This Author published in this journals
All Journal Interaksi Online
Hapsari Dwiningtyas
Unknown Affiliation

Published : 30 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Ultra Violence Dalam Film Django Unchained Dini Tiara I; Turnomo Rahardjo; Taufik Suprihartini; Hapsari Dwiningtyas
Interaksi Online Vol 3, No 1: Januari 2015
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.624 KB)

Abstract

Kekerasan merupakan aspek yang tidak pernah lepas ditampilkan dalam media. Film merupakan media massa yang menampilkan kekerasan dengan vulgar. Kekerasan yang berlebihan ini disebut dengan ultra violence dimana kekerasan divisualisasikan dengan sekeji mungkin. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana teks, dalam hal ini film mendesain kekerasan menjadi suatu hiburan yang kemudian layak dipertontonkan. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika The Codes of Television John Fiske, yang meneliti film dengan tiga tahap penelitian. Secara teknis film dilihat melalui level realitas dan representasi, kemudian pada level terakhir dilihat ideologi yang terdapat dalam film.Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kekerasan yang ditampilkan dalam film merupakan bentuk hiperrealitas. Kekerasan yang ditampilkan bukan murni hasil representasi realitas namun merupakan buatan pembuat film yang sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan kekerasan pada realitas. Selain itu, pada film ini menunjukkan naturalisasi atas tindakan kekerasan. Kekerasan dianggap sebagai bentuk balas dendam terhadap kaum yang menindas. Pihak yang tertindas berhak “menghukum” pihak yang menindas dengan kekerasan. Secara keseluruhan, kekerasan yang terdapat dalam film ini dibentuk menjadi industri budaya yang sengaja dibuat menjadi objek hiburan. Kata kunci : Kekerasan, Hiperrealitas, Industri Budaya
Normalisasi Relasi Homoseksual dalam Film Arisan! 2 Stella Natalia; Dr Sunarto; Lintang Ratri Ramiaji; Hapsari Dwiningtyas
Interaksi Online Vol 2, No 3: Agustus 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.943 KB)

Abstract

Film merupakan salah satu media massa yang digunakan untuk menyampaikanpesan dan ideologi ke masyarakat. Film merepresentasikan beberapa kejadian didunia nyata. Film Arisan! 2 adalah film yang menggambarkan normalisasi relasihomoseksual. Kehidupan homoseksual sama seperti kehidupan masyarakatdominan, tidak ada yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah merepresentasikannormalisasi relasi homoseksual dalam film Arisan! 2 dan merepresentasikanheteronormativity yang ada dalam film Arisan! 2.Penelitian ini juga menunjukkan bahwa homoseksual dapat diterima dikalangan menengah ke atas. Komunikasi ditandai dengan kamera, dialog, danideologi di film. Penelitian ini digunakan teori Queer dan metode penelitian dariRoland Barthes dengan lima kode pembacaan untuk mengetahui ideologi dalamfilm ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa homoseksual belum bisa terlepasdari heteronormativity yang ada. Heteronormativity hanya menerimaheteroseksual sebagai orientasi seksual yang ada, walau film ini sudah berusahamerepresentasikan secara nyata normalisasi relasi homoseksual.Kata kunci : Semiotika, Barthes, Film, Homoseksual, Heteronormativitas
Resistensi Terhadap Konstruksi Dominan Homoseksual dalam Film Coklat Stroberi Vivitri Endah Andriani; Dr Sunarto; Hapsari Dwiningtyas; M Bayu Widagdo
Interaksi Online Vol 2, No 4: Oktober 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.41 KB)

