Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search
Journal : Syiah Kuala Law Journal

PPAT'S Legal Responsibility For The Creation Of Empty Deed Wirantia Wirantia; Darmawan Darmawan; Suhaimi Suhaimi
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 3: Desember 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4073.402 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i3.19087

Abstract

Article 53 of the Regulation of the Head of the National Land Agency Number 1 Year 1960, which states that the PPAT deed is made by filling in the complete available deed blanks in accordance with the instructions for filling it. In practice carried out by a small number of PPAT there is a deed that has been prepared in advance, and has had some contents emptied containing agreements or general and standard agreements, which the purpose of which is to facilitate the work of PPAT in terms of administration and in terms of providing services by PPAT to interested parties or faces. The results showed that, Responsibility for authentic deed which is partially subtansinya empty, because PPAT is a public official who is given the authority to make authentic deed and PPAT has rules that must be obeyed by all PPAT in Indonesia regulated in Government Regulation No. 24, 2016 and the IPPAT Code of Ethics, and the position of PPAT deed which is partially subtansinya vacant in the event of degradation of PPAT deed even though the PPAT deed is a perfect evidence tool, but in the ppat certificate can experience degradation of the deed that can not be enforced as an authentic deed, but is considered a deed / handwriting under the hands caused by violation of the provisions of Article 1869 KUHPerdata.
Pengawasan dan Pembinaan Majelis Pengawas Daerah Terhadap Notaris Yang Melakukan Pelanggaran Irma Mulia Fitri; Ilyas Ismail; Suhaimi Suhaimi
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.715 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12323

Abstract

Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dalam melaksanakan pengawasan, menteri membentuk Majelis Pengawas, Majelis Pengawas berjumlah 9 (Sembilan) orang terdiri  atas unsur pemerintah sebanyak 3 (Tiga) orang, Organisasi Notaris sebanyak 3 (Tiga) orang dan ahli atau akedemisi sebanyak 3 (Tiga) orang. Pengawas terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan  jabatan notaris yang diatur dalam  pasal 67  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris. Berdasarkan aturan pasal 70 (a) Tentang  Majelis Pengawasan Daerah (MPD) berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris. Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Yuridis Empris.Supervision towards notaries is conducted by a Minister by foundingsupervisory council which consists of 9 members; 3 are from the government agency; 3 are from the notary agency;and 3 other are from experts or academics. The supervision includes the notaries’ attitude and how the notaries conduct their duties which are regulated in Article 67 of Law No.30 of 2004 and Law No.2 of 2014 about notary position. Based on the regulation in article 70 (a) about Regional Supervisory Council mentions that this council is authorized to hold a meeting to investigate if there are any suspicions about codes of ethics violations or the violation towards notary duties. The type of this study is a Juridical Empirical.
Penertiban Terhadap Hak Milik Atas Tanah Yang Terindikasi Terlantar Di Kota Banda Aceh Suhaimi Suhaimi; Herawati Herawati; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.779 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12301

