cover
Contact Name
Dr. H. A. Rahmat Rosyadi, SH., MH
Contact Email
ustisi@uika-bogor.ac.id
Phone
+628128097843
Journal Mail Official
yustisi@uika-bogor.ac.id
Editorial Address
Jl. K.H. Sholeh Iskandar km 2 Bogor 16162 Jawa Barat, Indonesia Telp/Fax: 0251-8335335
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Yustisi: Jurnal Hukum dan Hukum Islam
ISSN : 19075251     EISSN : 26207915     DOI : http://dx.doi.org/10.32832/yustisi
Core Subject : Education,
Jurnal Hukum Yustisi adalah Jurnal Ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Februari dan September. Jurnal Hukum Yustisi memiliki visi menjadi Jurnal Ilmiah yang terdepan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan hasil pemikiran di bidang hukum. Redaksi Jurnal Hukum Yustisi, menerima Naskal Artikel Hasil Penelitian, Artikel Ulasan dan Artikel Resensi Buku yang sesuai dengan sistematika penulisan kategori masing-masing artikel yang telah ditentukan redaksi. Fokus Jurnal ini yaitu Rumpun Ilmu Hukum Pidana, Rumpun Ilmu Hukum Perdata, dan Rumpun Ilmu Hukum Tata Negara/Administrasi Negara.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 184 Documents
KAPITALISASI PENDIDIKAN DILIHAT DARI PERSEPEKTIF FILSAFAT HUKUM PENDIDIKAN ISLAM Didi Hilman
YUSTISI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v2i1.195

Abstract

Pendidikan merupakan kebutuhan utama bagi ummat manusia. Dalam perspektif Hukum Islam, pendidikan merupakan salah satu institusi atau sarana dalam mencapai tujuan utama Hukum Islam yang dikenal dengan istilah maqasid al-Syariah. Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq yang mewajibkan untuk belajar dan menggali ilmu pengetahuan. Hal ini telah terrefleksi dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Agama Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap pendidikan dan mendekatkan manusia kepada penciptanya.
UPAYA PENANGGULANGAN TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Dadang Iskandar
YUSTISI Vol 3 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i2.1102

Abstract

Perlindungan hukum pada perempuan dari tindak kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional. Substansi hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam kenyataannya kedudukan perempuan masih dianggap tidak sejajar dengan laki-laki, perempuan sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, psikis sampai pada timbulnya korban jiwa. Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa selama ini perempuan masih ditempatkan pada posisi marginalisasi. Perempuan tidak sebatas objek pemuas seks kaum laki-iaki yang akrab dengan kekerasan, tetapi juga sebagai kaum yang dipandang lemah, selain harus dikuasai oleh kaum laki-laki. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, antara lain adanya budaya patriaki di masyarakat, rendahnya pendidikan dan pengetahuan perempuan sebagai isteri, diskriminasi dan ketergantungan secara ekonomi dan lemahnya pemahaman dan penanganan dari aparat penegak hukum. Maka dari itu perlu upaya penanggulaga terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan pelaku kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga yaitu melalui pendekatan kuratif maupun pendekatan preventif.
PERANAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN BOGOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ATAS SERTIPIKAT GANDA Dadang Iskandar
YUSTISI Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v1i2.1092

Abstract

PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG DALAM (INSIDER TRADING) DI PASAR MODAL Dadang Iskandar
YUSTISI Vol 4, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i1.1124

Abstract

POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS PALEDANG BOGOR SEBAGAI PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 4, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i2.1075

Abstract

Pola Pembinaan Narapidana Di Lapas Paledang Bogor Sebagai Pelaksanaan SistemPemasyarakatan.Menyelenggarakan sistem pemasyarakatan di Indonesia dilandasi oleh kejelasan tentang fungsi dari lembaga pemasyarakatan di masyarakat, atau secara lebih khusus dalam sistem peradilan pidana. Selain itu pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang baik harus pula didasari oleh adanya pemahaman terhadap realitas pelaku pelanggar hukum. Kemudian dalam rangka melakukan revisi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan harus dilandasai oleh adanyaevaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, agar dapat diketahui halhal kondusif bagi fungsi pemasyarakatan dan hal-hal yang menghambatnya. Pembinaan narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan merupakan akibat perubahan sistemhukuman di Indonesia, yaitu dari sistem penjara ke sistem pemasyarakatan. Perubahan sistem hukuman ini didasarkan pada upaya meningkatkan perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights), kepribadian bangsa Indonesia yang berjiwa pancasila, dan perkembangan ilmu sosial dan psikologi. Perubahan sistem hukuman dari penjara ke pemasyarakatan ini dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan pembinaan narapidana di Indonesia. Pembinaan Narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogortelah didasarkan pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana yang dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni: a) Pembinaan Kepribadian dan b) Pembinaan Kemandirian. Namun dalam kenyataannya masih belum membawa hasil yang optimal, karena masih minimnya latar belakang pendidikan serta kemauan dari dalam diri para narapidana untuk merubah sikap menjadi lebih baik. Begitu pun upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam hal pembinaan, antara lain: a) Bekerja sama denganlembaga sosial b) Memberikan bekal keterampilan. c) Memberikan ceramah kerohanian. d) Meningkatkan tingkat pendidikan narapidana e) Mengikutsertakan narapidana dalam berbagaikegiatan. f) Memberikan bekal keterampilan IT. g) Mengajarkan latihan baris-berbaris dankegiatan pramuka.
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Latifah Ratnawaty; Prihatini Purwaningsih
YUSTISI Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i1.1115

