cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 160 Documents
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA OLEH PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Christin Septina Basani
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.484 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.60

Abstract

ABSTRAKPengelolaan dan perlindungan kawasan hutan yang merupakan salah satu keanekaragaman hayati harus terus diperhatikan. Kesadaran masyarakat harus terus menerus ditumbuhkan didaerah yang masyarakatnya mengandalkan mata pencahariannya dari alam berupa pertanian, perikanan maupun dari hutan. Pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati membutuhkan peran pemerintah sebagai regulator kebijakan yang erat berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Istilah “tebang butuh’ tidak akan muncul lagi bila pemerintah membantu masyarakat dengan prinsip partisipasi, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan keadilan. Sehingga keberlanjutan sumber daya alam bagi lingkungan sekitarnya akan terus ada dan membentuk ekosistem lingkungan yang memberikan manfaat. Kearifan lokal pada hutan yang dimiliki masing-masing daerah menjadi nilai tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009. Kearifan lokal akan terus dijaga dan dilestarikan sebagai penopang kehidupan masyarakat lokal. Masyarakat tidak akan bisa bekerja sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.Salah satu contoh kearifan lokal yaitu pohon jati yang tumbuh dilahan yang terletak di Girisekar, Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Yogyakarta. Pohon jati tersebut mampu menyelamatkan masa depan anak dari pemilik pohon jati. Untuk membiayai sekolah anaknya, pemilik menebang enam pohon dengan harga jual 25 juta. Selain itu ada kerumunan pohon jati yang akan terus tumbuh sebagai masa depan penduduk di kampung Girisekar Kecamatan Panggang Gunungkidul. Pohon jati tersebut sebagai tumbuhan berkayu yang muncul di tanah milik perorangan yang kerap disebut hutan rakyat atau hutan hak. Penebangan dengan sistem “tebang butuh” menjadi solusi bagi warga masyarakat, disamping itu ada keinginan dari warga masyarakat untuk bisa melestarikan hutan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat di sana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yuridis normatif, dengan melihat peraturan perundangan, diantaranya UU Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009. Melihat permasalahan kearifan lokal dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan pengelolaannya untuk kemanfaatan bagi warga atau masyarakat sekitar yang menjadi bagian dari kehidupan bersama.Kata kunci: keanekaragaman hayati; pengelolaan dan perlindungan; kearifan lokal.ABSTRACTTeak trees that grow in dilis located in Girisekar, Panggang District, Gunungkidul, Yogyakarta by one of its owner named Andreas Sihono able to save the future of his son. To finance his son’s school, Sihono cuts down six trees at a selling price of 25 million. In addition there is a crowd of teak trees that will continue to grow as the future of residents dikampung Girisekar Panggang Gunungkidul District. The teak tree as a woody plant that emerged on the land belonging to individuals who often called the community forest or forest.How to grow woody plants (which are not only teak but there are mahogany trees, acacias and some bamboo groves) are various. There are grown in rocky areas so as to disguise boulders, or grow/planted in intercropping (trees planted on the edge of the boundary of the land, while in the middle of a land that is thickly overgrown with seasonal crops such as cassava and maize). This people’s forest is different from the previous years, where the people there do not maintain sustainable forest management. The “cutting-edge” system makes the Girisekar community able to cut down regardless of forest sustainability as a spring protection. The restriction of harvesting every year and pay attention to its management make the people’s forest become the area that must be preserved, not only provide economic benefits mere. The research method used in this study is normative juridical, by looking at the laws and regulations, including Environmental Law No. 32 of 2009.The management and protection of forest areas that are one of biodiversity must be kept in mind. Public awareness must be continuously grown in the areas where people rely on their livelihoods from nature in the form of agriculture, fisheries and forest. Management and protection of biodiversity requires the role of government as a policy regulator closely related to people’s welfare. The term “cutting need” will not reappear if the government helps the community with the principles of participation, transparency, efficiency, accountability and fairness. So that the sustainability of natural resources for the surrounding environment will continue to exist and form a beneficial ecosystem environment. Local wisdom in the forests owned by each region becomes its own value as regulated in the Environmental Law No.32 of 2009. Local wisdom will be maintained and preserved as the support of local people. The community will not be able to work alone without government support.Keywords: biodiversity; management and protection; local wisdom.
PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN TIGA MEKANISME FLEKSIBEL DALAM PROTOKOL KYOTO Heidy Jane; Gabriella Gianova; Linny Firdaus; Zoar Reinhard
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (740.543 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.70

