Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Perspektif

PERTANGGUNGJAWABAN AVERAGE ADJUSTER TERHADAP KERUGIAN AKIBAT GENERAL AVERAGE PADA PERUSAHAAN ASURANSI Angel Rezky Pratama Tanda; Zachry Vandawati Chumaida; Agus Widyantoro
Perspektif Vol. 28 No. 1 (2023): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i1.844

Abstract

Manusia hanya akan menerima, menghindari, maupun mencegah risiko yang kemungkinan akan terjadi. Hal ini menghasilkan sebuah pengalihan risiko yang dilakukan dengan cara menggunakan asuransi laut. General average merupakan sebuah kerugian yang disepakati oleh para pihak untuk ditanggung bersama dan pertanggungjawaban tersebut akan dipikul bersama antara para pihak. Average Adjuster merupakan penilai kerugian asuransi yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi dalam menangani klaim peristiwa general average. Hasil laporan dari Average Adjuster menjadi dasar perusahaan asuransi dalam melakukan klaim yang diajukan oleh tertanggung sehingga mereka memiliki tanggung jawab atas hasil report yang diberikan. Penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan, bahwa jika Average Adjuster melakukan kesalahan dalam hasil report tersebut maka salah satu pihak dapat mengajukan survei ulang pada perusahaan asuransi ataupun mengajukan pengembalian atau penambahan nilai klaim asuransi sehingga dikeluarkan sebuah LoD sebagai parameter uji batas atas instrumen yang diberikan. Oleh sebab itu, penelitian ini menyarankan perlunya lembaga baru yang berfungsi mengawasi atau mengaudit dengan tujuan pengecekan ulang validitas hasil report Average Adjuster sehingga memperkuat fungsi pengecekan ganda sebelum perusahaan asuransi memberikan keputusan final terhadap klaim tertanggung.Humans will only accept, avoid, or prevent risks that are likely to occur. This results in a transfer of risk that is carried out by using marine insurance. The general average is a loss agreed by the parties to be shared and the responsibility will be shared between the parties. The Average Adjuster is an insurance loss assessor appointed by the insurance company to handle claims for general average events. Report results from the Average Adjuster become the basis for insurance companies in making claims submitted by the insured so that they have responsibility for the results of the report provided. Normative legal research using the statutory approach method, that if the Average Adjuster makes a mistake in the results of the report, one party can submit a re-survey to the insurance company or submit a return or increase in the value of the insurance claim so that an LoD is issued as a parameter of the upper limit test of the instrument used. given. Therefore, this study suggests the need for a new institution whose function is to supervise or audit with the aim of re-checking the validity of the results of the Average Adjuster hassle so as to strengthen the double checking function before the insurance company makes a final decision on the insured’s claim.
KEDUDUKAN AKTA NOTARIS YANG PENGHADAPNYA MEMILIKI HUBUNGAN KELUARGA DENGAN NOTARIS Nadya Nur Ivany; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zachry Vandawati Chumaida
Perspektif Vol. 28 No. 2 (2023): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i2.853

