cover
Contact Name
Novendri M. Nggilu
Contact Email
novendrilawreview@ung.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jamburalawreview@gmail.com
Editorial Address
Jl. Jend. Sudirman No. 6 Kota Gorontalo, Gedung Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo
Location
Kota gorontalo,
Gorontalo
INDONESIA
Jambura Law Review
ISSN : 26549255     EISSN : 26560461     DOI : 10.33756
Core Subject : Social,
The aims of this journal is to provide a venue for academicians, researchers and practitioners for publishing the original research articles or review articles. The scope of the articles published in this journal deal with a broad range of topics, including, Criminal Law; Civil Law; International Law; Constitutional Law; Administrative Law; Islamic Law; Economic Law; Medical Law; Adat Law; Environmental Law.
Arjuna Subject : -
Articles 90 Documents
Model Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Dalam Rangka Harmonisasi Lembaga Penegak Hukum Mohamad Hidayat Muhtar
Jambura Law Review VOLUME 1 NO. 1 JANUARY 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (973.63 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i1.1988

Abstract

Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa dimana telah begitu mengakar kuat di Indonesia. Hal ini dapat di buktian dengan jumlah uang hasil korupsi yang di sita oleh KPK sebesar Rp2 triliun. Gagasan Model Politik Hukum pemberantasan korupsi perlu dilakukan dalam rangka Harmonisasi Kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan Kejaksaan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Bagimana Dasar Urgensi Konsep Pemberantasan Korupsi di Indonesia. 2) Bagaimana Model Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Metode Penelitian ini mengunakan Penelitian Hukum Normatif menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum dengan mengunakan pendekatan Perundang-Undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Model Politik hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan suatu pendekatan yang lebih mengedepankan kepada manfaat hukum dengan cara melakukan penemuan atau pembaharuan hukum sesuai dengan fenomena sosial dimasyarakat dan urgensi kebutuhan hukum dengan melakukan 3 pendekatan yaitu Subtansi Hukum, Struktur Hukum dan Budaya Hukum dimana adanya Harmonisasi Kelembagaan Antara KPK, Polri dan Kejaksaan untuk efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia dengan pendekatan peraturan perundang-undangan.
Rekonseptualisasi Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) Dalam Pemilu Serentak Rahmat Teguh Santoso Gobel
Jambura Law Review VOLUME 1 NO. 1 JANUARY 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1206.297 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i1.1987

Abstract

Penerapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada pemilu serentak tahun 2019 menimbulkan krisis legitimasi, dimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum masih mengakomodir presidential threshold sebagai syarat mutlak untuk pencalonan presiden yang merujuk pada perolehan hasil suara pemilihan umum 2014. Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan logika pemilu serentak yang menghendaki semua partai politik peserta pemilu berhak untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Artikel ini akan menjawab 2 (dua) pertanyaan yaitu pertama, bagaimana pengaturan presidential threshold dalam Undang-Undang Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi? dan Kedua, bagaimana rekonseptualisasi presidential threshold dalam pemilu serentak? Kedua pertanyaan tersebut akan dijawab secara metodeologis dengan menggunakan penelitian hukum normatif, dikarenakan fokusnya adalah mengkaji studi literatur, peraturan perundang-undangan dan putusan MK yang berhubungan dengan objek penelitian. Berdasarkan kajian penulis dapat disimpulkan bahwa pertama, UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa pengajuan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Ambang batas harus mengikuti secara otomatis dengan sistem pemilu yang diterapkan. Artinya koalisi hanya bersifat pilihan, bukan kewajiban demi memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Kedua, rekonseptualisasi pemilihan presiden dan wakil presiden harus memberikan daya dukung kepada menguatnya sistem presidensial. Hal ini dapat dilakukan apabila presiden tidak merasa ketergantungan dengan partai politik. Koalisi alamiah semestinya terjadi sehingga kekuatan koalisi murni untuk kepentingan strategis dan jangka Panjang. Koalisi alamiah akan terpenuhi apabila tidak mensyaratkan ambang batas pencalonan. Atas dasar itulah, sistem presidensil akan kohesif dengan mencairnya partai politik untuk membangun koalisi yang strategis dan jangka Panjang
Identifikasi Faktor Penghambat Penyelenggaraan Pengawasan Ketenagakerjaan Di Provinsi Gorontalo Weny Almoravid Dungga; Abdul Hamid Tome
Jambura Law Review VOLUME 1 NO. 1 JANUARY 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (964.265 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i1.1605

