cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Acta Pharmaceutica Indonesia
ISSN : 0216616X     EISSN : 27760219     DOI : -
Core Subject :
Acta Pharmaceutica Indonesia merupakan jurnal resmi yang dipublikasikan oleh Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Jurnal ini mencakup seluruh aspek ilmu farmasi sebagai berikut (namun tidak terbatas pada): farmasetika, kimia farmasi, biologi farmasi, bioteknologi farmasi, serta farmakologi dan farmasi klinik. Acta Pharmaceutica Indonesia is the official journal published by School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung. The journal covers all aspects of pharmaceutical issues which includes these following topics (but not limited to): pharmaceutics, pharmaceutical chemistry, biological pharmacy, pharmaceutical biotechnology, pharmacology and clinical pharmacy.
Arjuna Subject : -
Articles 222 Documents
Peningkatan Penetrasi Senyawa Hidrofilik Melalui Formulasi Emulsi Ganda A1/M/A2 dengan Mikroemulsi A1/M sebagai Fasa Dalam Suciati, Tri; Dwiani, R. R. Sarlita; Sudiati, Titi
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 36, No 1 & 2 (2011)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.865 KB)

Abstract

Senyawa α-arbutin adalah senyawa hidrofilik yang mempunyai aktivitas inhibisi tirosinase. Formula peningkat permeasi α-arbutin pada kulit diperlukan untuk penghantaran senyawa tersebut sebagai antihiperpigmentasi. Penambahan α-arbutin ke dalam emulsi primer air dalam minyak (A1/M) dilakukan sebelum proses emulsifikasi. Optimasi formula dilakukan untuk menghasilkan mikroemulsi A1/M yang jernih yang selanjutnya diemulsifikasi menggunakan Croduret 50 SS membentuk emulsi ganda air dalam minyak dalam air (A1/M/A2) dan dievaluasi viskositas, pH, kadar, efek inhibisi α-arbutin terhadap tirosinase, dan stabilitas fisiknya dengan cara sentrifugasi dan freeze thaw selama 28 hari pada suhu 400C. Uji permeasi in vitro α-arbutin dalam emulsi ganda dan emulsi M/A (pembanding) dilakukan menggunakan membran kulit ular. Mikroemulsi yang stabil dihasilkan dari komposisi air, Tween 80, gliserin, dan isopropil miristat (IPM) dengan rasio10:27,5:12,5:50 dan emulsi ganda yang stabil dihasilkan dari 5% Croduret 50 SS. Kadar α-arbutin yang terdifusi dari sediaan emulsi ganda selama 8 jam meningkat secara signifikan dibandingkan difusi dari sediaan M/A yaitu berturut-turut adalah 671,71±26,31 μg/cm2 dan 518,85±17,97 μg/cm2.
Uji Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dalam Ekstrak Mesokarp Buah Merah (Pandanus conoideus Lamarck) Menggunanakan Densitometri Citra Elektroforegram Rahman, Hamidah; Kartawinata, Tutus Gusdinar; Julianti, Elin
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 2 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.719 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas super oksida dismutase (SOD) mesokarp buah merah (Pandanus conoideus Lamarck). Pengujian dilakukan dengan metode elektroforesis gel poliakrilamid dan densitometri citra terhadap ekstrak kasar buah merah dan ekstrak hasil pemurnian dengan dialisis setelah pengendapan dengan amonium sulfat konsentrasi 25, 50 dan 75% b/v. Aktivitas SOD ditunjukkan dengan terbentuknya pita transparan pada gel setelah dua tahap proses pewarnaan yaitu dengan nitro biru tetrazolium dan riboflavin, dan hasil pencitraan gel dianalisis dengan densitometer. Aktivitas SOD ditentukan dengan membandingkan terhadap SOD dari Escherichia coli dan diperoleh aktivitas SOD sebesar 420 U/mL atau setara dengan 836 U/gram buah merah.Kata kunci: Elektroforesis, Densitometer, Superoksida dismutase, Buah merahThe aim of this study was to test the activity of SOD buah merah (Pandanus conoideus Lamarck). Evaluation was done by polyacrylamide gel electrophoresis and image densitometry was performed to raw extract of buah merah, and the extract pure by dialysis after precipitation with ammonium sulfate concentrations of 25, 50 and 75% w/v. SOD activity was shown by the formation of transparent tape on the gel after the gel staining by nitro blue tetrazolium and riboflavin, then imaging results were analyzed by densitometer. SOD activity was determined by comparing the SOD from Escherichia coli and it was 420 U/mL.Keywords: Electrophoresis, Densitometer, Superoxide dismutase, red fruit
Optimasi Isolasi dan Karakterisasi Jakalin dari Biji Nangka Suciati, Tri; Widanengsih, Niknik; Riani, Catur; Gusdinar, Tutus
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.272 KB)

