Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Film Dokumenter “Nyama Selam” Dengan Gaya Expository Mubarik, Hanif Syahrul; Buda, I Ketut; Dwiyani, Ni Kadek
Prabangkara : Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol 22 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1167.818 KB)

Abstract

Film dokumenter “Nyama Selam” merupakan karya audio visual yang menampilkan tentang kehidupan masyarakat asli Bali yang beragama Islam. Kata “Nyama Selam” berarti saudara yang beragama Islam. Film ini menggambarkan toleransi dan kerukunan beragama yang terjadi di Bali, khusunya di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, kabupaten tabanan. Film dokumenter “Nyama Selam” juga berfungsi sebagai media informasi untuk masyarakat tentang toleransi dan kerukunan beragama di Bali. Film dokumenter “Nyama Selam” diharapkan bisa mengubah paradigma masyarakat awam yang menganggap semua umat Islam di Bali sebagai kaum pendatang. Pembuatan film dokumenter “Nyama Selam” dengan gaya expository menitik beratkan pada informasi sejarah, toleransi, dan makna kata “Nyama Selam” sendiri bagi masyarakat Candikuning. Bahasan tersebut didapat dari hasil riset dan wawancara dengan sepuluh narasumber, yaitu Kepala Dusun Kampung Islam Candikuning, Bendesa Adat Kampung Islam Candikuning, Ketua BPD Desa Candikuning, Tokoh Sesepuh Kampung Islam Candikuning, Sejarawan, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali, Tokoh Pemuda Kampung Islam Candikuning, Seniman Rudat dari Kampung Islam Candikuning, Juru Kunci Makam Keramat Gunung, dan Imam Masjid di Kampung Islam Candikuning. Hasil riset wawancara tersebut menjadi sebuah film dokumenter “Nyama Selam” sebagai media informasi kerukunan beragama di Bali. Film dokumenter “Nyama Selam” memiliki struktur tiga babak yaitu awal, tengah, dan akhir. Pada babak awal dalam film dokumenter “Nyama Selam” menampilkan tentang sejarah Islam di Bali dan di Candikuning. Pada bagian isi, film dokumenter “Nyama Selam” menampilkan tentang tradisi, toleransi dan makna kata “Nyama Selam” sendiri bagi warga Kampung Islam Candikuning. Pada bagian akhir film ini menjelaskan tentang harapan-harapan narasumber untuk toleransi dan kerukunan beragama di Bali. Film ini juga menampilkan budaya tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW serta keindahan panorama alam yang ada di Kampung Islam Candikuning. The “Nyama Selam” documentary film is an audio visual work it displays the life of Balinese Muslims. “Nyama Selam” means Muslims families. It illustrates tolerance and religious harmony occurred in Bali, especially in Candikuning Village, Baturiti District, Tabanan Regency. “Nyama Selam” documentary also serves as an information media for community about tolerance and religious harmony in Bali. The documentary is expected to change the paradigm of ordinary people who regard All Muslims in Bali as immigrants. The making of “Nyama Selam” documentary film using expository style emphasizes the historical information, tolerance, and meaning of the word “Nyama Selam” for the Candikuning community. The discussion was obtained from the results of research and interviews with ten informants, namely Village Chief of Candikuning Islamic Village, Bendesa Adat of Candikuning Islamic Village, Chairman of BPD Candikuning Village, Elder of Candikuning Islamic Village, Historian, Chairman of Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali, Youth Figure of Candikuning Islamic Village, Rudat Artist from Candikuning Islamic Village, Interpreter of the Sacred Mountain Tomb, and Imam Masjid in Candikuning Islamic Village. The results of the interview are collaborated as a medium of information on religious harmony in Bali. “Nyama Selam” documentary has three round structures, such as beginning, middle, and end. In the early stages of the documentary “Nyama Selam” showcases the history of Islam in Bali and in Candikuning. In the contents, the documentary film “Nyama Selam” presents about the tradition, tolerance and meaning of the word “Nyama Selam” for the citizens of Kampung Islam Candikuning. At the end of this film explains the expectations of resource persons for religious tolerance and harmony in Bali. The film also features a cultural tradition of the Maulid of the Prophet Muhammad SAW and the beauty of natural panorama in the Islamic Village of Candikuning. 
Rumah Kreatif Desa Musi Gerokgak Lia Susanthi, Nyoman; Dwiyani, Ni Kadek; Puriartha, I Kadek
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 7 No 1 (2019): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4285.117 KB) | DOI: 10.31091/sw.v7i1.679

