cover
Contact Name
Markus T. Lasut
Contact Email
lasut.markus@unsrat.ac.id
Phone
+6285298070889
Journal Mail Official
jurnal.asm@unsrat.ac.id
Editorial Address
Jurnal Aquatic Science & Management, Gedung A Lantai 1, Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi, Jln. Kampus UNSRAT Bahu, Manado 95115, INDONESIA
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT
ISSN : 23374403     EISSN : 23375000     DOI : https://doi.org/10.35800/jasm.v10i1.37485
Journal of AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT publishes scientific articles of original research based on in-depth scientific study in the field of aquatic science and management, covering aspects of limnology, oceanography, aquatic ecotoxicology, geomorphology, fisheries, and coastal management, as well as interactions among them.
Articles 15 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 2 (2013): Oktober" : 15 Documents clear
Viability of Edwardsiella tarda and Esherichia coli preserved with glycerol-tryptone soy broth (TSB) kept at freezing temperature Rohman, Abdur; Ijong, Frans; Suwetja, I K
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7278

Abstract

Preservation of bacteria carried out in relation to the collection and preservation of germ plasm microbe is useful for research and development or for the establishment of diagnostic tools. Glycerol is a good preservation media but it is not known what doses should be used for effective preservation.  This research used two experimental  methods consisting of 2 factors and 3 treatments. This study aimed to find the best glycerol concentration that can be used to preserve Edwarsiella tarda and Escherchia coli in the -20ºC environment, to understand the viability of bacteria after being preserved and to describe the characteristics of the preserved bacteria. Treatments applied were 10%, 15% and 20%  glycerol in TSB. Viability of the bacteria was analyzed after 7, 14, 28, 35, and 42 days of preservation. Results showed that E.coli bacteria preserved in 15%  glycerol had the highest viability, i.e. 84% and preserved in 10% glycerol had the lowest viability, i.e. 80%. But for E. tarda bacteria preserved in 10% glycerol had the highest viability, i.e. 1.83% and preseved in 15% glycerol had the lowest viability, i.e. 0,55%. Preservasi bakteri dilakukan dalam kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah mikroba yang berguna untuk penelitian dan pengembangan atau untuk pembentukan alat diagnosa. Gliserol merupakan bahan preservasi yang baik, tetapi belum diketahui dosis yang baik dan efektif untuk preservasi bakteri Edwarsiella tarda dan Escherchia coli pada suhu -20ºC. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen yang terdiri dari 2 faktor dan 3 taraf perlakuan, masing-masing perlakuan dengan 3 kali ulangan, media preservasi yang digunakan adalah TSB dan gliserol dengan konsentrasi 10%, 15% dan 20%. Parameter yang diukur adalah viabilitas dan kecocokan/penyimpangan karakteristik biokimia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Manado, dari bulan September sampai dengan November 2013. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi gliserol dalam TSB sebagai media preservasi yang efektif dan efisien pada bakteri  Edwarsiella tarda dan Escherchia coli yang dipreservasi dengan suhu -20ºC dan disimpan selama 42  hari. Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan laju pertumbuhan bakteri selama preservasi. Persentase viabilitas  bakteri E. coli yang tertinggi selama preservasi diperoleh dengan penggunaan gliserol konsentrasi 15% dengan jumlah 84% dan yang terendah adalah dengan penggunaan konsentrasi 10% yakni sebesar 80%, sedangkan untuk E. tarda persentase viabilitas  bakteri yang tertinggi selama preservasi diperoleh dengan penggunaan gliserol konsentrasi 10% dengan jumlah 1,83% dan yang terendah adalah dengan penggunaan konsentrasi 15% yakni sebesar 0,55%. Berdasarkan uji statistik analisis variasi (ANAVA) didapat hasil F hitung E. tarda dan E. coli yang lebih besar  dari FTabel dengan tingkat kepercayaan 95 %.
Governance of Dagho fishing port, Sangihe Islands Regency, Indonesia Dalengkade, Yulianus D; Wantasen, Adnan S; Reppie, Emil; Luasunaung, Alfret
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7283

