Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Hubungan Pengetahuan dengan Kontrol Glikemik Pasien Diabetes Tipe 2 di Rumah Sakit Swasta Buleleng Bali Pande Made Desy Ratnasari; Agustina Nila Yuliawati; Mahadri Dhrik
Jurnal Dunia Farmasi Vol 6, No 3 (2022): Edisi Agustus
Publisher : Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi dan Kesehatan, Institut Kesehatan Helvetia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33085/jdf.v6i3.5216

Abstract

Pendahuluan: Kontrol glikemik merupakan kunci utama dalam menurunkan kejadian dan keparahan komplikasi serta mortalitas pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2. Pencapaian kontrol glikemik yang baik membutuhkan pengetahuan mengenai managemen terapi, penyakit dan perawatan diri. Tujuan: Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan terhadap kontrol glikemik pasien DM tipe 2. Metode: Rancangan penelitian adalah cross-sectional yang dilaksanakan di salah satu Rumah Sakit Swasta Kabupaten Buleleng Bali pada bulan September 2020. Diperoleh 150 responden yang memenuhi kriteria inklusi diantaranya pasien DM tipe 2 rawat jalan periode Juli-September 2020, berusia ≥18 tahun, memperoleh antidiabetik yang sama minimal selama 3 bulan, serta bersedia mengisi kuesioner. Pasien dalam kondisi lemah, hamil atau menyusui tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian berupa lembar pengumpul data dan kuesioner pengetahuan Diabetes Knowledge Questionnaire 24 (DKQ-24). Kontrol glikemik menggunakan glukosa darah sewaktu (GDS) yang dikategorikan menjadi terkontrol dan tidak terkontrol. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kontrol glikemik dianalisis menggunakan uji Kendall’s tau-c. Hasil: Mayoritas gambaran profil pasien berumur 40 tahun (94%), berjenis kelamin pria (51%), mengenyam pendidikan SD (34%), tidak bekerja (80,7%), mengidap DM ≤5 tahun (56%), mengidap komplikasi makrovaskuler dan penyakit penyerta hipertensi (46%) serta memperoleh antidiabetik kombinasi (74%). Sebesar 66% tingkat pengetahuan responden termasuk dalam kategori sedang dan 67,3% memiliki kontrol glikemik yang tidak terkontrol. Analisis hubungan tingkat pengetahuan dengan kontrol glikemik menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p=0,954;r=-0,004). Kesimpulan: Pasien dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik menunjukkan kontrol glikemik yang baik pula, maka dari itu peran edukasi di fasilitas kesehatan sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan pasien.
Analisis Hubungan Pengetahuan terkait Hipertensi dengan Kepatuhan Minum Obat dan Kontrol Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Mahadri Dhrik; Anak Agung Ngurah Putra Riana Prasetya; Pande Made Desy Ratnasari
Jurnal Ilmiah Medicamento Vol 9 No 1 (2023): Jurnal Ilmiah Medicamento
Publisher : Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36733/medicamento.v9i1.5470

Abstract

Hypertension is a chronic disease with a high mortality rate, and patient adherence to treatment is still low. Low patient adherence can be caused by several factors, including patient knowledge related to hypertension. In addition, medication adherence is a factor that can affect blood pressure control. This study aimed to analyze the relationship between knowledge, adherence, and blood pressure control in hypertensive patients. This research was conducted at Tk.II Udayana Hospital Denpasar with data collection time, namely February-April 2022. The research design was carried out cross-sectionally using a validated questionnaire. The level of patient knowledge was measured using the Hypertension Knowledge Level Scale (HK-LS) questionnaire, and the level of patient compliance was measured using the Probabilistic Medication Adherence Scale (ProMAS) questionnaire. The patient's blood pressure data has been seen through the patient's medical record in the past three months. The sampling technique in this study used a nonprobability sampling technique with a consecutive sampling approach. The data analysis used to determine the relationship between hypertension knowledge and adherence to taking medication is the Pearson correlation test. Differences in blood pressure control at various levels of adherence were tested with the Kruskal-Wallis test. The results of the analysis of 78 respondents showed that there was a significant relationship between knowledge and medication adherence (p=0.004; r=0.321). For drinking compliance with blood pressure control, there was no significant difference in blood pressure control values at various levels of drinking adherence (p=0.941). Thus knowledge related to hypertension affects medication adherence. However, various factors other than medication adherence are needed to produce reasonable blood pressure control.
TINGKAT KEPATUHAN PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI INSTALASI RAWAT JALAN RS TK.II UDAYANA DENPASAR Pande Made Desy Ratnasari; Mahadri Dhrik; Ni Luh Putu Sri Utami
PROSIDING SIMPOSIUM KESEHATAN NASIONAL Vol. 2 No. 1 (2023): Simposium Kesehatan Nasional
Publisher : LPPM STIKES BULELENG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.803 KB)