Abstract

Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali memiliki permasalahan ketenagakerjaan khususnya pengangguran atau disebut juga tuna karya. Hal tersebut berdapak pada tingginya angka kemiskinan di Kecamatan Gerokgak dibandingkan kecamatan lainnya. Salah satu desa di Kecamatan Gerokgak yang memiliki tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi adalah Desa Musi. Guna menampung aktivitas pemuda desa, maka Desa Musi memiliki Skaa Truna Truni (STT) Desa Musi yang bernama STT Budhi Adnyana. Namun organisasi kepemudaan desa tersebut tidak mampu secara maksimal menampung kegiatan kepemudaan. Untuk itu dilakukan kegiatan Pengabdian Kemitraan Masyarakat (PKM) yang bertujuan: (1) Membantu membuka lapangan pekerjaan baru di Desa Musi dengan nama Rumah Kreatif; (2) Menambah keterampilan foto dan video bagi pemuda Desa Musi; (3) Mendukung program Kecamatan Gerokgak sebagai daerah yang memiliki potensi pariwisata. Metode pengabdian dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, dan evaluasi. Dua aspek pengabdian yang dilakukan yaitu aspek keterampilan dan manajemen rumah kreatif. Hasil dari aspek keterampilan mereka memiliki kemampuan tambahan sebagai fotografer dan videographer. Dengan bantuan berupa kamera Canon 1300D mereka mampu membuat video profil Desa Musi sebagai media promosi desa. Pada aspek manajemen rumah kreatif, STT Desa Musi berhasil membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Musi dan proposal desain destinasi wisata di Desa Musi yang diberi nama Peken Bajang-Bajang.
Rumah Kreatif Desa Musi Gerokgak Nyoman Lia Susanthi; Ni Kadek Dwiyani; I Kadek Puriartha
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 7 No. 1 (2019): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4285.117 KB) | DOI: 10.31091/sw.v7i1.679

Abstract

Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali memiliki permasalahan ketenagakerjaan khususnya pengangguran atau disebut juga tuna karya. Hal tersebut berdapak pada tingginya angka kemiskinan di Kecamatan Gerokgak dibandingkan kecamatan lainnya. Salah satu desa di Kecamatan Gerokgak yang memiliki tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi adalah Desa Musi. Guna menampung aktivitas pemuda desa, maka Desa Musi memiliki Skaa Truna Truni (STT) Desa Musi yang bernama STT Budhi Adnyana. Namun organisasi kepemudaan desa tersebut tidak mampu secara maksimal menampung kegiatan kepemudaan. Untuk itu dilakukan kegiatan Pengabdian Kemitraan Masyarakat (PKM) yang bertujuan: (1) Membantu membuka lapangan pekerjaan baru di Desa Musi dengan nama Rumah Kreatif; (2) Menambah keterampilan foto dan video bagi pemuda Desa Musi; (3) Mendukung program Kecamatan Gerokgak sebagai daerah yang memiliki potensi pariwisata. Metode pengabdian dilakukan dengan sosialisasi, pelatihan, dan evaluasi. Dua aspek pengabdian yang dilakukan yaitu aspek keterampilan dan manajemen rumah kreatif. Hasil dari aspek keterampilan mereka memiliki kemampuan tambahan sebagai fotografer dan videographer. Dengan bantuan berupa kamera Canon 1300D mereka mampu membuat video profil Desa Musi sebagai media promosi desa. Pada aspek manajemen rumah kreatif, STT Desa Musi berhasil membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Musi dan proposal desain destinasi wisata di Desa Musi yang diberi nama Peken Bajang-Bajang.
Diskriminasi Gender dalam Perspektif Dokumenter Potret “Amerta Ning Sinar” Ni Kadek Dwiyani; Nyoman Lia Susanthi; I Kadek Puriartha
Segara Widya : Jurnal Penelitian Seni Vol. 10 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (517.247 KB) | DOI: 10.31091/sw.v10i1.1931