Abstract

Film merupakan salah satu media massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan sekaligus menyebarkan ideologi kepada masyarakat. Film juga dapat dijadikan sebagai media untuk melakukan perlawanan terhadap suatu konstruksi dominan di masyarakat. Melalui film Coklat Stroberi, sutradara Ardy Octaviand ingin menunjukkan adanya bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh figur homoseksual terhadap konstruksi dominan di masyarakat dan mempresentasikan logika kebenaran yang di munculkan oleh film terkait dengan adanya perlawanan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika dari Roland Barthes melalui tahapan analisis sintagmatik dan paradigmatik dengan menggunakan lima kode pokok pembacaan teks. Teori Resistensi James C. Scott digunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk perlawanan yang terdapat di dalam film. Penelitian ini menunjukkan hasil, bahwa perlawanan yang dilakukan homoseksual baik secara sembunyi-sembunyi (mempertahankan orientasi seksual) dan terbuka (berpelukan, ciuman, bergandeng tangan), berhujung pada penerimaan lingkungan sosial homoseksual. P enerimaan masyarakat terhadap homoseksual menunjukkan adanya ideologi liberalisme di dalam lingkungan masyarakat yang toleran terhadap homoseksual.Pengungkapan identitas (coming out) yang dilakukan homoseksual mendapatkan penolakkan maupun penerimaan. Penolakkan yang datang dari orang tua homoseksual menunjukkan masih adanya pemikiran dominan heteronormativitas di dalam film. Penerimaan terhadap figur homoseksual datang dari teman-teman dan lingkungan masyarakat yang berasal dari kalangan atas, penerimaan tersebut mengacu pada penggunaan teori Queer Judith Butler yang menganggap identitas sebagai sesuatu yang bersifat cair. Terdapat naturalisasi yang ditunjukan dengan adanya pemikiran stereotip homoseksual ( gay), dimana homoseksual ditampilkan dengan karakter feminin yang terlihat dari pakaian, gesture tubuh serta ekspresi. Film ini juga menunjukkan adanya logika kebenaran, bahwa menjadi seorang homoseksual merupakan pilihan mengenai orientasi manusia dalam memenuhi kebutuhan secara seksual. Selain itu, perlawanan melalui identitas dan menampilkan kemesraan homoseksual menciptakan suatu mitos, salah satu diantaranya adalah mitos bahwa homoseksual bukanlah suatu penyimpangan dan penyakit yang dapat ditularkan dalam lingkungan sosialnya. Kata kunci : Film, Resistensi, Semiotika, Homoseksual, Identitas
Pemaknaan Khalayak terhadap Ruang Privat pada Tayangan Suka Suka Uya Oki Riski Karlisna; Hedi Pudjo Santosa; Hapsari Dwiningtyas; Lintang Ratri Rahmiaji
Interaksi Online Vol 3, No 1: Januari 2015
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tayangan Suka Suka Uya merupakan sebuah variety show yang ingin memberikan alternatif hiburan bagi pemirsanya dengan menghadirkan bintang tamu public figure untuk direlaksasi, menceritakan apapun tentang kehidupan pribadinya sehingga batas antara ruang privat dan ruang publik di media seolah menjadi kabur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis resepsi Stuart Hall yang bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis keberagaman interpretasi khalayak tentang ruang privat public figure yang dikemas dan ditampilkan dalam tayangan Suka Suka Uya serta bagaimana khalayak mendeskripsikan ruang privat di media, khususnya televisi. Hasil penelitian menunjukkan ada tiga tipe pemaknaan mengenai interpretasi khalayak terhadap ruang privat public figure yang dikemas dan ditampilkan dalam tayangan Suka Suka Uya. Dominant – hegemonic reading adalah posisi dimana khalayak menyetujui makna dominan (preferred reading) bahwa batas antara ruang privat dan publik kabur, melebur jadi satu, dan dianggap sebagai sebuah hal yang wajar bagi seorang public figure karena adanya voyeurism dan penerimaan informasi privat oleh khalayak sebagai hiburan. Negotiated reading dimana khalayak menyetujui makna dominan dari teks media dengan pertimbangan terdapat perbedaan batasan antara public figure dan orang biasa mengenai ruang privat. Khalayak menegosiasikan hal tersebut karena batasan ruang privat public figuredianggap berbeda dan lebih luas sebagai konsekuensi dari profesinya serta selera informan pada bintang tamu yang hadir. Terakhir, opositional reading adalah posisi dimana khalayak secara tegas menolak makna dominan yang ditawarkan oleh teks media karena mereka menganggap bahwa batasan ruang privat dan publik tetap ada dan masing – masing orang termasuk public figure. Ruang privat dideskripsikan sebagai aib yang tabu dibicarakan di ruang publik. Selain itu, perbedaan pemaknaan terhadap ruang privat juga muncul karena perbedaan gender informan, laki – laki dan perempuan. Informan perempuan cenderung lebih menerima terbukanya ruang privat dibandingkan informan laki – laki. Keywords : resepsi, ruang privat, public figure, khalayak
Representasi Kekerasan Terhadap Transgender dalam Film Taman Lawang Nanda Ayu Puspita Ningsih; Dr Sunarto; Hapsari Dwiningtyas; M Bayu Widagdo
Interaksi Online Vol 2, No 4: Oktober 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (213.266 KB)

