Hariyatno Dwiprabowo
Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

KAJIAN PADUSERASI TATA RUANG DAERAH (TRD) DENGAN TATA GUNA HUTAN (TGH) Syahadat, Epi; Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kajian paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan adalah suatu kajian terhadap aturan main dalam pelaksanaan paduserasi rencana tata ruang daerah dengan tata guna hutan, dasar hukum, serta upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan struktur ruang daerah sesuai dengan rencana pembangunan/pengembangan daerah. Kajian paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan berorientasi terhadap aspek-aspek utama dan pendukung yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan dari pelaksanaan paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan. Oleh karenanya analisis paduserasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan sangat diperlukan. Tujuan umum dari kajian ini adalah mengkaji sejauhmana kebijakan tata ruang yang ada dapat diimplementasikan dalam proses pelaksanaan paduserasi usulan revisi tata ruang daerah dengan tata guna hutan dan secara khusus mengkaji : a) kebijakan perubahan kawasan hutan; b) mengidentifikasi tata cara dan persyaratan perubahan kawasan hutan. Sasaran dari kajian ini adalah : (a) terindentifikasinya persepsi stakeholder terkait paduserasi antara TRD dengan TGH. (b) teridentifikasinya kekuatan dan kelemahan tatacara dan persyaratan perubahan kawasan hutan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan paduserasi dan rekomendasi yang diberikan oleh tim terpadu telah sesuai dengan usulan permohonan perubahan peruntukan maupun perubahan fungsi kawasan yang diusulkan oleh daerah setempat. Penyederhanaan persyaratan dalam permohonan paduserasi dan adanya kejelasan batas waktu dalam penyelesaiannya merupakan sesuatu yang sangat penting agar tercipta kepercayaan masyarakat terhadap produk kebijakan yang dibuat.
KAJIAN KEBIJAKAN KAYU BAKAR SEBAGAI SUMBER ENERGI DI PEDESAAN PULAU JAWA Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kayu bakar merupakan sumber energi penting untuk memasak baik untuk rumah tangga maupun industri rumah tangga di wilayah pedesaan. Hasil studi RWEDP menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara tidak menurunkan konsumsi kayu bakar penduduk bahkan cenderung meningkatkan. Meskipun kebijakan konversi gas telah menyentuh wilayah pedesaan namun kenyataan menunjukkan penggunaan kayu bakar tetap tinggi. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui penggunaan kayu bakar dan bahan bakar alternatif serta sumber kayu bakar di wilayah pedesaan di tiga kabupaten di P. Jawa serta kebijakan yang terkait dengan kayu bakar. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengguna kayu bakar di tingkat rumah tangga di desadesa sampel di Kabupaten Banjarnegara, Sukabumi dan Lebak masih cukup tinggi. Di ketiga kabupaten tersebut, jumlah desa yang sebagian besar rumah tangganya menggunakan kayu bakar berturut-turut 90%, 70%, dan 50%. Meskipun sebagian rumah tangga telah menggunakan gas, namun pada saat yang bersamaan kayu bakar tetap dipergunakan. Sumber kayu bakar penduduk adalah kebun sendiri, kawasan hutan, perkebunan, dan limbah industri kayu yang tersebar di wilayah pedesaan. Kebijakan atau program pemerintah pusat maupun daerah yang terkait kayu bakar cenderung lemah sedangkan kebijakan kayu bakar Perum Perhutani cenderung tetap seperti tercermin pada rencana produksinya. Kebijakan kayu bakar perlu didekati dari sisi pasokan maupun konsumsi.
