cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017" : 6 Documents clear
PERBAIKAN BIOPROSES UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI BIOETANOL DARI MOLASE TEBU / Bioprocess Improvement for Enhanching Bioethanol Production of Sugarcane Molase Suminar Diyah Nugraheni; Mastur Mastur
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.69-79

Abstract

ABSTRAK Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang strategis untuk dikembangkan. Salah satu substrat yang menjanjikan untuk digunakan adalah molase.  Molase merupakan hasil samping industri gula kristal tebu yang masih  mengandung gula yaitu sekitar 45-54,6%.  Bioetanol dari molase tebu  berpotensi untuk dikembangkan karena sangat menguntungkan, pasokan cukup besar, tersedianya teknologi proses, serta tidak bersaing dengan pangan. Tulisan ini mengulas hasil-hasil penelitian dan implikasinya tentang bahan baku, proses, lingkungan yang berpengaruh serta strategi untuk meningkatkan produktivitas bioetanol dari molase tebu melalui rekayasa proses fermentasi. Pada pembuatan etanol, fermentasi merupakan proses yang memegang peranan penting.  Pengaturan lingkungan fermentasi seperti suhu, pH, dan tekanan berpengaruh terhadap bioproses dalam fermentasi.  Begitu pula penambahan bahan suplemen seperti gula, garam, dan ion logam menurut jenis dan konsentrasi yang tepat juga dapat mengoptimalkan proses fermentasi.  Selain pengelolaan lingkungan dan penambahan bahan suplemen, strategi untuk peningkatan produktivitas bioetanol dari molase dapat dilakukan dengan: 1) penggunaan mikrobia selain Saccharomyces cerevisiae; 2) pretreatment; dan 3) metode fermentasi kontinyu. Penggunaan mikrobia selain Saccharomyces cerevisiae, seperti Zymomonas mobilis dapat meningkatkan produktivitas etanol hingga 55,8 g/L atau 27,9% dari total gula reduksi.  Perlakuan pretreatment dapat meningkatkan produktivitas mikrobia dalam mengkonversi gula menjadi etanol, sedangkan penggunaan metode fermentasi secara kontinyu dapat meningkatkan produktivitas sebesar + 4.75 g/L/jam.  ABSTRACT Bioethanol is one of strategic alternative fuel to develop.  One of substrate that promises to be used is molasses. Molasses is by-product of sugar industry which contain of sugar about 45-54,6%. Bioethanol from sugarcane molase is necessary to develope because it is very profitable, large supply, availability technology, and no-competion to  food.  This paper was aimed to reviews some research results and their implications on raw materials, processes, advanced environments and strategies to increas bioethanol productivity of molasses through the fermentation process engineering. In the manufacture of ethanol, fermentation is an important holding process.  In ethanol production, fermentation plays an important role.  Fermentation environments arragement such as temperature, pH, and pressure can effect on bioprocess of fermentation. Similarly, the addition of supplemental ingredients such as sugar, salt, and metal ions by appropriate type and concentration can also optimize the fermentation process. In addition to environmental arrangement and supplemental adding, strategies to improve bioethanol productivity of molasses can be accomplished by 1) the use of microbes other than Saccharomyces cerevisiae; 2) pretreatment; and 3) continuous fermentation method. The use of microbes other than Saccharomyces cerevisiae, such as Zymomonas mobilis can increase ethanol productivity up to 55.8 g / L or 27.9% of total sugar reduction.  Pretreatment can increase microbial productivity in converting sugar to ethanol, while continuous use of fermentation method can increase productivity by + 4.75 g / L / hr. 
PERKEMBANGAN PENYAKIT LAPUK AKAR DAN PANGKAL BATANG TEBU (Xylaria warbugii ) DI SUMATERA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA / The Development of Root and Basal Stem Rots of Sugarcane (Xylaria warbugii) in Sumatera and its Control Strategies Titiek Yulianti
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.122-133