Abstract

Telah diisolasi jakalin dari biji nangka (Artocarpus heterophyllus) menggunakan metode kromatografi afinitas dengan matriks guar gum yang telah dipaut silang dengan epiklorohidrin, isolasi dilakukan dengan menggunakan pengelusi D-galaktosa. Hasil karakterisasi jakalin menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jakalin memiliki dua pita dengan bobot molekul 14,1 dan 15,5 kDa, antar subunitnya tidak dihubungkan dengan ikatan disulfida. Jakalin yang diisolasi memiliki kemampuan mengaglutinasi eritrosit, kemampuan hemaglutinasi jakalin tidak berkurang setelah diinkubasi pada suhu 20oC dan 30oC, tetapi setelah inkubasi pada suhu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, aktivitasnya turun masing-masing 75%, 87,5%, 93,75% dan 98,4%. Kemampuan hemaglutinasi jakalin tidak berkurang setelah diinkubasi pada pH 5, 6, dan 7, tetapi aktivitasnya turun 75% setelah inkubasi pada pH 2, 3, 4, dan 8, serta turun 96,9% pada pH 9 dan 10. Kemampuan hemaglutinasi jakalin dihambat oleh D-galaktosa dengan kemampuan inhibisi hemaglutinasi sebesar 6,25 mM, aktivitas hemaglutinasi jakalin tidak dihambat oleh D-manosa, D-glukosa, fruktosa, laktosa, arabinosa, maltosa, dan manitol. Diperoleh jakalin dengan perolehan rata-rata sebesar 0,32% b/b dari serbuk kering biji nangka.Kata kunci: Jakalin, lektin, Artocarpus heterophyllus, D-galaktosa.Jacalin from jackfruit (Artocarpus heterophyllus) had been isolated using affinity chromatography method with epichlorohydrin crosslinked guar gum as the matrix, isolation carried out using D-galactose as the eluen. Characterizationjacalin using SDS-PAGE showed that jacalin has two bands with molecular weights 14.1 and 15.5 kDa, intersubunit not connected with disulfide bonds. Jacalin isolates have the ability to haemagglutination erythrocytes, haemagglutination activity of jacalin maintained after incubation at 20oC and 30oC, but the activity decreased at 40, 50, 60, and 70 oC of incubation, which were 75%, 87.5%, 93.75% and 98.4% , respectively. Jacalin hemagglutination ability is not reduced after incubation at pH 5, 6, and 7, but the activity down 75% after incubation at pH 2, 3, 4, and 8, and down 96.9% at pH 9 and 10. The haemagglutination activity of jacalin was inhibited by D-galactose with the capacity inhibition value was 6.25 mM, but it was not inhibited by D-manose, D-glucose, fructose, lactose, arabinose, maltose, and manitol. Average recovery of jacalin is 0.32% w/w of jackfruit dry powder.Keywords: Jacalin, lectin, Artocarpus heterophyllus, D-galactose.
Penyakit Kulit Terinduksi Obat pada Pasien di Bagian Penyakit Kulit di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Bandung Sukandar, Elin Yulinah; Hartini, Sri; Rizkita, Putri
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 38, No 1 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.742 KB)

