cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Kajian Wilayah
ISSN : 20872119     EISSN : 2502566x     DOI : -
Core Subject : Social,
Submit Manuscript Journal Help User Username Password Remember me Notifications View Subscribe Information For Readers For Authors For Librarians Current Issue Atom logo RSS2 logo RSS1 logo Visitor Statistics Web Analytics View My Stats ID 4723 US 925 MY 192 PH 103 AU 59 SG 56 GB 51 JP 50 DE 47 EU 45 Newest: DJ You: ID Today: 16 Month: 341 Total: 7264 Supercounters.com Home / Vol 9, No 1 (2018) Jurnal Kajian Wilayah Jurnal Kajian Wilayah (JKW) is an authoritative source of information and discussion on area studies, particularly Southeast Asian studies, Asia Pacific studies, as well as European and African studies. It publishes original research papers, review articles, book reviews and research summary on various perspectives and disciplines (history, anthropology, sociology, literature, politics, international relation, economics, philosophy and religion). JKW is an open access and peer reviewed journal published by Research Center for Regional Resources, the Indonesian Institute of Sciences, twice in a year (July and December).
Arjuna Subject : -
Articles 158 Documents
Indonesia and Nigeria, 1965-1985: Structural Factors, Technocracy and the Politics of Rural Development Riwanto Tirtosudarmo
Jurnal Kajian Wilayah Vol 1, No 1 (2010): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.157 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v1i1.134

Abstract

Tulisan ini membandingkan perkembangan ekonomi antara Indonesia dan Nigeria pada periode tahun 1965-1985. Kedua negara merupakan negara pascakolonial yang kaya akan minyak, padat penduduk, multietnis, dan pihak militer mendominasi kehidupan politik. Faktor struktural maupun institusional yang terintegrasi ke dalam ranah sosial dan sejarah politik perlu dinyatakan untuk memahami perkembangan kedua negara. Tulisan ini akan menunjukkan bahwa teknokrasi beroleh peran penting dalam menata perkembangan ekonomi, khususnya dalam pengembangan pertanian dan pembangunan pedesaan yang terpengaruh kuat oleh politik pembangunan pedesaan. Faktor struktural yang saling memengaruhi ini, baik secara exogenous maupun endogenous, menjadi penopang bagi kebijakan yang mendukung rakyat miskin maupun strategi untuk mereduksi angka kemiskinan, dan kebijakan itu dapat diterapkan dalam waktu jangka panjang. Stabilitas politik pada masa Orde Baru di Indonesia merupakan faktor penting bagi para perencana ekonomi untuk menerapkan kebijakan ekonomi mereka. Sedangkan di Nigeria, faktor-faktor struktural yang tidak memiliki benang merah, utamanya permasalahan antara negara dan masyarakat, memeperlihatkan adanya kelemahan institusi politik yang mengakibatkan para elit-teknokrat tidak dapat merumuskan maupun mengimplementasikan pembangunan ekonomi. Kesukesan pembangunan ekonomi pada periode tahun 1965-1985 di Indonesia terlaksana berkat adanya kelompok ekonom-teknokrat yang membantu perkembangan ekonomi dan sebagian besar dari mereka mengurusi pembangunan pedesaan.Kata kunci: pembangunan ekonomi, kebijakan, pertanian, pembangunan pedesaan, ekonom-teknorat
Preface Jurnal Kajian Wilayah Vol. 8 No.2 (2017) Ahmad Helmy Fuady
Jurnal Kajian Wilayah Vol 8, No 2 (2017): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.058 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v8i2.792

Abstract

THE JAVANESE IN LAMPUNG, STRANGER OR LOCALS? WITH THE REFERENCE OF CHINESE EXPERIENCE Riwanto Tirtosudarmo
Jurnal Kajian Wilayah Vol 6, No 2 (2015): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.691 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v6i2.336

