cover
Contact Name
M. Alpi Syahrin
Contact Email
eksekusi.journaloflaw@gmail.com
Phone
+6285271930852
Journal Mail Official
eksekusi.journaloflaw@gmail.com
Editorial Address
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/eksekusi/about/editorialTeam
Location
Kab. kampar,
Riau
INDONESIA
Eksekusi : Journal Of Law
ISSN : 27145271     EISSN : 26865866     DOI : -
Eksekusi (Journal Of Law) merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Eksekusi (Journal Of Law) sebagai salah satu Media pengkajian dan penyajian karya Ilmiah terutama dibidang Ilmu Hukum (Kajian Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Adat, Hukum Internasional, dll).
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 49 Documents
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI LEMBAGA KEBERATAN Arridho Abduh
Eksekusi : Journal Of Law Vol 1, No 2 (2019): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v1i2.8430

Abstract

Hubungan hukum antara pemerintah sebagai fiskus dengan rakyat sebagai Wajib Pajak merupakan hubungan hukum yang lahir dari adanya undang-undang. Adanya kewajiban yang lahir dari undang-undang ini menyebabkan rakyat selaku Wajib Pajak harus membayar pajak kepada negara. Perbedaan persepsi antara wajib pajak selaku pembayar pajak dan pemerintah selaku pemungut pajak menimbulkan sengketa pajak. Salah satu hak wajib pajak yang diberikan undang-undang dalam menyelesaikan sengketa paajak adalah melalui lembaga keberatan. Proses penyelesaian sengketa pajak melalui keberatan harus benar-benar memberikan kepastian hukum sehingga dapat terciptanya keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa.Keywords: Sengketa Pajak, Keberatan, Lembaga Keberatan
REKONSTRUKSI PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 Joni Alizon
Eksekusi : Journal Of Law Vol 2, No 1 (2020): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v2i1.9741

Abstract

AbstarakImplementasi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang  Jaminan Fidusia terkait eksekusi jaminan fidusia dalam  praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan dalih debitur cidera janji. waktu terjadinya cidera janji tersebut tidak ada penjelasan dalam Pasal 15 Undang-undang Jaminan Fidusia itu, Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dijelaskan, bahwa  cidera janji harus dibuat  dan disepakati para pihak. Kalau para pihak tidak ada kesepakatan, maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai HIR dan RBg .Dengan demikian, persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi. Lebih lanjut  Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kata kunci: Eksekusi, Jaminan,  FidusiaAbstractThe implementation of Article 15 paragraph (2) and paragraph (3) of the Fiduciary Security Act relating to the execution of fiduciary guarantees in practice raises the creditor's arbitrariness when collecting, withdrawing fiduciary collateral objects (movable objects) under the pretext of the debtor in breach of promise. at the time of the breach of promise there was no explanation in Article 15 of the Fiduciary Security Act. In consideration of the Constitutional Court Decision Number 18 / PUU-XVII / 2019 it was explained that the breach of the promise must be made agreed by the parties. If the parties do not have an agreement, then the execution of the execution through a court decision in accordance with HIR and RBg. Thus, the issue of breach of contract in the execution of fiduciary guarantees is not immediately resolved through the court. However, the parties' agreement must be preceded to determine when the alleged breach of the allegation occurred. If there is an agreement between the parties, the creditor can immediately execute. The Constitutional Court further stated that Article 15 paragraph (2) of the Fiduciary Guarantee Law on the phrase "executive power" and the phrase "equals a court decision that has permanent legal force" is unconstitutional as long as it does not mean fiduciary guarantees for which there is no breach of agreement (default agreement) and the debtor object to objection voluntarily surrender the object of fiduciary guarantee, then all the legal mechanisms and procedures for the execution of the execution of the Fiduciary Guarantee Certificate must be carried out and in effect the same as the execution of a court decision that has permanent legal force. Keywords: Execution, Guarantee, Fiduciary
PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN PADA PT HKL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS AMANDA RAHMI PUTRI
Eksekusi : Journal Of Law Vol 1, No 1 (2019): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v1i1.7833