Abstract

Penyakit kulit terinduksi obat atau disebut juga drug eruption merupakan reaksi toksik yang menyebabkan gangguan pada kulit setelah penggunaan obat. Drug eruption merupakan reaksi obat yang paling umum ditemukan. Obat yang banyak menginduksi reaksi ini adalah antibiotik dan AINS (antiinflamasi non-steroid). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola kejadian penyakit kulit terinduksi obat, menentukan obat yang paling banyak diduga sebagai penyebab, dan menentukan jenis penyakit kulit terinduksi obat yang paling banyak terjadi pada tahun 2009-2011 di salah satu rumah sakit pemerintah di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan mendata laporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan rekam medik pasien rawat inap kelas III bagian kulit. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pada periode 2009–2011 terdata 250 kasus drug eruption dengan adanya peningkatan jumlah setiap tahunnya. Obat yang paling banyak diduga menjadi penyebab adalah antibiotik terutama amoksisilin (oral) dan jenis penyakit kulit terinduksi obat yang banyak terjadi adalah drug eruption yaitu reaksi kulit dengan manifestasi klinik berupa kemerahan dan makulopapular.Kata kunci: penyakit kulit terinduksi obat, drug eruption, amoksisilin, studi retrospektifAbstractDrug induced skin disease or also known as drug eruption is a toxic reaction that causes skin disorder after drug administration. Drug eruption is the most common drug reaction. Antibiotic and NSAID (non-streoidal anti-inflammatory drug) were drugs that often induce this reaction. This study was made to identify the pattern of drug eruption incidence, to determine the most suspected drug, and to determine the most occurred type of drug eruption in year 2009-2011 in one of the government hospital in Bandung. This study was done retrospectively by using MESO report and medical records of dermatology patients in third class wards. According to this study, it can be concluded that in year 2009 – 2011, there were 250 drug induce skin disease cases with the increasing number every year. The most common suspected drug was antibiotic especially amoxicillin (oral) and the most occurred type of drug induced skin disease is drug eruption which clinical manifestation is redness and maculopapular.Keywords: Drug Induced Skin disease, drug eruption, amoxicillin, retrospective study.
Uji Efek Antikram Kinin dan O-Desmetil Kinin dengan Rute Pemberian Oral dan Topikal pada Mencit Swiss Webster Betina Sukandar, Elin Yulinah; Adnyana, I Ketut; Christanti, Yohanna; Setiawan, Finna
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 38, No 3 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kinin adalah senyawa alkaloid dari kulit batang Cinchona sp. yang digunakan sebagai antimalaria. O-desmetil kinin (C19H22N2O2) adalah senyawa turunan kinin baru yang diperoleh dengan menghilangkan gugus metil pada kinin. Selain sebagai antimalaria, kinin juga dapat digunakan untuk mengobati kram kaki. Karena efek samping yang besar, FDA (2009) melarang penggunaan kinin oral dalam pengobatan kram kaki. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji efek kinin dan pada rute pemberian oral dan topikal serta mengetahui efek o-desmetil kinin pada terapi kram kaki. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok normal, kelompok kinin oral dosis 26 mg/kg bb, kelompok kinin topikal dosis 52 mg/kg bb, kelompok o-desmetil kinin oral dosis 26 mg/kg bb, dan kelompok o-desmetil topikal dosis 52 mg/kg bb. Mencit diletakkan di atas rotarod dengan kecepatan 10-16 rpm selama 4 menit. Waktu yang dapat ditempuh mencit selama berada di atas rotarod diukur. Perlakuan yang sama diulang dengan durasi 45 menit selama 4,5 jam. Setelah menit ke 180, kelompok uji mengalami peningkatan waktu ketahanan di atas rotarod sedangkan kempok normal mengalami penurunan. Pada menit 270, kelompok oral dan topikal memberikan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok normal. Pemberian kinin dan odesmetil kinin pada rute pemberian oral dengan dosis 26 mg/kg bb dan topikal dengan dosis 52 mg/kg bb sebagai antikram memberikan hasil yang bermakna dibandingkan dengan kelompok normal (p<0,05). O-desmetil kinin memberikan efek yang tidak berbeda bermakna dari kinin base (p<0,05).Kata kunci: kram kaki, kinin, o-desmetil kinin, rotarod.AbstractQuinine is an alkaloid from the bark of Cinchona sp. as an anti-malaria. O-desmethyl quinine (C19H22N2O2) is the new quinine derivative, by losing its methyl. Beside the function as anti-malaria, quinine is used for leg cramps treatment. Because of the great side effects, FDA (2009) banned the use of quinine oral for leg cramps therapy. Therefore, this study was aimed to determine the effect of quinine by oral and topical administration and to determine o-desmethyl quinines effect for leg cramps therapy. Mice were divided into normal group, quinine oral dose 26 mg/kg bw, quinine topical dose 52 mg/kg bw, o-desmethyl quinine oral dose 26 mg/kg bw, and o-desmethyl topical dose 52 mg/kg bw. Mice were taken on the rotarod at 10-16 rpm for 4 minutes. Time to remain on the rotarod was measured. The same treatment was repeated after 45 minutes for 4.5 hours. Over the 180 minutes, the endurance of the test groups were increased on the contrary, the normal group is decreased. After 270 minutes of observations, the oral and topical groups have significant difference compared by the normal group. The administration of quinine by oral dose 26 mg/kg bb and topical dose 52 mg/kg bb as an anti-cramps showed significantly difference compared to the normal group (p<0.05). O-desmethyl quinine has no significantly difference compared by quinine (p<0.05).Keywords: leg cramps, quinine, o-desmethyl quinine, rotarod.
Aktivitas Antibakteri Madu Pahit Terhadap Bakteri Gram Negatif dan Gram Positif Serta Potensinya Dibandingkan Terhadap Antibiotik Kloramfenikol, Oksitetrasiklin dan Gentamisin Astrini, Dwie; Wibowo, Marlia Singgih; Nugrahani, Ilma
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 39, No 3 & 4 (2014)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.514 KB)