Abstract

ABSTRAKSalah satu tonggak penting dari perjanjian terkait perubahan iklim adalah Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol ini tidak hanya menentukan tingkat pengurangan atau pembatasan emisi gas rumah kaca dari negara maju (negara Annex I), tetapi juga memberikan kesempatan kepada negara tersebut untuk menurunkan emisi melalui mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) sebagai tambahan dari penurunan emisi di negaranya masing-masing. Tiga mekanisme ini adalah mekanisme perdagangan emisi/karbon (emission/carbon trading), mekanisme Joint Implementation, dan Clean Development Mechanism. Seiring dengan berjalannya waktu, timbul berbagai masalah dalam pelaksanaan ketiga mekanisme fleksibel tersebut. Salah satu masalah terbesar dan pertanda kegagalan dari ketiga mekanisme tersebut adalah Negara Annex I bahkan jauh dari target pengurangan emisi yang telah ditentukan. Persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan Protokol Kyoto dan mekanisme fleksibelnya merupakan pelajaran berharga bagi pelaksanaan perjanjian pasca Kyoto, termasuk Perjanjian Paris 2015.Kata kunci: protokol kyoto; perdagangan emisi; joint implementataion; mekanisme pembangunan bersih.ABSTRACTProtocol Kyoto, established in 1997, is one of the most important milestones for agreement on climate change. This Protocol not only determines the level of reduction or limitation of greenhouse gas (GHG) emission from developed countries (Annex I countries) but also provides an opportunity to reduce the emission through flexible mechanisms as addition to reduced emission in their countries. There are three mechanisms of flexible mechanisms: Emission/Carbon Trading, Joint Implementation, and Clean Development Mechanism. As time goes by, problems arise in the implementation of those three flexible mechanisms. One of the major problem and the sign of a failure of those Kyoto mechanisms is that the Annex I countries are not even close to the target of emissions reduction the protocol has set. However, the implementation of Protocol Kyoto and its flexible mechanisms are precious lessons to the agreement after Kyoto established in 2015, namely the Paris Agreement.Keywords: kyoto protocol; emission trading; joint implementation; clean development mechanism.
IMPLIKASI PERUBAHAN PERUNTUKAN PRASARANA DAN SARANA TERHADAP PEMILIK RUMAH DALAM MEWUJUDKAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN Sulaeman Adhyatma; Yani Pujiwati; Maret Priyanta
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.737 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.65

Abstract

ABSTRAKKebutuhan terhadap perumahan telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia, terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar, sehingga memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan akan perumahan di tengah berbagai kendala seperti keterbatasan lahan perumahan. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman dan arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan yang menitikberatkan terhadap data sekunder yang difokuskan untuk mengkaji kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Analisis data yang dipergunakan adalah yuridis kualitatif yakni memberikan gambaran secara khusus berdasarkan data yang dikumpulkan.Hasil penelitian menunjukan bahwa implikasi perubahan peruntukan prasarana dan sarana terhadap pemilik rumah yang mengalami kerugian di kawasan permukiman yaitu terjadi eksklusifitas dalam pemanfaatan fasilitas tersebut, karena fasilitas sosial dan fasilitas umum merupakan public goods yang pemanfaatannya tidak dipungut biaya dan tidak boleh ada pihak yang dikecualikan dalam pemanfaatan fasilitas tersebut. Pemilik rumah dapat mengajukan tuntutan kepada pengembang perumahan untuk mendapatkan kompensasi akibat dari kerugian yang dialaminya. Arah pengaturan peruntukan prasarana dan sarana di kawasan permukiman dalam mewujudkan lingkungan yang teratur, serasi dan berkelanjutan adalah untuk mengawasi, mengendalikan dan memanfaatkan ruang, lahan serta sumber daya alam yang tersedia dalam pelaksanakan pembangunan perumahan di kawasan permukiman, sehingga dapat menciptakan keteraturan dan keterpaduan antara lahan yang akan dibangun dengan persentase yang telah diatur.Kata kunci: Lingkungan yang Berkelanjutan; Pemilik Rumah; Prasarana dan Sarana ABSTRACTThe need for housing has changed, occurring in the world community, especially in urban communities, where the population is very large, allows for housing in various types such as limited housing. along with the increasing number of people, the space will be available facilities that support community life and also increase. The problems that will be examined in this study are the implication of changes in the allocation of infrastructure and facilities to homeowners who suffered losses in the settlement areas in realizing an orderly, harmonious and sustainable environment. The method used in this research is judicial normative approach method that is the literature research focuses on secondary data to examine the rules or norms in positive law. Data analysis used is juridical qualitative, which provides a specific description based on the data collected.The Result of research show that the implication of changing the allocation for facilities and infrastructures for the house owner who has loss in the residential area that is the exlucivity of its utilization, because social facility and public facility are public goods whose utilization is free of charge and there should be no parties excluded in utilization the facility. homeowners can be filed the suits to the developer to get the compensations according to the losses they had. The purpose of the regulation of facilities and infrastructures in the residential area in order to make a measured environment, tidy, and sustainable is to supervise, to control, and to utilize the space, land and also the available natural resources in order to implementation the residential development, so that can create cohesiveness between the land to be built and the presentage to be set.Keyword: Sustainable Environment; Homeowners; Facilities and Infrastructure
PENYEIMBANGAN TERHADAP DAMPAK NEGATIF KEBIJAKAN PERTAMBANGAN BATUBARA Abdul Halim Barkatullah; Ifrani .
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.988 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.69

