cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 160 Documents
FUNGSI PERIZINAN DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DI KAWASAN BANDUNG UTARA DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Yulinda Adharani; R. Adi Nurzaman
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (832.356 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.37

Abstract

Saat ini telah terjadi perubahan di KBU, pembangunan yang semakin luas dan cenderung tidak terkendali, sehingga mengakibatkan penurunan daya tampung, daya dukung dan daya lenting KBU sebagai kawasan resapan air. Pada kenyataannya KBU khususnya daerah Ledeng sebagian lahannya digunakan oleh pengembang untuk membangun kompleks perumahan. Sehingga KBU dan kawasan lainnya seperti Dago, Punclut dan lainnya terancam akan beralih fungsi dari kawasan konservasi menjadi kawasan pemukiman. Akibatnya, telah terjadi alih fungsi di kawasan tersebut yang akan berdampak seperti banjir dan tanah longsor. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, memaparkan teori tentang perizinan dan tata ruang serta pembangunan berkelanjutan dikaitkan dengan kasus alih fungsi ruang. Dari hasil penelitian ini dilihat dari kasus-kasus yang ada di KBU, kebanyakan ialah apartemen dan hotel yang telah memiliki izin tetapi ternyata tidak memiliki rekomendasi gubernur. Hal ini harus menjadi perhatian para pemberi izin karena dalam Pasal 54 Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat dijelaskan perlunya rekomendasi dari gubernur untuk mendapatkan izin. Hal ini menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dalam penaatan hukum lingkungan yaitu lebih berhati-hati dalam mengeluarkan izin sehingga dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
KEDUDUKAN SURAT IZIN PERUMAHAN (SIP) DALAM KERANGKA HUKUM PERUMAHAN DI INDONESIA Yani Pujiwati
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.817 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.56

Abstract

ABSTRAK Kepastian pemilikan rumah akan mengurangi sengketa berkaitan dengan rumah yang sekarang marak terjadi di kota besar seperti Kota Bandung. Selama ini masyarakat yang memperoleh Surat Izin Perumahan (SIP) secara turun temurun seringkali beranggapan bahwa rumah tersebut sudah menjadi haknya karena pewarisan. Sementara untuk membuktikan pemilikan rumah tidak memiliki alat pembuktian apapun, seringkali terjadi Surat Izin Perumahan (SIP) sudah habis jangka waktu izin penghuniannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan penghunian rumah bukan oleh pemilik dalam berbagai peraturan yang pernah berlaku di Indonesia dan kedudukan Surat Izin Perumahan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.            Penelitian  ini bersifat  deskriptif analitis, yaitu menggambarkan berbagai masalah hukum dan fakta serta gejala lainnya yang berkaitan dengan pengaturan Surat Izin Perumahan (SIP), kemudian menganalisisnya guna memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang permasalahan-permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu menelusuri, mengkaji dan meneliti data sekunder yang berkaitan dengan peraturan tentang  perumahan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghunian rumah bukan oleh pemilik diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun serta peraturan pemerintah yang masih berlaku berdasarkan peraturan peralihan. Kedudukan Surat Izin Perumahan (SIP) tidak menunjukkan kepemilikan, namun menunjukkan penghunian saja. Kata Kunci: Perumahan; Surat Izin Perumahan.     ABSTRACTThe certainty of home ownership will reduce disputes related to the House that is now the city's happening in major cities like Bandung city. During this time the society gained a Residential Permit (SIP) hereditary often assume that the House is already a right due to inheritance. While to prove possession of the House does not have any evidentiary tool, often happens to Permit housing (SIP) is up a period of permission penghuniannya. This research aims to know the development of residential homes instead of by the owner in the various regulations applicable in Indonesia and was once the seat of a housing Permit in Indonesia legislation.This research are analytical, descriptive, that describes the various legal issues and facts as well as other symptoms related to a residential Permit arrangements (SIP), then menganalisisinya to get an overview of the whole and of the problems examined. The method used is the juridical approach to normative, i.e. searching, reviewing and researching secondary data with regard to the rules on housing. The results showed that residential home owner rather than by regulated in law No. 1 year 2011 about housing and Settlement Area and Act No. 20 in 2011 about the Flats as well as regulatory pemerinath valid based on a transitional regulation. Position the housing Licence (SIP) does not indicate possession, but shows the residential course. Keywords: Housing; Housing Licenses.
PELAKSANAAN IZIN LINGKUNGAN DI KABUPATEN BANGGAI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Risno Mina
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.69 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.24