Abstract

ABSTRAK Di Indonesia, penyakit lapuk akar dan pangkal batangtebu yang disebabkan oleh jamur Xylaria warburgii, baru ditemukan di perkebunan tebu Lampung dan Palembang. Kerugian yang ditimbulkan cukup besar dan penyebarannya semakin luas.  Perubahan alih fungsi lahan dan intensifikasi usaha perkebunan tebu selama tiga dasa warsa menyebabkan degradasi kesuburan tanah, menipisnya bahan organik, dan perubahan dominasi dan komposisi mikroba. Kondisi ini dapat memunculkan penyakit baru, misalnya penyakit lapuk akar dan batang. Gejala penyakit lapuk akar dapat dilihat pada perubahan warna daun yaitu menjadi kekuningan, layu kemudian mengering dan akhirnya tanaman mati.  Di area yang endemik, gejala terlihat lebih jelas sebagai kelompok pertanaman yang kuning dan kering.   Jika tidak ada inang baru, jamur bertahan dalam tunggul tebu lebih dari tujuh bulan sebagai saprofit dan akan kembali menginfeksi akar/pangkal batang tebu jika sudah tersedia. Kemampuannya bertahan hidup menyebab-kan jamur ini sulit dikendalikan. Sampai saat ini pengendalian menggunakan fungisida selain mahal dan berdampak negatif, belum memberikan hasil yang memuaskan, Varietas tebu yang tersedia tidak ada yang tahan.  Mengingat X. warbugii merupakan jamur tular tanah, maka strategi pengendaliannya tidak hanya dengan menangani jamur patogennya saja, tetapi juga harus mengembalikan keseimbangan ekosistem mikro dalam tanah melalui pengelolaan tanah.   Perbaikan pengelolaan tanah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa komponen pengendalian, seperti pengolahan tanah minimum, solarisasi, penambahan pupuk silikon dan bahan organik termasuk vermikompos yang diperkaya dengan antagonis. Oleh karena itu, perlu upaya penelitian serius untuk menguji efektivitas komponen-komponen tersebut di atas dan kelayakan ekonominya kemudian memadukannya agar memperoleh hasil yang optimum. ABSTRACT In Indonesia, root and basal stem rots of sugarcane caused by Xylaria warburgii is only found in sugarcane plantations in Lampung and Palembang. However, the  disease has expanded gradually and caused significant yield losses. Land conversion and sugarcane plantation intensification for more than three decades have caused  soil degradation, shallow organic matter and a changed of microbial domination and composition. This conditions triggered a new borne disease, such as root and basal stem rots. As e result, the leaves became yellow, wilt, dry and eventually plant death.  In endemic area, the late symptomwas more clearly as yellow and dry spots., the fungus survive more than seven months in the diseased stubble as a saprophyte and would infect root or basal stem later. The capability of the fungus survived in the absence of the hosts made it difficult to control. So far, fungicide was used to control the disease, and yet has not given satisfactory result.  Beside expensive, fungicide was also gave negative impact to the environment.  Meanwhile, resistant varieties for the fungus was not available.  X. warbugii is a soil-borne pathogen, so the control strategy should not only control the fungus, but also repaired the soil microecosystem balance through improving soil management.  The management could be applied by integrating some control components such as minimum tillage, solarization, addition of silicon fertilizer and organic matter including antagonist enriched vermicompost are neaded to control the disease.  Therefore, we need intense studies to test effectiveness of those components and their feasibilty, and then integrate them to gain optimum result.  
PENGEMBANGAN BUDIDAYA PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) SEBAGAI TANAMAN OBAT /The Development of Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk.) Cultivation as A Medicinal Crops Devi Rusmin
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.80-93