Abstract

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah telah mengalami perubahan yang cukup signifikan terhadap kewenangan pengelolaan urusan pemerintahan di daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menggeser beberapa urusan yang awalnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi, salah satunya adalah kewenangan terkait penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan. Pengalihan kewenangan tersebut melahirkan berbagai persoalan, diantaranya adalah ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pendukung, ketersediaan anggaran, hingga ketersediaan kebijakan terkait penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan. Persoalan tersebut apabila tidak segera diatasi akan menimbulkan konflik pada bidang ketenagakerjaan. Hal ini akan lebih diperparah dengan terabaikannya hak-hak konstitusional setiap komponen yang berkepentingan dalam pembangunan ketenagakerjaan yang berkemajuan dan berkeadaban. Sehingganya kajian dalam tulisan ini bertujuan untuk melihat efektivitas penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi Gorontalo, dengan menggunakan metode penelitian yuridis empirik. Penelitian hukum yang dilakukan secara empirik dapat juga disebut sebagai penelitian yang bersifat sosiologis yang menjawab permasalahannya melalui studi lapangan (Field Research). Sedangkan pendekatan penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan dan menganalisis tentang penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan di daerah.Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan di Provinsi Gorontalo belum berjalan efektif. Hal ini dikarenakan permasalahan yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya, yakni minimnya sumber daya manusia, minimnya sarana dan prasarana, minimnya anggaran, dan belum adanya arah kebijakan dalam penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan di daerah.
Dekonstruksi Hak Imunitas Anggota DPR Dalam Perspektif Equality Before The Law Supriyadi A Arief
Jambura Law Review VOLUME 1 NO. 1 JANUARY 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (993.811 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i1.2016

Abstract

Lahirnya Putusan MK nomor 16/PUU-XVI/2018 berimplikasi pada kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang sebelumnya telah diatur Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana kedudukan hak imunitas anggota DPR dalam perspektif equality before the law?. Kedua, bagaimana implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor.16/PUU-XVI/2018 terkait wewenang MKD?. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak imunitas anggota DPR tidak bertentangan dengan prinsip equality before the law sepanjang pemaknaan hak imunitas tidak mencakup keseluruhan kekebalan hukum anggota DPR sebagai warga negara pada umumnya. Selain itu, hak imunitas tersebut hanya berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR semata. Adanya putusan MK Nomor 16/PUUXVI/2018, berimplikasi pada dua hal yakni, dihapusnya wewenang MKD dalam memberikan pertimbangan awal sebelum lahirnya izin tertulis presiden, serta persetujuan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana hanya melalui ijin Presiden semata.
Analisis Yuridis Larangan Bomb Joke Dalam Penerbangan Guna Menanggulangi Resiko Terorisme Benny Sumardiana
Jambura Law Review VOLUME 1 NO. 1 JANUARY 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (846.305 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i1.1865

Abstract

Terorisme saat ini menjadi ancaman yang menakutkan bagi masyarakat. tindakan yang membawa ideologi suatu agama sebagai arah geraknya banyak mengincar lokasi-lokasi strategis yang dapat menarik perhatian banyak orang, bahkan tidak luput pula sarana penunjang transportasi seperti bandara serta maskapai penerbangan. Pelaku terorisme tujuan utamanya memang menginginkan aksinya mendapatkan perhatian masyarakat dan menimbulkan rasa takut seluas-luasnya, karenanya lah lokasi strategis tersebut yang menjadi incaran para pelaku. Berbagai teror dalam bentuk penyerangan maupun pengeboman yang dilakukan para teroris tidak sepenuhnya berhasil, namun tidak juga sepenuhnya gagal. Terdapat berbagai masalah yang muncul salah satunya adalah semakin ketatnya pemeriksaan di bandara, bahkan bila ada penumpang yang menyebutkan bahwa dia membawa bom, maka penerbangan akan ditunda bahkan dibatalkan kemudian penumpang tersebut akan diperiksa oleh petugas. Permasalahan tersebut terkadang terlihat berlebihan karena hingga hari ini setiap terjadi perkara yang muncul dari candaan penumpang mengaku membawa bom belum pernah terbukti satupun bom ditemukan. Namun sebagai bentuk pencegahan, upaya tersebut juga dinilai cukup tepat. Meski begitu perlu kajian terhadap aturan tersebut terutama hitungan kerugian penumpang maupun maskapai penerbangan dilihat dari hak dan kewajibannya. Penulisan hukum ini akan mengkaji secara yuridis bagaimana dampak sikap penanganan terhadap penumpang yang mengaku membawa bom. Selain itu akan dinilai juga bagaimana pertanggungjawaban terhadap maskapai dan penumpang sehingga dapat dilihat apakah sikap tersebut telah tepat atau tidak. Penulisan hukum ini menggunakan metode penelitian normatif yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang dikaji adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang Terorisme dan KUHP. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif analitis.
Dilema Penerapan Sanksi Pelanggaran Lalu Lintas Terhadap Anak Ariefulloh Ariefulloh; Abd. Asis; Maskun Maskun
Jambura Law Review Volume 1 No. 2 July 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (874.793 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i2.2077