Abstract

ABSTRAKPembangunan Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah semakin berkembang dengan pesat, dengan banyak usaha atau kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup misalnya di bidang pertambangan, sehingga perlu adanya perhatian khusus dan mendalam dari efek-efek yang akan dan/atau mungkin saja terjadi pada lingkungan, perlunya memperhatikan keberlangsungan lingkungan serta harmonisasi antara lingkungan hidup dan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Sehingga dalam pembangunan di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi harus menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka melakukan perlindungan dan pengelolaan  lingkungan hidup, melalui perizinan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Izin lingkungan harus dimiliki tidak hanya untuk kegiatan usaha yang berdampak pada lingkungan hidup sehingga harus memiliki dokumen AMDAL tetapi juga pada kegiatan usaha yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup tetapi harus memiliki dokumen UKL-UPL yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.Kata Kunci: Izin, Lingkungan ABSTRACTDevelopment in Banggai Regency, Central Sulawesi Province is growing rapidly, with much effort or activity related to the environment, for example in the mining field, it must have a special and depth heeding from the effects that will be occur to the environment, and need heeding to environment harmony and sustainability between the environmental and the creatures that live inside it. So that, the development in Banggai Regency, Central Sulawesi province should use the sustainable concept development to protect and manage the environment, through environment licensing. Based on the result of the research, the environment license must not only be had by the business activity, such as a document of EIA (Environment Impact Assessment) but it also for the others business activities that do not have an important impact to the environment, and it also has a document of UKL-UPL (Management Environment Efforts and Monitoring Environment Efforts) required for business activities’ decision.Keyword: Environment, License
KORELASI POLLUTER PAYS PRINCIPLE DAN KONSEP BLUE ECONOMY PADA PENCEMARAN MINYAK OLEH KAPAL TANKER SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT INDONESIA Elly Kristiani Purwendah
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (250.7 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.41

Abstract

ABSTRAKPenulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana korelasi polluter pays principle (prinsip pencemar membayar) dan konsep blue economy (ekonomi biru) sebagai upaya melindungi kepentingan lingkungan laut Indonesia. Sumber daya alam laut Indonesia menjadi prioritas pembangungan dengan kebijakan poros maritim dan kelautan, terutama dengan diadopsinya konsep ekonomi biru. Konsep Ekonomi Biru dikembangkan untuk menjawab tantangan sistem ekonomi dunia yang cenderung ekploitatif dan merusak lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi melebihi kapasitas atau daya dukung alam. Prinsip pencemar membayar merupakan prinsip tanggung jawab pelaku usaha terhadap usahanya dari dampak yang mungkin ditimbulkan usahanya untuk tidak merusak dan/atau mencemari lingkungan laut. Prinsip ini menjadi titik penting tentang tanggung jawab hukum terhadap pelaku usaha atau ekonomi di lingkungan laut untuk tidak eksploitatif dengan diakomodasinya konsep ekonomi biru oleh pemerintah.Kata Kunci: Blue Economy; Korelasi; Polluter Pays Principle; Tanggung Jawab. ABSTRACTThe aim of the paper was to see the correlation of polluter pays principle with the concept of blue economy as an effort to protect the interests of the marine environment of Indonesia. Indonesia's marine resources become a development priority with sea and maritime axis policy, especially with the adoption of the concept of blue economy. The concept of Blue Economy was developed to address the challenges of the world economic system that tended to be exploitative and environmentally destructive due to the exploitation that beyond the capacity or natural carrying capacity. The polluter pays principle is the principle of business responsibility to his business to the impact that might be caused by his business not to damage and/or pollute marine environment. The principle becomes an important point on the legal responsibility of business or economic actors in the marine environment in order not to be exploitative by accommodating the concept of blue economy by the government. Keywords: Correlation; Polluter Pays Principle; Blue Economy; Responsibility.
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN RUMAH SUSUN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH Betty Rubiati; Yani Pujiwati; Mulyani Djakaria
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (322.84 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.19