Abstract

ABSTRAKDalam realita pertambangan batubara banyak muncul permasalahan lingkungan dan ketidakadilan. Dalam penelitian ini memunculkan problem hukum dalam hal realisasi kebijakan keseimbangan dari suatu pertambangan batubara di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan didukung penelitian lapangan. Peneliti melakukan pengumpulan bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil dari penelitian ini menunjukan realisasi kebijakan pertambangan batubara di Provinsi Kalimantan Selatan berdampak positif dan negatif. Dampak positif berupa bantuan di bidang sosial budaya, pendidikan dan perkebunan, dari dana tanggung jawab sosial perusahaan tambang batubara, dan masyarakat di sekitar areal pertambangan juga mendapat keuntungan dan pekerjaan tambahan. Selain dampak positif yang disebutkan di atas, ternyata pertambangan lebih banyak mempunyai dampak negatif baik bagi masyarakat sekitar, bagi hasil pertambangan yang dirasa masih kurang adil, maupun dampak bagi lingkungan. Kata kunci: kebijakan; keseimbangan; pertambangan batubara.ABSTRACTIn reality there are many environmental problems and injustices in coal mining. This study raises legal problems in terms of the realization of the balance policy of a coal mining in South Kalimantan Province. This research is normative legal supported by field research. The researchers collected legal materials that include primary, secondary and tertiary legal materials. The results of this study show the realization of coal mining policy in South Kalimantan Province has a positive and negative impact. Positive impacts of assistance in the field of socio cultural, educational and plantation, from social responsibility funds of coal mining companies, and communities around the mining area also benefit and additional work. In addition to the positive impacts mentioned above, it turns out mining has more negative impact both for the surrounding community, the share of mining that is still considered unfair, and the impact on the environmentKeywords: balance; coal mining; policy.
GLOBALISASI: TANTANGAN DALAM PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN KONSERVASI SUMBER DAYA AIR Jundiani Ernu
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.783 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.55