Abstract

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, yang membahas mengenai kewenangan notaris membuat akta untuk keluarga. Sebagai aturan umum, notaris tidak dapat membuat akta untuk keluarganya, kecuali dalam kondisi hukum tertentu.Namun kondisi tersebut tidak sepenuhnya dijelaskan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Hal ini menimbulkan multitafsir dalam memaknai peraturan tersebut, menghambat terwujudnya kepastian hukum, dan tidak memberikan perlindungan kepada pemilik dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan notaris yang diperbolehkan membuat akta untuk keluarganya dibatasi oleh nuansa umum dalam kondisi tersebut. Selain dalam kondisi itu,notaris dapat dikatakan berpihak karena ia membuat akta untuk kepentingan keluarganya. Apabila notaris melanggar aturan dalam membuat akta untuk keluarganya, maka status otentik dapat turun menjadi akta bawah tangan, selama pihak yang merasa dirugikan dengan keberadaan akta tersebut dapat membuktikannya. This is a juridical normative study, which aims to explain the authority of notary in making deeds for their own family. As a general rule, notary cannot make deeds for their own family, except under certain legal conditions. However, this condition is not fully explained in the provisions of Law Number 30 of 2004 concerning the Notary Position. This creates multiple interpretations in interpreting these regulations, hinders the establishment of legal certainty, and does not provide protection to document owners. The results of the study show that the provisions for notary being allowed to make deeds for their family are limited by the general nuances of these conditions. Apart from that, the notary can be said to take sides because they made the deeds for the benefit of their family. If the notary violates the rules in making deed for their family, then the authentic status of the deed can be reduced to a private deed, as long as the party who feels aggrieved by the existence of the deed can prove it.
KEPASTIAN HUKUM TANGGUNG GUGAT DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA MAKLON PADA INDUSTRI KECANTIKAN OLEH PERUSAHAAN MAKLON Alya Tsabita; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zachry Vandawati Chumaida
Perspektif Vol. 28 No. 2 (2023): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i2.858

Abstract

Banyak klinik kecantikan/pelaku usaha untuk membuat suatu produk kecantikannya menggunakan jasa maklon ke pabrik-pabrik yang bertujuan untuk memenuhi tingginya minat dari konsumen akan produk kecantikan. Konsumen disini dapat diartikan sebagai pembeli. Permasalahan yang akan diangkat disini yaitu bagaimana upaya hukum apabila terjadi pelanggaran hukum oleh penyedia jasa maklon. Serta bagaimana bentuk pertanggung gugatan atas pelanggaran, sehingga dapat merugikan kosumen dalam perjanjian-perjanjian yang mengikatkan diri antara para pihak tidak terpenuhi atau telah terjadi adanya pelanggaran-pelanggaran yang dapat merugikan konsumen atau pihak lainnya dalam proses tersebut, bentuk perlindungan hukum yang didapatkan konsumen yang merasa dirugikan serta bagaimana tanggung gugat yang dilakukan pelaku usaha atas produk yang dihasilkan maupun dijualnya. Many beauty clinics/business actors to make a beauty product use tolling services to factories that aim to meet the high interest of consumers in beauty products. Consumers here can be interpreted as buyers. The issue that will be raised here is how to take legal action in the event of a violation of the law by business actors or toll service providers. As well as what forms of accountability for violations committed by related parties so that they can harm consumers in binding agreements between the parties are not fulfilled or there have been violations that can harm consumers, or other parties involved in the process mentioned, how legal protection is obtained by consumers who are harmed and how the accountability is carried out by business actors for the products they produce or sell.
URGENSI SERTIFIKASI HALAL BAGI USAHA MINUMAN OLAHAN KOPI Dinda Bhawika Wimala Pastika; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zahry Vandawati Chumaida
Perspektif Vol. 28 No. 3 (2023): Edisi September (Article in Progress)
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i3.857