Abstract

Sangihe Islands Regency has a coastal fishing port located in the village of Dagho sub-district of Tamako. As the only the coastal fishery port in the regency it is expected to provide support in the development of regional economy. This research intended to study the status of management sustainability in Dagho coastal fishing port and analyze policy directions in sustainability management of the coastal fishing port Dagho. Research results showed that the status of sustainability management of the coastal fishing port Dagho belongs to the category of less sustainable fisheries. Towards a policy of management of coastal fishing port Dagho port management is attainment of sustainability according to economic and institutional functions. Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang terletak di Kampung Dagho, Kecamatan Tamako. Sebagai satu-satunya PPP yang ada di kabupaten tersebut diharapkan akan memberikan dukungan dalam pengembangan perekonomian daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji status keberlanjutan dalam pengelolaan PPP dan menganalisis arah kebijakan multipihak dalam keberlanjutan penatakelolaan PPP Dagho. Hasil penelitian menunjukkan status keberlanjutan pengelolaan pelabuhan perikanan tersebut masuk dalam kategori kawasan pelabuhan perikanan “kurang berkelanjutan”. Sedangkan arah kebijakan pengelolaan PPP Dagho adalah terwujudnya pengelolaan pelabuhan yang berkelanjutan menurut skenario fungsi ekonomi dan kelembagaan.
Size-frequency and allometric growth of the yellowfin tuna, Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788), caught in the Molluca Sea, Indonesia Wahono, Budi; Lumingas, Lawrence J.L
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7274

Abstract

Yellowfin tuna Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788) is a very important species for the world fisheries. Biological information including length-frequency distribution, total length (TL)-head circle length (HCL) relationship, and total length-body weight (BW) relationship were examined for 115 female and 84 male yellowfin tuna, caught in Molluca Sea. Significantly different mean total length was found for female and male yellowfin tuna; the male (mean length 110.66 cm) is bigger than the female (mean length 103.36 cm). The total length-head circle length relationship for female yellowfin tuna can be described as HCL= 0.7455TL0.9565 and HCL= 0.7821TL0.9456 for male yellowfin tuna. In the HCL-TL relationships, the allometric coefficient (b) values obtained for both female and male yellowfin tuna did not differ significantly from 1 or isometry, which indicates direct proportionality between HCL and TL. The estimated total length-body weight relationship for yellowfin tuna was BW = 0.0172TL2.9826 for female and BW = 0.0223TL2.9281 for male. In the BW-TL relationships, the allometric coefficient (b) values obtained for both female and male yellowfin tuna did not differ significantly from 3 or isometry, which indicates direct proportionality between BW and TL. This biological information will be useful for the fisheries management of the species studied. Ikan madidihang Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788) merupakan spesies yang sangat penting untuk perikanan dunia. Informasi biologi yang meliputi sebaran frekuensi panjang, hubungan panjang total (PT)-panjang lingkar kepala (PLK), dan hubungan panjang total-berat tubuh (BT) telah diteliti untuk 115 individu ikan madidihang betina dan 84 individu ikan madidihang jantan yang tertangkap di Laut Maluku. Rata-rata panjang total ikan madidihang betina berbeda nyata dengan rata-rata panjang total ikan madidihang jantan; ikan madidihang jantan (110,66 cm) berukuran lebih besar dibanding ikan madidihang betina (103,36 cm). Hubungan panjang total-panjang lingkar kepala untuk ikan madidihang betina adalah PLK = 0,7455PT0,9565 dan untuk ikan madidihang jantan adalah PLK = 0,7821PT0,9456. Dalam hubungan PLK-PT, nilai-nilai koefisien allometri (b) untuk ikan madidihang betina dan jantan tidak berbeda nyata dengan 1 atau isometri, yang mengindikasikan pertumbuhan yang proporsional antara PLK dan PT baik untuk ikan betina maupun untuk ikan jantan. Hubungan panjang total-berat tubuh dugaan adalah BT = 0,0172PT2,9826 untuk ikan madidihang betina dan BT = 0,0223PT2,9281 untuk ikan madidihang jantan. Dalam hubungan BT-PT, nilai-nilai koefisien allometri (b) untuk ikan madidihang betina dan jantan tidak berbeda nyata dengan 3 atau isometri, yang mengindikasikan pertumbuhan yang proporsional antara BT dan PT baik untuk ikan betina maupun untuk ikan jantan.  Informasi biologi ini akan berguna untuk pengelolaan perikanan dari spesies yang dipelajari.
Ina sua, a fermented salted fish product from central Moluccas Nara, Selfia; Ijong, Frans; Suwetja, I K; Onibala, Hens
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7279