Abstract

elaksanaan tanggung jawab sosial adalah suatu bentuk kewajiban perusahaan yang tidak hanya menyediakan berbagai kebutuhan barang dan jasa yang baik bagi masyarakat, akan tetapi juga turut serta dalam mempertahankan kualitas lingkungan sosial serta memberikan kontribusi yang positif bagi kesejahteraan komunitasnya. Namun, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan masih banyak dijumpai kekurangan perusahaan-perusahaan dalam memahami tanggung jawab sosial yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas, terutama dalam pelaksanaannya seperti studi kasus yang diteliti oleh penulis pada PT. HKL Sungai Pinang Kecamatan Tambang.            Dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada PT. HKL ditinjau dari Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas dan faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada PT. HKL terhadap masyarakat.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada PT. HKL terlaksana sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia dan juga untuk mengetahui  faktor-faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada PT. HKL.            Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis, sedangkan sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Populasinya adalah  Kepala Desa Sungai Pinang, Kepala Desa Balam Jaya, Kepala Desa Kuapan yang berjumlah 3 orang dengan menggunakan total sampling dan masyarakat Desa Sungai Pinang, Masyarakat Balam Jaya, masyarakat Desa Kuapan berjumlah 135 orang yang diambil 30% menjadi 45 orang sampel dengan menggunakan random sampling. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah observasi, wawancara dan kuesioner. Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif.            Berdasarka hasil dari penelitian dan data-data yang diperoleh, maka diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan PT. HKL secara umum sudah dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai peraturan yang memayungi kewajiban Perseroan terbatas dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dan Peraturan Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai peraturan pelaksanaannya. Namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaanya berdasarkan ketentuannya yaitu, tidak terdapatnya program pendidikan, kesehatan, infrastruktur, keagamaan, pengembangan masyarakat, dan yang paling utama adalah dalam pelestarian lingkungan hidup. (2) Adapun faktor-faktor yang menjadi hambatan PT. HKL dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan adalah keharusan menunggu persetujuan dari direksi perusahaan terkait persetujuan proposal dari masyarakat, hasil produksi yang tidak stabil dan cenderung menurun akan mempengaruhi proses penyaluran tanggung jawab sosial perusahaan, pengaruh harga jual hasil produksi PT. HKL, dan PT. HKL tidak memiliki SDM dibidang tanggung jawab sosial perusahaan.Kata Kunci: Pelaksanaan, tanggungjawab Sosial Perusahaan, perseroan terbatas
PENERAPAN ASAS DOMINIS LITIS BAGI HAKIM DALAM MEMUTUS SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEKANBARU RAJA PANGIHUTAN HASIBUAN
Eksekusi : Journal Of Law Vol 1, No 2 (2019): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v1i2.7882

Abstract

Penelitian ini bersifat lapangan, maka dalam pengumpulan data penilis menggunakan tehnik observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Sebagai data primer adalah data yang diperoleh dari Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru Hakim, Penggugat dan Tergugat. Sedangkan data skunder yaitu data yang diperoleh dari literatur yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti, yaitu beberapa buku ilmiah yang mendukung penelitian ini.Sedangkan metode analisa data yang digunakan adalah deskripsif yaitu analisa data yang menjelaskan dari data-data informasi yang dikaitkan dengan teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan pembahasan, dimana pembahasan ini menggunakan metode kualitatif yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat untuk memperoleh kesimpulan.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa Penerapan asas keaktifan hakim (asas dominis litis) di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru pada tahap pembuktian belum berjalan sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara karena belum lengkapnya pemahaman mengenai asas ultra petita, yang merupakan konsekuensi dari asas keaktifan hakim (asas dominis litis). Hal tersebut dapat dilihat dari Perkara Nomor : 18/G/2014/PTUN-Pbr., dan Perkara Nomor : 24/G/2014/PTUN-Pbr.Hambatan dalam penerapan Asas Keaktifan Hakim (Asas Dominis Litis) di Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru meliputi : kendala yang bersifat teoritis yaitu kendala yang timbul dari pengaruh teori sistem pembuktian afirmatif yang berarti menguatkan atau mengesahkan, kendala yuridis yaitu kendala yang timbul akibat perumusan ketentuan yang mengatur mengenai asas keaktifan hakim dalam peraturan perundang-undangan, dan kendala-kendala yang bersifat operasional yaitu yang timbul dalam pelaksanaan beracara di Pengadilan.
ANALISIS TENTANG PENYELENGGARAAN BADAN USAHA MILIK DESA DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI DESA SEKELADI HILIR KEC. TANAH PUTIH KAB. ROKAN HILIR Rudi . Adi
Eksekusi : Journal Of Law Vol 2, No 1 (2020): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v2i1.9806