Abstract

Praktek pertambangan telah dikembangkan baru-baru ini dan hasilnya dapat memberikan keuntungan untuk peningkatan keselamatan masyarakat, terutama bagi penambang, tetapi dapat berdampak pada kerusakan lingkungan. Masyarakat Desa Rumpin Kecamatan Rumpin Bogor memiliki kekurangan dalam fungsi perawatan lingkungan, reklamasi lahan setelah eksploitasi dan tidak responsif terhadap elemen dasar bangunan kontinuitas. Ekploitasi penambangan pasir besar-besaran terjadi di kawasan Rumpin dan dikategorikan dalam tahap yang sudah mengkhawatirkan. Disamping belum ada upaya reklamasi yang harus dilakukan agar ada upaya yang terencana untuk mengembalikan fungsi dan daya dukung lingkungan pada lahan bekas tambang menjadi lebih baik dari sebelumnya.Pertambangan jenis pasir dan batu di Desa Rumpin Bogor tidak hanya memiliki dampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat akan tetapi juga dampak negatif dalam bentuk kerusakan lingkungan. Sementara itu dalam hal penegakan hukum terkait pertambangan lingkungan lainnya tanpa izin (PETI) di Kabupaten Bogor Desa Rumpin pun tidak efektif karena hanya diterapkan sanksi pidana yakni Pasal 362 KUHP tentang pencurian biasa, sehingga tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang. Dimana berdasarkan peraturan perundasepatung-undangan yang ada, sepatutnya para penambang liar di Desa Rumpin Kabupaten Bogor tersebut dapat dikenakan sanksi berupa : Sanksi administratif yaitu berupa pencabutan izin dan dilakukannya penutupan, Sanksi Pidana dan Perdata yakni 10 tahun dan denda 10 Milyar.
Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan Hukum Indonesia Latifah Ratnawaty
YUSTISI Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v1i1.185

Abstract

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subyek hukum sejak ia dilahirkan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subyek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan Undang-Undang Kewarga negaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum. Dalam ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 Undang-, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
HUKUM ISLAM BAGI MASYARAKAT DALAM HUBUNGAN AKAD ANTARA NASABAH DENGAN BANK SYARIAH Sri Hartini
YUSTISI Vol 2 No 2 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v2i2.1097

Abstract

Dalam melaksanakan hubungan akad antara nasabah dengan bank syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, sebagimana yang diatur dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan dituangkan dalam fatwa-fatwa yang telah ditetapkan disesuaikan dengan akad yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah. Dan ditentukan dengan lima konsep akad lembaga keuangan bank syariah. Persyaratan akad antara nasabah dengan bank syariah, harus memenuhi syarat dan rukun, yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad, yaitu pernyataan kehendakmasing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Rukun dan syarat akad dalam prinsip syariah, pada dasarnya sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian konvesional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karena itu istilah “akad” dalam hukum Islam sama maknanya dengan istilah “perjanjian” dalam hukum positif (Konvensional).
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KOTA BOGOR Prihatini Purwaningsih; Fanie Muslicha
YUSTISI Vol 1, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v1i2.1088

Abstract

KONFIGURASI PERTARUNGAN ABOLISIONISME VERSUS RETENSIONISME DALAM DISKURSUS KEBERADAAN LEMBAGA PIDANA MATI DI TINGKAT GLOBAL DAN NASIONAL Saharuddin Daming
YUSTISI Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i1.1120

Abstract

Menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hak asasi manusia (HAM) atau sebaliknya menegakkan HAM berbasis hukum dan keadilan merupakan cita-cita masyarakat demokratis. Namun harapan tersebut belum dapat terwujud secara penuh akibat tantangan secara multi dimensional datang silih berganti. Salah satu persoalan HAM versus keadilan yang kini menjadi polemik besar adalah pidana mati. Isu ini membelah pendapat publik antara pro dan kontra dengan masing-masing argumentasi disandarkan pada dalil yang bersifat rasional dan empiris. Kubu yang menolak pidana mati, merujuk pada prinsip HAM khususnya hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi, dicabut apalagi dirampas oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Hak tersebut merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa sehingga manusia tak dapat mencabut atas nama hukum sekalipun seperti yang tercermin dalam lembaga pidana mati. Melalui gerakan abolisionis, mereka menggalang kekuatan untuk berjuang menghapus pidana mati dalam sistiem hukum diseluruh dunia termasuk Indonesia. Sebaliknya kubu yang mendukung pidana mati juga mengacu pada prinsip HAM terutama pada aspek kewajiban asasi yang melekat pada setiap manusia. Ketika seseorang melakukan kejahatan yang sangat keji dan sadis misalnya maka ia telah melanggar hak asasi orang lain sekaligus melanggar kewajiban asasinya. Jika ia dijatuhi pidana mati oleh pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku, maka hal tersebut merupakan tanggungjawab yang harus ia tunaikan demi keadilan sebagai bagian penting dari HAM. Dalam hal ini bukan hanya terpidana yang perlu mendapat perlindungan HAM tetapi korban dan keluarganya maupun masyarakat secara luas juga memiliki HAM yang harus ditegakkan secara adil. Kubu ini pun juga melakukan gerakan retensionisme untuk mempertahankan lembaga pidana mati dalam sistem hukum yang berlaku. Menghapus pidana mati menurut mereka berarti membiarkan terjadinya pelanggaran HAM baru yang lebih serius sekaligus mencabut perasaan keadilan dari akar budaya hukum yang harus dihormati oleh siapapun.

Page 4 of 19 | Total Record : 184