Abstract

Ina sua is a traditional fermented salted fish product originating from Central Mollucas (Teon, Nila, Serua islands), which is processed by fermentation at room temperature during a certain period. There is little or no research on the characteristics of microbial and chemical aspects of this process. Therefore the current research was performed in a laboratory in order to analyse the microbial and chemical characteristics of this product collected from traditional fishermen. The results showed that the composition of bacteria consisted of Bacillus sp.(59.6%), Propionibacterium sp. (17.3%), Leuconostoc sp. (13.5%), and Lactobacillus sp. (9.6%), while the chemicals included soluble protein, peroxide value, and total value acid  increased during storage for 12 weeks at room temperature, while pH value of the product varied between 5.58 and 5.93. Ina sua adalah produk fermentasi ikan asin tradisional yang berasal dari Maluku Tengah (Pulau Teon, Nila, dan Serua) dimana dalam  proses fermentasi dilakukan dalam suhu ruang selama waktu tertentu. Penelitian mengenai karakteristik mikrobiologis dan biokimiawi produk ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dilakukan pengujian untuk menganalisis karakteristik mikrobiologi dan biokimia terhadap produk ini yang diperoleh dari nelayan tradisional. Hasil penelitian menunjukkan komposisi bakteri yang diperoleh yaitu Bacillus sp. (59,6%), Propionibacterium sp. (17,3%), Leuconostoc sp. (13,5%), dan Lactobacillus sp. (9,60%), sementara untuk nilai karakteristik kimia protein terlarut, bilangan peroksida dan nilai total asam mengalami peningkatan selama 12 minggu penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan nilai pH mengalami perubahan dari 5,58 menjadi 5,93.
Study of Sangihe-Filipino fishermen activity in Bitung City, North Sulawesi, Indonesia Thamin, Aswan; Manoppo, Victoria N; Mantiri, Desy M.H
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7284

Abstract

The study was conducted in the coastal area of Lembeh Strait, Bitung City, North Sulawesi, Indonesia. Seven districts comprised the test site. The aim of this research was to analyze the activity of fishermen of Sangihe-Filipino descent (Sa-Fi) by multiple regression analysis. Primary data concerning fishing activities of Sa-Fi Fishermen was obtained through interview techniques, questionnaires and field observation. Activity values ​​(Y) show a factor of fishing activities (Xn) which allegedly affect the fishermen activities. These results indicated that the activity of Sa - Fi fishermen affected by the language that they use in carrying out life as a fisherman in Bitung City. Old fishermen settled in Bitung correlated with fishing knowledge. Sa-Fi fishermen fishing knowledge correlated with the number of dependents and income of fishermen families. Sa-Fi fishermen's income is correlated with their spending. Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Selat Lembeh Kota Bitung pada 7 kecamatan sebagai lokasi penelitian, untuk menganalisis aktivitas nelayan keturunan Sangihe-Filipina (Sa-Fi) dengan analisis regresi berganda. Data primer mengenai aktivitas nelayan Sa-Fi diperoleh melalui teknik wawancara, penyebaran kuesioner dan observasi lapangan. Nilai aktivitas (Y) menunjukkan faktor kegiatan penangkapan ikan (Xn) yang diduga berpengaruh terhadap aktivitas nelayan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas nelayan Sa-Fi dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan dalam menjalankan kehidupannya sebagai nelayan di Kota Bitung. Lama menetap nelayan Sa-Fi di Kota Bitung berkorelasi dengan pengetahuan menangkap ikan. Pengetahuan menangkap ikan nelayan Sa-Fi berkorelasi dengan jumlah tanggungan keluarga dan pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan Sa-Fi berkorelasi dengan pengeluaran nelayan.
Small island mitigation based on mangrove ecosystem management in Bunaken National Park Schaduw, Joshian N.W
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7275