Abstract

ABSTRAK Paper ini mengkaji tentang tantangan globalisasi terhadap penyediaan ruang terbuka hijau dan konservasi sumber daya air. Persoalan mendasar muncul pada saat modernitas industrial dan berkembangnya paradigma developmentalisme telah menjadi bagian dari pola pikir yang dianggap paling tepat dalam kehidupan global sekarang ini. Akibatnya, kelestarian ekosistem dan ekologi mulai terancam ketika segala kebutuhan hidup manusia menjadi bagian tuntutan material yang harus dipenuhi. Krisis lingkungan hidup dan kerusakan sumber daya alam sebagai dampak paradigma antroposentrisme yang berkembang dan hidup di masyarakat akan menjadi bom waktu bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis masalah yang muncul berkaitan dengan persoalan terbatasnya ruang terbuka hijau serta konservasi sumber daya air sebagai dampak dari globalisasi. Metode analisis menggunakan juridis-normatif dengan pendekatan konsep dan perundang-undangan. Tulisan ini mengkaji undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai landasan kebijakan hukumnya, sehingga dapat mewujudkan penyediaan ruang terbuka hijau yang bersinergi dengan kegiatan konservasi sumber daya air. Kata kunci: globalisasi; ruang terbuka hijau; konservasi; sumber daya air. ABSTRACTThis paper presents the challenges of globalization on the provision of green open spaces and conservation of water resources. Fundamental issues arise at a time of industrial modernity and the developmental paradigm of developmentalism has become part of the mindset that is considered most appropriate in today’s global life. Consequently, ecosystem and ecological sustainability is under threat when all human needs are part of the material demands. The environmental crisis and the destruction of natural resources as a result of the anthropocentrism paradigm that develops and lives in society will be a time bomb for the sustainability of human life. The purpose of this study is to analyze issues relating to the limited of green open space and the conservation of water resources as a result of globalization. In this paper, it conducts the normative-juridical analysis with conceptual and statute approaches. Furthermore, this paper discusses Law No. 26 of 2007 on Spatial Planning as the foundation of its legal policy, so that it can realize the provision of green open space that synergize with the conservation of water resources.Keywords: globalization; green open space; conservation; water resources.
PENGGUNAAN RUANG BAWAH TANAH UNTUK BANGUNAN GEDUNG DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT YANG BERLAKU Siti Sarah Afifah; Nia Kurniati; Yusuf Saepul Zamil
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.538 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.64

Abstract

ABSTRAKBertambahnya jumlah manusia yang membutuhkan tanah luasan/areal lahan (tanah) terbatas, menyebabkan maraknya penggunaan ruang bawah tanah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Kota Bandung, Jakarta, dan Makassar. Hal tersebut didukung pula dengan perkembangan teknologi yang pesat saat ini. Permasalahan muncul ketika penggunaan tanah dilakukan secara 3 (tiga) dimensi sedangkan dasar obyek pendaftaran tanah merupakan bagian-bagian permukaan bumi tertentu yang berbatas dan berdimensi 2 (dua). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menemukan legalitas bangunan gedung yang dibangun di ruang bawah tanah, dan menemukan akibat hukum penggunaan ruang di bawah tanah untuk bangunan gedung ditinjau dari peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku.Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran secara komprehensif mengenai penggunaan ruang di bawah tanah untuk bangunan gedung. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penggunaan ruang di bawah tanah untuk bangunan gedung. Penggunaan tanah dengan 3 (tiga) dimensi yang berarti tidak hanya menyangkut ukuran panjang dan lebar tanah saja, melainkan juga menyangkut ukuran tinggi/kedalaman tanah. Sehingga dalam penggunaan ruang bawah tanah harus memperhatikan aspek-aspek hukum lainnya yang terkait seperti aspek hak atas tanah, penataan ruang, dan perizinan, agar ruang bawah tanah dapat dipergunakan secara legal, dan optimal sesuai dengan tujuan, dengan tetap menjaga aspek penataan ruang dan lingkungan.Kata kunci: bangunan gedung; izin mendirikan bangunan; penggunaan ruang bawah tanah.ABSTRACTThe increasing number of people who need land but the area / land area (land) is limited, causing widespread use of underground space in Indonesia, especially in big cities such as the City of Bandung, Jakarta and Makassar. This is also supported by the rapid development of technology at this time. Problems arise when the use of land is done in 3 (three) dimensional not only in 2 (two) dimensional, while the base of the object of registration of land are limited and two-dimensional parts only. Based on the problem stated, the aim of this research are to find the legality of the building which built underground and to find the legal consequences use of underground spaces for building based on related applicable regulations.The research method used is analytical descriptive, it is expected to get a comprehensive picture about the use of underground space for buildings. The approach method used in this research is normative juridical, by collecting data that obtained from literature study and study of legislation relating to the use of underground for building. The use of land with 3 (three) dimensions which means not only concerning the size of the length and width of the land, but also concerning the size of the height / depth of the soil, ie in this case using the basement for buildings. So, the use of space underground should pay attention to other related legal aspects such as Aspects of land rights, spatial arrangement, and licensing, so that the basement can be used legally, and optimally in accordance with the objectives, while maintaining the aspect of spatial and environmental arrangement.Keyword: buildings; building permit; the use of underground space.
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN Evi Purnama Wati
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.424 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.63