Abstract

Terdapat beberapa jenis madu pahit tersedia di perdagangan, namun informasi ilmiah mengenai khasiat madu pahit belum banyak diketahui. Secara tradisional madu pahit diduga memiliki efek antibakteri dan dapat menyembuhkan penyakit infeksi, sehingga madu sering digunakan saat pengobatan infeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri madu pahit terhadap bakteri uji Gram negatif dan Gram positif serta mengetahui kesetaraan potensinya terhadap antibiotik kloramfenikol, gentamisin dan oksitetrasiklin. Uji yang dilakukan meliputi analisis fisikokimia (pH, keasaman, kadar air dan konduktivitas elektrik) dan uji aktivitas antibakteri. Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap 3 bakteri Gram negatif yaitu Salmonella typhimurium, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa serta 5 bakteri Gram positif yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Bacillus cereus, dan Listeria monocytogenes. Sampel madu yang digunakan terdiri dari 7 sampel madu pahit (A, B, C, D, E, F, dan G) dan 2 sampel madu manis (H dan I). Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bakterisid Minimum (KBM) diuji dengan menggunakan metode dilusi cair (Broth Dilution Method) dengan 10 konsentrasi (madu tanpa pengenceran, 90, 80, 70, 60, 50, 40, 30, 20, dan 10% b/v). Madu pahit yang memiliki aktivitas antibakteri paling baik kemudian dibandingkan potensinya terhadap antibiotik kloramfenikol, oksitetrasiklin, dan gentamisin menggunakan metode difusi agar. Ketujuh sampel madu pahit menunjukkan aktivitas antibakteri lebih tinggi terhadap bakteri uji Gram negatif dibandingkan terhadap Gram positif. Diameter hambat terhadap bakteri Gram negatif Salmonella typhimurium dan Escherichia coli masing-masing adalah antara 25,0 sampai 35,9 mm dan 26,2 sampai 35,0 mm. Kadar hambat minimum madu pahit terhadap bakteri uji berada dalam rentang 30-60% b/v sedangkan kadar bakterisid minimum berada dalam rentang 30-80% b/v. Dari hasil uji banding terhadap antibiotik diperoleh hasil bahwa 1 mL madu pahit C dan D masing-masing setara dengan 2,187 dan 1,838 mg kloramfenikol, 0,037 dan 0,032 mg oksitetrasiklin serta 0,013 dan 0,013 mg gentamisin.Kata Kunci: madu pahit, efek antibakteri, kadar hambat minimum (KHM), kadar bakterisid minimum (KBM), antibiotikAbstractThere are several types of "bitter honey" available in the market, however the scientific information about the efficacy of "bitter honey" is not widely known yet. Traditionally, "bitter honey" is known has antibacterial effects and can be used to support treatment of infection disease. Because of that, honey can be used during cure infection disease. The aim of this research are to determine the antibacterial activity of several bitter honey against some Gram negative and Gram positive bacteria and to evaluate the potency of the honey compared to antibiotics i.e chloramphenicol, oxytetracycline, and gentamycin. The analysis consist of physicochemical analysis (pH, acidity, water content, and electric conductivity) and antibacterial activity test. The antibacterial activity was analysed using three Gram negative bacteria (Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa) and five Gram positive bacteria (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Bacillus cereus, Listeria monocytogenes). Samples of honey