Abstract

Pasal 27 huruf a angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, menegaskan bahwa hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada negara karena diterlantarkan. Tanah dikatakaan diterlantarkan, menurut Pasal 6 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, hak milik tersebut diidentifikasi dan diteliti terlebih dahulu. Apabila upaya penertiban yang diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010 tidak dipatuhi oleh pemiliknya, menurut Pasal 9 ayat (2) PP No. 11 Tahun 2010 Kepala BPN atas usul Kepala Kantor Wilayah BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar, sehingga menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Walaupun penelantaran tanah dapat mengakibatkan hapusnya hak atas tanah, akan tetapi dalam kenyataannya di Kota Banda Aceh masih dijumpai adanya hak milik atas tanah yang diterlantarkan (terindikasi terlantar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak milik atas tanah yang terindikasi terlantar di Kota Banda Aceh belum dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar, karena penelantaran tersebut bukan dilakukan dengan sengaja. Penelantaran tanah termasuk hak milik atas tanah dapat mengakibatkan terganggunya keindahan Kota Banda Aceh dan dapat mengganggu warga masyarakat di sekitarnya. Upaya yang ditempuh pihak Kanwil BPN Provinsi Aceh terhadap hak milik atas tanah yang terindikasi terlantar di Kota Banda Aceh sampai saat ini hanya baru sebatas melakukan pemantauan di lapangan, yang dilakukan oleh pihak Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh.Article 27 of the Act Number 5, 1960 on the Fundamental Agrarian Rules states known as the Agrarian Act (later celled as UUPA) that the right of owning the land title right states that the right is void if it is owned by a state one of those is it is abandoned. The land can be deemed as abandoned land, pursuant to Article 6 (1) of the Government Regulation Number 11, 2010 regarding the Enforcement and Empowerment of Abandoned Land,the Right is identified and investigated in order to determine whether the land can be deemed as abandoned land. If the effort of enforcement base don the mechanism ruled in the Government Regulation Number 11, 2010 is not obeyed by the land owners, hence Article 9 (2) of the Government Regulation Number 11, 2010 the Head of the Land Authority Agency base don the reference of the Head of Regional National Land Authority could determine that the land is deemed as abandoned land and it becomes the land owned directly by a State. Despite the fact that he abandonment of the land causes the void of the right in Banda Aceh can be found the right that is abandoned (indicated abandoned). The research shows that the right, which is indicated abandoned in Banda Aceh, has not been grouped as abandoned land as the abandonment is not done intentionally. The abandonment of the land might be said as the factor causing the insight views of Banda Aceh and it can disturb the society around the land. The efforts done by the National Land Authority of Aceh Province towards the land’s right that is indicated abandoned in Banda Aceh till now is only observation that is done by the National Land Authority office of Banda Aceh.
Pendaftaran Tanah Yang Dikuasai Oleh Tempat-Tempat Ibadah Umat Islam di Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh Della Rafiqa Utari; Suhaimi Suhaimi
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 3: Desember 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2762.045 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i3.18909

Abstract

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), di dalam Pasal 49 dinyatakan bahwa tempat ibadah umat Islam dapat menguasai tanah dengan hak milik, hak pakai dan tanah wakaf. Hak-hak atas tanah tersebut menurut Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan hak-hak atas tanah yang harus didaftarkan. Akan tetapi kenyataannya masih dijumpai tanah-tanah yang dikuasai tempat-tempat ibadah umat Islam yang belum didaftarkan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab tanah yang dikuasai oleh tempat ibadah umat Islam belum didaftarkan, usaha-usaha yang ditempuh dalam mendaftarkan tanah yang dikuasai tempat-tempat ibadah umat Islam. Hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab tanah yang dikuasai tempat-tempat ibadah umat Islam belum didaftarkan, antara lain: tidak adanya dokumen tentang alas hak atau surat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan atas tanah, tidak adanya dana atau biaya untuk mendaftarkan tanah, kurangnya kepedulian keuchik sebagai pemerintah gampong. Usaha yang ditempuh dalam mendaftarkan tanah yang dikuasai oleh tempat-tempat ibadah umat Islam adalah: sosialisasi Instruksi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 1/INS/II/2018 kepada instansi terkait. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya dokumen tentang alas hak atau surat bukti penguasaan dan pemilikan atas tanah, terbatasnya dana yang tersedia, kurangnya peran serta masyarakat termasuk aparatur pemerintah gampong dan sosialisasi yang tidak efektif.
Pertanggungjawaban Hukum Notaris Terhadap Pengingkaran Akta Jual Beli Tanah Bersertipikat Oleh Pihak Yang Dirugikan Muyassar Muyassar; Dahlan Ali; Suhaimi Suhaimi
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 1: April 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.133 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i1.12446