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang diskriminasi gender yang berdampak pada keseimbangan hak dankewajiban perempuan Bali dalam fase sebagai seorang istri, menantu dan Ibu dari anak-anak mereka dalam perspektif visual denganformat dokumenter potret. Dokumenter potret “Amerta Ning Sinar” dengan pendekatan humanist memberikan visualisasi terkait perempuan Bali dan budaya patriarki yang memunculkan masalah dalam fase berumahtangga bagi perempuan Bali, yang justrumembuat posisi mereka sangat timpang dibandingkan dengan posisi suami mereka yang memiliki tingkat superior dalam budayapatriarki itu sendiri. Metode yang digunakan adalah metode penelitian qualitatif dengan pendekatan deskriptif dikolaborasikan denganteori diskriminasi gender (CIDA: 1997) dan Semiotika (Pierce dalam Piliang: 2018). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwadiskriminasi gender yang divisualisasikan dalam dokumenter potret “Amerta Ning Sinar” memiliki 4 indikator yang dari diskriminasigender melalui Marjinalisasi, Subordinasi, Kekerasan dan Beban Kerja dalam visual yang ditampilkan dalam film dokumenter“Amerta Ning Sinar” yang direpsentasikan melalui skema triadik Semiotika Pierce.
PENERAPAN ASPEK RITMIS DALAM MEMBANGUN FILM “EGO” DENGAN GENRE DRAMA KOMEDI I Made Angga Wicaksana Yasa; Ni Kadek Dwiyani; I Made Denny Chrisna Putra
CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI Vol. 1 No. 1 (2021): Jurnal Calaccitra Juni 2021
Publisher : CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The editing aspect is a technique that is well known in the film world, especially editing. At the beginning of the development of film, filmmakers were well aware of the powerful influence of the editing aspect in manipulating time and space. Editors can choose one of the four aspects of editing, one of which is the rhythmic aspect which will be applied to the making of a film entitled "Ego". This writing will examine how the application of the rhythmic aspects to each scene and how the rhythmic aspects can influence the narrative elements in the film "Ego". The method used is the method of creation including the creation stage (idea creation), the planning stage (library research and observation methods) and the implementation stage (pre-production, production and post-production). The main theory in this paper uses the editing theory by Mabruri (2013) regarding editing techniques using rhythmic aspects and shaping aspects of editing. The conclusion obtained in this paper is the application of the rhythmic aspect in the film "Ego" is realized by controlling the rhythm of the short shot length with sound, image size, camera movement and subject movement in the film, which is applied to the scene opening taste, 14, 15, 16, 19, 24, 25, 27 and 28. In addition, the rhythmic aspect greatly influences the narrative structure of the story in the film "Ego" through its editing elements, so that the impression of a comedy drama can be conveyed properly to the audience.
FILM MOCKUMENTARY “SEPENGGAL KISAH BUNGA” I Gede Wahyu Diatmika; Ni Kadek Dwiyani; Desak Putu Yogi Antari Tirta Yasa
CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI Vol. 1 No. 2 (2021): Jurnal Calaccitra Agustus 2021
Publisher : CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (739.597 KB)

Abstract

In movie’s development, the type of movie continues to grow make a new forms of movie and one of them is a form of fiction movie with the documentary look called mockumentary. Here, a mockumentary will be used to raise sexual violence issue, specifically rape in a fictional movie entitled “Sepenggal Kisah Bunga”. The form of mockumentary movie was chosen to present a different viewing feeling for the audience and it is hoped that this movie can increase public awareness of the importance of this issue today. In the process to make this movie, the author pass three stages. First one Pre-production. This is the stage of all preparations before shooting. Continue with production which is the process of shooting the movie and the last one is the post-production stage which is the stage of processing raw audio and video into the final product of the movie. In this movie to present a mockumentary the author makes a story about an amateur YouTuber who makes a movie about a father whose child is raped. In addition, the author also makes the visuals presented like visual from character's camera. The writer who is also an actor in the movie takes the necessary shots to make the character of an amateur YouTuber more alive. The style of storytelling in this movie is also adapted to the form of an interactive documentary that presents interviews and interactions from the moviemaker with the subject. The story and visuals are presented to produce a movie in mockumentary form entitled “Sepenggal Kisah Bunga”. The author hopes that the message in the movie about big impact of rape on the victim and also the importance of the presence of the family for the victim can be told properly through this movie.
MEMUNCULKAN EKSPRESI TOKOH UTAMA MELALUI GERAKAN WAACKING DAN LADIES STYLE DALAM FILM “ 2 SERUPA “ Yehuda Yehuda; Ni Kadek Dwiyani; I Gusti Ngurah Wirawan
CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI Vol. 1 No. 2 (2021): Jurnal Calaccitra Agustus 2021
Publisher : CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (982.137 KB)