Abstract

ABSTRAK Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan tanaman obat asli Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman spesifik di dataran tinggi Dieng (ketinggian ≥2.000 m dpl) ini tergolong langka karena umumnya tidak dibudidayakan. Pengembangan tanaman di daerah yang mempunyai kondisi lingkungan yang hampir sama dengan habitat asli seperti di Gunung Putri, Cipanas (1.450 m dpl) merupakan salah satu usaha untuk mencegah tanaman dari kepunahan. Keterbatasan bahan tanaman bermutu dan penerapan teknologi budidaya yang belum optimal menjadi kendala dalam pengembangan tanaman purwoceng. Benih purwoceng yang baru dipanen pada saat masak fisiologis (7 – 8 minggu setelah antesis) mempunyai daya berkecambah sangat rendah (<20%), karena adanya dormansi afterripening. Peningkatan viabilitas potensial (daya berkecambah) dapat dilakukan dengan perendaman benih dalam larutan GA3 400 ppm selama 48 jam, pemanasan pada suhu 50˚C selama 48 jam, dan perendaman dengan KNO3 0,2% selama 24 jam. Produksi simplisia purwoceng lebih tinggi di lingkungan tumbuh asli (Dieng) dibandingkan dengan di Gunung Putri yaitu masing-masing seberat 154 kg dan 58,75 g per 10 tanaman pada umur 9 bulan setelah tanam (BST). Peningkatan produksi dan kandungan bahan aktif dapat dilakukan dengan pemberian pupuk lengkap yaitu 40 ton pupuk kandang ditambah 400 kg Urea, 200 kg SP36 dan 300 kg KCl, pupuk organik, mikoriza dan zat pengatur tumbuh. Analisis usahatani purwoceng menunjukkan bahwa dengan luasan lahan 1.000 m2 sangat fisibel dan menguntungkan. Penerapan teknologi budidaya sederhana untuk luasan 1.000 m2 menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp. 34.000.000.  ABSTRACT Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk.) is one of the indigenous medicinal crops from Indonesia. The plant which is endemic in Dieng plateau (2000 m above sea level/asl), has not been cultivated properly, hence its existence is endangered. The plant development at Gunung Putri, Cipanas (1500 m asl), which is resemble to its native habitat, is one of the efforts to prevent plant extinction.  The main constraints of pruatjan cultivation are the limited qualified plant material and improper cultivation technology. Pruatjan seeds newly harvested at physiological maturity (7- 8 weeks after anthesis) have very low germination percentage (<20%), due to the afterripening dormancy. The potential viability (germination rate) can be improved by soaking the seeds in 400 ppm GA3 solution for 48 hours, heating at 50˚C for 48 hours, and soaking in 0,2% KNO3solution for 24 hours. The yield of pruatjan at 9 months after planting (MAP) was higher in its native habitat (Dieng) (154 kg per 10 plants) than at Gunung Putri (58,75 g per 10 plants). The yield and the content of its active ingredient can be increased by applying 40 tons manure combined with400 kg Urea, 200 kg SP36, 300 kg KCl, organic fertilizers, mycorhiza and plant growth regulators. The analysis farming system of pruatjan at 1.000 m2 indicated high feasibility and profitable. The application of simple cultivation technologies at the areal of 1.000 m2gave net income Rp. 34.000.000.  
PENEKANAN FLUKTUASI PRODUKSI CENGKEH (Syzygium aromaticum) DENGAN MEKANISME FISIOLOGI / Suppression of Fluctuations Clove (Syzygium aromaticum) Production With Fisiology Mecanism Darwati, Ireng
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.%p

Abstract

ABSTRAKProduksi tanaman cengkeh berfluktuasi setiap 3-4 tahun sekali,  disebabkan variasi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap fitohormon dan juga ekspresi gen pembungaan. Perubahan iklim yang sangat sensitif pada tanaman cengkeh yaitu perubahan musim penghujan, penyinaran dan suhu. Hujan yang cukup dan diikuti musim kering 2-3 bulan sangat dibutuhkan untuk induksi pembungan dan perkembangan bunga cengkeh. Pembungaan cengkeh dikendalikan oleh faktor genetik, fisiologi, iklim dan cara budidaya yang saling berhubungan. Hujan yang terus menerus akan mempengaruhi penyinaran matahari berdampak pada mekanisme kerja gen CONSTANS (CO) yang mengatur gen pembungaan. Perubahan tunas vegetatif dan generatif diatur oleh ekspresi gen TFL1, gen ini juga akan mempengaruhi ekspresi LFY dan AP1 untuk perkembangan infloresen. Curah hujan yang optimal dan nutrisi yang cukup akan meningkatkan pertumbuhan tunas tanaman sehingga kandungan GA dan auksin endogen meningkat, dan berpengaruh pada inisiasi pembungaan yang berdampak terhadap menurun produksi serta menyebabkan fluktuasi hasil.  Fluktuasi hasil cengkeh dapat dilakukan dengan pemberian zat penghambat pertumbuhan (retardant) dengan cara mengatur volume pembungaan. Beberapa penelitian aplikasi retardant yang telah dilakukan dapat menekan fluktuasi hasil cengkeh dengan baik. Pada tanaman cengkeh umur 5 tahun dengan pemberian paklobutrazol 2g/pohon dapat meningkatkan bobot kering bunga sebesar 2,68%. Sedangkan cengkeh umur 8 tahun dengan aplikasi paklobutrazol 2,5 g/poho dan 30 tahun dengan paklobutrazol 5g/pohon memberikan hasil bunga kering 6,038 kg/pohon dan15,75kg/pohon secara berurutan lebih tinggi dibanding tanpa pemberian retardan. ABSTRACT Clove plant production fluctuates every 3-4 years, this is due to variations in climate change that affect the phytohormone and also the expression of flowering gene. Climate change that is very sensitive to clove plants that changes the rainy season, irradiation and temperature. Adequate rain and followed by 2-3 months dry season is required for the induction and development flowering of clove. Cloves flowering is controlled by genetic, climatic and related physiology. Continuous rain will affect light intencity exposure and is associated with CONSTANS (CO) genes that depend on photoperiods, thus affecting other flowering genes.  Changes of vegetative to generative shoots are governed by TFL1 gene expression, this gene will also affect the expression of LFY and AP1 for the development of inflorescence. High rainfall and sufficient nutrients will increase the growth of bud shoots so that the content of GA and auxin endogenous increases. Increased GA will suppress the initiation of flowering so that production will decrease and may cause fluctuations of the product. To overcome the fluctuation of production can be giving retardant to prevent excessive flowering and also increase the flowering so that the difference of production each year are not too high. Some studies of retardant applications that have been performed show good results. In cloves aged 5 years with the provision of 2g/tree paclobutrazol can increase the weight of dry flowers by 2.68%. While the 8-year-old cloves with the application of 2.5g/tree paclobutrazol and 30-year-old with 5g/tree paclobutrazol gave 6.038kg/tree and 15.75kg/tree dried flowers higher than without application of retardant, respectively. 
AFLATOXIN OF NUTMEG IN INDONESIA AND ITS CONTROL / Aflatoksin pada Pala di Indonesia dan Pengendaliannya Supriadi Supriadi
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.102-110