Abstract

Small islands are susceptible to many environmental impacts. Impacts affecting ecological processes include climate change, sea level rise, natural disasters, abrasion, sedimentation, erosion and pollution. To minimize vulnerability the assessing the effectiveness of mitigation measures in these coastal ecosystems is urgently needed. This research analyzes vulnerability of a small island mangrove ecosystem and the effectiveness of management strategy for mangrove ecosystem based mitigation. This research uses both primary and secondary data. Primary data was gathered by sampling, field observation, and questionnaire analysis. Vulnerability index was analyzed using multi-dimensional scaling method, and vulnerability mapping was analyzed by using geographic information system (GIS) using the software Arcview Project 3.3. Stakeholder analysis was used for patterns and strategic management, through a technique SMART (Simple Multi Attribute Rating Technique) using the software Criterium Decision Plus. The results show that Bunaken Island has the highest vulnerability level, followed by the island of Manado Tua, Nain, and the lowest level was found in Mantehage island. The most important factor of vulnerability in the small island Bunaken National Park is the area of mangrove ecosystem. Increased area of mangrove ecosystem will increase the effectiveness as a buffer zone as well as increase the capacity of the ecosystem on the social, economic, and governance dimensions. A management scheme which can accommodate a variety of problems faced by the mangrove ecosystem of small islands is a collaborative management by the government as the leading sector, with the highest priority on the management of the ecological dimension. Pulau-pulau kecil merupakan daerah yang rentan terhadap berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah faktor ekologis. Faktor ekologi meliputi perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, bencana alam, abrasi, sedimentasi, erosi dan polusi. Untuk meminimalkan kerentanan, efektivitas ekosistem pesisir sangat dibutuhkan. Penelitian ini menganalisis kerentanan pulau kecil, efektivitas ekosistem mangrove, dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove berbasis mitigasi. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui sampling, observasi lapangan, dan angket. Kerentanan dianalisis menggunakan metode multidimensional scaling, sedangkan pemetaan kerentanan dianalisis dengan sistem informasi geografis menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3. Analisis Stakeholder digunakan untuk pola dan manajemen strategi, melalui teknik SMART (Simple atribut teknik Peringkat multi) dengan menggunakan perangkat lunak Criterium Decision Plus. Hasil penelitian menunjukkan Pulau Bunaken memiliki tingkat kerentanan tertinggi, diikuti oleh Pulau Manado Tua, Nain, dan Pulau Mantehage terendah. Faktor utama kerentanan di pulau kecil Taman Nasional Bunaken adalah luasan ekosistem mangrove. Peningkatan kawasan ekosistem mangrove akan meningkatkan efektivitas ekosistem mangrove sebagai buffer zone serta meningkatkan kapasitas ekosistem ini pada dimensi sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Pola pengelolaan yang dapat menampung berbagai masalah yang dihadapi oleh ekosistem mangrove pulau-pulau kecil adalah kolaboratif manajemen dengan prioritas utam pada pengelolaan dimensi ekologi dan pemerintah sebagai leading sector.
The role of Bakasang as immunostimulant on non-specific immune response in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Pangaribuan, Rosa D; Tumbol, Reiny A; Manoppo, Hengky; Sampekalo, Julius
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7280