Abstract

Film merupakan salah satu media massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan sekaligus ideologi kepada khalayak. Film merepresentasikan kejadian-kejadian yang ada di dunia nyata dengan memasukkan ideologi dari pembuat film. Film Taman Lawang merupakan film yang menggambarkan adanya bentuk-bentuk kekerasan terhadap transgender. Tindak kekerasan tersebut muncul karena performativitas transgender yang dianggap menyimpang dari heteronormativitas.Di dalam penelitian ini terdapat 19 leksia yang telah dipilih berdasarkan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk -bentuk kekerasan terhadap transgender yang terdapat di dalam film Taman Lawang sekaligus mendeskripsikan ideologi gender dominan yang ada di dalam film Taman Lawang. Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika Roland Barthes secara sintagmatik dan paradigmatik. Pada analisis paradigmatik menggunakan lima kode pokok pembacaan teks dari Roland Barthes. Bentuk-bentuk kekerasan dapat dilihat melalui makna sintagmatik dan paradigmatik dengan menunjukkan bahwa tokoh waria dalam film ini menjadi obyek kekerasan yang tampak dan tidak tampak dari berbagai pihak sehingga menjadikan waria berada pada posisi yang inferior. Bentuk kekerasan yang tampak berupa kekerasan verbal, fisik, psikologis dan seksual. Sedangkan bentuk kekerasan yang tidak tampak adalah kekerasan struktural dan kekerasan simbolik. Representasi berbagai macam bentuk kekerasan terhadap transgender umumnya ditunjukkan dengan tampak natural dalam film ini melalui gaya sutradara dalam mengkombinasikan genre komedi dan horor dalam penyampaian isi film sehingga bersifat ringan dan menghibur. Dengan demikian menunjukkan bahwa film ini berusaha menaturalisasi tindak kekerasan tersebut agar menjadi wajar di dalam pandangan masyarakat. Budaya kekerasan yang terdapat di dalam film ini merupakan hasil dari performativitas kekerasan yang berpengaruh dalam memperkuat heteronormativitas yang ada di dalam masyarakat. Hal tersebut didukung dengan adanya ideologi gender dominan di dalam film ini yaitu ideologi patriarki yang dapat diketahui dari pelaku tindak kekerasan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki. Kata kunci : transgender, heteronormativas, kekerasan, film
Representasi Perempuan dalam Budaya Patriarki (Studi Semiotika pada Film Sang Penari) Jenny Putri Avianti; Hedi Pudjo Santosa; Turnomo Rahardjo; M Bayu Widagdo; Hapsari Dwiningtyas
Interaksi Online Vol 2, No 2: April 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.024 KB)