Abstract

Abstract : The birth of an autonomy system or decentralization bring new spirit  in realizing the national ideals of the Indonesian nation. Development initially focused on the central region, then shifts to development that starts from the regions equally The birth of Law No.23 Th.2014 is proof that the autonomy system really wants to be perfected, although in its development it does not provide change. Therefore, Law No.6 Th.2014 on Villages was born, which then becomes a new round of national development starting from the village. The One form of development regulated in the Act is establish BUMDes with the aim that villages become part of the national development process. This study discusses how the formation and organization of village-owned enterprises in improving the welfare of the community in the Sekeladi Hilir village and Tanah Putih sub-district and Rohil districts. This research is a qualitative research model with the problem approach method that is an empirical juridical approach method. Next, data collection technique is to collect library materials (secondary data), and data collection through field observations and interviews with informants who have been determined by Purpossive Sampling techniques (primary data). The Implementing BUMdes in Sekeladi Hilir Village, there are a number of problems that occur. The First, the formation of BUMDes is not well analyzed it can be seen from BUMdes managers who are not professional in managing BUMDes. Second, the type of BUMDes business established was a gas cylinder business, it is considered to have paid less attention to the potential of the village as well as opportunities in adding PADes in Sekeladi Hilir Village. Third, since the establishment of BUMdes in the downstream village in 2015 until today it has not made any changes to the income of the village and the welfare of the downstream village communities.Keywords : Autonomy System, Village-Owned Enterprises/BUMDes, Village Community Welfare Abstrak : Lahirnya system otonomi atau desentralisasi membawa semangat baru dalam mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Pembangunan yang awalnya terfokus pada wilayah pusat lalu bergeser pada pembangunan yang dimulai dari daerah-daerah secara merata. Lahirnya UU No.23 Th.2014 adalah bukti bahwa system otonomi benar-benar ingin disempurnakan, meskipun pada perkembangannya kurang memberikan perubahan. Oleh karena itu, lahirlah UU No.6 Th.2014 Tentang Desa, yang kemudian menjadi babak baru pembangunan nasional yang dimulai dari desa. Salah satu bentuk pembangunan yang diatur dalam UU tersebut adalah mendirikan BUMDes dengan tujuan agar desa menjadi bagian dari proses pembangunan nasional. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pembentukan dan penyelenggaraan badan usaha milik desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa sekeladi hilir kec. tanah putih kab. rokan hilir. Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif dengan metode Pendekatan masalah yaitu metode pendekatan yuridis empiris. Selanjutnya, Teknik pengumpulan data yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakan (data sekunder), serta pengumpulan data melalui Observasi lapangan dan wawancara dengan Informan yang telah ditentukan dengan teknik Purpossive Sampling (data primer). Dalam penyelenggaraan BUMdes di Desa Sekeladi Hilir, terdapat beberapa masalah yang terjadi. Pertama, pembentukan BUMDes tidak dianalisa dengan baik hal itu terlihat dari pengelola BUMdes yang tidak professional dalam mengelola BUMDes. Kedua, Jenis Usaha BUMDes yang didirikan adalah usaha tabung gas, hal itu  dinilai kurang memperhatikan potensi desa serta peluang dalam menambahkan PADes. Ketiga, sejak berdirinya BUMdes di desa sekeladi hilir pada tahun 2015 sampai hari ini belum memberikan perubahan apapun bagi pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat desa sekeladi hilir.Kata Kunci: Sistem Otonomi, BUMDes, Kesejahteraan Masyarakat Desa,
OTONOMI DAERAH DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN (STUDI MENGENAI PEMEKARAN DI KABUPATEN KAMPAR DAN KABUPATEN ROKAN HULU PROPINSI RIAU) Wahidin Wahidin; Firdaus Firdaus; M. Ihsan M. Ihsan
Eksekusi : Journal Of Law Vol 2, No 2 (2020): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v2i2.10632