Abstract

Bakasang produced from fermented fish’s offals contains some type of Lactic Acid Bacteria (LAB) and have potential as imunostimulant. LAB that can live and grow in the digestive tract of fish serve to suppress the growth of pathogenic bacteria, and produce metabolites that can stimulate the activity of the immune system. The purpose of this study was to examine the effect of bakasang as imunostimulant and to determine the optimal dose of bakasang for increasing non-specific immune response and growth in tilapia (Oreochronomis niloticus). This research was conducted using completely randomized design with four treatments and three replicates: B0 (0 ml/kg feed), B1 (50 ml/kg feed), B2 (100 ml/kg feed), and B3 (150 ml/kg feed). The treatment feed was given for 4 weeks at a dose of 3% /body weight/day with a frequency of twice a day (08:00 and 17:00). The data taken were immune parameters (total leukocytes and phagocytic activity) and growth. To evaluate the effect of bakasang, the observed parameters were subjected to analysis of variance performed to evaluate differences between the treatments. The results show that after 4 weeks of feeding, the total leukocyte of tilapia treated with bakasang B2 (100 ml/kg feed) on week three was significantly different compared to the total leukocytes in the other treatments with total leukocytes of 68% more than the control. Phagocytic activity in treated fish with 100 and 150 ml/kg (Treatment B2 and B3) were significantly different (p<0.05) from the other treatments. Nevertheless, the phagocytic activity in treatment B2 (100 ml/kg) was higher than B3 (150 ml/kg). Bakasang has an influence on growth during 4 weeks treatment in B1 and B2 which were significantly different to other treatments, but the difference between B1 and B2 treatment was not significantly different. The weight gain of tilapia in treatment B1 was 17.06 ± 3.17 g or 34.75% more than the control treatment, while the B2 body weight reached 17.72 ± 2.63 g or 39.96% greater than the control. In conclusion, the inclusion of bakasang in fish feed by using oral technique with a dose of 100 ml/kg could increase the nonspecific immune response and growth of tilapia. Bakasang yang dihasilkan dari fermentasi jeroan ikan mengandung beberapa jenis Bakteri Asam Laktat (BAL) dan mempunyai potensi sebagai immunostimulan. BAL, yang dapat hidup dan tumbuh di dalam saluran pencernaan, berfungsi menekan pertumbuhan bakteri patogen dan menghasilkan produk metabolit yang dapat merangsang aktivitas sistem kekebalan tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh bakasang sebagai imunostimulan serta menentukan  dosis yang optimal  dalam meningkatkan respon imun non spesifik dan pertumbuhan pada ikan nila (Oreochronomis niloticus). Penelitian dilaksanakan menggunakan  Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan B0 (0 ml/kg pakan), B1 (50 ml/kg pakan), B2 (100 ml/kg pakan), dan B3 (150 ml/kg pakan); masing-masing dengan tiga ulangan.  Pakan perlakuan diberikan selama 4 minggu dengan dosis sebanyak 3%/bb/hari dengan frekwensi pemberian 2x sehari pagi (08.00), dan sore (17.00). Data yang diamati terdiri dari parameter imun (total leukosit dan aktivitas fagositik) dan pertumbuhan. Untuk mengevaluasi pengaruh bakasang terhadap parameter yang diamati dilakukan analisis ragam, sedangkan untuk mengevaluasi perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan Uji Duncan. Setelah diberikan selama  4 minggu, total leukosit ikan nila yang diberi perlakuan bakasang  B2 (100 ml/kg pakan) minggu ke-3 berbeda sangat nyata dibandingkan dengan total leukosit pada perlakuan lainnya dengan total leukosit mencapai 68% lebih banyak dari kontrol. Aktivitas fagositosis pada ikan yang diberi perlakuan 100 ml/kg dan 150 ml/kg (Perlakuan B2 dan B3 ) berbeda nyata (p< 0.05) dengan perlakuan lainnya. Meskipun demikian aktivitas fagositosis pada perlakuan B2 (100 ml/kg) lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan B3 (150 ml/kg). Pengaruh bakasang  terhadap pertumbuhan selama minggu ke 4 perlakuan B1 dan B2 berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun antar perlakuan B1 dan B2 tidak berbeda nyata. Perolehan berat ikan nila pada perlakuan  B1 sebesar 17,06 ± 3,17 g atau 34,75% lebih berat dari kontrol, sedangkan pada perlakuan B2 berat tubuh mencapai  17,72 ± 2,63 g atau 39,96% lebih besar dari kontrol. Sebagai kesimpulan, pemberian bakasang secara oral pada pakan ikan dapat menjadi imunostimulan dan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ikan dengan dosis 100 ml/ kg pakan.
Sea slugs - divers' favorites, taxonomists' problems Jensen, Kathe R
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7271