Abstract

ABSTRAKKepemilikan rumah susun yang ada saat ini menyatukan rumah susun dengan hak atas tanahnya yang harganya tinggi sehingga sulit dijangkau oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dalam perkembangannya pengaturan rumah susun yang baru sudah memisahkan bangunan rumah susun dengan hak atas tanahnya sesuai dengan asas pemisahan horizontal, yaitu satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah barang milik pemerintah/daerah dan tanah wakaf dengan cara sewa. Namun hal ini masih memerlukan pengaturan lebih lanjut. Hasil yang dicapai adalah bahwa sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pendaftaran kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun dan penerbitan Sertipikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun), namun sudah ada upaya pemerintah untuk membuat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang SKBG Sarusun dan kelembagaannya yang melibatkan instansi tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sebagai instansi teknis yang mengatur tentang perumahan dan bangunan gedung.Kata Kunci: Pendaftaran, Kelembagaan, SKBG Sarusun ABSTRACTThe existing ownership of apartment comprise the ownership of apartment and land ownership which has high price with the result it hard to reach for low-income people. In its evolution, the new regulation of Apartment which separate apartment building and the rights over land is accordance with the principle of horizontal separation, which is apartment unit which stand above the land owned by the government and benefaction land by way of lease. However, this problem needs further regulation. The result that achieved is that until today there are no procedural regulation which regulates the procedure of ownership of strata title registration and the issuance of certificate of ownership of Strata Title unit , however, there is certain efforts made by the government to create the government regulation in regards with certificate of ownership of Strata Title unit and about the institution beside inviolving central institution, province or district/town as technical institution has regulation in regards with housing and building structure.Keywords: Registration, Institution, Certificate of ownership of Strata Title unit.
MANFAAT BAGI INDONESIA SEBAGAI PIHAK PADA CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY DAN NAGOYA PROTOCOL DALAM MELINDUNGI SUMBER DAYA GENETIK DAN PENGETAHUAN TRADISIONAL Yovita Indrayati; Marsudi T.
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.338 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.36

Abstract

Indonesia merupakan salah satu Negara terkaya dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Oleh karena itu, dibutuhkan ketentuan hukum yang mengatur perlindungan sumber daya genetik beserta pengetahuan tradisional untuk menjaga kelestarian sumber daya genetik dan keadilan bagi masyarakat hukum adat dan masyarakat adat. Perlindungan atas sumber daya sumber daya genetik beserta hak masyarakat hukum adat dan masyarakat adat atas pemanfaatan sumber daya sumber daya genetik telah diatur di dalam sumber Hukum Internasional dan sumber hukum Nasional. Negara Indonesia telah menjadi pihak dan melakukan pengesahan atas konvensi Keanekaragamaan Hayati (Convention on Biological Diversity) dan Protokol Nagoya (Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization). Selain itu, Negara Indonesia telah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Namun demikian, Negara Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan implementasi perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan tersebut terutama yang berkaitan erat dengan perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetik beserta pengetahuan tradisionalnya serta keadilan bagi masyarakat hukum adat dan masyarakat adat
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN TANAMAN SAGU DI MALUKU Victor Juzuf Sedubun; Muhammad Irham
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.595 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.2

Abstract

AbstrakSalah satu instrumen hukum administrasi adalah pengawasan. Pengawasan yang dimaksud, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap tindakan pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu di Maluku. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pembinaan Pohon Sagu, telah mengatribusikan kewenangan pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku kepada Pemerintah Provinsi. Wujud dari kewenangan dalam pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu oleh Pemerintah Provinsi Maluku adalah pengawasan terhadap pengelolaan pohon sagu. Penebangan pohon Sagu hanya dapat dilakukan setelah ada rekomendasi dari Badan Penggelolan Pohon Sagu. Pengawasan ini menjadi tidak berarti ketika penegakkan hukum tidak dapat diterapkan secara optimal, disebabkan karena Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tidak mengatur tentang sanksi administrasi terhadap pelanggaran administrasi. Kekosongan hukum ini berakibat pada penegakkan hukum administrasi yang lemah. Untuk itu perlu kiranya diatur mengenai sanksi admistrasi yang menjadi dasar hukum penindakan pelanggaran administrasi dalam pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku.Kata kunci: hukum administrasi; pelestarian; sagu. AbstractOne of the instrument of administrative law is control. Control, including the control of the management measures and conservation of Sagu in Molluca. Local Regulation of Molluca Province Number 10 Year 2011 about Management and Conservation Sagu, has attributed authority to management and the preservation of Sagu in Molluca to the Provincial Government. he authority to management and development of sagu by Molluca provincial government are controlling the management of the sagu. he logging of Sagu tree can be doing after get a recommendation from the BPPS. his control becomes meaningless when law enforcement cannot be applied optimally, it because in a Local Regulation of Molluca Provincial Number 10 of 2011 does not provide for administrative sanctions against administrative violations, it mean that enforcement of administrative law can be doing. It is necesaary to set administrative sanction as the foundational of law enforcement administrative violations in the management and preservation of Sago in Molluca.keywords: administrative law; conservation; sagu.
PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI KAWASAN PERBATASAN DARAT INDONESIA – MALAYSIA DI KALIMANTAN Nia Kurniati; Maret Priyanta
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (973.251 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.47