Abstract

ABSTRAKPembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam, sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan. Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi sosial, dan budaya serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas keadilan. Jenis penelitian menggunakan yuridis-normatif. Kesimpulan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pemerintah perlu lebih konsisten dalam menerapkan regulasi yang efektif dan keterbatasan birokrasi pemerintah untuk diperankan sebagai instrumen utama pengelolaan lingkungan hidup sejauh ini tidak pernah diwacanakan di Indonesia.Kata kunci: perlindungan; pengelolaan; lingkungan hidup; pembangunan berkelanjutan.ABSTRACTSustainable development is a development process that maximizes the benefits of natural resources, human resources, by harmonizing natural resources with humans in development. Environmental management provides economic, social and cultural benefits and needs to be based on prudential principles, environmental democracy, decentralization, and recognition and respect for local wisdom and environmental wisdom, so that the Indonesian environment must be protected and properly managed based on justice, research using juridical-normative. Conclusion The principles of environmental management in the national legal dynamics of Environmental Protection and Management (PPLH) according to Law No. 32 of 2009 Article 1 paragraph (2) is a systematic and integrated effort undertaken to preserve environmental functions and prevent the occurrence of pollution and / or environmental damage which includes planning, utilization, control, maintenance, supervision and law enforcement. the government needs to be more consistent in implementing effective regulation and the limitations of government bureaucracy to serve as the main instrument of environmental management so far has never been discouraged in Indonesia.Keywords: environmental; management; protection; sustainable development.
IMPLEMENTASI PROGRAM INDUSTRI HIJAU DALAM RANGKA KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA Aminah .; Yusriyadi .
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (296.066 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.62

Abstract

ABSTRAKIndustri hijau disamping dapat menunjang pengembangan Industri juga bisa dijadikan sebagai salah satu upaya pemenuhan komitmen penurunan gas Rumah Kaca. Permasalahan yang dikaji bagaimana pelaksanaan program industri hijau sebagai upaya pemenuhan komitmen penurunan gas rumah kaca dan Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat pelaksanaan program industri hijau. Metode pendekatan yang digunakan Yuridis empiris dengan spesifikasi deskriptif analitis, dengan primer dan sekunder serta analisisnya analisis kualitaif. Kesimpulan bahwa program industri hijau telah dilaksanakan sejak tahun 2010 tetapi belum signifact menurunkan konsentrasi gas rumah kaca, karena terdapat berbagai faktor penghambat antara lain: substansi hukumnya masih bersifat sukarela, belum ada sanksinya, masih banyak terjadi pembiaran pada industri yang belum menerapkan program industri hijau, terbatasnya industri permesinan nasional untuk mendukung pengembangan industri hijau, masih dominannya profit oriented di kalangan produsen dan konsumen belum banyak yang sadar lingkungan (green consument). Rekomendasi antara perlu mengubah menjadi mandatori, pemberian insentif, peningkatan kepedulian lingkungan baik pada produsen maupun konsumen.Kata kunci: gas rumah kaca; industri hijau.ABSTRACTGreen industry can support industrial development as well as being one of the efforts to fulfill the commitment to reduce greenhouse gases. The problems studied are how the implementation of the green industry program is an effort to fulfill the commitment to reduce greenhouse gases and what factors are the obstacles to the implementation of the green industry program. The approach method used is empirical Juridical with analytical descriptive specifications, with primary and secondary analysis and qualitative analysis.The conclusion that the green industry program has been implemented since 2010 but has not significantly reduced the concentration of greenhouse gases, because there are various inhibiting factors, among others: the legal substance is still voluntary, there are no sanctions, there is still a lot of omission in industries that have not implemented the green industry program, limited national machinery industry to support the development of the green industry, there is still a dominant profit oriented among producers and consumers, not many are environmentally conscious (green consument).Recommendations between the need to change into mandatory, providing incentives, increasing environmental awareness for both producers and consumers.Keywords: greenhouse gases; green industry.
PENERAPAN AZAS PREMIUM REMEDIUM DALAM PERKARA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT LIMBAH B3 DI BATAM Edy Lisdiyono; Rumbadi .
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.556 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.66