Abstract

When viewed from the point of view of film, of course, there are many films that raise the issue of LGBTQ people, especially Gay. Not only films abroad, films in Indonesia have now also dared to take up this theme. However, this is still difficult to become a public spectacle because it is still considered taboo or out of the norm that already exists in Indonesia itself. This incident occurred due to the lack of knowledge about these groups in society, as a result of this lack of knowledge led to a lot of acts of discrimination and inappropriate treatment in society regarding these people. With the discrimination and rejection from society, the Gays themselves have difficulty expressing themselves in the public. Make themselves look for other alternatives to be able to express themselves through Waacking and Ladies Style dance movements. With this phenomenon, the writer feels it is necessary to be appointed as a film. The process of making works begins with determining ideas, direct field observations (observations and interviews) on Gays, determining storylines, selecting actors, looking for supporting theories to be applied in film works, training with players, until the Final Editing stage. The creation of a work "2 Serupa" tells about several problems regarding the difficulty of expressing oneself, rejection from family, friends and society to sexual orientation which makes the main character have difficulty carrying out his daily activities. With the message that wants to be conveyed how should the treatment of the wider community and family be very influential on Gays so that they can feel the recognition they deserve.
PENULISAN NASKAH SKENARIO FILM PENDEK “BUKAN KUPU – KUPU MALAM” DI MAHATMA PICTURES I Putu Sathyana Rayana; Ni Kadek Dwiyani; I Kadek Puriartha
CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI Vol. 2 No. 1 (2022): Jurnal Calaccitra Maret 2022
Publisher : CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penulis memilih mayor penulis naskah dan melaksanakan kegiatan magang di Mahatma Pictures dengan luaran karya film pendek berjudul “Bukan Kupu – Kupu Malam”. Film ini bercerita tentang seorang wanita yang dianggap tidak baik hanya karena pekerjaannya, ia berusaha mendapatkan keadilannya sendiri setelah mengalami pelecehan seksual. Penulis menggunakan metode observasi, dokumentasi dan wawancara dalam proses pengumpulan data untuk pengembangan ide cerita film. Pada tahap observasi dan dokumentasi, penulis melaksanakan pengamatan di tempat yang dapat dijadikan sebagai refrensi setting lokasi film dan keadaan masyarakat mengenai isu pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan di dunia maya. Penulis juga melaksanakan sebuah wawancara dengan salah satu korban pelecehan seksual di kota Denpasar. Selama proses magang dan produksi film pendek “Bukan Kupu – Kupu Malam”, penulis mendapatkan kesempatan dalam mengasah kemampuan menulis naskah skenario film. Dari riset dan pengembangan ide cerita yang menggunakan Triangle System (sistem kerjasama dengan produser dan sutradara), penulis pun mendapatkan pengalaman yang baik dalam menyelesaikan beberapa masalah terkait penulisan naskah dan proses produksi film seutuhnya. Secara keseluruhan, proses magang berjalan dengan baik dan kondusif.
Directing Of Documentary Bilingual “Lukisan Barong Gunarsa” In Exspository Style Nyoman Lia Susanthi; Ni Kadek Dwiyani; I Kadek Puriartha
Mudra Jurnal Seni Budaya Vol 33 No 3 (2018): September
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/mudra.v33i3.522

