cover
Contact Name
Dr. H. A. Rahmat Rosyadi, SH., MH
Contact Email
ustisi@uika-bogor.ac.id
Phone
+628128097843
Journal Mail Official
yustisi@uika-bogor.ac.id
Editorial Address
Jl. K.H. Sholeh Iskandar km 2 Bogor 16162 Jawa Barat, Indonesia Telp/Fax: 0251-8335335
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Yustisi: Jurnal Hukum dan Hukum Islam
ISSN : 19075251     EISSN : 26207915     DOI : http://dx.doi.org/10.32832/yustisi
Core Subject : Education,
Jurnal Hukum Yustisi adalah Jurnal Ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Februari dan September. Jurnal Hukum Yustisi memiliki visi menjadi Jurnal Ilmiah yang terdepan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan hasil pemikiran di bidang hukum. Redaksi Jurnal Hukum Yustisi, menerima Naskal Artikel Hasil Penelitian, Artikel Ulasan dan Artikel Resensi Buku yang sesuai dengan sistematika penulisan kategori masing-masing artikel yang telah ditentukan redaksi. Fokus Jurnal ini yaitu Rumpun Ilmu Hukum Pidana, Rumpun Ilmu Hukum Perdata, dan Rumpun Ilmu Hukum Tata Negara/Administrasi Negara.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 184 Documents
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GUGAT CERAI DI PENGADILAN AGAMA KOTA BOGOR Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v2i1.194

Abstract

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim berdasarkan syarat yang ditentukan undang-undang. Kalangan muslim Kota Bogor prihatin dengan angka gugat cerai yang terus meningkat tiap tahun. Sebagian besar perkara gugat cerai tersebut dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Perceraian rumah tangga hal yang dibenci dalam agama. Karena itu, tidak sepantasnya kasus perceraian terjadi hanya karena ekonomi. Meskipun demikian, data Pengadilan Agama Kota Bogor menyebutkan, angka kasus perceraian terus meningkat tiap tahun. Pada 2011, tercatat 1.109 kasus perkara pengajuan perceraian, 925 di antaranya telah diputuskan. Angka ini meningkat drastis dari data 2010 yang hanya mencatat 896 kasus dengan 792 di antaranya dikabulkan.Perceraian yang terjadi tidak lagi didominasi oleh talak yang diajukan pihak suami, namun juga diimbangi gugat cerai yang diajukan pihak istri. Pada 2010, angka gugat cerai mencapai 268 kasus. Sementara pada 2011, angkanya meningkat menjadi 280 kasus. Faktor penyebab terjadinya gugat cerai di Pengadilan Agama Kota Bogor dianalisis karena faktor ekonomi, tidak bertanggung jawab, krisis akhlak, cemburu, penganiayaan, gangguan pihak ke tiga, dan tidak ada keharmonisan. Kesesuaian pelaksanaan gugat cerai sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan karena alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN LEASING PADA PT. ERA CEPAT TRANSPORTINDO Budy Bhudiman
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1101

Abstract

Dalam rangka memenuhi kebutuhan modal atau dana dari para pengusaha, Pemerintah memperkenalkan suatu lembaga keuangan baru disamping lembaga keuangan bank yaitu lembaga pembiayaan yang menawarkan diantaranya adalah sewa guna usaha atau leasing. Ketentuan yang mengatur tentang sewa guna usaha atau leasing ini adalah dua Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1169/KMK.01/1991 dan Nomor: 634/KMK.013/1990. Lembaga pembiayaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata Buku III Bab I dan Bab II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hal iniseperti yang ditentukan dalam pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Leasing sebagai salah satu bentuk perjanjian tidak bernama yang sampai saat ini tidak ada undangundang khusus yang mengaturnya. Didalam melaksanakan suatu perjanjian atau perikatan, hendaklah para pihak mengkaji isi dari perjanjian yang akan disepakati, karena para pihak yang terdapat dalam perjanjian tersebut terikat dengan isi perjanjian dan mengerti akan hak dan kewajibannya. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum kepada konsumen, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat memberikan harapan bagi Lessee sebagai konsumen terhadap Lessor sebagai pelaku usaha. Perjanjian sewa guna usaha (leasing) hendaknya dibuatkan undang-undang tersendiri yang mengatur secara khusus, mekanisme perjanjian yang dibuat harus notarial, juga mekanisme jaminan harus sesuai dengan prosedur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Perjanjian baku untuk tidak dibiarkan tumbuh secara liar, karena itu perlu ditertibkan.
TELAAH PERWUJUDAN KEDAULATAN NEGARA ATAS WILAYAH UDARA DALAM PERSFEKTIF HUKUM Saharuddin Daming
YUSTISI Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v1i2.1091