used in this research consist of seven samples of bitter honey (A, B, C, D, E, F, and G) and two samples of sweet honey (H and I). Minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC) have been tested using broth dilution method with 10 concentrations (honey without dilution, 90, 80, 70, 60, 50, 40, 30, 20, and 10% w/v). The "bitter honey" that showed the best antibacterial activity then tested for their potential activity against chloramphenicol, oxytetracycline and gentamicin. Seven samples of bitter honey showed higher level of activity against Gram negative than Gram positive bacteria tested. The diameter of inhibition against Salmonella typhimurium and Escherichia coli were 25.0-35.9 mm and 26.2- 35.0 mm. The MIC of bitter honey against the tested bacteria were varies between 30-60% w/v and the MBC between 30- 80% b/v. Based on the result of comparative study to antibiotics, 1 mL of bitter honey C and D are equal to 2.187 and 1.838 mg of chloramphenicol, 0.037 and 0.032 mg of oxytetracycline and 0.013 and 0.013 mg of gentamycin.Keywords: "bitter honey", antibacterial effect, minimum inhibitory concentration (MIC), minimum bactericidal concentration (MBC), antibiotics
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Melalui Kultur Jaringan dan Transformasi Genetik Artemisia Annua L. Manalu, Meilina Marsinta; Wirasutisna, Komar Ruslan; Elfahmi, Elfahmi
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 1 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (231.403 KB)

Abstract

Produksi metabolit sekunder pada tanaman biasanya menghasilkan kadar yang rendah. Metode bioteknologi telah terbuktidapat meningkatkan produksi beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Untuk meningkatkan perolehan metabolit sekunder telah digunakan teknik kultur jaringan dan transformasi genetik dengan induksi Agrobacterium rhizogenes. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder dari kultur kalus dan akar rambut dari tanaman Artemisia annua hasil transformasi genetik menggunakan A. rhizogenes. Kultur kalus dan akar rambut hasil transformasi genetika mengandung senyawa artemisinin lebih tinggi dibanding dengan kultur kalus dan akar tanpa transformasi.Kata Kunci : Artemisia annua, kultur kalus, akar rambut Agrobacterium rhizogenes, artemisinin. The production of secondary metabolites of plant is usually low. Biotechnological methods have been proved to enhance the production of some of plant’s secondary metabolites. To enhance the production of secondary metabolites, cell cultures and genetically transformed plants which were induced by Agrobacterium rhizogenes have been used. This research aimed to enhance the secondary metabolite content from A. rhizogenes transformed callus and hairy roots cultures of Artemisia annua. Genetically transformed callus and hairy root cultures of A. annua contained higher artemisinin content compared to untransformed callus and root cultures.Keywords : Artemisia annua, callus cultures, hairy roots, Agrobacterium rhizogenes, artemisinin.
Profil Penggunaan Terapi Bekam di Kabupaten/Kota Bandung Ditinjau Dari Aspek Demografi, Riwayat Penyakit, dan Profil Hematologi Damayanti, Sophi; Muharini, Fitria; Gunawan, Bambang
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 3 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.979 KB)

