cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
Jurnal NESTOR Magister Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 535 Documents
EFEKTIVITAS PENGAWASAN KELAUTAN DAN PERIKANAN OLEH PEMERINTAH PROVINSI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH (Studi Di Kalimantan Barat) NIM. A2021171011, MOCHAMAD ERWIN, S.ST. PI
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

 ABSTRAKTesis ini membahas tentang “Efektivitas Pengawasan Kelautan Dan Perikanan Oleh Pemerintah Provinsi Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Studi Di Kalimantan Barat). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif dan sosiologis. Kesimpulan dari tesis ini adalah Bentuk dan pola pengawasan kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengingat luasnya wilayah teritorial yang harus di awasi yaitu Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal/VMS, Desentralisasi Dalam Bidang Pesisir & Pulau-Pulau Kecil, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitar, kewenangan gubernur Kalimantan Barat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Setelah tidak berlakunya lagi Undang-undang nomor 32 Tahun 2004, berdasarkan Pasal 27 UU 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa Pengelolaan sumber daya di laut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah Provinsi kewenangan mutlak sepenuhnya menjadi milik provinsi, khususnya Provinsi Kalimantan Barat dalam pengelolaan sumber daya kelautan mulai dari garis pantai hingga 12 Mil kearah laut. Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Sehingga Pengawasan Oleh Provinsi Kalimantan Barat Tidak Efektif Dalam Melakukan Pengawasan Kelautan Dan Perikanan yaitu Hukum dan peraturan itu sendiri, Petugas yang menegakkannya, Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut, Kebudayaan. Pemerintah daerah sebagai pengawas dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan yang ditunjuk sebagai pengawas setiap nelayan yang telah mendapatkan ijin. Hal ini penting karena guna menghindari adanya penyimpangan oleh para nelayan yang melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan. Upaya-upaya yang telah dan seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Agar Pengawasan Kelautan Dan Perikanan dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagai berikut :1. Seksi pengawasan dan pengelolaan sumber daya ikan mengajukan permohonan penambahan jumlah pengawas perikanan kepada Gubernur Kalimantan Barat yang selanjutnya dilantik oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia.2. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat mengikutkan /menugaskan Pengawas Perikanan untuk mengikuti Bimbingan Teknis Pengawas Perikanan (BIMTEK) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia sehingga beban tugas yang dijalankan oleh Penyidik Perikanan Provinsi Kalimantan Barat menjadi sedikit ringan karena dibantu oleh Pengawas Perikanan.3. Melakukan Tindakan pencegahan : Pencegahan atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah yang diijinkan.4. Meningkatkan kesadaran hukum para nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yang diijinkan, agar mengerti hukum untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan menjauhi perbuatan yang dilarang oleh hukum.5. Melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan instansi terkait untuk mencari solusi secara bersama-sama mengenai penegakan hukum sehingga pada akhirnya supremasi hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.Kata Kunci: Efektivitas Pengawasan, Kelautan, Perikanan, Pemerintah  ABSTRACTThis thesis discusses "The Effectiveness of Marine and Fisheries Supervision by the Provincial Government After the Implementation of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government (Study in West Kalimantan). The method used in this study is normative and sociological legal approaches. The conclusions of this thesis are the forms and patterns of marine and fisheries supervision carried out by the government of West Kalimantan Province considering the vast territorial area that must be monitored namely the Implementation of VMS Monitoring Systems, Decentralization in Coastal and Small Islands, utilization of small islands and the waters around, the authority of the governor of West Kalimantan in the management of coastal areas and small islands. After the enactment of Law No. 32 of 2004, Based on Article 27 of Law 23 of 2014 it is stated that the management of resources in the sea is fully the authority of the Province of the province and the absolute authority belongs to the province, especially the Province of West Kalimantan in the management of marine resources from the coast to 12 miles towards the sea. Factors That Become Constraints So Supervision By West Kalimantan Province Is Not Effective In Conducting Marine And Fisheries Supervision, namely Law and regulation itself, Officers who enforce it, Facilities that are expected to support the implementation of law, Community members who are exposed to the scope of the regulation, Culture. The regional government as the supervisor in this case the Fisheries and Marine Service appointed as supervisor of every fisherman who has obtained permission. This is important because in order to avoid any irregularities by fishermen who carry out fishing business activities. Efforts that have been and should have been carried out by the Government of West Kalimantan Province so that Marine and Fisheries Supervision can proceed as it should be as follows:a.  The supervision and management section of fish resources submitted an application for the addition of the number of fisheries supervisors to the Governor of West Kalimantan which was subsequently appointed by the Indonesian Minister of Maritime Affairs and Fisheries.b.  The West Kalimantan Province's Maritime Affairs and Fisheries Agency included / commissioned Fisheries Supervisors to take part in the Technical Guidance of Fisheries Supervisors (BIMTEK) held by the Indonesian Ministry of Maritime Affairs and Fisheries so that the task burden carried out by West Kalimantan Province Fisheries Investigators was a little lighter due to assistance from Fisheries Supervisors.c.  Take precautionary measures: Prevention of acts of crime committed by fishermen carrying out fishing outside the permitted area.d.  Increasing legal awareness of fishermen who carry out fishing activities outside the permitted area, in order to understand the law to be applied in daily life and to avoid acts that are prohibited by law.e.  Consolidate and coordinate with relevant agencies to find solutions together regarding law enforcement so that ultimately the rule of law can proceed as it should.Keywords: Effectiveness of Supervision, Marine, Fisheries, Government
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 23 P/HUM/2009 TENTANG PEMBATALAN SURAT EDARAN NO. 03.E/31/DJB/2009 TENTANG PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PERATURAN PERUNDANG- NIM. A2021171021, RIZKI AMALIA FITRIANI, SH.