Abstract

MEMBANGUN MORAL BERKEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Didi Hilman; Latifah Ratnawaty
YUSTISI Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i1.1123

Abstract

PELAKSANAAN PERKAWINAN DIBAWAH TANGAN DI KAMPUNG PASIR TENGAH DESA PANCAWATI KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR Budy Bhudiman; Latifah Ratnawaty; Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 4, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i2.1074

Abstract

STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1106

Abstract

Perkawinan dibawah tangan yang tidak tercatat di KUA atau catatan sipil berakibat merugikan khususnya bagi pihak perempuan, apalagi jika seorang perempuan tersebut memiliki atau melahirkan anak yang merupakan akibat dari perkawinan dibawah tangan, karena dalam undang-undang anak yang dilahirkan tanpa adanya status bapak yang sah anak tersebut bernasab ke ibu. Berlanjut dimasa depannya apabila seorang anak yang lahir dari buah perkawinan di bawah tangan yakni menimbulkan banyak kesulitan mengenai administrasi dirinya mulai ia akan meranjak kedunia pendidikan, pekerjaan sampai anak yang telah dewasa itu ingin menikah. Akta kelahiran menjadi sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan status kewarganegaraan. Ini sudah menjadi Hak Asasi Manusia dan menyangkut hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh Negara serta orangtua yang melahirkannya. Apabila seorang anak lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar atau tidak ada maka akan menimbulkan masalah dan berakibat pada Negara, pemerintah, masyarakat, orangtua bahkan untuk anak itu sendiri. Karena seorang anak bukannlah hanya sebagai penerus orang tuanya saja tapi menjadi penerus bangsa, tunas bangsa dan potensi sebuah bangsa, seorang anak berhak mendapat kesempatan seluas luasnya baik dari hak yang melekat pada dirinya maupun hak yang bersangkutan dengan orang lain yang berhubungan dekat dengannya tanpa adanya keterbatasan karena kurangnya identitas diri yang belum dipenuhinya kepada Negara. Status keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan dimana status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak menjadi korban dari perkawinan di bawah tangan tersebut. Baik secara hukum sosial maupun psikologis tentunya berakibat terhadap anak. Perkawinan di bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Banyaknya kasus anak lahir dari perkawinan tersebut antara lain pada tahun 2010 muncul kasus gugatan untuk di Yudicial Review (uji materiil) terhadap Undang-undang perkawinan khususnya terhadap Pasal 43 kepada Mahkamah Konstitusi. Kasus ini diajukan pertama kali oleh Machica Mochtar. Dimana Machicha Mochtar pernah menikah sirri dengan seorang pejabat, dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki. Anak ini lahir dari perkawinan di bawah tangan karena suami dari Machica Mochtar masih memiliki istri sah dan kasus ini dimenangkan oleh Machicha Muhtar dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA PERUMAHAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN KONSUMEN DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) BOGOR Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v1i1.184

Abstract

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam menkonsumsi barang dan jasa adalah terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Masih banyak pelanggaran yang terjadi dalam praktek promosi dan perdagangan dilakukan oleh pihak pelaku usaha yang pada akhirnya mengabaikan hak-hak konsumen dan merugikan konsumen. Pelanggaran terjadi sejak awal, yaitu pada masa promosi (masa pra-transaksi) hingga merembet pada masa transaksi dan masa purna-transaksi. Hubungan pelaku usaha dan konsumen dalam hal mengadakan perjanjian jual beli belum sesuai dengan asas perlindungan konsumen sesuai Pasal 2 UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu asas keadilan dan keseimbangan. Di samping itu perjanjian baku dengan klausula eksenorasi yang dilarang, masih dominan dalam transaksi perumahan. Dikarenakan faktor kebutuhan konsumen, maka konsumen terpaksa menerima perjanjian yang disodorkan pelaku usaha. Studi Kasus Sengketa Perumahan di Kota Bogor. dengan konsumen terjadi karena beberapa hal yaitu: Perjanjian jual beli rumah yang tidak seimbang, kualitas spesifikasi teknis rumah rendah, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang tidak standar. Penyelesaian sengketa dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Bogor. BPSK mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dari pihak yang bersengketa
LEGITIMASI PEMAKZULAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM DAN POLITIK saharuddin daming
YUSTISI Vol 2 No 2 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v2i2.1096