KOMPONEN DAN BOBOT DARI KRITERIA DAN INDIKATOR TATA KELOLA PERUSAHAAN KEHUTANAN Dwiprabowo, Hariyatno; Suwarno, Eno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Otoritas kehutanan telah mewajibkan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari (SFM) bagi perusahaan HPH atau IUPHHK dalam pengelolaan hutan, namun prinsip SFM hanya bagian dari prisipprinsip tata kelola kelola perusahaan (GCG) yang baik. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria dan indikator GCG bidang kehutanan serta bobot dan rangkingnya. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan melakukan wawancara mendalam dan analisis isi peraturan CG. Penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Timur dan Papua dengan responden dari perusahaan kehutanan, asosiasi dan aparat kehutanan di kedua provinsi. Hasil studi menunjukkan bahwa dari sudut pandang perusahaan, bobot Nilai-nilai perusahaan menduduki bobot tertinggi (37%), disusul dengan Prinsip-prinsip GCG(35%) dan Kelengkapan organ GCG(28%). Urutan yang sama diberikan oleh aparat kehutanan daerah dengan persentase bobot yang berbeda (36%, 34%, dan 30%). Demikian juga untuk pilar GCG, responden perusahaan pada dasarnya memiliki persepsi sama dengan aparat kehutanan dalam hal peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dimana peran pemerintah memiliki bobot tertinggi (39%; 36%), diikuti dengan dunia usaha (38%; 33%) dan masyarakat (23%; 31%). Kriteria dan indikator untuk tata kelola perusahaan kehutanan sebaiknya mengadopsi kriteria dan indikator tata kelola perusahaan yang sudah ada di tingkat nasional, namun dengan mempertimbangkan pandangan dari perusahaan dan instansi kehutanan atas bobot dan peringkat unsur-unsurnya.
KEBIJAKAN PENURUNAN BEA MASUK IMPOR KAYU LAPIS KE INDONESIA Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bea masuk impor kayu lapis di Indonesia ditetapkan 10% untuk beberapa tahun terakhir ini sedangkan panel kayu lainnya seperti papan partikel, oriented strand board dan medium density fiberboard hanya 5%. Telah lama Indonesia merupakan negara pengekspor kayu lapis utama khususnya kayu lapis hardwood namun kurang memperhatikan pasar domestik sebagaimana ditunjukkan oleh angka produksi dan ekspornya, namun dalam beberapa tahun terakhir produksi merosot cukup tajam karena kekurangan bahan baku. Saat ini tingkat pemanfaatan kapasitas industri kayu lapis nasional hanya 20% atau setara dengan produksi 2 (dua) juta m per tahun. Dengan tingkat produksi tersebut diperlukan impor kayu lapis yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Sejalan dengan liberalisasi perdagangan yang semakin menguat, tekanan-tekanan semakin besar terhadap Indonesia untuk menurunkan bea masuk impor saat ini. Jika Indonesia akan meningkatkan volume impor kayu lapis maka sangat logis untuk menurunkan bea masuknya. Makalah ini membahas faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan bagi pilihan kebijakan untuk penentuan bea masuk impor. Memperoleh bea masuk yang optimum merupakan tugas yang sulit baik dari sisi kerangka teori maupun ketersediaan data sehingga makalah ini mencari solusi dengan pendekatan argumentasi kualitatif untuk memperoleh tingkat bea masuk yang dapat diterima.
ANALISIS DAYA SAING EKSPOR PANEL-PANEL KAYU INDONESIA DAN MALAYSIA Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia bersama Malaysia merupakan pengekspor utama pasar dunia untuk kayu lapis keras tropik (tropical hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Ekspor kedua negara memiliki pangsa terbesar (dominant players) di dunia untuk jenis kayu lapis tersebut, secara total jika diperhitungkan jenis kayu lapis kayu lunak (softwood plywood), pangsa kedua negara pada tahun 2000 adalah 47 %. Oleh karena itu untuk komoditas kayu lapis tropik, Indonesia dan Malaysia merupakan pesaing (competitor ) untuk segmen pasar tersebut. Selama bertahun-tahun hingga tahun 2003, industri kayu lapis Indonesia mendominasi pasar dunia kayu lapis tropik, namun sejak tahun 2004 Malaysia mengungguli volume ekspor kayu lapis Indonesia. Berbeda dengan kayu lapis, perkembangan ekspor panel kayu non kayu lapis Indonesia kurang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan angka ekspor berfluktuasi dan mengalami stagnasi. Sebaliknya Malaysia menunjukkan perkembangan ekspor panel kayu non kayu lapis yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Industri kayu lapis Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya namun merosotnya pasokan bahan baku menyebabkan pangsa pasar ekspornya menurun secara tajam. Sebaliknya industri kayu lapis Malaysia dan China disamping memiliki keunggulan komparatif juga berhasil meningkatkan pangsa pasarnya.
KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA DASAR PENJUALAN KAYU HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM RANGKA PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT Irawanti, Setiasih; Maryani, Retno; Effendi, Rahman; Hakim, Ismatul; Dwiprabowo, Hariyatno
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Harga dasar penjualan kayu hutan tanaman rakyat (HTR) perlu ditetapkan oleh menteri kehutanan untuk melindungi hak petani kayu HTR. Penetapan harga dasar tersebut perlu dikaji melalui penelusuran praktek penjualan kayu HTR yang dilakukan di lapangan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan penetapan harga dasar penjualan kayu HTR dengan mengambil lokasi penelitian di Jambi dan Riau. Dengan menerapkan metode Policy Analysis Matrix (PAM), penetapan harga dasar didekati dengan menghitung harga pasar, harga tunggak atau tegakan dan harga sosial atau paritas. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis kayu, peruntukan kayu serta daur tanaman mempengaruhi harga dasar penjualan kayu. Sedangkan harga penjualan, jumlah produksi dan jarak lahan tanam ke pabrik serta faktor produksi mempengaruhi penghasilan petani. Di Jambi, selain jenis kayu acacia mangium petani HTR juga menjual kayu karet. Sedangkan di Riau, petani HTR hanya menjual kayu acacia mangium. Harga kayu di kedua lokasi kajian berbeda, dimana harga di Jambi lebih tinggi dari pada harga di Riau. Kayu karet rakyat di Jambi dijual di tingkat petani dengan harga Rp 220.000 s/d Rp 250.000 per m3 , sedangkan di Riau Rp 132.000 s/d Rp 148.000/ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Jambi sekitar Rp 208.073,84 s/d 226.471,10 per ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Riau sekitar Rp 106.218,76 s/d Rp 118.580,91 per ton. Harga sosial di Jambi 245.000 s/d 270.000, sedangkan di Riau 150.500 per m3 . Tampak bahwa harga pasar/aktual berbeda dari harga sosial/efisiensi, artinya ada divergensi. Hal ini diakibatkan oleh adanya kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Pasar dikatakan gagal bila tidak mampu menciptakan harga kompetitif yang mencerminkan social opportunity cost atau alokasi sumberdaya/produk yang efisien. Penyebab kegagalan pasar adalah (1) monopoli atau monopsoni, (2) negative externalities atau positive externalities, (3) pasar faktor domestik yang tidak sempurna.
KONTRIBUSI KAWASAN HUTAN DALAM MENUNJANG KETAHANAN PANGAN: STUDI KASUS PROPINSI JAWA BARAT Dwiprabowo, Hariyatno; Effendi, Rachman; Hakim, Ismatul; Bangsawan, Indah
ISSN 0216-0897
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari kecukupan persediaan, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau. Mengingat esensialnya masalah ketahanan pangan, pemerintah telah menetapkan bahwa ketahanan pangan sebagai urusan wajib dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomer 38 Tahun 2007. Kawasan hutan secara tradisionil diketahui sebagai penghasil hasil hutan bukan kayu termasuk bahan pangan bagi masyarakat sekitar hutan. Perum Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa telah menerapkan kebijakan strategis berupa Pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak beberapa tahun yang lalu yang membolehkan masyarakat untuk menanam palawija maupun tanaman tahunan di antara pohon yang ditanam. Dalam pola tersebut masyarakat diperbolehkan menanam palawija di antara tanaman kayu dan mendapat seluruh bagian dari hasil tersebut. Kajian ini dilakukan untuk melihat sejauhmana kawasan hutan memberikan kontribusinya pada ketahanan pangan. Kontribusi tersebut dilihat dari pangsa (share) volume produksi komoditas pangan (padi, jagung, dan kacang- kacangan) terhadap total produksi wilayah. Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Barat dengan sampel lapangan di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sukabumi. Pengumpulan data dan wawancara dilakukan pada Perum Perum Perhutani, Dinas Tanaman Pangan dan instansi lainnya untuk memperoleh data dan mengetahui kebijakan masing-masing instansi terkait dengan ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi pangan dari kawasan hutan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun, secara total kontribusi produksi komoditas pangan (padi, jagung, kacang-kacangan) dari kawasan hutan menyumbang kurang dari satu persen dari total produksi Provinsi Jawa Barat. Peluang meningkatnya kontribusi tersebut masih terbuka dengan berbagai kebijakan strategis dan teknis. Kebijkan teknis berupa meningkatkan jarak tanam dan introduksi varietas unggul. Kerjasama jangka panjang antara Dinas Kehutanan, Perum Perum Perhutani, Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan Daerah perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan tersebut.