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas tentang analisis yuridis terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009 tentang Pembatalan Surat Edaran No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara dengan sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dan menganalisis tepat atau tidak menggolongkan Surat Edaran No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai peraturan perundang-undangan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009 dan implikasi dari Putusan Mahkamah Agung No.  23 P/ HUM/2009  yang menggolongkan  Surat Edaran No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai peraturan perundang-undangan terhadap sistem perundangan di Indonesia. Melalui jenis penelitian yuridis normatif (doktrinal) dan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan kasus (case approach) diperoleh kesimpulan, bahwa Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009 yang menggolongkan Surat Edaran No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai peraturan perundang-undangan sangat tidak tepat karena Surat Edaran bukan merupakan peraturan perundang-undangan tetapi hanya sebagai peraturan kebijakan sehingga tidak perlu dilakukan uji materiil. Implikasi dari Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009 yang menggolongkan Surat Edaran No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai peraturan perundang-undangan terhadap sistem perundang-undangan di Indonesia adalah menimbulkan pertentangan dengan undang-undang yang mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, kemudian menimbulkan kekaburan hukum dalam hal perbedaan antara peraturan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, karena peraturan kebijakan dan peraturan perundang-undangan akan dianggap setara dan memiliki kedudukan yang sama, selanjutnya menimbulkan ketidakpastian hukum karena dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang menggolongkan Surat Edaran sebagai peraturan perundang-undangan, maka hal ini berarti menambah jumlah jenis peraturan perundangan di Indonesia, padahal Surat Edaran yang ditafsirkan sebagai peraturan perundang-undangan hanyalah pseudo wetgeving namun bisa mempunyai kekuatan regeling seperti peraturan perundang-undangan dan ini bisa menyebabkan overlapping pengaturan. Di samping itu, menimbulkan kerancuan terkait lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang menggolongkan Surat Edaran sebagai peraturan perundang-undangan, maka akan menyebabkan banyak lembaga-lembaga pemerintah yang “tiba-tiba” bisa mempunyai kewenangan mengeluarkan “peraturan perundang-undangan” (peraturan kebijakan) atas dasar diskresi akan tetapi memiliki kekuatan hukum sebagai peraturan perundang-undangan.Kata kunci :    Putusan, Mahkamah Agung, Surat Edaran, Sistem, Peraturan Perundang-undangan.   ABSTRACTThis thesis discusses analysis juridical of Supreme Court Decision No. 23 P/HUM/2009 concerning Cancellation of Circular Letter No. 03.E/31/DJB/2009 concerning Licensing of Mineral and Coal Mining with the regulation system of legislation in Indonesian. The purpose of this study is to reveal and analyze precisely or not classify Circular Letter No. 03.E/31/DJB/2009 concerning Mineral and Coal Mining Licensing as legislation based on Supreme Court Decision No. 23 P/HUM/2009 and the implications of the Supreme Court Decision No. 23 P/ HUM/2009 which classifies Circular Letter No. 03.E/31/DJB/2009 concerning Licensing of Mineral and Coal Mining as a statutory regulation on the system of legislation in Indonesia. Through a type of normative juridical (doctrinal) and legal approach (statute approach), the historical approach and case approach are concluded, that the Supreme Court Decision No. 23 P/ HUM/2009 which classifies Circular Letter No. 03.E/31/DJB/2009 concerning Mineral and Coal Mining Licensing as legislation is very inappropriate because Circular is not a statutory regulation but only as a policy regulation so that it does not need to be subjected to material testing. Implications of Supreme Court Decision No. 23 P/HUM/2009 which classifies Circular Letter No. 03.E/31/DJB/2009 concerning Licensing of Mineral and Coal Mining as a statutory regulation on the system of legislation in Indonesia is to cause contradiction with the law governing the order of legislation, namely Law Number 10 of 2004 and Law Number 12 of 2011, then creates legal obscurity in terms of differences between policy regulations and laws and regulations, because policy regulations and legislation will be considered equal and have the same position, subsequently causing legal uncertainty due to the existence of decisions The Supreme Court which classifies Circular as a statutory regulation, this means increasing the number of types of legislation in Indonesia, even though the Circular Letter which is interpreted as a statutory regulation is only pseudo wetgeving but can have regeling powers such as legislation and this is a bus a causes overlapping settings. In addition, it creates confusion regarding institutions that have the authority to make laws and regulations, because with the decision of the Supreme Court that classifies Circular as a statutory regulation, it will cause many government institutions that "suddenly" can have the authority to issue "statutory regulations" (policy regulations) on the basis of discretion but has legal force as a statutory regulation.Keywords: Decision, Supreme Court, Circular, System, Legislation.