Abstract

Pengobatan tradisional bekam tercatat sebagai salah satu pengobatan tradisional yang telah digunakan sejak 400 SM. Pada kurun waktu 5 tahun terakhir, pengobatan bekam di Indonesia berkembang pesat dengan ditandai berdirinya klinik-klinik dan asosiasi pengobatan bekam. Studi pra-penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pasien yang mengunjungi klinik bekam di Bandung mencapai jumlah 4000 orang pasien setiap bulannya. Sementara itu, penelitian-penelitian yang terkait dengan terapi bekam masih terbatas terutama di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk pendataan profil penggunaan terapi bekam di kabupaten/kota Bandung yang diharapkan dapat menjadi suatu studi pendahuluan yang mendorong dilakukannya penelitian ilmiah lain berkaitan dengan pengembangan terapi pengobatan yang lebih terjangkau bagi masyarakat. Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang dilakukan dengan metode penyebaran kuesioner di klinik-klinik pengobatan tradisional bekam. Penelitian dilakukan selama periode bulan Januari sampai Mei 2012. Sebagai tambahan, pada penelitian ini juga dilakukan sampling pengambilan darah vena, darah bekam basah, dan darah perifer terkait dengan profil hematologi dan kadar glukosa darah sewaktu pengguna bekam basah. Terapi bekam banyak digunakan oleh masyarakat pada rentang 20-39 tahun (70,63%) dan 30-49 tahun (17,65%). Pendapatan pengguna bekam berkisar antara Rp 500.000,00-Rp 1.500.000,00 (37,5%). Latar belakang pendidikan pengguna terapi bekam berasal dari lulusan SMA. Terapi bekam di masyarakat digunakan untuk pengobatan (62%) dan menjaga kesehatan (38%). Bekam digunakan untuk mengobati tukak (30%), sakit kepala (28%), dan kolesterol (20%). Terdapat perbedaan bermakna pada (p<0,05) antara kondisi kesehatan responden sebelum dan sesudah menjalani terapi bekam terhadap intensitas kualitas tidur, kelelahan, pegal-pegal, dan intensitas sakit. Profil hematologi dan Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) menunjukkan perbedaan komponen leukosit dan trombosit antara darah vena dan bekam.Secara statistik, perbedaan kadar glukosa darah sewaktu sebelum dan sesudah (p<0,05) tidak menunjukkan perbedaan berarti. Terapi bekam paling banyak digunakan oleh masyarakat usia 20-39 tahun (70,63%) dari kalangan ekonomi dengan pendapatan dibawah Rp 1.500.000,- (37,5%). Sebagian besar responden menggunakan terapi bekam untuk pengobatan tukak (30%). Tidak terdapat perbedaan yang berarti antara kadar glukosa darah sewaktu sebelum dan sesudah bekam.Kata kunci: Bekam, bekam basah, pengobatan tradisional, darah, profil penggunaan Traditional cupping treatment is listed as one of the old traditional medicine that has been used since 400 BC. In the last 5years, treatment is rapidly growing in Indonesia by the establishment of clinics and associations of cupping treatment. Preliminary-study showed that the average patient visiting a clinic in Bandung reach the 4000 number of patients each month. However, the study of cupping therapy especially in Indonesia is still limited. The aim of this study was to collect data profile of cupping therapy in Bandung region. Moreover it is expected to be a preliminary study to encourage other scientific research related to the development of more affordable therapeutic treatments for the community. This descriptive study was done by spreading questionnaire for cupping patient at tradional medicine clinics around Bandung from January-May 2012. In addition, sampling of venous blood collection, blood cupping, and peripheral blood associated with hematological profile and blood glucose level of wet cupping users were conducted. Cupping therapy was widely used by the community in the age range of 20-39 years (70.63%) and 30-49 years (17.65%). Cupping user revenues was in a range of Rp 500,000.00 -1,500,000.00 (37.5%). Educational background of cupping therapy users came from high school graduates. In the community, cupping therapy was used for treatment (62%) and health maintaining (38%). Cupping was used to treat ulcers (30%), headache (28%), and cholesterol (20%). There were significant differences (p <0.05) between the health condition before and after cupping therapy on parameters of quality of sleep, fatigue, aches, and the frequency of experiencing pain. Hematology profile showed that, blood glucose levels before and after (p <0.05) showed no significant differences. Cupping therapy in community was used by young adult in age 20-29 years old (70.63%) with income below Rp 1,500,000.00 (37.5%). Most of respondant was used cupping therapy for the treatment of ulcers (30%). Blood glucose levels before and after (p<0.05) showed no significant difference.Keywords: Cupping, wet cupping, traditional medicine, blood, profile of use.
Formulasi dan Evaluasi Fast Disintegrating Tablet (FDT) Loratadin Eryani, Mikhania Christiningtyas; Wikarsa, Saleh; Soemirtapura, Yeyet Cahyati
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 39, No 1 & 2 (2014)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.161 KB)