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sanksi pelanggar lalu lintas oleh anak pasca penerapan e-tilang dan bentuk tindak lanjut oleh aparat penegak hukum terhadap anak yang ditilang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris (empirical research). Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan kebutuhan penelitian ini,. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sanksi pelanggar lalu lintas oleh anak dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang sistem peradilan pidana anak dan peraturan pemerintah tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Penindakan terhadap pelanggar anak, dilakukan dengan meneruskan berkas pelanggaran anak yang bersangkutan ke Pengadilan dan dijatuhi sanksi berupa denda. Penindakan lanjutan oleh aparat penegak hukum terhadap anak yang ditilang di Kab, Konawe adalah dalam bentuk penjatuhan sanksi Pidana Denda. Aparat penegak hukum masih belum menerapkan UU SPPA khususnya dalam penanganan tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak.
Jalur Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Sebagai Dorongan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Yudha Chandra Arwana; Ridwan Arifin
Jambura Law Review Volume 1 No. 2 July 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (901.74 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i2.2399

Abstract

Permasalahan sengketa pertanahan di banyak tempat memicu berbagai konflik, baik itu antara kelompok masyarakat, masyarakat dengan pengusaha, atau masyarakat dengan pemerintah. Pada banyak kasus di Indonesia, konflik agrarian sangat berkaitan erat gagalnya pemenuhan hak-hak warga oleh pemerintah, baik pada tingkat lokal daerah maupun nasional. Kepemilikan tanah dan kepastian hukum dalam permasalahan agrarian di Indonesia mengacu dan merujuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Reformasi Agraria (Landreform) menjadi salah satu bentuk implementasi undang-undang tersebut, termasuk perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah yang tidak hanya dimaknai sebagai makna politik namun juga teknis. Tulisan ini menganalisis aktivitas landreform di Indonesia dalam kajian hak asasi manusia, termasuk proses penyelesaian sengketa pertanahan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini yuridis normatif, dimana kajian hanya meliputi norma dan dasar hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa agrarian dalam berbagai kasus. Kasus yang digunakan dalam penelitian ini bukan hasil penelusuran lapangan secara langsung, namun kasus-kasus yang sudah pernah terjadi di berbagai daerah yang diperoleh melalui media cetak atau online. Tulisan ini menegaskan bahwa proses penyelesaian sengketa agraria pada banyak kasus di Indonesia belum memenuhi standar pemenuhan hak asasi manusia, seperti adanya upaya paksa dan tindak kekerasan dari pemerintah, sikap refresif, diskriminatif, dan intimidatif. Tulisan ini menggarisbawahi dan menyimpulkan bahwa dalam penyelesaian konflik agraria dalam kajian hak asasi manusia harus melibatkan banyak pihak, salah satunya Komnas HAM.Land disputes in many places trigger various conflicts, whether between community groups, communities and entrepreneurs, or communities with the government. In many cases in Indonesia, agrarian conflict is closely related to the failure of the fulfilment of citizens' rights by the government, both at the local and national level. Land ownership and legal certainty in agrarian issues in Indonesia refer to and refer to Law No. 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Regulation (UUPA). Agrarian reform (Land Reform) is one form of implementation of the law, including a change in the structure of ownership of land ownership which is not only interpreted as a political but also a technical meaning. This paper analyse the activities of land reforms in Indonesia in the study of human rights, including the land dispute resolution process. The method used in this paper is normative juridical, where the study only covers the norms and legal basis used in agrarian dispute resolution in various cases. The cases used in this study are not direct field search results, but cases that have already occurred in various regions were obtained through print or online media. This paper emphasizes that the agrarian dispute resolution process in many cases in Indonesia has not met the standards of fulfilment of human rights, such as the existence of forced efforts and acts of violence from the government, repressive, discriminatory and intimidating attitudes. This paper underlines and concludes that the resolution of agrarian conflicts in the study of human rights must involve many parties, one of which is the National Human Rights Commission.
Politik Hukum Pengaturan Pendidikan Politik Oleh Partai Politik Putri Handayani Nurdin
Jambura Law Review Volume 1 No. 2 July 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (76.176 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i2.1977