ANALISIS KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI DALAM MENYELENGGARAKAN PELAYARAN (STUDI DI KALIMANTAN BARAT) NIM. A2021171076, MUHAMMAD AS?ARI, S.SiT
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas tentang Penyelesaian Ganti Rugi Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Di Kota Pontianak ). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif dan sosiologis. Kesimpulan dari tesis ini adalah Penetapan  Ganti Rugi Pengadaan Tanah Pada Jembatan Landak II mengacu kepada ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian penilai menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian. Walaupun adanya tim penilai independen dan dijadikannya hasil penilainnya dalam musyawarah hanya sebagai pedoman, penetapan ganti kerugian tetap tidak menjamin tercapainya kesepakatan dalam besarnya ganti rugi karena adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah itu sendiri dan maupun permintaan dari pemilik tanah yang minta ganti rugi jauh lebih tinggi dari harga pasaran, dalam tahap perencanaan pengadaan Pemerintahan Kota Pontianak sedikit sekali melakukan musyawarah tentang penetapan ganti rugi bidang tanah yang terkena objek pengadaan, yangg menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan, ganti rugi bisa saja berupa penggantian tanah dan atau bangunan di daerah lain, ataupun masyarakat bisa mengajukan ganti rugi pekerjaan yg telah hilang. Selanjutnya, upaya yang di lakukan masyarakat untuk mempertahankan haknya  menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Pengadaaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan sangat tidak tidak relevan, di karenakan pemerintah sangat memaksa, masyarakat hanya bisa mengajukan keberatan kepengadilan, sedangkan dana penggantian ganti rugi sudah di titipkan ke pihak pengadilan, hal ini otomatis masyarakat harus menerima ganti rugi yang diberikan Pemkot Pontianak. Upaya-upaya hukum yang dapat di lakukan terhadap penyelesaian  ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang bersifat merugikan kepentingan masyarakat. Pemerintah Kota Pontianak segera menuntaskan pembebasan lahan yang terkena proyek pembangunan jalan Jembatan Landak II di Kecamatan Pontianak Timur dan Utara. Prinsip tanah untuk kepentingan umum harus tersedia. Pemerintah dengan kewenangannya akan bisa melakukan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan antar hak privat, pribadi, dan publik/masyarakat menjadi keharusan melalui proses yang adil, terbuka dan melibatkan masyarakat. Prinsip terjaminnya hak- hak masyarakat. berdasarkanUUD 1945 Pasal 28 H Ayat(4) mengamanatkan pembatasan- pembatasan dan atau pengambil alihan atas tanah melalui prosedur yang benar, juga disertai dengan ganti kerugian yang adil. pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi warga masyarakat yang tanahnya terkena pembangunan tersebut. Yakni sebagai Perlindungan hukum preventif dan Perlindungan hukum represif yaitu masyarakat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap lokasi penetapan pembangunan duplikasi jembatan landak.Kata Kunci: Penyelesaian Ganti Rugi, Pengadaan, Tanah, KepentinganABSTRACTThis thesis discusses Compensation Settlement for Land Procurement in the Public Interest (Study in Pontianak City). The method used in this study is normative and sociological legal approaches. The conclusion of this thesis is Determination of Land Acquisition Compensation in Bridges of Porcupine II refers to the provisions of Article 34 paragraph (3) of Law No. 2 of 2012 states that the compensation value based on the appraisal assessment results becomes the basis for deliberation on the determination of compensation. Although there is an independent assessment team and the results of its assessment are made in deliberation only as a guideline, the determination of fixed compensation does not guarantee an agreement in the amount of compensation due to limited funds owned by the government itself and also requests from landowners who request much higher compensation from market prices, in the planning stage of procurement, the Pontianak City Government has very little discussion about the compensation for land parcels affected by the object of procurement, which according to Law No. 2 of 2012 Land Procurement for the Implementation of Development in the Interest, compensation can be in the form of replacing land and or buildings in other areas, or the community can submit compensation for lost work. Furthermore, efforts made by the community to defend their rights under Law No. 2 of 2012 Land Procurement for the Implementation of Development for Interest is very irrelevant, because the government is very compelling, the community can only raise objections to the court, while the compensation fund has been handed over to the court, it is automatically the community must receive compensation provided Pontianak City Government. Legal measures that can be taken to settle compensation for land acquisition for the public interest which is detrimental to the interests of the community. The Pontianak City Government immediately completed the land acquisition affected by the construction project of Jembatan Landak II in East and North Pontianak Districts. Land principles for public purposes must be available. the government with its authority will be able to carry out land acquisition or revocation of the land rights. Therefore there needs to be a balance between private, private and public / community rights to be a necessity through a process that is fair, open and involves the community. The principle of guaranteeing community rights. pursuant to the 1945 Constitution Article 28 H Paragraph (4) mandates restrictions and or takeovers of land through correct procedures, also accompanied by fair compensation. the implementation of land acquisition for public interest is intended to provide protection for residents of the community whose land is affected by the development. Namely as preventive legal protection and repressive legal protection, namely the public can file a lawsuit to the state administrative court against the location of the establishment of the construction of duplicate porcupine bridges.Keywords: Compensation Settlement, Procurement, Land, Interest
ANALISIS KEDUDUKAN JAKSA SEBAGAI APARATUR SIPIL NEGARA DAN PENUNTUT UMUM DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NIM. A2021151049, ERHAN LIDIANSYAH, SH
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas tentang Analisis Kedudukan Jaksa Sebagai Aparatur Sipil Negara Dan Penuntut Umum. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan dan metode penelitian sosiologis.. Dari hasil penelitian tesis ini diperoleh analisa sementara Bahwa Karakteristik Jaksa Sebagai Aparatur Sipil Negara Dapat Dipersamakan Dengan Karakteristik Jaksa Sebagai Penuntut Umum. Kelancaran pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tergantung pada kesempurnaan dan kemampuan aparatur Negara, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri. Kedudukan dan peranan pegawai dalam setiap organisasi pemerintahan sangatlah menentukan, sebab Pegawai Negeri merupakan tulang punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional, berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sesungguhnya belum mengakomodasi kekhususan karakteristik kelembagaan maupun profesi di Kejaksaan RI seperti model birokrasi kelembagaan, model pembinaan kepegawaian, model akuntabilitas kinerja kelembagaan dan model pengawasan baik kelembagaan maupun profesi. Peran Jaksa Penuntut Umum. Dalam Kekuasaan Penyidikan, terdapat beberapa lembaga yang dapat melakukan penyidikan, dalam menjalankan kekuasaan penuntutan hanya satu lembaga yang berwenang melaksanakan yaitu lembaga Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.Konsekuensi Hukum Jaksa Sebagai Aparatur Sipil Negara Dan Penuntut Umum Dalam Menjalankan Tugas Dan Fungsinya. Profesi jaksa minta dikecualikan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Alasannya, keberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dinilai punya konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi Korps Adhyaksa itu. Bahkan, sebagai profesi penegak hukum, jaksa akan banyak ‘diamputasi’ jika tetap dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Kedudukan Jaksa Sebagai Aparatur Sipil Negara dan Penuntut Umum. Jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang pegawai negeri sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Untuk diangkat menjadi seorang Jaksa, salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah ia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS).Kata Kunci : Kedudukan Jaksa, Sebagai Aparatur Sipil Negara, Penuntut Umum ABSTRACT This thesis discusses the Analysis of the Position of Prosecutors as State Civil Apparatus and Public Prosecutors. This study uses normative legal research methods, through literature studies and sociological research methods. From the results of this thesis research, a temporary analysis is obtained that the characteristics of prosecutors as state civil apparatuses can be compared to the characteristics of prosecutors as public prosecutors. The smooth implementation of development and governance depends on the perfection and capability of the State apparatus, in this case the Civil Servants. The position and role of employees in every government organization is crucial, because Civil Servants are the backbone of the government in implementing national development, the enactment of Law Number 5 of 2014 concerning State Civil Apparatuses, does not actually accommodate the specificity of institutional or professional characteristics in the Indonesian Attorney General's Office such as the bureaucratic model institutional, staff development models, institutional performance accountability models and institutional and professional supervision models. The role of the Public Prosecutor. In the Investigation Power, there are several institutions that can carry out investigations, in carrying out the prosecution power, only one institution has the authority to carry out, namely the Republic of Indonesia Prosecutor's Office based on Law Number 16 of 2014 concerning the Republic of Indonesia Prosecutor's Office. In carrying out its duties and functions. Professional prosecutors ask to be excluded in the provisions of Law Number 5 of 2014 concerning State Civil Apparatus (ASN Law). The reason, the enactment of Law Number 5 of 2014 concerning the State Civil Apparatus (ASN Law) is considered to have unfavorable consequences for the Adhyaksa Corps. In fact, as a law enforcement profession, prosecutors will have many 'amputations' if they are still included in Law Number 5 of 2014 concerning State Civil Apparatus (ASN Law). Position of the Prosecutor as the State Civil Apparatus and the Public Prosecutor. Functional position is a position that shows the duties, responsibilities, authority and rights of a civil servant in an organizational unit whose tasks are based on certain expertise / and or skills and are independent. Functional positions are essentially technical positions that are not listed in the organizational structure, but are very necessary in the main tasks in government organizations. To be appointed as a Prosecutor, one of the conditions that must be fulfilled is that he is a Civil Servant (PNS).Keywords: Prosecutor's Position, As a State Civil Apparatus, Public Prosecutor
EFEKTIFITAS PASAL 3 AYAT (3) PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 2 TAHUN 2016 TERKAIT PENERBITAN KARTU IDENTITAS ANAK USIA 5 TAHUN SAMPAI DENGAN USIA 17 TAHUN KURANG SATU HARI DALAM RANGKA PENDATAAN, PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN PUBLIK BAGI WARGA NEGARA (STUDI DI KOTA PONTIANAK) NPM. A2021171046, Ferdita, SH
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKIdentitas seseorang dapat dibuktikan salah satunya dengan kartu identitas, tetapi pada saat ini nyatanya anak anak usia dibawah 17 tahun belum memiliki kartu identitas yang berlaku secara nasional dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan identitas kependudukan kepada seluruh penduduk yang berlaku secara nasional sebagai upaya perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Payung hukum mengenai pedoman dan pelaksanaan penerbitan KIA diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak (KIA). Sebelum aturan tersebut diberlakukan, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewajiban bahwa seorang anak berusia 0-16 tahun harus memiliki sebuah identitas tersendiri, hanya akta kelahiran sebagai identitas.Kota Pontianak sebagai salah satu wilayah yang berada dibawah Indonesia juga harus menjalankan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak. Pada awalnya terlihat ajakan pembuatan Kartu Identitas Anak di beberapa jalan utama di kota Pontianak, namun saat ini Kartu Identias Anak tidak seramai diawal..Masih adanya faktor yang menyebabkan pelaksanaan penerbitan Kartu Identitas Anak bagi anak usia 5 tahun sampai dengan usia 17 tahun kurang satu hari belum terlaksana sepenuhnya diantaranya Faktor Kurangnya SDM, faktor hukum itu sendiri (tidak ada sanksi bagi yang tidak memiliki KIA), Faktor masyarakat dan faktor sarana, (untuk saat ini diketahui bahwa operator, peralatan dan server alat dalam operasional KIA masih menumpang di server E-KTP), dan kita ketahui sendiri E-KTP sampai saat ini juga masih banyak problema sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan.Kata kunci : Anak, Kartu Identitas Anak, Pontianak dan Peraturan Menteri Dalam NegeriRepublik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak (KIA)ABSTRACTOne's identity can be proven by using an identity card, but at this time in fact children under the age of 17 do not have a valid identity card nationally and are integrated with the Population Administration Information System (SIAK). It is the government's obligation to provide population identity to the entire population that applies nationally as an effort to protect and fulfill the constitutional rights of citizens. The state is established by the public (of society) of course with the aim of increasing the welfare of the community.The legal umbrella regarding guidelines and implementation of KIA issuance is regulated in the Republic of Indonesia Minister of Home Affairs Regulation Number 2 of 2016 concerning Child Identity Cards (KIA). Before the regulation was enacted, there was no legislation regulating the obligation that a child aged 0-16 years must have a separate identity, only a birth certificate as an identity.Pontianak City as one of the regions under Indonesia must also carry out Minister of Home Affairs Regulation Number 2 of 2016 concerning Child Identity Cards. Initially, there was an invitation to make a Child Identity Card on several main roads in Pontianak, but at this time the Children's Identity Card was not as busy as at the beginning.There are still factors that lead to the implementation of the issuance of Child Identity Cards for children aged 5 years up to the age of 17 years less one day has not been fully implemented including Factors of Lack of HR, legal factors themselves (no sanctions for those who do not have MCH), community factors and factors facilities, (for now it is known that operators, equipment and tool servers in KIA operations are still hitching on the E-KTP server), and we know that E-KTP itself is still having many problems so that it becomes an obstacle in implementation.Keywords: Children, Children's Identity Cards, Pontianak and Internal MinisterRegulation Negeri Republik Indonesia Number 2 of 2016 concerning Child Identity Card (KIA)
PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (Studi Di Kabupaten Landak) NIM. A2021171019, BAYU SUPIANTO, S.IP
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas mengenai pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, studi di Kabupaten Landak. Dalam tesis ini pendekatan metodologi penelitian menggunakan metode hukum normatif sosiologis. Pembatasan masalah dalam tesis ini adalah, yang pertama apa faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum berjalan dengan baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Landak, yang kedua adalah upaya-upaya apa saja yang dilakukan agar pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bisa berjalan dengan baik di Kabupaten Landak. Teori dasar  yang digunakan sebagai kerangka teori untuk membantu mengupas permasalahan di tesis ini adalah teori negara hukum, teori negara kesejahteraan, teori efektifitas hukum dan teori pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Hasil dari penulisan tesis ini adalah pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum bisa berjalan dengan baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Kabupaten Landak dikarenakan faktor-faktor seperti keadaan peraturan itu sendiri yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang belum mengatur mengenai pembiayaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bagi tiap-tiap daerah yang memiliki Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang kecil, belum mengatur kewenangan pengukuran dan legalitas pengukuran untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, serta belum mengatur keselarasan antara pelaksana kegiatan dan pembiayaan kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, faktor personil pengukur yang juga minim ditambah dengan pola koordinasi antar instansi vertikal yakni Pemerintah Kabupaten Landak dengan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Landak, dan faktor-faktor penyelarasan dan sinkronisasi antara perencanaan dan pembiayaan pada masing Organisasi Perangkat Daerah terutama Bagian Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Landak. Masukan dan saran atas permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah adanya revisi atau perubahan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terutama mengenai pembiayaan untuk daerah-daerah yang memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang kecil, kewenangan pengukuran dan penyelarasan antara pelaksana kegiatan dan pembiayaan.Kata Kunci : Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan UmumABSTRACTThis thesis discusses the implementation of land acquisition for development in the public interest based on Law No. 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest, study in Landak Regency. In this thesis the research methodology approach uses sociological normative legal methods. The limitation of the problem in this thesis is, firstly what are the factors that have led to the implementation of land acquisition for development in the public interest that has not gone well according to Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest in Landak District, the second is what are the efforts made so that the implementation of land acquisition for development in the public interest based on Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest can run well in Landak Regency. The basic theory used as a theoretical framework to help explore the issues in this thesis is the theory of the rule of law, the theory of the welfare state, the theory of legal effectiveness and the theory of land acquisition for public use. The result of writing this thesis is that the implementation of land acquisition for development in the public interest has not been able to run properly based on Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest in Landak District due to factors such as the state of the regulation itself namely the Law Law Number 2 of 2012 concerning Land Procurement for Development in the Public Interest that has not yet regulated the financing of land acquisition for public purposes for each region that has a small Regional Revenue Budget, has not yet regulated the measurement authority and measurement legality for land acquisition for development for public interest, and have not yet regulated the alignment between implementing activities and financing of land acquisition activities for development in the public interest, the measurement personnel factor which is also minimal coupled with the pattern of coordination between vertical agencies namely the Landak District Government and B and Land Land District National Land and the factors of alignment and synchronization between planning and financing in each Regional Apparatus Organization especially Land Land District Secretariat Section. Inputs and suggestions for problems in this thesis research are the revision or amendment to Law Number 2 of 2012 concerning Land Acquisition for Development in the Public Interest, especially regarding financing for regions that have small Regional Revenue and Expenditure Budgets, measurement authority and alignment between implementing activities and financing.Keywords: Land Procurement for Development in the Public Interest
EKSISTENSI PEMBERIAN MAAF DALAM HUKUM ISLAM SEBAGAI KONSEP PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DI INDONESIA NIM. A2021171041, MOCHAMMAD JHON MAYOR HASIBUAN. SH
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKDialam hukum positif Indonesia pemberian maaf dari keluarga korban bukan merupakan bagian dari sitem pemidanaan di Indonesia, pemberian maaf dari keluarga korban merupan bagian dari persoalan moral. Peranan dan posisi moral didalam hukum positif Indonesia tidak seperti moral didalam hukum islam dan falsafah Pancasila. Perbedaan tersebut jelas mendasar bahwa falsafah hukum positif Indonesia sendiri berasal dari Negara-negar barat, yakni Belanda sebagai salah satu penentu perbedaan nilai-nilai hukum didalam hukum positif Indonesia yang sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal yang demikian menjadi indikasi bagaimana masyarakat Indonesia tidak lagi menjadi masyarakat yang seharusnya. Mengingat bahwa pemberian maaf oleh keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan berencana, adalah nilai-nilai yang telah hidup didalam masyarakat adat, terlebih lagi bentuk dari pemberian maaf tersebut juga menjadi bagian bagaimana system keadilan restoratif, yang mempertemukan kedua belah pihak yang berperkara untuk bersama-sama mencari jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahannya. Permaslahan dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama. Apakah hukum kisas (pemberian maaf) sebagai salah satu konsep pemidanaan dapat meringankan hukuman pelaku tindak pidana pembunuhan berencana di Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan datang? Dan kedua, Bagimana hukum Qisas dapat diterima dalam sistem pemidanaaan di Indonesia?Penelitian ini bertujuan untuk (a) Untuk mengetahui secara jelas dan terperinci mengenai teori pidana dan pemidanaan. (b) Untuk membandingkan hukum positif Indonesia dan hukum pidana islam. (c) Untuk menjelaskan masalah terkait dengan pemberian maaf bagi pelaku tindak pidana pembunuhan berencana di Indonesia.Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Tentang pemberian maaf dalam hukum islam dapat meringankan hukuman pelaku tindak pidana pembunuhan berencana di Indonesia, Perlu adanya pentranformasian hukum pidana islam kedalam hukum positif Indonesia. Mengingat bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang tidak lagi sesuai dalam tataran kehidupan masyarakat. Hal yang demikian menuntut pembaharuan hukum pidana yang mengarah pada nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Kedua, Tentang bagaimana hukum Qisas dapat diterima dalam sistem pemidanaaan di Indonesia, Sehingga yang menjadi penting mengenai hal itu ialah dengan objektifikasi hukum Qisas kedalam hukum pidana Indonesia. Dimaksudkan agar penerimaan hukumQisas dapat diterima berbagai golongan agama di Indonesia untuk menjadi aturan hukum yang baku dan bukan sebagai tindakan keagamaan yang dimungkinkan akan mendapat penolakan dari berbagai golongan agama nonmuslim di Indonesia.Kata Kunci: Pemberian Pembunuhan Berencana. Maaf Keluarga KorbanABSTRACTIn Indonesian positive law, forgiveness from the victim?s family is not a part of the Indonesian criminal system. Giving forgiveness from the victim?s family is a part of a moral problem. The role and moral position in Indonesian positive law is not similar to moral in Islamic law and the Pancasila philosophy. The difference is clearly fundamental that the philosophy of Indonesian positive law itself comes western countries, such as the Netherlands as one of the determinants of differences in legal values in Indonesian positive law. And that is very different from the life of Indonesian people. This is an indication of how the people of Indonesia are no longer the communities they used to be. Given that the forgiveness by the families of the victims of the perperators of the premeditated murder is values that have been living within indiegenous peoples. Moreover, the form of the apology is part of how the restorative justice system brings together litigants and the family of victim to joinly seek a middle ground to resolve the problem.The problems in this study are as follows. First, in the law of Qisas (forgiveness) as one of the concepts of punishment can alleviate the punishment of perperators of premeditated murder in Indonesia in the upcoming draft criminal code? And Second, How can the law of Qisas be accepted in the criminal system in Indonesia? While, this study aimed (a) to know clearly and in detail about criminal theory and punishment. (b) to compare Indonesian positive law and Islamic criminal law. (c) to explain the problems related to the granting of forgiveness for perperators of criminal acts of premeditated murder in Indonesia.From the results of the research and discussion are concluded the following matters: First, regarding forgiveness in Islamic law it can alleviate the punishment of perperators of criminal acts of premeditated murder in Indonesia. There is a need to be transformation of Islamic criminal law into Indonesian positive law. Considering that the criminal law that is now in possession is no longer appropriate to the level of life in society. This matter demans renewal of criminal law which leads to the values of the life of the Indonesian nation itself. Second, about how the law of Qisas can be accepted in the criminal system of Indonesia. So, what is important about this is the legal objectivity of Qisas into Indonesian Penal Code. It is intended that the legal acceptance of Qisas can be accepted by various religion groups in Indonesia to become a standard legal rule and not as a religious act which is likely to be rejected by various non-Muslim religious groups in Indonesia.Keywords: Pardon from the victim?s family, Premeditated Murder
KOORDINASI PELAKSANAAN PEKERJAAN TERKAIT INFRASTRUKTUR JALAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM DENGAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (STUDI DI KABUPATEN SAMBAS) NIM. A2021171070, HUSNADI, S.T., M.T
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas Koordinasi Pelaksanaan Pekerjaan Terkait Infrastruktur Jalan Antara Dinas Pekerjaan Umum Dengan Perusahaan Daerah Air Minum (Studi Di Kabupaten Sambas). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif dan sosiologis. Kesimpulan dari tesis ini adalah Bentuk Koordinasi Antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) Dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Infrastruktur Jalan sebagai berikut :a.Kerjasama Lintas Lembaga terkait : Kerjasama antara antara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sambas dengan Perusahaan Daerah Air Minum di Kabupaten Sambas terkait yaitu : antara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sambas dengan Perusahaan Daerah Air Minum di Kabupaten Sambas dan Instansi terkait selama ini telah terjalin dengan baik terutama keterlibatan dalam melaksanakan koordinasi dalam pekerjaan terkait infrastruktur jalan,b.Komunikasi lintas lembaga : Komunikasi yang telah diterapkan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Instansi terkait dengan lintas lembaga terkait dalam rangka koordinasi permasalahan yang memerkukan pemecahanya atau keputusan bersama biasanya dapat dilakukan secara formal dan informal, c.Mekanisme Koordinasi : Mekanisme koordinasi yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sambas ini dapat dikatakan telah sesuai dengan pernyataan bahwa koordinasi adalah proses penyatupaduan sasaran-sasaran dan kegiatan-­kegiatan dari unit-unit yang terpisah bagian atau bidang funsional dari suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien, d.Koordinator dalam Pelaksanaan Koordinasi : Koordinator dalam pelaksanaan koordinasi lintas lembaga Pelaksanaan pekerjaan infrastruktur jalan di Kabupaten Sambas. Perlunya adanya Koordinasi Pelaksanaan Pekerjaan Terkait Infrastruktur Jalan Antara Dinas Pekerjaan Umum Dengan Perusahaan Daerah Air Minum Di Kabupaten Sambas. Fakto-faktor yang menyebabkan koordinasi tidak berjalan dengan baik antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam pelaksanaan pekerjaan infrastruktur jalan ialah Faktor Koordinasi yang buruk : Koordinasi yang buruk antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan PDAM merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya kerusakan berlarut dijalan. Baik PUPR dan PDAM memiliki Asumsi dan pendapat masing-masing terkait perbaikan jalan. Akibat dari lempar tanggung jawab itulah menyebabkan kondisi jalan makin parah, dan aliran air ke konsumen terganggu, akibat tidak ada pihak-pihak yang ingin melakukan perbaikan dan faktor tumpang tindih tupoksi.Upaya-upaya yang harus dilakukan agar koordinasi antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam melaksanakan pekerjaan infrastruktur jalan dapat berjalan dengan baik adalah :a.Menjalankan Komunikasi yang efektif : dalam melaksanakan pekerjaan infrastruktur jalan di kabupaten sambas perlunya kominasi yang efektif sebagai upaya yang harus dilakukan agar koordinasi antara Dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam melaksanakan pekerjaan infrastruktur jalan dapat berjalan dengan baik,b.Sumber daya/resources; meliputi : a) Staf yang cukup (jumlah mutunya) b) Informasi yang dibutuhkan guna mengambil keputusan. c) Kewenangan atau authority yang cukup dalam melaksanakan tanggung jawab. d). Fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan, c.Disposisi; yaitu sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program