Abstract

Film merupakan media massa yang paling efektif untuk menyebarkan ideologi-ideologi baru pada masyarakat. Sekarang ini, sebuah film dapat berpengaruh terhadap perilaku sosial dalam masyarakat, tentunya sesuai dengan pesan apa yang di dapat dari sebuah film yang mereka nikmati. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika untuk menganalisa obyek audio-visual yang diteliti. Teknik analisa data menggunakan teori John Fiske “the codes of television”. Film Sang Penari diuraikan secara sintagmatik pada level realitas dan level representasi. Sedangkan penguraian level ideologi menggunakan analisa secara paradigmatik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perempuan di representasikan dalam film Sang Penari. Film ini menggambarkan budaya patriarki yang sangat lekat dengan budaya Jawa. Ketimpangan gender dan penindasan terhadap perempuan penari ronggeng memunculkan wacana yang berkembang di masyarakat bahwa ronggeng identik dengan kekerasan dan praktik pelacuran terselubung. Penggunaan istilah “tradisi” menjadikan penari ronggeng sebagai wanita terhormat dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Akan tetapi, status terhormat tersebut hanya untuk melegalkan proses pelacuran terselubung pada penari ronggeng. Hasil dari penelitian ini yakni perempuan pekerja seni terutama penari ronggeng dalam film Sang Penari hanya dianggap sebagai penghibur laki-laki bukan perempuan yang memiliki bakat bernyanyi dan menari. Film ini juga menunjukkan kemandirian dan kemampuan perempuan penari ronggeng sebagai seorang penghibur atau seniman. Kata kunci : Film, Perempuan, Patriarki
Pengelolaan Bisnis Cakra Semarang TV (Studi Kasus: Kerugian Finansial Televisi Lokal Cakra Semarang TV) Arnida Desti Artanti; Dr Sunarto; Hapsari Dwiningtyas; Much. Yulianto
Interaksi Online Vol 3, No 3: Agustus 2015
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (70.478 KB)

Abstract

Lahirnya undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran menjadi pemicu munculnya televisi lokal di berbagai di Indonesia, termasuk di Jawa Tengah. Televisi lokal dapat menjual hal-hal yang tidak disuguhkan oleh televisi nasional, seperti kearifan lokal, dan konten-konten bertema kedaerahan yang menggambarkan karakter masyarakat setempat. Di Semarang khususnya, terdapat beberapa stasiun televisi lokal yang mengudara. Akan tetapi, pada kenyataannya saat ini sebagian besar televisi lokal di Semarang telah diakuisisi oleh media nasional, sehingga kontennya sudah tidak murni lagi, karena harus merelai program dari televisi induk. Sepinya pasar iklan yang menyebabkan kerugian finansiaal, menjadi penyebab stasiun televisi lokal merelakan untuk diakuisisi oleh media nasional.Cakra Semarang TV merupakan satu-satunya televisi yang murni lokal di Semarang yang tidak diakuisisi oleh media maupun televisi nasional. Meski tergabung dalam kelompok media Balipost (KMB), namun tidak terdapat perjanjian yang mengikat bagi Cakra Semarang TV untuk merelai program dari televisi induk, yaitu Bali TV. Sebagai televisi yang murni lokal di Semarang, Cakra Semarang TV juga mengalami kerugian financial yang serupa, namun tetap konsisten bertahan sebagai televisi yang murni lokal dan tidak diakuisisi oleh media nasional. Berbagai macam cara pun dilakukan oleh cara semarang TV untuk menutupi kerugian financial yang masih terjadi, antara lain melakukan pinjaman ke bank dan ke pemilik modal. Penelitian ini menguraikan pengelolaan bisnis di Cakra Semrang tv di tengah-tengah kerugian financial yang terjadi. Hasilnya menunjukkan bahwa saat ini Cakra Semarang TV tidak mengandalkan iklan sebagai pemasukan utama, padahal salah satu sumber pemasukan utama dari media adalah dari iklan. Cakra Semarang TV kini mengandalkan penjualan program dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk pembuatan program sebagai sumber ladang bisnis.
Performativitas Gender dalam Film The Kids Are All Right Karya Lisa Cholodenko Yohanes Erik Wibawa; Dr Sunarto; Hapsari Dwiningtyas; Lintang Ratri Rahmiaji
Interaksi Online Vol 2, No 4: Oktober 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (146.929 KB)