Abstract

Indonesia produces the largest amount of nutmeg in the world, accounted for 66-77% of the world market. Most nutmeg plantations (99.3%) are cultivated by small holders, mainly in five provinces, i.e. North Moluccas, Moluccas, Aceh, North Sulawesi, and West Papua. Ironically, during the last 17 years (2000-2016), exported nutmeg are detected to be contaminated with aflatoxins, especially those entering the European Market, as the result 53 out 80 (62%) cases of imported nutmegs were rejected. Aflatoxin contaminating nutmeg is found in every level of market chains in the country, from the farmers, collectors and exporters, representing that aflatoxin in nutmeg is common and serious. Aflatoxins are produced mainly by two species of fungi, i.e. Aspergillus flavus and A. parasiticus. Five groups of aflatoxins are known, i.e. aflatoxin B1, B2, G1, G2, and M1, but the international legislations are concerned on the maximum limit of aflatoxin B1 and total aflatoxin (B1+B2+G1+G2) that should not exceed of 5 and 10 µg/kg, respectively. Aflatoxin in agriculture products including nutmeg can be detected by various methods, mainly by a thin layer chromatography (TLC), high performance thin layer chromatography (HPLC), andenzyme-linked immonosorbent assay (ELISA). Minimizing aflatoxin in the nutmeg should be properly managed at every level of the production processes from harvesting, drying, and packaging. Drying is the most critical one; nutmeg should be dried as soon as being harvested to keep its water content below 10%, then it be kept in a very dry condition (10oC and air humidity< 65%).  ABSTRAK Indonesia merupakan penghasil pala terbesar di dunia yang memasok sekitar 66-77% pasar dunia. Sebagian besar perkebunan pala (99,2%) dibudidayakan oleh petani kecil, terutama di lima provinsi, yaitu Maluku Utara, Maluku, Aceh, Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Ironisnya, selama 17 tahun terakhir (2000-2016), ekspor pala, terutama ke pasar Eropa, terdeteksi mengandung aflatoksin sehingga 53 dari 80 (62%) kasus pala dari Indonesia ditolak. Biji pala yang tercemar aflatoksin ditemukan pada setiap tingkat rantai pasar dalam negeri, mulai dari petani, pengumpul, dan eksportir.  Hal ini menunjukan bahwa aflatoksin pada pala sudah umum dan sangat serius. Aflatoksin diproduksi terutama oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Dikenal ada 5 kelompok aflatoksin, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2, dan M1, tetapi peraturan perundang-undangan Inernational hanya fokus pada batas maksimum aflatoksin B1 dan jumlah aflatoksin (B1 + B2 + G1 + G2) yang masing-masing tidak boleh melebihi dari 5 dan 10  µg/kg. Aflatoksin dalam produk pertanian, termasuk biji pala, dapat dideteksi dengan berbagai metode, terutama kromatografi lapis tipis (TLC), HPLC, dan  ELISA.   Upaya meminimalkan aflatoksin pada biji pala harus dilakukan secara  baik pada setiap tingkat proses produksi, mulai dari panen, pengeringan, dan kemasan. Pengeringan adalah proses paling penting, oleh karena itu biji pala harus dikeringkan segera setelah dipanen untuk menjaga kadar airnya di bawah 10%.  Selanjutnya biji pala kering harus disimpan dalam kondisi yang sangat kering (10oC dan kelembaban udara <65%). 
SINTESIS DAN POTENSI APLIKASI LIPIDA TERSTUKTUR BERBASIS MINYAK KELAPA DAN MINYAK KELAPA SAWIT UNTUK INDUSTRI PANGAN FUNGSIONAL /Synthesis and Potential Applications of Coconut and Palm Oils Based Structured Lipid for Functional Food Industry Siti Nurhasanah; Purwiyatno Hariyadi; Nur Wulandari; Joni Munarso
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.111-121