Abstract

Kehadiran partai politik di alam demokrasi banyak menghadirkan mosi tidak percaya oleh masyarakat luas. Tidak salah, bila ada yang menilai hal ini dampak dari sistem politik Indonesia yang memiliki kecenderungan memposisikan partai politik sebagai aktor utama dalam berdemokrasi. Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi substantif. Masyarakat memerlukan pemahaman yang matang mengenai pentingnya sebuah partisipasi politik melalui pendidikan politik. Ada dua isu penting yang menjadi rumusan masalah dalam kajian ini yakni Pertama, bagaimana model pendidikan politik yang ideal dalam mewujudkan partisipasi politik. Kedua, bagaimana sanksi terhadap partai politik yang tidak melakukan pendidikan politik. Selama ini, partai politik lalai dalam menjalankan kewajibannya, partai politik tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, namun hanya kepada anggota kader partai politik saja. Oleh karenanya, dalam kajian ini dirumuskan beberapa hal, yakni: Pertama, perlu adanya penguatan dalam merumuskan model pendidikan politik kepada masyarakat dan perlu adanya penguatan terhadap pemberlakuan sanksi yang tegas untuk menekan kepatuhan seluruh partai politik dalam menjalankan kewajibannya untuk memberikan pendidikan politik sehingga mampu mewujudkan demokrasi substantif; Kedua, perlunya evaluasi dana partai politik melalui pelibatan inspektorat dan BPK yang tidak hanya disampaikan kembali pada partai politik akan tetapi menjadi informasi publik secara terbuka. Penulisan ini bersifat preskriptif menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan normatif.
Konsep Ideal Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar Berdasarkan Asas Peradilan Irianto Tiranda; Fenty Puluhulawa; Johan Jasin
Jambura Law Review Volume 1 No. 2 July 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (870.402 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i2.2119

Abstract

Ketentuan yang mengatur bahwa peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai suatu sistem, peradilan mempunyai mekanisme yang bergerak menuju ke arah pencapaian misi dari Hakikat keberadaan peradilan. Sistem peradilan menuntut adanya visi yang jelas agar aktivitas atau pelaksanaan peran peradilan berproses secara efektif dan efisien. Artikel ini menunjukkan bahwa Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan dalam Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar belum terlaksana dikarenakan Proses Peradilan yang cukup lama, Biaya Penyidikan dan Pengacara yang cukup tinggi dibandingkan dengan Nilai Uang dalam Tindak Pidananya sangat kecil. Selanjutmya Konsep Ideal dalam penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar yakni Proses Pemeriksaan peradilan Penanganannya berdasarkan KUHAPidana sangat tepat menggunakan Acara Pemeriksaan Singkat sesuai Pasal 203 KUHAP.
Anotasi Spirit Unable dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina Zainal Abdul Azis Hadju
Jambura Law Review Volume 1 No. 2 July 2019
Publisher : Universitas Negeri Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (920.621 KB) | DOI: 10.33756/jalrev.v1i2.1990

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Apa yang menjadi pertimbangan utama suatu entitas diakui sebagai negara oleh hukum internasional dan Bagaimana relasi antara spirit International Criminal Court (ICC) dengan prinsip unable and willing terhadap Palestina menurut hukum internasional.  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan historis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 1 Konvensi montevidio menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara baru untuk menjadi sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya populasi yang tetap, wilayah, pemerintah, dan kapasitas negara sebagai penunjang dalam melakukan hubungan dengan negara lain. Terdapat pula pengakuan terhadap suatu negara yang terbagi dalam dua bentuk yakni pengakuan secara de jure maupun secara de facto, Palestina telah diakui secara de jure karna dalam praktiknya yang dibuktikan dengan melakukan perjanjian internasional dengan beberapa negara. Bahwa, ICC memiliki empat macam yuridiksi yakni, yuridiksi personal, kriminal, temporal dan territorial. Pasal 17 ayat 2 dan ayat 3 menentukan negara yang dianggap  tidak mau (unwilling). ketidaksediaan (unable). Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di wilayah palestina dan didukung dengan yurisdiksi dari mahkamah tersebut, maka ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel dengan menggunakan yuridiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998. Kriteria unwilling dan unable dapat diperluas penegakkan melalui Pasal 13 Statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa ICC memiliki tiga kewenangan untuk memeriksa kejahatan internasional,   jika terdapat suatu kenyakinan bahwa salah satu dan atau seluruh pihak melakukan kejahatan internasional sesuai dengan Pasal 5 Statuta Roma 1998.