Abstract

Javanese is the majority of the Indonesian population. Geographically they are resided in the provinces of Central Java, DIY and East Java. However, since the beginning of the 20th century the Dutch colonial government began to relocate them to Lampung in the sothern part of Sumatra and then to other places. Within a century Lampung become the main destination of Javanese migration, making Lampung the Javanese province after Central Java, DIY and East Java. Unlike the Chinese that is able to construct Chinese nation and state, the Javanese failed in constructing the Javanese nation, instead supporting the construction of Indonesian nation and state. In this article the Javanese in Lampung is exposed as the showcase of how Javaneseness as an identity is located within the post-Suhartos political development contexts, when decentralization and regional autonomy began to be implemented. Based on a fieldwork in Lampung, it shows that the Javanese while continue preserving the cultural identities yet reluctantly using their identities for political mobilization, for instance during the election of head of local government. The Javanese seems secure to be the majority, and not perceived themselves as strangers, although the resided in the land of the Lampuners.Keyword: Migration, Ethnic Identity, Local People, Political Mobility
Peoples Knowledge, Peoples Defense: Utilizing Local Practices for Disaster Safety and Adaptation in Rapu-Rapu, Albay, Philippines Jesusa Grace J. Molina
Jurnal Kajian Wilayah Vol 3, No 2 (2012): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (549.634 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v3i2.281

Abstract

Kepulauan Rapu-rapu di Filipina merupakan wilayah yang dikenal sebagai daerah rawan bencana hidrometeorologikal sebagai akibat dari letak geografis dan faktor fisik wilayah tersebut. Pada tahun 2006, pulau ini mengalami bencana besar Typhoon Reming yang membawa dampak serius terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di pulau tersebut. Berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh bencana ini adalah kerusakan fisik, sosial, dan ekonomi masyarakat yang mengakibatkan terdegradasinya penghidupan masyarakat.Berdasarkan pengalaman pahit yang dialami tahun 2006 tersebut, masyarakat bertekad untuk mempersiapkan sekaligus memproteksi diri dan wilayah mereka dari potensi bencana alam tragis yang masih sangat mungkin terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, masyarakat lokal menginvestasikan sumber daya mereka pada berbagai program dan pengukuran pengurangan risiko bencana yang memanfaatkan kekayaan pengetahuan, kemampuan, dan budaya lokal yang dimiliki. Sebagai contohnya, masyarakat telah membangun sistem peringatan dini, lumbung pangan untuk masa krisis bencana, membentuk bintaassebuah tempat aman yang terletak di bagian atas rumah penduduk yang dimanfaatkan untuk menyimpan barang-barang berharga ketika banjirdan menciptakan inovasi-inovasi lokal lainnya seperti peralatan pancing inovatif yang membantu mereka meningkatkan produktivitas hasil tangkapan ikan. Di samping berbagai upaya yang telah disebutkan, masyarakat juga membangun hubungan dan bekerjasama dengan berbagai organisasi, baik organisasi lokal maupun asing, untuk meningkatkan kapasitas mereka.Makalah ini menyajikan praktek-praktek aktual masyarakat Pulau Rapu-rapu dalam mengurangi risiko bencana yang disertai dengan kuatnya bukti-bukti pengalaman penggunaan pengetahuan dan kemampuan lokal sebagai salah satu ujung tombak benteng pertahanan masyarakat yang tinggal di wilayah yang berisiko tinggi terhadap bencana. Melalui makalah ini, pembaca diajak untuk kembali mempertimbangkan kekuatan kapasitas lokal dalam mengurangi bencana melalui visi dan tindakan yang aman, berdaya tahan, dan dinamis.Kata kunci: pengetahuan lokal, kerentanan, penanganan dan adaptasi bencana, Pulau Rapu-rapu, Filipina
Kabar dari Koloni: Pandangan dan Pemberitaan Surat Kabar Belanda tentang turisme di Hindia Belanda (1909-1940) Achmad Sunjayadi
Jurnal Kajian Wilayah Vol 5, No 1 (2014): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (549.055 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v5i1.123