Abstract

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris: “Notaris merupakan Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik.” Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPAT berwenang membuat akta otentik hak atas tanah. Kekuatan pembuktian Akta Notaris/PPAT sempurna, namun kenyataannya dapat digugat keotentikannya dan pihak dirugikan dapat mengajukan Notaris/PPAT ke pengadilan. Tujuan penelitian menjelaskan akibat hukum pengingkaran Akta jual beli tanah bersertipikat bagi Notaris/PPAT, konsekuensi yuridis penggunaan hak ingkar Notaris/PPAT, dan upaya hukum pihak dirugikan. Tipologi yuridis normatif. Pendekatan perundang-undangan, analisis, dan kasus hukum. Sumber bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data kualitatif, diinterpretasikan, kemudian dideskripsikan. Hasil penelitian: pengingkaran pihak dirugikan terhadap akta tersebut tidak langsung berakibat hukum bagi Notaris/PPAT karena keotentikannya tidak serta-merta terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, disebabkan materi pengingkaran harus terbukti. Konsekuensi yuridis penggunaan hak ingkar Notaris/PPAT merugikan pihak tertentu namun melindungi notaris secara etika dan administrasi. Upaya hukum pihak dirugikan berupa non-litigasi (di luar pengadilan) dan litigasi (melalui pengadilan). Saran: terdapat aturan dan sanksi bagi notaris terbukti mengeluarkan akta merugikan pihak tertentu, Kementerian Hukum dan HAM memaksimalkan kinerja pengawas notaris/PPAT, dan Mahkamah Agung mengatur pemeriksaan minuta akta dan catatan keadaan khusus pada akhir akta oleh hakim. Article 1 Law Number 2 of 2014 concerning Notarial Position:“Notary is Public Official who authorized to make authentic deeds.”Government Regulation Number 24 of 2016 concerning Regulation of Land-Title-Registrar (PPAT) Position, PPAT has authority to make authentic deeds of right-to-land.Notarial/PPAT’s deed has perfect evidentiary power,but in reality its authenticity could be sued and injured party could submit Notary/PPAT to court.Study aims to explain judicial consequences of Notary/PPAT for denying sale-and-purchase-deed of certified land,juridical consequences for using Notary/PPAT refusal-rights,and legal remedies by injured party.The typology is normative-juridical.Laws,analytical,and legal case approach.The sources of legal materials were primary,secondary,and tertiary.Data was analyzed qualitatively, interpreted, then described. Study results: denial of the injured party to the deed does not have direct judicial consequences for the Notary/PPAT because its authenticity,and not directly degraded into deed-signed-under-hand,due to denial material should be proven. The juridical consequences of using Notary/PPAT refusal-rights were harm certain parties but could protect the notary ethically and administratively. Legal remedies by the injured party were non-litigation (out-of-court settlement) and litigation (through Court). Recommendations: should be rules and sanctions for notary who has proven issued deed that harm certain parties, Ministry of Law and Human Rights should maximize the Notary/PPAT supervisors performance,Supreme Court should regulate minutes of deed examination and special circumstances record at the end of deed by judge.
Penanggulangan Tindak Pidana Kepemilikan Dan Penggunaan Senjata Api Tanpa Izin Dalam Sistem Peradilan Pidana Evan Munandar; Suhaimi Suhaimi; Muhammad Adli
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 3: Desember 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (511.82 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i3.11763

Abstract

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, menyatakan bahwa “Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Namun pada kenyataannya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jantho masih terjadi tindak pidana penggunaan senjata api tanpa izin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab terjadinya tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa izin, upaya penanggulangan dan hambatan dalam penanggulangan tindak pidana tersebut. Jenis penelitian hukum dan pendekatan yuridis empiris, dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer. Analisis data dengan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab terjadinya tindak pidana kepemilikan dan penggunaan senjata api tanpa izin di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jantho karena tujuan membela diri, alat untuk mencari nafkah, melaksanakan tugas sebagai anggota GAM. Upaya penanggulangan dilakukan secara preventif dan represif. Hambatan yang dihadapi kurangnya pengawasan oleh kepolisian maksimal.On the paragraph 1 article 1 and 2 of the emergency legislation no 12 of 1951, it was mentioned that “whoever, without permission producing, accepting, trying to attain, giving, trying to give, controlling, carrying, having, keeping, taking, hiding, using, or taking out the firearm, ammunition, or dynamite in Indonesia will be punished capital punishment, life imprisonment, or twenty years imprisoned punishment”. However, in the reality, in Jantho Jurisdiction region, there are still many of criminal act related to the unauthorized use of firearms. It was caused of the security factor in the living area and the lack of knowledge factor on unauthorized ownership of the firearms. This research aims to describe and analyze the causal factor of the criminal act on the unauthorized firearms in the jurisdiction region of Jantho and the effort made to overcome the criminal act of unauthorized ownership and use of firearm. This research is a type of law research, empirical juridical research, or sociology law research, with the technique of data collection conducted through library research to attain the secondary research and field research to attain the primary data. The technique of data analysis used in this research is qualitative. This method is used to easily to understand the causes observed and to connect the problem discussed. Based on the research result, it was revealed that the causal factor of the criminal act on the unauthorized gun ownership in the law area of Jantho court  are: self-defense factor, earning money, the responsibility as an Aceh Free Movement member, the preparation to did other criminal act. The effort made to overcome the criminal act of unauthorized gun use by regularly giving the law and police raid. The repressive efforts made are by investigating, sue the perpetrators   of criminal act on unauthorized gun use to the court based on the legislation, and deciding the criminal decision to the perpetrators by the judge.
Upaya Terpadu Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkotika di Lapas Klas II A Banda Aceh dan Rutan Klas II B Sigli Risa Andika Sari; Suhaimi Suhaimi; Muazzin Muazzin
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.489 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10593