Abstract

Angka keberhasilan pengobatan pasien TB paru di Indonesia belum mencapai ketentuan minimal yang dipersyaratkan oleh Badan Kesehatan Dunia, salah satunya dipengaruhi oleh kepatuhan minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan pengobatan pasien TB paru di RS Tk. II Udayana Denpasar. Rancangan penelitian adalah cross-sectional dilakukan pada bulan November-Desember 2020. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi (diagnosis TB Paru, memperoleh terapi OAT di Instalasi Rawat Jalan pada bulan Juli-Desember 2020, menyetujui informed consent, bersedia mengisi kuesioner) dan eksklusi (kondisi hamil, menyusui atau putus pengobatan). Pengukuran tingkat kepatuhan menggunakan kuesioner ProMAS mencakup 18 item pernyataan. Skor nilai kepatuhan selanjutnya akan dikategori kan menjadi rendah (0-4), sedang-rendah (5-9), sedang-tinggi (10-14) dan tinggi (15-18). Sejumlah 50 pasien terlibat dalam penelitian dengan mayoritas (76%) memiliki tingkat kepatuhan tinggi pada umur <60 tahun (90%), berjenis kelamin perempuan (56%), tingkat pendidikan menengah (66%), status memiliki pekerjaan (60%) dan pasien yang memperoleh OAT kategori 1 (66%). Dalam penelitian ini masih terdapat 24% responden penelitian dengan tingkat kepatuhan sedang-tinggi sehingga perlu dilakukan edukasi secara konsisten terkait pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan TB untuk mendukung keberhasilan terapi, mencegah terjadinya kekambuhan penyakit serta resistensi obat.
HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFI TERHADAP KEPATUHAN TERAPI PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RUMAH SAKIT ARI CANTI Mahadri Dhrik; Anak Agung Ngurah Putra Riana Prasetya; Ni Ketut Apridewi
PROSIDING SIMPOSIUM KESEHATAN NASIONAL Vol. 2 No. 1 (2023): Simposium Kesehatan Nasional
Publisher : LPPM STIKES BULELENG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.726 KB)