Abstract

This paper discusses the views regarding tourism, especially the role of Vereeniging Toeristenverkeer (VTV)-Association of tourism- in the Netherlands Indies from the newspapers published in the Netherlands. The newspapers are Het Vaderland (HV), Nieuwe Rotterdamsche Courant (NRC), Algemeen Handelsblad (AH) during the period of 1909 to 1940. From the three newspapers, the articles about promotion of tourism in the Netherlands Indies, are found to be dominant. They provide also an overview of criticism and suggestion about tourism in the Netherlands Indies, which can be understood because the three newspapers were the liberal newspapers.Keywords: the views of the Netherlands newspapers, colonial tourism, the Dutch East Indies
Neorealism and ASEAN States Cooperation in ASEAN Free Trade Area (AFTA): An Empirical Critique Ganjar Nugroho
Jurnal Kajian Wilayah Vol 2, No 2 (2011): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (641.559 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v2i2.327

Abstract

Pembentukan ASEAN Free Trade Area (AFTA) merepresentasikan bentuk lain dari Preferential Trading Agreement (PTA). Melalui logika Neorealisme, para peneliti menjelaskan hal tersebut sebagai upaya negara-negara ASEAN untuk menanggapi kekuatan Uni Eropa, North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan pertumbuhan pesat negara China. Tulisan ini secara kritis melihat kembali logika Neorealisme untuk menjelaskan mengapa negara-negara ASEAN bergabung dalam AFTA dan mengapa mereka bersetuju untuk mengadopsi kerangka kerjasama perdagangan bebas, yang bersifat selektif dan gradual. Pembentukan AFTA tidak secara konsisten merefleksikan kerjasama tersebut dan Neorealisme tidak bisa menjelaskan kerangka kerjasama tersebut. Alih-alih menempatkan kekuatan (power) sebagai satu-satunya variabel independen yang relevan dan penjelasan atas sebab-akibat terbentuknya states-regime, gabungan kepentingan dan kekuatan (power) menyediakan satu set variabel yang bisa menjelaskan kerjasama antarnegara dan kerangkanya. Dari situ, kerjasama negara-negara ASEAN dalam bidang ekonomi dan perdagangan tidak hanya menjelaskan mengapa negara-negara tersebut membentuk AFTA pada tahun 1992, namun tulisan ini akan mengklarifikasi mengapa mereka bersetuju untuk mengadopsi liberalisasi perdagangan yang bersifat selektif dan gradual.Kata kunci: Neorealisme, kerjasama negara, kerangka kerjasama, AFTA, liberalisasi selektif dan gradual, state-regime.
Konsumsi dan Gaya Hidup: Interseksi Kelas di Asia Tenggara Linggar Rama Dian Putra
Jurnal Kajian Wilayah Vol 4, No 1 (2013): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (710.515 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v4i1.272

Abstract

This paper discusses on the current developments in the cities of Southeast Asia by looking at the expansion of the global market as an independent variable that give an impact on the consumption patterns of urban communities in Southeast Asia. Although the wave of globalization has swept the region from few decades ago, but since the 2000s the cities in Southeast Asia experience significant changes due to the overwhelming stream of mass commodity products. The emergence of modern business and shopping district at the heart of major cities in Southeast Asia become a common phenomenon that evolves and has a contribution in shaping the face of urban areas in Southeast Asia. The presence of a mass commodity also contributes in shaping the discourse of lifestyle and consumption then defining the atmosphere of urban and social dynamics in the public space. This paper demonstrates the changes in the landscape and its impact on a culture of consumption that occurred in the cities in Southeast Asia. Focus area as the case study in this paper is Surabaya (Indonesia) and Kuala Lumpur (Malaysia)
THE DUTCHS FLOATING LIFE ON DESHIMA ISLAND: A GLOOMY SIDE OF DUTCH-JAPAN RELATIONSHIP DURING THE TOKUGAWA PERIODE, 1715-1790 Abdul Wahid
Jurnal Kajian Wilayah Vol 6, No 1 (2015): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4752.613 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v6i1.66