Abstract

ABSTRAKPencemaran lingkungan hidup akibat impor limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) yang dilakukan oleh PT APEL dan PT JOM terjadi di Batam, oleh PT APEL dan kegiatan industri lain di wilayah Batam, sudah sangat mengkhawatirkan, karena berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam sebanyak 375 perusahaan diantaranya berpotensi menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Potensi kerusakan lingkungan sudah sangat nyata dan terjadi, namun dari penerapan sanksi terhadap pelaku pencemaran lingkungan belum dilaksanakan secara maksimal. Penelitian ini bersifat normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan bertujuan untuk mengetahui apakah azas Premium Remedium dapat diterapkan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Terjadinya perusakan dan kerusakan lingkungan hidup yang masif tak lepas dari penegakan dan penerapan hukum lingkungan hidup yang ambigu. Pasal 97 UU Nomor 32 Tahun 2009, menyebutkan tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup, merupakan tindak pidana kejahatan. Tindak pidana kejahatan lingkungan seharusnya menggunakan penerapan hukum azas hukum premium remedium, bukan lagi pada azas ultimum remedium. Kata kunci: penerapan; azas premium remedium; pencemaran; lingkungan hidup; limbah b3.ABSTRACTEnvironmental pollution due to imports of B3 waste (toxic hazardous materials) carried out by PT APEL and PT JOM occurred in Batam, by PT APEL and other industrial activities in the Batam area, it was very worrying, because based on data from the Batam City Environmental Impact Management Agency (Bapedal) as many as 375 of which had the potential to produce hazardous and toxic waste materials (B3) The potential for environmental damage has been very real and happened, but the implementation of sanctions on the perpetrators of environmental pollution has not been implemented optimally. This research is normative by using the legislation approach and aims to find out whether the Premium Remedium principle can be applied to prevent environmental damage. The destruction and massive destruction of the environment cannot be separated from the enforcement and application of ambiguous environmental laws. Article 97 of Law Number 32 of 2009, states that criminal acts in the environmental field are crimes. The crime of environmental crime should use the application of the principle of the law of premium remedium, not again on the principle of ultimum remedium.Keywords: application; principle of premium remedium; pollution; living environment; b3 waste.
EKSISTENSI SERTIPIKAT HAK KOMUNAL ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DI SEKTOR KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Lukman Ilman Nurhakim; Betty Rubiati; Anita Afriana
Bina Hukum Lingkungan Vol 3, No 1 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.683 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v3i1.68

Abstract

ABSTRAKHak Ulayat pada penerapannya telah digantikan oleh Hak Komunal melalui Peraturan MATR/KBPN No. 10/2016. Dengan kata lain, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 menghendaki adanya Sertipikat Hak Komunal atas Tanah berpotensi dapat menegasikan pengelolaan Masyarakat Hukum Adat terhadap sektor kehutanan dan perkebunan. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode pendekatan yuridis normatif. Sertipikat Hak Komunal atas Tanah merupakan suatu bukti kepemilikan atas tanah sebagai upaya mereduksi konflik yang terus berkelanjutan. Namun, eksistensi Hak Komunal baik UUPA maupun PP Pendaftaran Tanah tidak mengatur sebagai bagian daripada Hak Atas Tanah maupun objek pendaftaran tanah. Begitu juga UU Kehutanan dan UU Perkebunan sebagai UU sektoral pengelolaan tanah di bidang kehutanan dan perkebunan tidak mengatur mengenai pranata Hak Komunal atas Tanah. Dengan demikian, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat dikarenakan pembentukannya tidak diperintahkan peraturan perundang-undangan di atasnya, demikian juga dengan Sertipikat Hak Komunal atas Tanah dapat dikesampingkan, khususnya pada sektor Kehutanan dan Perkebunan.Kata kunci: hak komunal atas tanah; kehutanan; perkebunan.ABSTRACTCustomary rights in their application have been replaced by Communal Rights through the Regulation of MATR/KBPN No. 10/2016. In other words, Minister regulation ATR/KBPN No. 10/2016 requires the Communal Land Rights Certificates can potentially negate the management of Indigenous People of the forestry and plantation sectors. The method used in this article is normative juridical approach. Communal Land Rights Certificate is a proof of ownership of the land, it is used to reduce conflict. However, the existence of communal rights, both the UUPA and the PP of land registration, does not regulate it as part of land rights or the object of land registration. As well as the Forestry Law and the Plantation Law which in charge in land management law in the field of Forestry and Plantations do not regulate Communal Rights on Land. Thus, Permen ATR/KBPN No. 10/2016 is declared to have no binding power because its formation is not mandated by the laws and regulations above, as well as the Communal Rights Certificate on Land can be set aside, especially in the Forestry and Plantation sectorKeywords: communal rights to land; forestry; plantation.

Page 5 of 16 | Total Record : 160