khususnya dari mereka yang menjadi implementer dari program, terutama adalah aparatur birokrasi.Kata Kunci: Koordinasi, Pelaksanaan, Infrastruktur, Pekerjaan Umum, Air ABSTRACTThis thesis discusses the Coordination of Implementation of Work Related to Road Infrastructure between Public Works Offices and Regional Water Companies (Study in Sambas District). The method used in this study is normative and sociological legal approaches. The conclusion of this thesis is the Form of Coordination Between Public Works Agency (PU) and Regional Water Supply Companies (PDAM) in the Implementation of Road Infrastructure Works as follows: in the Sambas Regency concerned, namely: between the Sambas District Public Works Office and the Regional Water Supply Company in Sambas Regency and related institutions so far it has been well established, especially involvement in coordinating work related to road infrastructure, b. Cross agency communication: Communication that has been implemented by the Public Works Agency (PU) with Regional Water Companies (PDAMs) and related institutions with cross-related institutions in the context of coordinating problems that require resolution or joint decisions can usually be done formally and informally, c. Coordination mechanism: Coordinating mechanism this Sambas Regency government can be said to be in accordance with the statement that coordination is the process of integrating the goals and activities of units that are separate parts or functional fields of an organization to achieve organizational goals efficiently, d. Coordinator in Implementation Coordination: Coordinator in implementing cross-agency coordination Implementation of road infrastructure work in Sambas District. The Need for Coordination of Implementation of Work Related to Road Infrastructure between the Public Works Agency and Regional Water Companies in Sambas District. Factors that lead to poor coordination between the Public Works Agency (PU) and Regional Water Companies (PDAMs) in carrying out road infrastructure work are poor coordination factors: Poor coordination between the Public Works Agency (PU) and PDAMs is wrong one important factor that causes protracted damage on the road. Both PUPR and PDAM have their own assumptions and opinions regarding road repairs. The consequence of throwing responsibility is that the road conditions are getting worse, and the flow of water to consumers is disrupted, because there are no parties who want to make improvements and overlapping factors tupoksi. Efforts must be made so that coordination between the Public Works Agency (PU) with Regional Water Companies (PDAMs) in carrying out road infrastructure works that can run well are: a. Run effective communication : in carrying out road infrastructure work in Sambas district the need for effective commissions is an effort that must be made so that coordination between the Public Works Agency (PU) and Regional Water Supply Companies (PDAMs) in carrying out road infrastructure works can run well, b. Resources ; include: a) Sufficient staff (number of quality) b) Information needed to make decisions. c) Authority or authority that is sufficient in carrying out responsibilities. d). Facilities needed in the implementation, c.Disposition; namely the attitude and commitment of the implementers of the program, especially from those who become implementers of the program, especially the bureaucratic apparatus.Keywords : Coordination, Implementation, Infrastructure, Public works, Water
SINERGITAS TIM TERPADU PEMERINTAHAN KOTA PONTIANAK DAN KEPOLISIAN DALAM PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL (Studi Terhadap Sinergitas Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor: 23 Tahun 2002 dan Permendag Nomor 72/M-DAG/PER/10/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014) NIM. A2021171087, Masagus Zailani Dwiputra, S.T.K
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakTesis ini membahas tentang Sinergitas Tim Terpadu Pemerintahan Kota Pontianak Dan Kepolisian Dalam Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol  (Studi Terhadap Sinegitas Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor: 23 Tahun 2002 dan Permendag Nomor 72/M-DAG/PER/10/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014). Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan pendekatan sosilogis., dari hasil penelitian terdapat kesimpulan yaitu Tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan Tim Terpadu dan Kepolisisan Untuk Memaksimalkan Sinergi Dalam Rangka Mengontrol Peredaran Minuman Beralkohol Kota Pontianak. Kepala Daerah/Walikota berwenang melakukan pengawasan dan pengendalian serta penertiban peredaran minuman beralkohol di Kota Pontianak. Dalam melaksanakan kegiatan pengawasan, pengendalian peredaran dan penjualan minuman beralkohol, Kepala Daerah dibantu oleh tim yang beranggotakan instansi yang terkait dan dapat melibatkan tokoh masyarakat. Tim memberikan pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam memberikan izin yang dibentuk dengan surat keputusan Kepala Daerah. Kepala Daerah berwenang mencabut izin peredaran minuman berakohol yang telah diberikan untuk mengurangi jumlah alokasi minuman beralkohol yang diizinkan untuk diedarkan di wilayah Kota Pontuanak karena pertimbangan kepentingan umum. Kepala Daerah juga dapat menghentikan penjualan minuman beralkohol karena pertimbangan khusus, pada hari-hari tertentu karena dianggap akan mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Selain itu, Kepala Daerah berwenang melarang peredaran semua golongan minuman beralkohol di wilayah daerah apabila mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.Kata Kunci : Sinergitas Tim Terpadu,  Pengawasan, Minuman Beralkohol.AbstractThis thesis discusses the synergy of the Pontianak City Government Integrated Team and the Police in the Supervision and Control of Alcoholic Beverages (Study of Pontianak City Regional Regulation Synergy Number: 23 of 2002 and Regulation of the Minister of Trade Number 72 / M-DAG / PER / 10/2014 concerning Amendments to Ministerial Regulations Trade Number 20 / M-DAG / PER / 4/2014). This study uses a normative approach with a sosilogis approach. From the results of the study there is a conclusion that the actions that should be carried out by the Integrated Team and Police to Maximize Synergy in the Context of Controlling the Circulation of Alcoholic Beverages in Pontianak. The Regional Head / Mayor has the authority to supervise and control and control the circulation of alcoholic beverages in Pontianak City. In carrying out activities of supervision, control of distribution and sale of alcoholic beverages, the Regional Head is assisted by a team consisting of relevant agencies and can involve community leaders. The team gives consideration to the Regional Head in granting the permit formed by the Decree of the Regional Head. The Regional Head has the authority to revoke the distribution license for alcoholic drinks that has been given to reduce the amount of alcoholic beverage allocation that is permitted to be circulated in the Pontuanak City area due to public interest considerations. The Regional Head can also stop selling alcoholic drinks due to special considerations, on certain days because it is considered to be disturbing the peace and order of the people. In addition, the Regional Head has the authority to prohibit the distribution of all classes of alcoholic drinks in the area if disturbing public peace and order.Keywords: Integrated Team Synergy, Supervision, Alcoholic Beverages.