Abstract

Pasal 46 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan Kepala Lapas bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban di Lapas yang dipimpinnya. Pasal 4 Angka 7 Permenkumham No 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan menyatakan setiap Narapidana/Tahanan dilarang menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika. Terdapat MoU antara Kemenkumham dan BNN serta Kemenkumham dan Kepolisian tentang pencegahan dan pemberantasan narkotika di Lapas. Namun kenyataannya, peredaran gelap narkotika masih terjadi sebagaimana di Lapas Klas IIA Banda Aceh dan Rutan Klas IIB Sigli. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika di Lapas dan Rutan serta hambatan dalam pelaksanaan upaya terpadu tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Pelaksanaan upaya terpadu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika belum berjalan maksimal dikarenakan tidak adanya hubungan yang sinergis antar instansi terkait. Hambatan yakni kebocoran informasi, keterlibatan oknum petugas Lapas, protap Lapas, keterbatasan anggaran dan sarana prasarana. Disarankan kepada Lapas, Kepolisian dan BNN untuk menindaklanjuti MoU yang ada dengan perjanjian yang memuat substansi dan sanksi yang tegas, sehingga aturan yang ada mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kepada Pemerintah, untuk mengalokasikan anggaran serta pengadaan sarana prasarana yang memadai dan merevisi aturan pasal 17 ayat (5) UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.Article 46 of the Act Number 12, 1995 concerning the Correctional Centre states that the Head of a correctional service center is responsible for security and order in the center, which he is in charge. Article 4 of Point 7 of the Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 6, 2013 on the Correctional Centre and Detention also states that every prisoner or detainee is prohibited from storing, making, carrying, distributing and/or consuming narcotics and/or narcotics precursors and other dangerous drugs. In addition, there is a MoU between the Ministry and BNN and MoU between the Ministry of Law and Human Rights and Police on the prevention and eradication of narcotics in prisons. However, illicit drug trafficking still occur in Class II A Correctional Centre of Banda Aceh and Class II B Sigli. This research aims to know and explain integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center and obstacles faced in integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center. The research shows that integrated prevention and suppression efforts of drug abuses at correction center have not been working maximal, as there is no synergic relationship between related institutions. The obstacles is, namely information leakage, the involvement of officers, criminal procedures, lack of budget and infrastructure. It is recommended that the Centre, the police and the BNN to follow up existing MoUs with agreements containing substance and strict sanctions, so that existing rules have binding legal force. The government should allocate sufficient budget and the provision of adequate infrastructure facilities and revise the Article 17 point  (5) of the Act Number 12, 1995 concerning the Correctional Centre.
Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menata dan Membina Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh Mardiani Mardiani; Suhaimi Suhaimi; Teuku Muttaqin Mansur
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 2: Agustus 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.838 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i2.11631