Abstract

Fast Disintegrating Tablet (FDT) adalah sediaan tablet yang hancur cepat di mulut yang membantu mempermudah penggunaannya khususnya saat tidak tersedia air. Permasalahan yang dihadapi pada formulasi FDT adalah waktu hancur yang sangat singkat dan masalah rasa untuk zat aktif yang berasa tidak enak. Tujuan dari penelitian ini adalah memformulasi sediaan FDT loratadin yang memiliki rasa pahit. FDT dibuat dengan metode kempa langsung menggunakan manitol yang digranulasi dengan PVP K-30 sebagai pengisi atau Parteck® M 200 dengan kombinasi Avicel PH-102. Formula tersebut selanjutnya dibuat tablet dengan cara menambahkan Ac-Di-Sol pada beberapa konsentrasi dan kekerasan yang berbeda. Evaluasi sediaan meliputi pengujian kekerasan, friabilitas, friksibilitas, waktu pembasahan, waktu hancur, penetapan kadar, kesukaan dan disolusi. Profil uji disolusi kemudian dibandingkan dengan tablet inovator konvensional, Claritin®. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tablet yang dibuat dengan menggunakan granul manitol maupun Parteck® M 200 dengan Ac-Di-Sol sebagai bahan penghancur dengan konsentrasi 2,5% dan kekerasan tablet ±4 kg dapat menghasilkan FDT yang memenuhi syarat, termasuk dari segi rasa. Hasil uji disolusi dari FDT yang dihasilkan menunjukkan bahwa loratadin terdisolusi lebih cepat dibandingkan Claritin® dengan nilai f2 kurang dari 30.Kata Kunci: loratadin, fast disintegrating tablet, waktu hancur, disolusi, rasa.AbstractFast Disintegrating Tablet (FDT) is a tablet which rapidly disintegrate in the mouth that facilitate in their use, especially when water is not available. The problem in FDT formulation is a very short disintegration time and the bad taste of active substances. The aim of this study was to formulate FDT loratadine which has a bitter taste. FDT was made by direct compression using granulated mannitol with PVP K-30 or Parteck® M 200 combined with Avicel PH-102 as diluent. Tablet was then made by adding the various concentration of Ac-Di-Sol and at different of hardness. The tablet evaluation included hardness, friability, frictibility, wetting time, disintegration time, loratadine assay, panelists test and dissolution test. Dissolution profiles were then compared to innovator conventional tablet, Claritin®. The results showed that the tablets which made using granulated mannitol or Parteck® M 200 with 2,5% Ac-Di-Sol and at ± 4 kg of hardness could produce FDT that meet the requirements, included the taste. The dissolution test showed that loratadine from FDT formulation dissolved faster than Claritin® tablets with f2 values less than 30.Keywords: loratadine, fast disintegrating tablet, disintegration time, dissolution, taste
Antidiarrheal Activity of Water Extracts of Guava Leaves (Psidium guajava L.) and Water Extracts of Green Tea Leaves (Camellia sinensis L.) Combination in Swiss Webster Mice Dewi, Puspa Sari; Sutjiatmo, Afifah B.; Nurdiansyah, Arif
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 38, No 2 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.174 KB)