Abstract

Penyediaan lahan bagi pembangunan infrastruktur pertahanan keamanan dan jaringan jalan di kawasan perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Kalimantan tidak dipungkiri akan melalui kawasan lindung telah didukung dengan legal policy Pemerintah dalam Perpres No.31 Tahun 2015, menjadi landasan hukum bagi instansi pemerintah yang membutuhkan tanah untuk penyelenggaraan kegiatan pembangunan infrastruktur hankam dan jaringan jalan yang dilaksanakan berdasarkan UU No.2 Tahun 2012. Pengambilalihan tanah pribadi untuk kegiatan kepentingan umum, bukan pedang bermata dua, karena penempatan aturan pengadaan tanah ke dalam UU sudah merefleksikan unsur “persetujuan” dari pemegang hak yang bersangkutan untuk melepaskan haknya atas tanah bagi kepentingan yang lebih besar dari sekedar kepentingan pribadi dijiwai oleh asas fungsi social hak atas tanah mengakibatkan berakhirnya hak atas tanah. 
KONSEP HUKUM PENGELOLAAN TAMBANG BATUBARA BERKELANJUTAN BERDASARKAN PENDEKATAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI PROVINSI BENGKULU Edra Satmaidi; Arini Azka Muthia; Wulandari .
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.697 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.58

Abstract

ABSTRAK Pengelolaan tambang batubara di wilayah hulu DAS Bengkulu (Kabupaten Bengkulu Tengah) telah menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan, lahan kritis, terjadinya pendangkalan dan penyempitan DAS Bengkulu, buruknya kualitas air, serta potensi terjadinya banjir di wilayah hilir DAS Bengkulu (Kota Bengkulu) pada musim hujan. Kegiatan pengambilan batubara dilakukan secara terbuka (open pit mining) merambah masuk pada kawasan hutan yang dilindungi  dan kawasan yang belum berstatus Clear and Clean (CnC) serta mengabaikan aspek perlindungan DAS Bengkulu sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan: (1) kerusakan DAS Bengkulu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya kegiatan pengambilan batubara secara terbuka pada wilayah hulu DAS Bengkulu dan pada kawasan Hutan Lindung Rindu Hati yang sudah diubah statusnya menjadi Hutan Produksi Tetap. Kondisi ini juga disebabkan tidak sinkronnya beberapa peraturan perundang-undangan terkait, dan implementasi otonomi daerah yang menekankan pada peningkatan PAD dan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan; (2) konsep hukum pengelolaan tambang batubara berkelanjutan berdasarkan pendekatan DAS Bengkulu harus dibangun  melalui  Rencana Pengelolaan DAS Bengkulu, yang menetapkan zona hulu dan tengah DAS Bengkulu dengan sistem pertambangan tertutup (underground mining), sementara  sistem pertambangan terbuka secara ketat dapat dilakukan di zona hilir DAS Bengkulu. Kata Kunci: Konsep Hukum; Pengelolaan; Tambang Batubara; Pendekatan DAS. ABSTRACTCoal mining activities in upstream of Bengkulu River Basin (Central Bengkulu Regency) have resulted in the conversion of forests, critical lands, the occurrence of silting and narrowing of Bengkulu River Basin, poor water quality, and the potential for flooding in downstream areas of Bengkulu River Basin (Bengkulu City) during the rainy season. Coal mining activities are openly exploited in protected forest areas and areas that are not Clear and Clean (CnC) areas status and ignore the protection aspects of the Bengkulu River Basin as a buffer zone for life support systems. This is a normative legal research. The results show: (1) Bengkulu River Basin damage is increasing along with the increasing of coal exploiting activity in upstream of Bengkulu River Basin and in Protected Forest Area of Rindu Hati that has been changed its status to Permanent Production Forest. This condition is also due to diss-synchronization of some related legislations, including the implementation of local autonomy that is more oriented towards increasing of local original income and neglecting aspects of environmental sustainability; (2) the legal concept for sustainable coal mining management based on the Bengkulu River Basin Approach, which establishes the upstream zone of Bengkulu River Basin with underground mining system, while a tightly open pit mining system can be conducted in the middle and downstream zone of Bengkulu River Basin. Keywords: Legal Concept; Management; Coal Mining; Watershed Approach.
MEDIASI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI TERHADAP PELANGGARAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG SEHAT Marhaeni Ria Siombo
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.547 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.11