Abstract

Latha Mahosadhi Museum of ISI Denpasar is a memorial place for displaying art objects. But the function of the museum as a center of art information cannot be realized because the information provided is only verbal information and not specific. So that information media is created in museum, namely bilingual documentary film. One of the interesting a film to be researched is “Lukisan Barong Gunarsa” by Nyoman Lia Susanthi as a director. The aim of this study is to determine the process of creating a documentary film that shows the side of Gunarsa as famous person and secret element that have never been published before. Based on it, documentary bilingual can be applied to other 127 objects collection. The method used qualitative. The data were obtained through observation, interview, and literature study. The result of this study was the director observed in three roles, such as: a leader, an artist and a technical advisor. The pre-production, the director created in the form of production concept, technical concept and story line. The concept of film was expository style with television documentary format using narrator as a single speaker. The director as a leader directed the cameraperson in taking pictures. In editing, director was involved directly in the process of arranging the images. The resulting visual beauty cannot be separated from the director’s firmness that directed the taking of beauty shot. The director as a technical advisor was able to take over the role of cinematography, sound and editing.Museum Lata Mahosadhi ISI Denpasar adalah tempat pemajangan benda seni baik dari Bali maupun luar Bali. Namun fungsi museum sebagai pusat informasi seni belum bisa terwujud karena informasinya hanya berupa verbal dalam Bahasa Indonesia dan tidak spesifik. Untuk itu dilakukan penelitian terkait media informasi efektif untuk museum yaitu bilingual dokumenter menggunakan 2 bahasa (Indonesia-Inggris). Salah satu bilingual dokumenter yang menarik untuk dikaji adalah film berjudul “Lukisan Barong Gunarsa” karya Nyoman Lia Susanthi sebagai sutradara. Alasan memilih konten ini karena terdapat elemen rahasia yang belum dipublikasikan yaitu makna dan deskripsi lukisan. Dalam proses pembuatan film maestro berpulang, sehingga film ini benilai informasi tinggi. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui penyutradaraan film dokumenter yang menunjukkan sisi intim orang terkenal yaitu Gunarsa. Dengan mengetahui penyutradaraan film ini, maka dapat juga diterapkan penciptaan bilingual dokumenter pada 127 benda koleksi museum. Metode yang digunakan untuk mengetahui manajemen produksi film adalah kualitatif. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini adalah sutradara dalam melahirkan film diamati dalam tiga peran yaitu sebagai pemimpin, seniman dan penasehat teknis. Saat pra produksi sutradara berperan besar melahirkan konsep penciptaan berupa konsep karya, teknis serta story line. Konsep karya menggunakan gaya exspository, format dokumenter televisi dengan narator sebagai penutur tunggal. Peran sutradara sebagai pemimpin yaitu mengarahkan kameramen dalam mengambil gambar sesuai tuntutan cerita. Tahapan editing sutradara terlibat dalam proses penyusunan gambar. Keindahan visual yang dihasilkan juga peran sutradara yang turut mengarahkan pengambilan beauty shot. Sutradara sebagai penasehat teknis mampu mengambil alih peran teknis dalam sinematografi, tata suara dan editing.
MAGANG/PRAKTIK KERJA MAYOR PENYUTRADARAAN DI MAHATMA PICTURES MELALUI PROYEK LAPANGAN “FILM BUKAN KUPU-KUPU MALAM” DENGAN PENDEKATAN ITALIAN NEOREALISME I Kadek Agus Ari Wirawan; Ni Kadek Dwiyani; Gede Basuyoga Prabhawita
CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI Vol. 2 No. 2 (2022): Jurnal Calaccitra September 2022
Publisher : CALACCITRA: JURNAL FILM DAN TELEVISI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penulis memilih melaksanakan program Magang/Praktik kerja diMahatma Pictures melalui produksi film “Bukan Kupu-Kupu Malam”. Filmini mencertikan tentang seorang perempuan yang menegakkankeadilannya sendiri terhadap opini publik yang menganggap dirinyasebagai wanita tuna Susila. Penulis memilih Italian Neorealisme sebagaigaya penyutradaraan yang akan diimplementasikan dalam filmtersebut.Agar dapat mengimplementasikan pendekatan ItalianNeorealisme penulis mengumpulkan data penunjang menggunakanmetode wawancara, observasi dan dokumentasi. Penulis melalukanwawancara mengenai pendekatan Italian Neorealisme. Pada tahapobservasi penulis menemukan perlakuan warganet terhadap perempuandengan pakaian terbuka untuk dijadikan penunjang ide cerita dalam film“Bukan Kupu-Kupu Malam”. Begitu pula Pada tahap dokumentasi penulismendapatkan ilmu pengetahuan mengenai kepemimpinan dalam sebuahproduksi film. Khususnya pada bagian latar tempat dan pemilihan aktornon profesional sehingga film dapat memberikan kesan natural denganmengangkat isu keresahan sosial yang terjadi di kalangan menengah kebawah. Ada beberapa kendala yang terjadi selama proses produksiberlangsung dan seluruh persoalan tersebut dapat diselesaikan denganbaik walaupun harus memakan waktu yang lebih lama. Secara garis besarproses magang mayor penyutradaraan di Mahatma Pictures denganluaran proyek lapangan film “Bukan Kupu-Kupu Malam” membuahkanhasil yang baik serta memberikan pembelajaran dan pengalaman barubagi penulis.