Abstract

Berkembangnya teknologi proses pengolahan pangan berdampak pada kebutuhan lipida dengan sifat khusus untuk diaplikasikan pada produk tertentu. Sifat lipida alami belum tentu sesuai dengan kebutuhan industri, baik dari segi sifat fisikokimia, gizi, maupun sifat fungsional lain yang diinginkan.  Karena itu, perlu dilakukan modifikasi untuk membentuk lipida dengan nilai tambah tertentu. Salah satunya melalui modifikasi stuktur molekuler lipida; yaitu untuk menghasilkan lipida terstruktur (structured lipids, SL). Lipida terstrukturadalah lipida yang termodifikasi, dengan penambahan dan/atau pengaturan posisi asam-asam lemak pada kerangka gliserolnya untuk tujuan menghasilkan lipida dengan nilai tambah sesuai aplikasinya.  Perbedaan jenis dan posisi asam-asam lemak pada kerangka gliserol akan menentukan sifat kimia, fisika, biokimia lipida dan fungsionalnya yang berpotensi memberikan nilai tambah tertentu. Sintesis SL dengan interesterifikasi secara kimia maupun enzimatis memungkinkan potensi aplikasi yang lebih luas, khususnya untuk industri pangan fungsional. Saat ini telah beredar di pasaran produk SL dengan nilai tambah tertentu; misalnya mudah diserap tubuh, kandungan kalori lebih rendah, dan mempunyai komposisi asam lemak mirip dengan lemak ASI untuk formulasi makanan bayi.  Minyak kelapa dan kelapa sawit sebagai hasil perkebunan, yang masing-masing memiliki keunggulan kaya asam lemak rantai menengah dan kaya asam lemak tak-jenuh merupakan bahan bakupotensial untuk pengembangan SL dengan nilai tambah khas.Pembuatan SL sesuai dengan kebutuhan industri pangan fungsional ini dapat meningkatkan daya saing produk perkebunan dalam pasar dunia. Hilirisasi riset perlu dikembangkan agarmampu menghasilkan inovasiyang dapat diaplikasikan di industri, yang melibatkan komitmen pemerintah maupun pelaku usaha.  ABSTRACTThe growth of process technology in food processing affecting the needs of lipid with special characteristics for specific products. The characteristic of natural lipid is not always suitable with industry requirement, either from its physicochemical characteristic, nutrition, or from other desirable functional characteristics. Therefore it is necessary to develop modification technique to produce lipid with desirable added value, such as generating structured lipids (SL). Structured lipids is modified lipid, with the addition and/or arrangement of the fatty acid position on its glycerol backbone.The difference of types and positions of fatty acids on glycerol backbone will determine the chemical, physical, biochemical characteristic and the functionality of the lipid. Structured lipids synthesed by chemical or enzymatic interesterification will potentially have broader potential of applications, especially for functional food industry. Currently, SL products with several added values, such as more easily absorbed, lower calorie content, or having fatty acid composition similar to that of breastmilk lipid for baby food formulation, have been introduced in the market. Coconut oil and palm oil are, respectively, known to be rich in medium saturated fatty acid and unsaturated fatty acids. Both oil are potential to be used for development of SL. Structured lipids production suitable for functional food industry could increase the competitiveness of coconut and palm oil as plantation comodities in world market. Downstream policy research by promoting research and development toward industrial application is needed, involving commitment from government and private sectors. 

Page 1 of 1 | Total Record : 6