Abstract

Kopi merupakan produk minuman dari biji kopi yang telah digiling lalu kemudian diseduh menggunakan banyak metode dan merupakan salah satu minuman paling populer yang dikonsumsi hampir semua kalangan. Pada era ini produk olahan kopi yang ditawarkan sangat beragam dari kopi murni hingga kopi sachet dengan aneka rasa. Selain itu, Konsumen produk kopi dengan sangat mudah bias mendapatkan dan mengonsumsi kopi yang diinginkan. Dengan hal ini dimana Indonesia ialah negara dengan penduduk yang kebanyakan seorang muslim, maka Jaminan Produk Halal untuk produk olahan kopi sangat dibutuhkan bagi konsumen maupun pelaku usaha. Negara di tahun 2014 sudah mengundangkan UU No. 33 Tahun 2014 perihal Jaminan Produk Halal (JPH) yang bertujuan untuk melindungi hak konsumen muslim. Upaya pelaksanaan JPH (Jaminan Produk Halal) ditandai dengan label halal dan sertifikat yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang bernaung di Kementerian Agama namun pelaksanaan sertifikasi dan labelisasi halal dinilai masih sangat kurang dilihat dari mayoritas pengusaha yang tidak mendata produknya untuk mendapatkan label halal dan sertifikat terutama pengusaha dengan skala bisnis mikro kecil menengah. Coffee is a beverage product from coffee beans that have been ground and then brewed using many methods. Coffee is one of the most popular drinks consumed by almost everyone. The coffee industry has grown a lot compared to ten years ago. Nowadays, the processed coffee products offered are very diverse, from pure coffee to sachet coffee with various flavors. Consumers of coffee products can very easily get and consume the coffee they want. Considering that Indonesia is a country with a population that is mostly Muslim, the Halal Product Guarantee for processed coffee products is very much needed by consumers and businesses. The state in 2014 has enacted Law No.33/2014 regarding JPH (Halal Product Guarantee). The law aims to protect the rights of Muslim consumers from the distribution of processed food and medicinal drinks which are consumed in Indonesia. Halal Product Guarantee is a regulation that is mandatory (mandatory) implemented by all business actors who trade their products in Indonesia, including products originating from abroad. Efforts to implement JPH (Halal Product Assurance) are marked by a halal label and a certificate issued by the Halal Product Assurance Organizing Body under the auspices of the Ministry of Religion but the implementation of halal certification and labeling is considered to be still lacking, seen from the majority of entrepreneurs who do not record their products to obtain halal labels and certificates, especially entrepreneurs with micro, small and medium scale businesses.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KERUGIAN KONSUMEN AKIBAT KERUSAKAN PRODUK Nadila Manda Sari; Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Zachry Vandawati Chumaida
Perspektif Vol. 28 No. 3 (2023): Edisi September (Article in Progress)
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v28i3.870

Abstract

Melaju pada pembaruan zaman pada era ekonomi digital tidak hanya membantu pasar sektor pemasaran dan penjualan, namun era ekonomi digital juga berperan dalam kegiatan memberikan pendapat, kritik dan saran terhadap suatu produk dan atau jasa yang ditujukan pada pelaku usaha yang diberikan oleh konsumen. Kegiatan demikian merupakan kegiatan mengulas atau lebih dikenal dengan review, yang berartikan meninjau produk dan atau jasa yang disalurkan berupa tulisan, foto, video dari pengguna produk atau jasa. Kegiatan review yang dilakukan merupakan sebuah hak yang mutlak dimiliki oleh konsumen, dan menjadi tanggung jawab pelaku usaha dalam menanggapi review tersebut. Tanggung jawab yang melekat pada pelaku usaha ketika pelaku usaha diharuskan untuk menanggung suatu keadaan apabila dapat dituntut, diperkarakan, dipersalahkan atau menuai sengketa pada pihak lain. Tanggung jawab pelaku usaha masuk dalam unsur kewajiban yang mengikat kegiatan jual beli yang disebut dengan product liability bahwa tanggung jawab termasuk dalam kewajiban pelaku usaha secara menyeluruh. Moving forward with modern updates in the digital economy era not only helps the marketing and sales sector, but the digital economy era also plays a role in providing opinions, criticism and suggestions for products and/or services aimed at business actors provided by consumers. Such activities are review activities or better known as reviews, which means reviewing products and/or services distributed in the form of writing, photos, videos from users of the product or service. The review activity carried out is a right that is absolutely owned by consumers, and is the responsibility of business actors in responding to the review. The responsibility attached to the business actor is when the business actor is required to bear a situation that can be sued, sued, blamed or results in a dispute with another party. The responsibility of business actors is included in the element of obligation that binds buying and selling activities, which is called product liability. This responsibility is included in the obligations of business actors as a whole.