Abstract

AbstrakUUPPLH tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah ‘hak’ setiap warga negara Indonesia. Manusia adalah subyek hukum, pemikul hak dan kewajiban. Fungsi hukum adalah mengatur terlaksananya interaksi antara hak dan kewajiban masing-masing orang, supaya tercipta ketertiban. Hak dan kewajiban melekat utuh dalam diri manusia. Dalam hukum perdata mengatur interaksi hak di satu pihak dan kewajiban dipihak lainnya, begitu seterusnya pergaulan manusia. Pelanggaran terhadap ‘hak’ akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaktertiban atau sengketa di antara para pihak, yang harus diselesaikan secara hukum.Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan persyaratan yang diwajibkan terhadap suatu kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan. AMDAL merupakan instrumen hukum berkaitan dengan perizinan yang esensinya untuk mengontrol pelaksanaan tiga pilar pembangunan, ekonomi, sosial dan ekologi. Dokumen AMDAL akan memberikan petunjuk terjadinya pelanggaran terhadap ‘hak’ masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup berkaitan dnengan ganti rugi terhadap mereka yang dilanggar haknya dan pemulihan lingkungan terhadap lingkungan yang rusak. Pembayaran ganti rugi sebagai konpensasi atas penderitaan dari pelanggaran hak lingkungan, pengembalian penderita pada kedaan semula (restitusio in integrum).Pasal 84 UUPPLH menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Secara non litigasi lebih mengutamakan musyawarah mufakat, win-win solution, misalnya mediasi. Dalam mediasi kedua pihak sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian, selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak, di sinilah titik lemahnya penyelesaian non litigasi. Secara teknis penyelesaian sengketa non litigasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tetapi sampai saat ini khusus untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup non litigasi belum menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat dalam memperjuangkan haknya.Kata Kunci: mediasi; penyelesaian sengketa non litigasi; pelanggaran hak; lingkungan hidup; sehat. AbstractEnvironmental Law concerning Environment Protection and Management proclaimed that having a healthy environment is the right of every Indonesian citizen.1 Human is a legal subject who has right and obligation. Legal function is to administer harmonious right and obligation of every citizen. Both right and obligation are in unity with human. Civil law administers the interaction of right and obligation, then human interaction. Violation towards ‘right’ will create imbalance and unsynchronized or dispute among parties, which need legal settlement.Environmental Impact Assessment (AMDAL) is a requirement for an activity, which predicted to have environment impact. AMDAL is a legal instrument related to license which mean to control the three main development cores, which are economy, social and ecology. AMDAL document will provide clues for people’s right violation to have a healthy environment. Environmental violation relates with compensation towards those who’s right where violated and environmental reinstate. (restitusio in integrum).Article 84 of UUPLH proclaims that environmental dispute settlement could be done through court (litigation) or outside the court (non-litigation). Non-litigation settlement put forwards mutual agreement, win-win solution such as mediation. In the process of mediation there should be no forced idea or agreement in accepting or rejecting statements. Every parties should give consent, where this can be say as the weakness of non-litigation settlement. echnically, non-litigation dispute settlement is arranged in Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Year 2008 about Mediation Procedure in Court, but up to now it was not a major choice for people to fight for their right.Keywords: mediation; non-litigation dispute settlement; law violation; environment; health.  

Page 3 of 16 | Total Record : 160