Abstract

Pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan kemajuan atau kemunduran bagi suatu daerah karena pemekaran wilayah bersifat rentan dalam tahapan perkembangan pemerintahan daerah. Berbagai studi menunjukkan bahwa dalam konteks pemekaran, peningkatan kesejahteraan menyiratkan berbagai permasalahan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah. Untuk itu dalam penelitian ini penulis mengambil sampel daerah propinsi Riau yang telah mengalami beberapa kali pemekaran daerah khususnya daerah Kabupaten Rokan Hulu, sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Kampar. Penelitian ini adalah penelitian filed research dengan pendekatan doctrinal research dimana kajian kepustakaan menjadi data primerdalam bentuk indikator kesejahteraan masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi dokumentasi. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa kabupaten Rokan Hulu pasca Reformasi telah berkembang menjadi daerah yang tidak hanya mampu menyusul berbagai indicator kesejahteraan dari wilayah induknya kabupaten Kampar namun juga bahkan akulturasi budaya masyarakat pendatang telah menempatkan kabupaten ini menjadi mandiri.
KEBIJAKAN PENGHAPUSAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA ALFIKRI LUBIS LUBIS
Eksekusi : Journal Of Law Vol 3, No 1 (2021): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v3i1.12467

Abstract

AbstractThe formation of the Employment Creation law is directed at harmonization with regard to several legislative materials which are considered overlapping. One of the interesting topics to examine in Law Number 11 of 2020 concerning Employment Creation is the elimination of criminal sanctions against criminal acts of the Environment replaced with administrative sanctions. This provision is seen in Article 23 point 37 which changes Article 102 in Law Number 32 Year 2009 concerning Environmental Protection and Management. The amendment to Article 82 B in the Employment Creation Law only takes the form of administrative sanctions and does not include the types of criminal sanctions that can be imposed. The elimination of criminal sanctions against environmental crimes which are replaced by administrative sanctions signals the weakening of law enforcement against the environment. Meanwhile, environmental problems are getting bigger, wider and more serious. The problem is not only local or translocal, but regional, national, transnational and global in nature. Criminal sanctions are still considered to be the most effective and ultimate sanctions in tackling a crime, especially since the crime rate gives a very large loss.Keywords: Abolition of criminal sanctions, environmental crimes, administrative sanctionsAbstrakPembentukan undang-undang Cipta Kerja diarahkan pada harmonisasi terkait dengan beberapa materi peraturan perundang-undangan yang dianggap saling tumpang tindih. Salah satu topik yang menarik untuk ditelaah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut adalah penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana Lingkungan Hidup diganti dengan sanksi administrasi. Ketetuan tersebut dalam dilihat dalam Pasal 23 angka 37 yang merubah Pasal 102 didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan Pasal 82 B dalam Undang-Undang Cipta Kerja hanya berupa sanksi administrasi dan tidak mencantumkan jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan. Penghapusan sanksi pidana terhadap tindak pidana Lingkungan Hidup yang diganti dengan sanksi administrasi memberikan sinyal semakin melemahnya penegakan hukum terhadap lingkungan hidup. Sementara masalah lingkungan hidup semakin lama semakin besar, meluas, dan serius. Persoalannya bukan hanya bersifat lokal atau translokal saja, tetapi sudah bersifat regional, nasional, transnasional, dan global. Sanksi pidana masih dianggap sebagai sanksi yang paling ampuh dan pamungkas dalam menanggulangi suatu kejahatan apalagi tingkat kejahatan tersebut memberikan kerugian yang sangat besar.Kata Kunci: Penghapusan sanksi pidana, tindak pidana lingkungan Hidup, sanksi administrasi
KEJAHATAN KORPORASI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Muslim Muslim
Eksekusi : Journal Of Law Vol 3, No 2 (2021): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v3i2.13048