Abstract

Sea slugs, or opisthobranch molluscs, are small, colorful, slow-moving, non-aggressive marine animals. This makes them highly photogenic and therefore favorites among divers. The highest diversity is found in tropical waters of the Indo-West Pacific region. Many illustrated guidebooks have been published, but a large proportion of species remain unidentified and possibly new to science. Lack of funding as well as expertise is characteristic for taxonomic research. Most taxonomists work in western countries whereas most biodiversity occurs in developing countries. Cladistic analysis and molecular studies have caused fundamental changes in opisthobranch classification as well as “instability” of scientific names. Collaboration between local and foreign scientists, amateurs and professionals, divers and academics can help discovering new species, but the success may be hampered by lack of funding as well as rigid regulations on collecting and exporting specimens for taxonomic research. Solutions to overcome these obstacles are presented. Siput laut, atau moluska golongan opistobrancia, adalah hewan laut berukuran kecil, berwarna, bergerak lambat, dan tidak bersifat agresif. Alasan inilah yang membuat hewan ini sangat fotogenik dan menjadi favorit bagi para penyelam. Keanekaragaman tertinggi hewan ini ditemukan di perairan tropis Indo-Pasifik bagian Barat. Banyak buku petunjuk tentang hewan ini telah diterbitkan, tetapi sebagian besar spesimen belum teridentifikasi dan bisa menjadi hal baru bagi ilmu pengetahuan. Kekurangan dana dan keahlian merupakan cirikhas dari penelitian taksonomi. Umumnya para taksonom bekerja di negara-negara Barat sedangkan keanekaragaman tertinggi hewan ini berada di negara-negara berkembang. Analisis cladistik dan kajian molekuler menyebabkan perubahan mendasar dalam klasifikasi opistobrancia, demikian juga sering berubahnya nama ilmiah hewan ini. Kerjasama antara ilmuan lokal dan asing, amatir dan profesional, penyelam dan akademisi dapat membantu dalam menemukan jenis-jenis baru, tetapi keberhasilannya dapat dihambat oleh kurangnya biaya dan peraturan yang kaku dalam mengumpul dan mengirim spesimen untuk penelitian taksonomi. Solusi dalam menyelesaikan masalah tersebut disampaikan dalam tulisan ini.
Analysis for mangrove ecosystem management priority using Analysis Hierarchy Process (AHP) in Sorong City, West Papua, Indonesia Tabalessy, Roger R; Wantasen, Adnan S; Schaduw, Joshian N.W.
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Graduate Program of Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7285

Abstract

Indonesia’s mangrove forest is decreasing. Factors affecting this condition are excessive utilization for livelihood and market demand without considering its sustainability for the future. As a result, mangrove forest degrades year by year. The present study aimed to analyse which stakeholder is the priority for mangrove ecosystem management in the city of Sorong, West Papua, Indonesia, and which factors are the priority for sustainable management. Primary data were collected using questionnaire with interview technique and were analysed using Expert Choice 11 software. The result showed that local government was the stakeholder possessing major priority in management which was supported by others (community and NGO), and the ecological factor was the priority in management, while the economic, social, and institutionalfactors were the supporting factors for sustainability. Luas hutan mangrove di Indonesia sedang mengalami penurunan. Faktor yang mempengaruhi kondisi ini, yaitu pemanfaatannya secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhanan hidup maupun permintaan pasar tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya di masa depan. Sebagai akibatnya tutupan hutan mangrove semakin berkurang dari tahun ke tahun. Penelitian ini bertujuan menganalisis stakeholder manakah yang menjadi prioritas dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kota Sorong, Papua Barat, Indonesia, dan faktor manakah yang menjadi prioritas dalam pengelolaan secara berkelanjutan. Data primer dikumpulkan menggunakan angket dengan teknik wawancara, dan kemudian dianalisis menggunakan software Expert Choice 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder Pemda merupakan prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove dan ditopang oleh stakeholder lainnya (Masyarakat dan LSM), dan faktor prioritas dalam pengelolaan adalah ekologi, sedangkan faktor ekonomi, sosial, dan kelembagaan merupakan faktor pendukung untuk terciptanya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan.
Isolation, morphometry, and culture of Colurella sp. (Rotifera: Ploimida) Letsoin, Petrus P; Pangkey, Henneke; Sampekalo, Julius; Rumengan, Inneke F.M; Wullur, Stenly; Rimper, Joice R.S.T.L
AQUATIC SCIENCE & MANAGEMENT Vol 1, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Graduate Program of Sam Ratulangi University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35800/jasm.1.2.2013.7276