DISCOURSE ANALYSIS OF DECENTRALIZATION POLICY MAKING PROCESS OF PROTECTED FOREST MANAGEMENT Ekawati, Sulistya; Kartodihardjo, Hariadi; Nurrochmat, Dodik Ridho; -, Hardjanto; Dwiprabowo, Hariyatno
Indonesian Journal of Forestry Research Vol 10, No 2 (2013): Journal of Forestry Research
Publisher : Secretariat of Forestry Research and Development Agency

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

”Decentralization of protected forest management from central to district government has not yet been implemented effectively. This effectiveness depends on many factors that include policy contents and political process or discourse in the policy making process. This study aimsto: 1) analyze the discourse in policy making process of decentralization in the management of protected forests, 2) analyze the actors/networks and their interests and 3) find out policy space for future policy reform. Both quantitative and qualitative approaches were used in the study. The results show that there are three discourses in the policy-making process of decentralized management of protected forests, namely: i) democratic discourse (with story line of externality and accountability, supported by an association forum of Indonesian district government and  decentralization experts); ii) economic discourse (with story line of efficiency, supported by businessmen, Association of Indonesian Provincial Government and World Bank); and iii) democratic and economic discourses. The House of Representatives (DPR) and Ministry of Home Affairs have authorities and capacities to integrate two discourses. Redefining of externality and interdependency can be used as narratives of new policies to improve the policy of decentralized protected forest management.
DISCOURSE ANALYSIS OF DECENTRALIZATION POLICY MAKING PROCESS OF PROTECTED FOREST MANAGEMENT Ekawati, Sulistya; Kartodihardjo, Hariadi; Nurrochmat, Dodik Ridho; -, Hardjanto; Dwiprabowo, Hariyatno
Indonesian Journal of Forestry Research Vol 10, No 2 (2013): Journal of Forestry Research
Publisher : Secretariat of Forestry Research and Development Agency

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/ijfr.2013.10.2.79-88

Abstract

”Decentralization of protected forest management from central to district government has not yet been implemented effectively. This effectiveness depends on many factors that include policy contents and political process or discourse in the policy making process. This study aimsto: 1) analyze the discourse in policy making process of decentralization in the management of protected forests, 2) analyze the actors/networks and their interests and 3) find out policy space for future policy reform. Both quantitative and qualitative approaches were used in the study. The results show that there are three discourses in the policy-making process of decentralized management of protected forests, namely: i) democratic discourse (with story line of externality and accountability, supported by an association forum of Indonesian district government and  decentralization experts); ii) economic discourse (with story line of efficiency, supported by businessmen, Association of Indonesian Provincial Government and World Bank); and iii) democratic and economic discourses. The House of Representatives (DPR) and Ministry of Home Affairs have authorities and capacities to integrate two discourses. Redefining of externality and interdependency can be used as narratives of new policies to improve the policy of decentralized protected forest management.