Abstract

The antidiarrheal activities of water extracts of guava leaves (Psidium guajava L.) and water extracts of green tea leaves (Camellia sinensis L.) combination against castor oil-induced diarrhea and intestinal transit time method have been determined in Swiss Webster male mice. Twenty five male Swiss Webster mice weighing around 20-35 g were divided randomly into 5 groups for each method. The first group as a control was given gom 2% po, the second group was treated with loperamide hydrochloride 0.52 mg/kg body weight po. The third, fourth and fifth groups were treated with water extract of guava leaves (G) and water extract of green tea leaves (T) combinations i.e. (G : T) 112.5 : 110.55 ; (G : T ) 75 : 221.1 and (G : T) 37.5 : 331.65 mg/kg BW respectively. The results showed that all extract combinations had antidiarrheal activities, significantly differences in increased stool consistency, stool weight, onset and diarrhea duration, and intestinal transit time in mice that has been given extract compared to those of control group. Frequency of defecacy of mice administered by water extract of (G : T) 75 : 221.1 at minute 180-240 showed effects equal to the comparison group and significantly different compared to that of control group (p<0.05). Combination water extract of guava leaves 75 mg/kg BW and water extract of green tea leaves 221.1 mg/kg BW was the best combinations in this research.Keywords: intestinal transit time method, oleum ricini-induced, water extracts, guava leaves, green tea leaves AbstrakPada penelitian ini dilakukan penentuan aktifitas antidiare dari kombinasi ekstrak air daun jambu biji (Psidium guajava L.) dan ekstrak air daun teh hijau (Camellia sinensis L.) dengan menggunakan metode induksi dengan minyak jarak dan melihat waktu singgah pada saluran cerna. Penelitian ini menggunakan 25 jantan galur Swiss Webster dengan bobot berkisar antara 20-35 g yang dibagi menjadi 5 kelompok untuk setiap metode. Kelompok pertama diberi gom 2% secara peroral (po) sebagai kelompok kontrol, kelompok kedua diberi loperamid hidroklorida 0,52 mg/kg berat badan secara peroral. Kelompok ketiga, keempat dan kelima masing-masing diberi kombinasi ekstrak air daun jambu biji (G) dan ekstrak air daun teh hijau (T) dengan perbandingan sebagai berikut (G:T) 112,5 : 110,55 ; (G:T ) 75 : 221,1 dan (G:T) 37,5 : 331,65 mg/kg BB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh ekstrak memiliki aktifitas antidiare, terdapat perbedaan yang signifikan pada konsistensi feses, berat feses, onset dan durasi diare, dan pada waktu singgah saluran cerna antara mencit yang diberi ekstrak dan mencit pada kelompok kontrol. Frekuensi dari defekasi pada mencit yang diberi ekstrak air (G : T) 75 : 221,1 pada menit ke 180-240 menunjukkan adanya efek yang serupa dengan kelompok pembanding dan memiliki perbedaan yang bemakna dengan kelompok kontrol (p<0,05). Kombinasi antara ekstrak air daun jambu biji 75 mg/kg BB dan ekstrak air daun the hijau 221,1 mg/kg BB merupakan kombinasi yang paling baik dalam penelitian ini.Kata kunci : Metode waktu singgah saluran cerna, induksi oleum ricini, ekstrak air, daun jambu biji, daun teh hijau.

Page 1 of 23 | Total Record : 222