Abstract

The rotifer Brachionus rotundiformis (total body length 240.59±10.24 μm, lorica length 175.28±9.18 μm, and lorica width 124.28±7.76μm) is commonly used as starter food in the larval rearing of marine fish. But, larvae of some marine tropical fish species required starter food with body size smaller than B. rotundiformis. The present study was aimed to isolate minute rotifers from nature and to assess the possibility of culturing these rotifers. Sampling of rotifers was conducted in an estuary of Mangket (Kema-Minut), using plankton net (mesh size 40 µm). A trial of culturing the rotifers was conducted at salinities of 10, 20 and 30 ppt by using a microalga, Nannochloropsis oculata. A species of rotifer identified as Colurella sp. (family Lepadellidae) was successfully isolated from the sampling location. Body size of Colurella sp. was extremely small (Total length 123.22±5.45 μm, lorica length 95.96±3.81 μm, and lorica width 53.57±3.11 μm), which were smaller than Brachionus rotundiformis SS-type as a conventional starter food for marine fish larvae.  Results of culturing the minute rotifer Colurella sp. showed that the species grew well at salinities of 10, 20 and 30 ppt with no significant difference among treatments (ANOVA, p>0.05), indicating a potential use of minute rotifer Colurellasp. as starter food for marine fish larvae. Rotifera Branchionus rotundiformis (ukuran tubuh: panjang total 240,59±10,24 μm, panjang lorika 175,28±9,18 μm, dan lebar lorika 124,28±7,76μm) sering digunakan sebagai pakan awal pemeliharaan larva ikan laut. Namun, larva beberapa spesis ikan laut tropis membutuhkan pakan awal berukuran tubuh lebih kecil dari Branchionus rotundiformis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan minute rotifer dari alam (berukuran tubuh lebih kecil dari B. rotundiformis) dan menguji kemungkinan pemeliharaannya. Sampling rotifer dilakukan di perairan estuari Desa Mangket (Kema-Minut), menggunakan plankton net (ukuran mata jaring 40 µm). Uji coba pemeliharaan dilakukan pada salinitas (10, 20, dan 30 ppt) dengan menggunakan Nannochloropsis oculata. Satu spesies minute rotifer yang teridentifikasi sebagai Colurella sp. (family Lepadellidae) berhasil diisolasi dari lokasi sampling. Colurella sp. memiliki ukuran tubuh sangat kecil (panjang total [PT] 123,22±5,45 µm, panjang lorika [PL] 95,96±3,81 µm, dan lebar lorik [LL] 53,57±3,11 µm) yang mana lebih kecil dari Branchionus rotundiformis tipe-SS sebagai pakan awal larva ikan laut. Hasil uji coba pemeliharaan minute rotifer Colurella sp. menunjukkan bahwa spesis ini dapat tumbuh pada salinitas 10, 20, dan 30 ppt dengan perbedaan kepadatan populasi yang tidak signifikan antar perlakuan (Uji ANOVA, p > 0.05) mengindikasikan potensi pemanfaatan minute rotifer Colurella sp. sebagai pakan awal larva ikan laut.

Page 1 of 2 | Total Record : 15