Abstract

ABSTRAK Kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup merupakan tindakan kejahatan besar dan sangat berbahaya sekaligus mengancam kehidupan manusia. Perkara tindak pidana lingkungan hidup melibatkan korporasi   perlu pula diterapkan asas pertanggungjawaban mutlak, sehingga pertanggungjawaban mutlak ini  bisa diperluas penerapannya bukan hanya terhadap gugatan ganti rugi secara keperdataan melainkan dapat pula dilakukan perlindungan hukum secara kepidanaan. Pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh hukum pidana Indonesia dan Hukum Lingkungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih mensyaratkan adanya kesalahan. Prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan menyulitkan penegak hukum dalam proses pembuktian pidana. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009  telah mengatur masalah pertanggungjawaban mutlak, namun demikian pertanggungjawaban mutlak tersebut hanya sebatas kewajiban untuk membayar ganti rugi dalam hal gugatan keperdataan. Pertanggungjawaban mutlak dalam hukum pidana diartikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan yaitu pertanggungjawaban pidana tanpa perlu pembuktian lebih jauh terhadap kesalahan dari sipelaku. Kata Kunci: Korporasi; Pertanggungjawaban pidana; Lingkungan     Hidup                                                         ABSRTACT Corporate crime against environmental is an act of great crime and is very dangerous as well as threatening the lives of humans. Criminal cases involving corporate environment needs to be applied the principle of strict liability, so that the strict liability can be expanded application not only to the claim for damages in civil cases but can also be done in the legal protection of penal law. Criminal responsibility adopted by the Indonesian criminal law and environmental law are regulated in Law Number 32 Years 2009. The principle of fault liability based complicate law enforcement in the processof criminal evidence. Law Number 32 Years 2009 on Environmental Protection and Management of the Environmental has set a strict liability issue but nevertheless the strict liability only obligate to pay compensation in the event a civil lawsuit. Criminal law recognize the strict liability. Strict liability is defined as liability without fault is criminal liability without proof of fault further to the offender. Keyword: Corporate; Criminal Liability; Environment .
PENGARUH AGAMA ISLAM DALAM JUALBELI MASYARAKAT MELAYU ROKAN DI PROPINSI RIAU samariadi samariadi; Firdaus Firdaus
Eksekusi : Journal Of Law Vol 2, No 2 (2020): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v2i2.10739

Abstract

ABSTRAKTujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh agama Islam dalam aktivitas jualbeli masyarakat melayu rokan di Propinsi Riau. Kajian yang dibahas meliputi hukum adat melayu dikaitkan dengan perjanjian jualbeli yang dilaksanakan masyarakat melayu rokan yang dipengaruhi oleh Agama Islam. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan berupaya menemukan fakta hukum sesuai dengan yang terjadi apa adanya fakta tersebut. Hasil penelitian yang penulis jadikan simpulan yaitu ditemukannya hubungan pengaruh Agama Islam dalam masyarakat melayu rokan dalam jualbeli  merupakan kristalisasi nilai Islam yang telah lama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas anak melayu dan tetap menempatkan syariah di tempat semestinya yaitu syariah, serta adat tetap terjaga tanpa adanya gangguan dari aktivitas jualbeli dengan menggunakan akad jualbeli.Kata Kunci: Melayu Rokan; Akad Jualbeli; Syariah ABSTRACTThe purpose of this study was to determine the effect of Islam in the buying and selling activities of Malay communities in Riau Province. The study discussed includes Malay customary law related to the sale and purchase agreements carried out by Malay people who are influenced by Islam. The author uses empirical juridical research methods by trying to find legal facts in accordance with what happened as such facts. The results of the study that the authors make the conclusion that the discovery of the relationship of the influence of Islam in the Malay community in selling and selling is a crystallization of Islamic values which has long been an inseparable part of the identity of a Malay child and continues to place the sharia in its proper place ie sharia, and adat is maintained without any disturbances from buying and selling activities using the sale and purchase agreement.Key Word: Malay Rokan; Purchase Agreement; Sharia
IMPLEMENTASI PENGESAHAN LEMBAGA PENYELESAIAN SANGKETA KONSUMEN (BPSK) OLEH PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN Abu Samah Abu Samah
Eksekusi : Journal Of Law Vol 3, No 1 (2021): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri sultan syarif kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v3i1.12683

Abstract

ABSTRAKImplementasi pengesahan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen menimbulkan kebingunan terutama pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sangketa konsumen. Apakah diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen atau melalui Pengadilan. Dalam Hukum Perdata Pasal 49 (1) UU Perlindungan Konsumen dan Pasal 2 Kepmendag No.350/MPP/Kep/12/2001 disebutkan Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen merupakan lembaga penyelesaian sangketa konsumen di luar Pengadilan umum, namun kenyataannya dalam pasal lain dalam UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tetap memberikan penghubung dengan Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen yang telah dibentuk oleh pemerintah, yang bertugas menangani dan menyelesaikan sangketa konsumen tetapi bukan lembaga pengadilan. Dalam konteks Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa keputusan Badan Penyelesaian Sangketa Konsumen (BPSK) akan mempunyai kekuatan eksekusi setelah setiap putusan yang dibuat oleh BPSK harus memalui penetapan yang ditetapkan oleh pengadilan Negeri.