Abstract

In order to extend its trading network and engagement in the intra-Asian trading network, the VOC sought to gain contact with Japan, which was known for its luxurious products as copper and silk. At that time, Tokugawa Ieyasu just emerged as the new Japanese ruler, whose regime introduced a controversial policy known as Sakoku to cut Japan completely off from the international relations to strengthen internal politics. As a result, Japan lost its diplomatic and economic relationship with other nations. The Dutch (represented by the VOC) together with China and Korea - were the only exception as the Tokugawa regime granted them trading license and used them as window to see the outer worlds development. The VOCs offiers had to pay costly this privilege, however, since they should follow Tokugawas strict rules and control. They were allowed to settle and live only on a virtual island called Deshima, which was located on the bay of Nagasaki. Tokugawa regime provided all their needs, but restricted their movements and activities especially in accessing land and making contact with local inhabitants. Perusing the available printed historical sources to be combined with the recent literature, this paper describes the daily life of those VOCs Dutch offiers living on the island, and seeks to analyze the importance of this odd relations for political and economic relations of the two nations.Keywords: the VOC, Dutch, Tokugawa Japan, Deshima
GERAKAN MASYARAKAT ADAT SAMI DAN KONTESTASI SUMBER DAYA ALAM Manggala Ismanto
Jurnal Kajian Wilayah Vol 8, No 2 (2017): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.431 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v8i2.775

Abstract

The main agenda of the indigenous movement is fighting for political and cultural rights of ethnic minority communities in accordance with unique historical and cultural practices that they have. As Kymlicka said, minority rights must also be fought because they are on a system that is governed by the majority who pretend to produce injustice. Sami Indigenous Movement in Norway is a form of a long struggle to obtain the right independently to manage natural resources. Currently Sami struggling to maintain the uniqueness of the cultural identity and living practices that have been owned for generations. This paper would like to see the establishment of indigenous peoples' movement Sami in Norway as well as the practice of social movements committed to demanding social change related to self-governance and autonomy of management of natural resources.Keywords: Indigenous Movement, Sami People, Identity,  Otonomy,Natural Resource ManagementAbstrakAgenda utama dalam gerakan adat atau indigenous movement adalah memperjuangkan hak politik dan budaya komunitas etnis yang menjadi minoritas sesuai dengan keunikan historis serta praktik budaya yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan oleh Kymlicka, bahwa hak-hak minoritas juga harus diperjuangkan karena mereka berada pada sistem yang diatur oleh mayoritas yang berpretensi menghasilkan ketidakadilan. Gerakan Masyarakat Adat Sami di Norwegia merupakan bentuk perjuangan panjang untuk memperoleh hak secara mandiri untuk mengelola sumber daya alam. Saat ini masyarakat Sami berjuang untuk mempertahankan keunikan identitas budaya dan praktik hidup yang telah dimiliki secara turun temurun. Tulisan ini ingin melihat pembentukan gerakan masyarakat adat Sami di Norwegia serta praktik gerakan sosial yang dilakukan untuk menuntut perubahan sosial terkait dengan self-governancedan otonomi pengelolaan sumber daya alam.Kata kunci: Gerakan Masyarakat Adat, Sami, Identitas, Otonomi, Pengelolaan Sumber DayaAlam 
The Role of the Dayak People of Indonesia and the Philippines Menuv Tribe of the Keretungan Mountain in Ecological Conservation: The Natural and Indispensable Partners Rosaly P Malate
Jurnal Kajian Wilayah Vol 5, No 2 (2014): Jurnal Kajian Wilayah
Publisher : Research Center for Regional Resources-Indonesian Institute of Sciences (P2SDR-LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (369.232 KB) | DOI: 10.14203/jkw.v5i2.263

Abstract

Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Janis B. Alcorn dan Antoinette G. Royos, Eds. Indigeneous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia, Biodiversity Support Program in 2000 and the Idsesenggilaha of the Menuv Tribe in Mount Kalatungan, Bukidnon, ICCA. Tulisan ini dibuat untuk mendukung tujuan Perserikatan Bangsa-bangsa tentang hak dan kesejahteraan masyarakat adat, utamanya di Asia dan pada saat sama tulisan ini bertujuan untuk menggugah kesadaran kita dan memenuhi tanggungjawab kita untuk melindungi dan melestarikan lingkungan.

Page 2 of 16 | Total Record : 158