Abstract

Salah satu wujud kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja adalah penegakan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima. Pemerintah Kota berwenang untuk menata dan membina tempat usaha pedagang kaki lima sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peranan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh dalam menata dan membina pedagang kaki lima dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pengaturan dan pembinaan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh. Metode Penelitian menggunakan pendekatan hukum empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banda Aceh telah berusaha mengatasi permasalahan ketidakteraturan pedagang kaki lima dengan melakukan penataan, penertiban dan pembinaan serta pengawasan terhadap pedagang kaki lima yang masih berjualan di tempat yang sudah dilarang beraktifitas dan memindahkan para pedagang kaki lima ketempat relokasi yang telah ditetapkan. Namun kenyataannya pedagang kaki lima kembali berjualan di bahu jalan dan trotoar, karena pedagang kaki lima beranggapan akan lebih mudah dijangkau oleh pembeli dan mendapatkan keuntungan yang besar. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan perangkat hukum belum tersedia. Sedangkan faktor eksternal meliputi tingkat kesadaran pedagang kaki lima masih kurang dan tingkat koordinasi antar lintas sektoral kurang mendapat dukungan. One of the existences of the Municipal Police authorities is enforcing Qanun Number 3, 2007 on the Regulation and Guiding for Street Vendors. The Government has power to regulate and manage street vendors based on the municipal spatial planning. This research aims to explore the roles of the Municipal Police in making public order and guiding the street vendors, to explain factors influencing the regulation and guidance done by the Municipal Police towards the street vendors in Banda Aceh. The research method used is the empirical legal research. The research shows that the municipal police of Banda Aceh has been striving to overcome the problems of troubles of the vendors by organized, guiding and supervising the vendors who are still trading at the forbidden places for it and moving them to the relocated spaces that has been made. Nevertheless, they are coming back to trade at the forbidden places namely, vendor places as they are assuming that by trading at the places and the vendors it will be easier to sale and to get buyers and get profit bigger. Some obstacles are influencing it, namely; internal factors that human resource capacity, infrastructures and the absence of laws. Meanwhile, the external factors are comprising the level of awareness/the obedience of the vendors themselves which is lack and the inter-sectors coordination that is lack of support.
Pelaksanaan Hak Saksi/Ahli Mendapatkan Penggantian Biaya Rizki Septimaulina; Suhaimi Suhaimi; Mujibussalim Mujibussalim
Syiah Kuala Law Journal Vol 2, No 1: April 2018
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.533 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v2i1.10589

Abstract

Ketentuan Pasal 229 ayat (1) KUHAP menjamin pemenuhan hak penggantian biaya bagi saksi/ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dan memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan. Namun pada praktiknya ketentuan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan, prosedur dan hambatan dalam memberikan penggantian biaya bagi saksi/ahli sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data dikumpulkan, diseleksi, diklasifikasi, dan disusun dalam bentuk naratif dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan penggantian biaya di Polresta Banda Aceh belum sebagaimana mestinya. Prosedur pelaksanaan tidak ada ketentuan khusus. Hambatan pelaksanaan disebabkan karena tidak tersedia anggaran yang memadai dan tidak adanya aturan lebih lanjut tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya terutama bagi saksi dikarenakan aturan tentang standar biaya masukan tentang honorarium bagi saksi sebagai penggantian biaya saat memberikan keterangan belum diatur dalam PMK Nomor 33/PMK.02/2016 tentang standar biaya masukan tahun anggaran 2017. Disarankan kepada pemerintah agar memberikan pemahaman lebih mendalam kepada aparatur penegak hukum agar tidak melakukan diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak saksi dan ahli mendapatkan penggantian biaya. Diperlukan perubahan KUHAP dan peraturan lanjutan tentang letak pos anggaran untuk penggantian biaya.The provisions of Article 229 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code guarantee the fulfillment of the reimbursement rights of the witnesse/experts who have attended the call and provide information at all examination levels. But in practice the provisions are not executed properly. This study aims to examine the implementation, procedures and barriers in providing cost reimbursement for witnesses/experts in accordance with applicable regulations. This research was conducted using empirical juridical and analytical descriptive method. Sources of data used were obtained from literature research and field research. Data are collected, selected, classified, and arranged in narrative form and analyzed qualitatively. The results show that the implementation of reimbursement in The City Resort Police of Banda Aceh is not as it should be. Implementation procedure there is no special provisions. Implementation barriers are caused by insufficient budget and no further rules on where to place budget for reimbursement of costs for witness especially at PMK Number. 36/PMK.02/2016 about maximum cost standart.  It is advisable to the government to provide a deeper understanding to law enforcement apparatuses in order not to discriminate in the context of witness rights fulfillment and experts get reimbursement of costs. Required changes to the Criminal Procedure Code and further regulations on the location of budget items for reimbursement of costs.