Abstract

Konsep heteronormativitas tidak memberikan ruang dan toleransi terhadap bentuk gender-gender lain kecuali laki-laki dan perempuan dan heteroseksual dianggap sebagai hubungan yang paling alamiah. Judith Butler, seorang pasca strukturalis, menolak dualisme gender tersebut yang secara sosial sangat sulit ditinggalkan. Film The Kids Are All Right karya Lisa Cholodenko ini mencoba keluar dari nilai-nilai heteronormatif tersebut dengan menampilkan pasangan lesbian yang telah berkeluarga lengkap dengan kehadiran anak-anak.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pembuat film dalam melakukan naturalisasi pasangan lesbian dalam konteks sosial keluarga dan mengungkap nilai-nilai dalam kultur dominan (heteronormatif) yang tidak bisa dilepaskan oleh film ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika model Roland Barthes melalui tahapan analisis sintagmatik dan paradigmatik dengan menggunakan lima kode pokok pembacaan teks. Strategi film dalam melakukan naturalisasi dengan menunjukkan bahwa pasangan homoseksual (lesbian) bisa memiliki anak sendiri, anak-anak yang diasuh oleh pasangan lesbian bisa berprestasi dan mempunyai tumbuh kembang yang baik, ikatan emosional anak-anak dengan orang tua maupun antar individu lesbian ketika sedang berkonflik (ditunjukkan melalui ekspresi menangis, marah, dan kecewa), adegan-adegan romantic relationship pasangan lesbian (berciuman, berpelukan, bergandengan tangan, dan bercinta), adanya transformasi nilai-nilai sosial dari orang tua ke anak-anak, dan orientasi seksual orang tuanya tidak mempengaruhi orientasi seksual anak-anaknya (walaupun masih menunjukkan adanya melancholic heterosexuality). Kecenderungan heteronormativitas terletak pada konstruksi praktek sosial dan kategori gender yang sifatnya tidak hanya dikotomis tetapi juga hirarkis melalui hadirnya simbol butch (dominasi maskulin)dan femme (peran domestik feminin). Film ini juga menunjukkan resistensi terhadap heteronormativitas dengan menampilkan kategori gender dan seksualitas yang cair. Performativitas gender disini adalah sesuatu yang kompleks karena bukan hanya sekadar imitasi bagaimana gender yang seharusnya ditampilkan oleh tokoh-tokoh dalam film, tetapi bukan usaha untuk menghindari pengulangan terhadap model heteronormativitas tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya.Kata kunci : gender, seksualitas, film
Konstruksi Relasi Komunikasi Keluarga dalam Film I Not Stupid Too Chykla Azalika; Hapsari Dwiningtyas; Wiwid Noor Rakhmad; Agus Naryoso
Interaksi Online Vol 2, No 4: Oktober 2014
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.575 KB)

