Ria Delta
Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : JUSTICIA SAINS: Jurnal Ilmu Hukum

ISU KONTROVERSI PENERAPAN QANUN JINAYAH PASCA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG OTONOMI KHSUS PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Ria Delta
JUSTICIA SAINS - Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 1 (2016): JUSTICIA SAINS: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1249.231 KB) | DOI: 10.24967/jcs.v1i1.98

Abstract

Sejak diberlakukannya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan juga dengan undangkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD. Berdasarkan ketentuan dalam UU No, 44 Tahun 1999, maka Syariat Islamyang diberlakukan khususnya pada agama/syariat Islam, pendidikan, adat istiadat dan juga peran ulama.Penegakan syariat Islam telah dimulai dengan diberlakukannya Qanun No. 12 Tahun 2003, Qanun 13 dan 14 Tahun 2003 dimana kesemua Qanun tersebut mengenai khamar, maisir, dan khalwat. Pelaksanaan penegakan ketiga Qanun tersebut ditandai dengan dibentuknya Wilayatul Hisbah sebagai satuan khusus penegak syariatIslam.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dan pendekatan masalah yuridis normatif dengan metode yang digunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan, bahwa dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, terdapat beberapa kesenjangan-kesenjangan/ ketidak sesuaian dengan ajaran agama Islam terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di AcehSejak diberlakukannya ke-tiga Qanun tersebut pada pertengahan tahun 2009 berkembang wacana dan juga niat Pemerintah Aceh untuk menggabungkan ketiga materi muatan Qanun tersebut dalam satu naskah Qanun dan juga penerapan aturan formal atau hukum acaranya yang kemudian disebut dengan Qanun Jinayah dan juga Qanun Acara Jinayah. Pembahasan kedua rancangan tersebut berjalan dilematis, dikarenakan adanya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif Aceh terkait materi yang akan diatur dan hal ini berlangsung hingga hari.Kata Kunci: Qonun,Qonun Jinayah, dan Syariat
KEWENANGAN WILAYATUL HISBAH DALAM PROSES PENANGANAN PERKARA PIDANA QANUN Ria Delta
JUSTICIA SAINS - Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 2 (2016): JUSTICIA SAINS: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (807.553 KB) | DOI: 10.24967/jcs.v1i2.81

Abstract

Wilayah al-hisbah merupakan suatu lembaga yang bertugas menegakan amar maruf apabila jelas-jelas ditinggalkan (zhahara fasaduhu) dan mencegah kemungkaran apabila jelas-jelas dilakukan (zhahara filuhu) kewenangan lembaga ini meliputi hal-hal yang berkenaan dengan ketertiban umum (al-nizham al-am), kesusilaan (al-adab) dan sebagian tindak pidana ringan yang menghendaki penyelesaian segera dan tujuan adanya lembaga ini adalah untuk menjaga ketertiban umum serta memelihara keutamaan moral dan adab dalam masyarakat dengan kata lain lembaga ini bertugas untuk menegakan amar maruf dan nahi munkar.Permasalahan dalam penelitian ini mengenai dasar kewenangan dan pelaksanaan wewenang WH dalam proses penanganan pidana qanun, pendekatan masalah yang dipergunakan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan mempelajari kasus, melakukan observasi dilapangan dan melakukan wawancara dengan mempersiapkan pertanyaan terlebih dan berkembang pada saat wawancara berlangsung.Reformasi membuka jalan bagi masyarakat Aceh untuk kembali menuntut pemberlakuan syariat Islam, dimana landasan hukum atau undang-undang yang menjadi dasar dalam menerapkan syariat Islam atau qanun di tanah rencong ini yaitu UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahaan Aceh dan diberlakukannya Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayah dalam Pasal 1 angka 14 menyebutkan Polisi Wilayatul Hisbah yang selanjutnya disebut Polisi WH yang berfungsi melakukan sosialisasi, pengawasan, penegakan dan pembinaan pelaksanaan syariat Islam dan tidak dapat melakukan upaya paksa yang bertentangan dengan undang-undang, kesimpulan telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan WH, saran yang diberikan hendaknya pemerintah dan legislatif lebih mengkaji ulang tentang kewenangan WH agar tidak terjadi tumpang tindih dalam proses penanganan perkara qanun.Kata Kunci : kewenangan, wilayatul hisbah, pidana, qanun
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ATAU TRAFFICKING Ria Delta
JUSTICIA SAINS - Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1 (2017): JUSTICIA SAINS: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.647 KB) | DOI: 10.24967/jcs.v2i1.66

Abstract

Isu traficking anak memang masih sangat rumit, beberapa kalangan misalnya sibuk meributkan prasyarat dari perdagangan anak dan hanya dapat dijerat dengan Pasal pidana yaitu penculikan, adopsi ilegal, pemalsuan dokumen dan sebagainya. Pendekatan masalah yang dilakukan dalam penyelesaian hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian secara empiris dan secara normatif sedangkan data yang dipergunakan berupa data sekunder dan data primer yaitu data yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian dilapangan melalui observasi dan wawancara yang dilakukan dengan anggota yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) serta melakukan studi kasus serta ditunjang dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan penelitian dilakukan di wilayah hukum Provinsi Lampung. Dari hasil penelitian dan pembahasan didapatkan bahwa Dalam banyak kasus para pejuang hak anak hanya bisa mengatakan bahwa kejahatan terhadap anak atau perempuan dalam praktek terjadinya kejahatan dapat dikatakan punya indikasi traficking,namun dalam prakteknya para penegak hukum tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan tersebut merupakan traficking atau perdagangan anak, sehingga kejahatan tersebut tidak berakhir di sidang Pengadilan, karena penerapan hukumnya selalu tidak menyentuh tentang Undang-undang Perlindungan Anak yang ancaman hukumannya tinggi.Adapun kesimpulannya bahwa dalam penanganan masalah perdagangan orang baik dalam mengidentifikasi maupun perlindungan terhadap korban adalah sangat kompleks dan sangat perlu perhatian pemerintah dengan seksama agar untuk masa yang akan datang setidaknya ada pencegahan-pencegahan yang dilakukan sebelum perdagangan orang maupun anak semakin meningkat serta modus operandinya semakin canggih.Kata Kunci:Sanksi Pidana, Trafficking