Abstract

Meskipun berbagai penelitian terkait kepatuhan pengobatan telah dilakukan, hubungan karakteristik sosiodemografi terhadap kepatuhan terapi pasien GJK belum sepenuhnya dipahami kaitannya. Untuk itu dilakukan penelitian secara observasional dengan desain penelitian secara cross sectional dengan menggunakan kuesioner Probabilistic Medication Adherence Scale (ProMAS) untuk mengukur tingkat kepatuhan pasien dan kuesioner karakteristik demografi yang kemudian dicari hubungan antara kedua variable tersebut dengan analisis statistik. Hasil penelitian menunjukkan dari 63 responden memiliki tingkat kepatuhan sedang-rendah (72,41%). Uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan antara karakteristik sosiodemografi dengan kepatuhan terapi pasien GJK yang meliputi jenis kelamin (p=0,439), umur (p=0,091), pendidikan (p=0,078) dan pekerjaan (p= 6,527).
KAJIAN PEMILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN GAGAL GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS Mahadri Dhrik; A.A. N. Putra Riana Prasetya
Acta Holistica Pharmaciana Vol 1 No 2 (2019): Acta Holistica Pharmaciana
Publisher : School of Pharmacy Mahaganesha (Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu komorbid yang berperan penting terhadap terjadinya komplikasi kardiovaskular pada PGK-HD adalah hipertensi. Berdasarkan pedoman KDOQI (Kidney Disease Outcomes Quality Initiative) target pengendalian tekanan darah yang diharapkan pada pasien dialisis adalah tekanan darah pre-HD < 140/90 mmHg dan tekanan darah post-HD <130/80 mmHg. Prevalensi keberhasilan pengendalian tekanan darah pada kondisi ini cukup rendah yang hanya mencapai 10-20%. Tekanan darah pre-HD > 140/90 mmHg diasosiasikan dengan terjadinya gagal jantung serta left ventrikel hipertrophy (LVH), sedangkan tekanan darah post-HD <130/80 mmHg diasosiasikan dengan peningkatan angka mortalitas. Adanya interdependensi yang tinggi antara hipertensi dan PGK khususnya yang telah berada pada stadium akhir dan menjalani hemodialysis menyebabkan perlunya suatu kajian yang menyeluruh mengenai pilihan terapi serta pertimbangan-pertimbangan esensial yang harus diperhatikan dalam manajemen terapi hipertensi pada pasien dengan PGK-HD. Berbagai perubahan fisiologis pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien PGK-HD. Pada pasien PGK-HD adanya volume overload merupakan penyebab utama munculnya hipertensi, dimana ketidakmampuan ginjal untuk membuang kelebihan sodium dan air menyebabkan tingginya volume ekstraseluler sehingga meningkatkan cardiac output dan berimplikasi pada peningkatan tekanan darah. Antihipertensi golongan ACE-I dan ARB memegang peranan penting dan merupakan pilihan untuk dikombinasikan dengan antihipertensi lain jika tekanan darah tetap tidak terkontrol. Pada kondisi komorbid tertentu maka dibutuhkan pilihan antihipertensi yang tepat pada komorbid tersebut. Ketika terjadi hipertensi resisten maka regimen seharusnya telah mendekati dosis maksimum dari paling sedikit 3 obat dengan mekanisme farmakologi yang berbeda antara lain ACEI, calcium channel blocker (CCB), b-blocker, antiadrenergik dan vasodilator langsung.
POLA PEMBERIAN ANTIBIOTIK UNTUK INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS PADA PASIEN ANAK RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT UMUM DI GIANYAR TAHUN 2018 Ni Putu Diah Wulandari; Putu Dian Marani Kurnianta; Mahadri Dhrik; Heny Dwi Arini
Acta Holistica Pharmaciana Vol 3 No 1 (2021): Acta Holistica Pharmaciana
Publisher : School of Pharmacy Mahaganesha (Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi di saluran pernapasan yang menimbulkan gejala batuk, pilek, disertai dengan demam, dan mudah menular. Kejadian ISPA, khususnya bagian atas, sering menimpa populasi yang rentan, seperti anak-anak. Secara umum, tata laksana penyakit ISPA melibatkan penggunaan antibiotik serta obat-obat simtomatis yang mempertimbangkan diagnosis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan parameter penunjang lainnya. Oleh karena itu, pola pengobatan pasien anak yang mengalami ISPA cenderung bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan antibiotik dan obat simtomatis pada pasien anak rawat jalan yang mengalami ISPA di salah satu rumah sakit umum di Gianyar tahun 2018. Penelitian observasional dengan desain cross sectional secara retrospektif telah dilakukan. Sampel penelitian ini memenuhi kriteria inklusi yang diambil dengan teknik purposive sampling. Data penelitian bersumber pada rekam medik dan resep pasien anak yang terdiagnosis ISPA selama bulan Januari sampai Mei 2018 di salah satu rumah sakit umum di Gianyar. Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan bantuan software Microsoft Excel. Dari sebanyak 77 sampel, diagnosis golongan ISPA bagian atas tertinggi adalah rhino-faringitis (RFA) (82%) dengan frekuensi pemberian golongan antibiotik yang paling sering diresepkan, yaitu sirup azitromisin 200 mg/ 5 ml (47%). Rentan usia yang paling banyak terkena ISPA bagian atas, yaitu 1-5 tahun (76,6%), dan berat badan 10-17 kg (52%). Pola peresepan obat simtomatis tertinggi ditempati oleh golongan dekongestan (pseudoefedrin HCl) (41,5%). Penggunaan obat simtomatis lainnya adalah golongan antipiretik dan analgesik yaitu parasetamol sirup (36,66%). Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan untuk mengetahui efektivitas pengobatan antibiotik dan simtomatis pasien anak dengan ISPA secara lebih mendalam.
POLA PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN FARINGITIS DEWASA DI PRAKTEK DOKTER BERSAMA APOTEK KIMIA FARMA TEUKU UMAR Mahadri Dhrik; A.A.N.Putra Riana Prasetya
Acta Holistica Pharmaciana Vol 3 No 2 (2021): Acta Holistica Pharmaciana
Publisher : School of Pharmacy Mahaganesha (Sekolah Tinggi Farmasi Mahaganesha)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62857/ahp.v3i2.57