Abstract

Keluarga adalah sebuah lembaga yang masih memiliki nilai sakral di dalam masyarakat. Penggambaran keluarga dalam perfilman Timur sering menjadikan konflik keluarga menjadi fokus utama dalam cerita. Hal ini dapat dilihat dari salah satu film yang berjudul I Not Stupid Too, sebagai contoh film produksi Singapura yang menceritakan mengenai hubungan komunikasi keluarga yaitu antara orang tua dan anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap gagasan mengenai normalitas keluarga melalui pesan teks yang ditampilkan dalam film I Not Stupid Too, serta penjabaran bagaimana konstruksi relasi komunikasi keluarga dikonstruksi dan dikomunikasikan kepada publik. Ahli studi keluarga seperti Brock dan Barnard (1999) dan Walsh (1982) melihat keberfungsian keluarga sebagai sistem keluarga yang sehat yang bisa dilihat dari struktur dan proses interaksi dalam keluarga. Keluarga memainkan peranan penting dalam membangun kesejahteraan, pengasuhan, dan pendidikan dasar kepada anggota-anggota keluarga. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa film I Not Stupid Too yang menggambarkan sebuah disfungsi keluarga sebagai fokus utamanya dan telah menjadi salah satu contoh yang jelas tentang pergeseran media dalam menggambarkan sebuah relasi komunikasi keluarga.Menggambarkan sebuah keluarga dalam film I Not Stupid Too berarti memproduksi tanda-tanda yang ada dalam film I Not Stupid Too yang berhubungan dengan keluarga, di mana tanda-tanda tersebut meliputi story yang menjelaskan mengenai peristiwa dalam film I Not Stupid Too. Peristiwa dalam sebuah cerita merupakan suatu kesatuan yang membentuk plot sebagai pengaturan kejadian-kejadian yang terjadi. Hingga tanda yang berhubungan dengan ekspresi wacana atau discourse dalam film I Not Stupid Too. Film I Not Stupid Too memperlihatkan keluarga yang memiliki disfungsi di dalamnya yang mencakup ketidak harmonisan, acuh tak acuh antar anggota keluarga hingga tidak ada rasa saling memiliki satu sama lain. Pada intinya film I Not Stupid Too menggambarkan keluarga yang masih terbelenggu dengan normalitas keluarga yang ada, terbukti dalam film tersebut menggambarkan yang menjadi panutan dalam masyarakat adalah orang tua. Disfungsi keluarga dalam film ini ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan kewajiban dan peran mereka. Unsur-unsur seperti sudut pandang, narator, dan karakter yang terdapat dalam film I Not Stupid Too memperlihatkan bahwa pola asuh yang diterapkan oleh kedua keluarga berakibat pada buruknya perkembangan anak.Kata Kunci: Film, Konstruksi, Analisis Naratif
Pemaknaan Khalayak Terhadap Ruang Privat Pada Tayangan Suka Suka Uya Oki Riski Karlisna; Hedi Pudjo Santosa; Hapsari Dwiningtyas; Lintang Ratri Rahmiaji
Interaksi Online Vol 3, No 1: Januari 2015
Publisher : Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (78.391 KB)

Abstract

Tayangan Suka Suka Uya merupakan sebuah variety show yang ingin memberikan alternatif hiburan bagi pemirsanya dengan menghadirkan bintang tamu public figure untuk direlaksasi, menceritakan apapun tentang kehidupan pribadinya sehingga batas antara ruang privat dan ruang publik di media seolah menjadi kabur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis resepsi Stuart Hall yang bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis keberagaman interpretasi khalayak tentang ruang privat public figure yang dikemas dan ditampilkan dalam tayangan Suka Suka Uya serta bagaimana khalayak mendeskripsikan ruang privat di media, khususnya televisi. Hasil penelitian menunjukkan ada tiga tipe pemaknaan mengenai interpretasi khalayak terhadap ruang privat public figure yang dikemas dan ditampilkan dalam tayangan Suka Suka Uya. Dominant – hegemonic reading adalah posisi dimana khalayak menyetujui makna dominan (preferred reading) bahwa batas antara ruang privat dan publik kabur, melebur jadi satu, dan dianggap sebagai sebuah hal yang wajar bagi seorang public figure karena adanya voyeurism dan penerimaan informasi privat oleh khalayak sebagai hiburan. Negotiated reading dimana khalayak menyetujui makna dominan dari teks media dengan pertimbangan terdapat perbedaan batasan antara public figure dan orang biasa mengenai ruang privat. Khalayak menegosiasikan hal tersebut karena batasan ruang privat public figuredianggap berbeda dan lebih luas sebagai konsekuensi dari profesinya serta selera informan pada bintang tamu yang hadir. Terakhir, opositional reading adalah posisi dimana khalayak secara tegas menolak makna dominan yang ditawarkan oleh teks media karena mereka menganggap bahwa batasan ruang privat dan publik tetap ada dan masing – masing orang termasuk public figure. Ruang privat dideskripsikan sebagai aib yang tabu dibicarakan di ruang publik. Selain itu, perbedaan pemaknaan terhadap ruang privat juga muncul karena perbedaan gender informan, laki – laki dan perempuan. Informan perempuan cenderung lebih menerima terbukanya ruang privat dibandingkan informan laki – laki. Keywords : resepsi, ruang privat, public figure, khalayak