KEBIJAKAN HUKUM DALAM HAL PROSES PENITIPAN TERDAKWA OLEH JPU KEPADA STASIUN PSDKP PONTIANAK DALAM MENUNGGU PROSES PUTUSAN INKRACHT TINDAK PIDANA PERIKANAN BERDASARKAN UU NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN UU NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN NIM. A2021171002, NUR ILHAM, S.Pi
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTesis ini membahas penanganan awak kapal warga negara asing (WNA) yang menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana perikanan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Cina Selatan yang sedang menunggu putusan inkracht dan karena mereka tidak boleh ditahan/dipenjara sesuai Pasal 102 UU Perikanan maka sementara ini ditampung di Tempat Penampungan Sementara (TPS) awak kapal WNA di Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pontianak (Stasiun PSDKP Pontianak) bahkan ada awak kapal WNA yang ditampung di TPS milik Stasiun PSDKP Pontianak sudah selama ± 3 (tiga) tahun karena masih menunggu proses kasasi. Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.Hasil dari penelitian ini adalah bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka perlu diambil kebijakan hukum seperti memberikan hukuman kurungan sebagai hukuman pengganti denda, memberikan denda yang disesuaikan dengan kemampuan membayar si terdakwa, menyamakan persepsi antar sesama aparat penegak hukum terkait Pasal 102 UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Pasal 73 UNCLOS, dan dalam putusan hakim sebaiknya mencantumkan hukuman subsidair kurungan apabila si terdakwa tidak mampu membayar denda yang ditetapkan dalam putusan. Selain itu, sebaiknya awak kapal WNA yang sedang menunggu proses putusan kasasi selesai diserahkan ke Rumah Detensi Imigrasi dan perlu ada formulasi khusus dalam penanganan awak kapal WNA pelaku TPP di ZEEI yang bisa memberikan efek jera sehingga mereka (awak kapal WNA asing) takut untuk mengulang perbuatan melakukan pencurian ikan di WPPNRI.Kata Kunci : Penanganan awak kapal perikanan asing, tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI  ABSTRACThis thesis discuss handling of ship's crew of foreign nationals who are suspected of committing criminal offenses in the South China Sea Exclusive Economy Zone (Indonesian Economic Zone) that are awaiting the decision to interact and because they are not allowed to be detained or imprisoned in accordance with Article 102 of the Fisheries Act, they are temporarily housed in temporary shelters for crew members foreigners at Pontianak's marine and fisheries resource monitoring station. At the temporary shelters, there is even a crew of foreigners who are being accommodated for more than three years because they are still waiting for the cassation process. In writing this thesis, the writer uses normative juridical legal research methods, namely the method used in legal research conducted by examining the literatures.The results of this study are that to resolve the problem, it is necessary to take legal policies such as providing a sentence of imprisonment as a substitute for a fine, giving a fine in accordance with the defendant's ability to pay, equating perceptions among fellow of law enforcement officials related to article 102 of the 45 year law 2009 concerning amendment to law number 31 of 2004 concerning fisheries and article 73 of UNCLOS, and in the decision of the judge, it is better to include a sentence of sub-sidair confinement if the defendant is unable to pay the fine specified in the decision. in addition, foreign vessel crews who are waiting for the cassation decision process will be handed over to the immigration detention house and there needs to be special formulation in handling the crew of foreigners who are TPP actors in Indonesia Exensive Economic Zone who can provide a deterrent effect. Therefore, the crew members of foreign citizens are afraid to repeat the act of stealing fish in WPPNR!Keywords: Handling of Foreign Fishing Vessel Crews, Fisheries Criminal Acts in the Indonesian Exclusive Economic Zone

Page 2 of 54 | Total Record : 535


Filter by Year

2009 2019


Filter By Issues
All Issue Vol 4, No 4 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 9, No 2 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 2 Vol 8, No 1 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 1 Vol 4, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 5 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 4 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 8, No 1 (2012): Jurnal Nestor - 2012 - 1 Vol 2, No 2 (2012): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 7, No 2 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 2 Vol 7, No 1 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 1 Vol 6, No 2 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 2 Vol 6, No 1 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 1 More Issue