Abstract

Faringitis merupakan kondisi peradangan pada mukosa faring, jaringan limfoid, muskulus dan jaringan lemak di sekitar faring. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang pola penggunaan obat pada pasien faringitis dewasa di praktek dokter bersama apotek Kimia Farma Teuku Umar periode September 2019 - Januari 2020. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan analisis deskriptif dengan teknik pengambilan sampel non random sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data dianalisis secara deskriptif dimana data yang diperoleh disajikan dan dilaporkan dalam bentuk persentase yang memuat tabel, angka, grafik dan narasi. Hasil penelitian menunjukan distribusi frekuensi penderita faringitis terdiri dari 35 pasien laki-laki dan 25 pasien perempuan dengan rentang usia terbanyak yakni pada rentang usia 25-32 tahun sejumlah 20 orang dengan persentase (33%). Terapi antibiotik yang paling banyak digunakan yaitu azithromycin 500mg (78,33%), terapi dekongestan-antihistamin yang paling banyak digunakan adalah pseudoefedrin 60mg (63,33%), terapi mukolitik-ekspektoran yang paling banyak dugunakan adalah ambroxol 30mg (80%), terapi kortikosteroid yang paling banyak digunakan adalah methylprednisolon 4mg (95%), dan terapi analgetik yang paling banyak digunakan adalah paracetamol 500 mg (1.67%).
PERBEDAAN EFEKTIVITAS KOMBINASI ANALGESIK OPIOID PADA PASIEN PASCA OPERASI SESAR DI RSIA PUCUK PERMATA HATI DENPASAR Anak Agung Ngurah Putra Riana Prasetya; Mahadri Dhrik; Putu Dian Marani Kurnianta
Parapemikir : Jurnal Ilmiah Farmasi Vol 12, No 2 (2023): Parapemikir : Jurnal Ilmiah Farmasi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Politeknik Harapan Bersama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30591/pjif.v12i2.4366

Abstract

Childbirth is the culmination of a series of pregnancies, one of the delivery methods is by caesarean section with common complaints after that being pain and difficulty in the mobility of the patient. This study aimed to determine the profile and effectiveness of combination therapy with opioid analgesics used to reduce pain after caesarean section based on the value of the Visual Analogue Scale (VAS). This research was conducted at RSIA Pucuk Permata Hati Denpasar. This study was conducted in a cross-sectional manner. This study used all medical record data for pregnant women who gave birth by caesarean section and had VAS values before and 6 hours after receiving opioid analgesic combination therapy in January-December 2021. Samples were taken using a probability sampling technique with a simple random sampling approach. Data were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov test and the Kruskal-Wallis test to see differences in the effectiveness of combination analgesics therapy. Based on 183 samples (each group 61 samples), the highest age group was 21-30 years (52.46%), with the gestational age at 40 weeks (70.49%). The combination therapy with opioid-opioid (pethidine-morphine) has better effectivity based on the mean of lowering pain intensity with a VAS scale (2.05 ± 0.59). The normality test showed that the data were not normally distributed (p 0.05). The Kruskal-Wallis test showed that there was no significant difference (p-value 0.748 0.05) in the usage of three combination analgesics therapies to reduce pain in post-caesarean patients based on VAS values