi dan, pada 2015, sedikit menurun jadi 795 item obat (40,4% OGB; 59,6% OMD) dari 79 perusahaan farmasi. Di sisi lain, e-Order pada 2014 tercatat Rp1.199,01 miliar (71,9% OGB, 28,1% OMD) untuk 1.928,50 juta satuan obat terkecil (98,2% OGB; 1,8% OMD) dan, pada 2015, mengalami peningkatan jadi Rp3.201,44 miliar (48,4% OGB; 51,6% OMD) untuk 3.175,78 juta satuan obat terkecil (96,8% OGB; 3,2% OMD). Rerata harga OMD pada 2014 dan 2015 itu masing-masing Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil, sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga satuan OGB yang hanya Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Hasil analisis juga menunjukkan adanya kesenjangan antara RKO dan e-Order yang, menurut data kualitatif, terutama berakar dari penetapan RKO dan HPS serta penayangan e-Catalogue yang tidak memberikan cukup waktu bagi pemenang lelang untuk mempersiapkan obat dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen, pada saat dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan.KesimpulanGuna mengatasi masalah mendasar ini, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penetapan RKO dan HPS serta dibuat kesepakatan terkait alur dan jadwal penyusunan e-Catalogue.
Persepsi Pasien dengan Keluhan Minor Illness terhadap Peran Apoteker Terkait Efisiensi Biaya dan Akses Pengobatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional Irmin Irmin; Prih Sarnianto; Yusi Anggriani; Jenny Pontoan
PHARMACY: Jurnal Farmasi Indonesia (Pharmaceutical Journal of Indonesia) Jurnal Pharmacy, Vol. 17 No. 01 Juli 2020
Publisher : Pharmacy Faculty, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30595/pharmacy.v17i1.5622

Abstract

Minor Illness adalah kondisi medis yang kurang serius yang tidak memerlukan tes laboratorium atau tes darah. Minor illness juga didefinisikan sebagai kondisi yang akan hilang dengan sendirinya dan dapat sembuh dengan melakukan pengobatan sendiri (swamedikasi). Kebanyakan pasien dapat mengobati penyakit minor illness hanya dengan menggunakan obat-obat OTC (Over-the-Counter). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien dengan keluhan minor illness terhadap peran apoteker terkait efisiensi biaya obat dan akses pengobatan di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam hal ini BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai otoritas pelaksana program JKN terkait pentingnya peran apoteker dalam melakukan efisiensi biaya dan kemudahan akses pengobatan pasien dengan keluhan penyakit minor illness. Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan pengolahan data secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan di apotek yang bekerjasama dengan BPJS di wilayah DKI, dengan sampel sebanyak 99 responden pasien yang melakukan swamedikasi pada bulan Juni 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat potensi efisiensi biaya baik dari aspek manajemen, klinis, swamedikasi yang efektif dan terdapat kemudahan akses pengobatan melalui swamedikasi. Kesimpulan, keterlibatan apoteker dalam menangani keluhan minor illness terbukti menghemat biaya dan kemudahan akses pengobatan.
Analisis Profil Pengobatan, Biaya Medis Langsung dan Kualitas Hidup pada Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Amaliyah Amaliyah; Prih Sarnianto; Hesty Utami Ramadaniati
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 5 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jpdk.v4i5.7268

Abstract

Hemodialisis adalah suatu cara untuk memperbaiki kelainan fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Terapi hemodialisis membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Metode yang digunakan adalah analisis Cross-Sectional dengan rentang penelitian 2 bulan, pada pasien dewasa yang minimal 12-36 bulan menjalani hemodialisis Pengumpulan data dilakukan dengan retrospektif dari dokumen, untuk menilai kesesuaian manajemen profil pengobatan Eritropoetin dan secara prospektif dari pengisian kuesioner EQ-5D-5L dan VAS (Visual Analogue Scale) kemudian dilakukan analisis data secara deskriptif dan menggunakan analisis Regresi linier berganda untuk mendapatkan korelasi antara karakteristik terhadap kualitas hidup (VAS dan Utility). Terdapat 50 pria dan 50 wanita dengan rentang usia terbanyak >50 tahun, tidak bekerja dan pendidikan SMP/SMA. Status perkawinan terbanyak adalah kawin. Tingkat ekonomi terbanyak berpenghasilan dibawah 4 juta perbulan dengan persepsi kondisi ekonomi merasa miskin. Profil pengobatan memperlihatkan terjadi ketidaksesuaian terapi EPO dengan Hb < 8 g/dL karena pasien mengalami transfusi darah. Perhitungan biaya medis langsung sebesar Rp.1.344.840 lebih besar dibanding tarif INA-CBGs yaitu Rp. 923.100. Berdasarkan analisis regresi linier ada 3 faktor yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisis yaitu status perkawinan, lama menjalani hemodialisis dan kemampuan mobilitas. Profil pengobatan pasien HD mengalami ketidaksesuaian terapi, baik pada pemberian obat HD dan obat penyakit penyerta. Biaya medis langsung lebih besar dari tarif standar INA_CBGs yang ditetapkan. Sementara itu, kualitas hidup sebagian besar pasien PGK yang menjalani hemodialisis memiliki tingkatan kualitas hidup yang sangat baik.