Abstract

Setiap Jabatan publik maupun politik seperti jabatan Presiden dan atau wakil presiden dalam negara hukum, mempunyai rentang waktu pergantian dengan mekanisme yang diatur secara baku dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Namun ada kalanya pergantian jabatan Presiden dan atau wakil presiden tersebut, harus dilakukan sebelum rentang waktunya berakhir disebabkan karena faktor politik dan hukum. Pergantian jabatan Presiden dan atau wakil presiden di tengah masa jabatan masih berlangsung itulah yang dinamakan pemakzulan. Persoalan timbul karena meski pemakzulan mempunyai legitimasi secara hukum, namun dalam pelaksanaannya selama ini di Indonesia, lebih sering dikooptasi oleh legitimasi politik.
PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KOTA BOGOR Latifah Ratnawaty; Sri Hartini
YUSTISI Vol 4, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i2.1079

Abstract

Kota Bogor telah mempunyai Perda Nomor 12 Tahun 2009 Tentang KTR sertaPeraturan Walikota Bogor Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Tentang KTR. Menurut Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR Pasal 7 ayat (2). Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. tempat umum; b. tempat kerja; c. tempat ibadah; d. tempat bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak; e. kendaraan angkutan umum; f. lingkungan tempat proses belajar mengajar; g. sarana kesehatan; dan h. sarana olahraga. Penetapan KTR merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam rangka pengamananterhadap bahaya rokok, membatasi ruang gerak para perokok, serta melindungi perokok pasif. Hal tersebut seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 115 ayat (1) dan Pasal 115 ayat (2). Kota Bogor saat ini sudah menjadi salah satu percontohan penerapan KTR di Indonesia dan dianggap berhasil dalam implementasinya walaupun untuk kepatuhan masih belum optimal.hal ini terlihat dari hasil kegiatan Tindak Pidana Ringan, monitoring dan sidak KTR pada Mei 2010 - Desember 2016 di 8 kawasan KTR di KotaBogor yang menunjukkan banyaknya pelanggaran dilakukan. Masih banyak dijumpai orang yang bebas merokok, seperti di angkutan umum, tempat wisata, hotel, restoran, tempat-tempat umum lainnya yang merupakan area KTR.Penegakan Perda KTR harus dioptimalkan dengan memberikan sanksi tegas serta penghargaan bagi mereka yang peduli ataupun melanggar.Penerapan KTR memerlukan dukungan berbagai pihak atau stakeholder dan dampak penerapan Perda KTR telah membawa banyak perubahan, seperti dalam rapat-rapat formal pemerintahan sudah bersih dari rokok, pada rapat-rapat formal DPRD (paripurna), di sekolah-sekolah sudah tidak ada guru yang mengajar sambil merokok, di beberapa Hotel, Restoran, pasar tradisional sudah menerapkan aturan tentang KTR. Pemerintah dan masyarakat Kota Bogor diharapkan agardapat memahami dan menerapkan Perda tersebut dengan baik sehingga perlu komitmen dan kesungguhan hati serta semangat yang sama mewujudkan terlaksananya KTR di Kota Bogor secara optimal khususnya di tempat kerja Pemerintah.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i1.1119

Abstract

Dilihat dari perkembangannya, partisipasi masyarakat merupakan konsep yangberkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai demokratisasi sejak pertengahan abad ke-20. Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya di atas kertas, tidak lagi sematamata menjadi wilayah kekuasaan mutlak birokrat dan parlemen. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan. Asas keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menganut asas keterbukaan Meskipun demikian, peraturan partisipasi masyarakat dalam ketentuan tersebut belum memberikan gambaran yang jelas. Adapun tahapan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sama dengan tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan yang lain, meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada di setiap tahapan tersebut. Dengan demikian, diharapkan akan lahir Perda yang partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society need).

Page 3 of 19 | Total Record : 184