Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT SUKU PAKPAK (Studi Penelitian di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara) Wendi Arismunandar Sagala; Jamaluddin J; Manfarisyah M
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 2 (2021): April
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i2.4540

Abstract

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam sistem kewarisan Suku Pakpak dan Untuk mengetahui tindakan anak perempuan Suku Pakpak di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Bharat apabila pembagian harta warisan dilakukan menggunakan hukum waris Adat Pakpak. Pewarisan dalam suku Pakpak menganut sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita. Sistem patrilineal yaitu sistem kewarisan yang menurunkan harta warisan dari pewaris kepada keturunan atau anak laki-lakinya, jadi tidak termasuk isteri dan anak perempuan sebagai ahli waris ketika suami atau ayah/bapak meninggal dunia. Metode Penelitian ini yaitu yuridis empiris atau penelitian lapangan (feild research) dengan pendekatan yuridis sosiologis. Berdasarkan Penelitian ini Jika memakai aturan adat Pakpak maka anak perempuan tidaklah mendapat harta warisan, namun Anak Perempuan Boleh mendapat Harta Warisan tetapi hanya barang bergerak seperti Uang, Ternak, dan Emas saja. Anak perempuan juga berhak mendapatkan benda lain seperti Parang, Tikar, Pakaian Bekas Pewaris. Anak Perempuan dalam Sistem kewarisan adat Pakpak boleh saja mendapatkan harta warisan seperti tanah, rumah, maupun harta lainnya jika adanya kesepakatan antara semua ahli waris. Sampai saat ini belum ada anak perempuan di Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe yang menyengketakan warisan ini kepada tokoh adat. Kata Kunci : Hukum Waris, Adat Pakpak
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA PERBUATAN MELAWAN HUKUM AKIBAT PENGUASAAN TANAH WAKAF sundari s; Jamaluddin J; Hamdani H
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 3, No 3 (2020): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v3i3.4382

Abstract

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan pertimbangan hakim dalam perkara perbuatan melawan hukum akibat penguasaan tanah wakaf dan menjelaskan akibat hukum bagi pihak tergugat akibat penguasaan tanah wakaf pada putusan Nomor :04/Pdt.G/2018/PN-Ktn. Mewakafkan harta adalah suatu perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam yang terdapat pada ayat, QS . Ali Imran Ayat 92. Oleh kerena itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Hadis Riwayat Imam Al-Bukhari, dan Undang-Undang Nomor 41 tentang wakaf telah diatur secara resmi menyatakan bahwa benda atau harta yang telah diwakafkan tidak boleh ditukar dengan benda lain. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yang disebut juga penelitian hukum yuridis normatif (legal research). Hasil penelitian hakim telah benar dalam pertimbangan putusan karena telah sesuai dengan Pasal 40 Nomor .41 tahun 2004 Undang-Undang Wakaf, yang menyebutkan bahwa wakaf tidak dapat dilakukan pertukaran dengan benda lain. Akibat hukum dari Putusan ini pihak yang kalah wajib melaksanakan isi putusan pengadilan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 3.453.000.000.00 (tiga juta empat ratus lima puluh tiga ribu rupiah). Dalam hal ini pihak yang kalah adalah tergugat, apabila tergugat tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Kutacane maka tergugat dapat melakukan upaya hukum lain yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali. Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Perbuatan Melawan Hukum, Penguasaan Tanah Wakaf.
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF MASJID (STUDI KASUS DI GAMPONG ULEE TANOH KECAMATAN TANAH PASIR KABUPATEN ACEH UTARA Azriati A; Jamaluddin J; Hamdani H
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 2, No 3 (2019): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v2i3.4034

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor penyebab terjadinya sengketa tanah wakaf masjid di gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, dan juga untuk mengetahui dan menganalisis proses penyelesaian sengketa tanah wakaf masjid di gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Gugatan yang dilakukan oleh si penggugat terhadap tanah wakaf masjid bahwa tanah yang sudah diwakafkan tidak memiliki akta wakaf sebagai alat bukti. Sehingga tampak bahwa tidak adanya akta wakaf menjadi sebuah alasan terjadinya gugatan terhadap tanah yang sudah diwakafkan. Kondisi tersebut membuat pihak penggugat semakin berani untuk melakukan gugatnnya, walaupun pada dasarnya bahwa mewakafkan satu benda cukup dilakukan dengan ikrar wakaf saja. Terkait tanah wakaf terdapat dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, tetapi realita terjadi beberapa wakaf berjalan tidak sesuai dengan pengaturan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris/yuridis sosiologis. Penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan orang-orang atau perilaku yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sengketa tanah wakaf masjid ini adalah tidak memiliki akta wakaf sebagai alat bukti dan juga tidak adanya niat yang ikhlas dari ahli waris, yakni ahli waris dalam menerima kenyataan bahwa tanah ibunya sudah diwakafkan belum sepenuh hati secara ikhlas, serta dalam proses penyelesaiannya sengketa tanah wakaf masjid dengan pihak ahli waris terjadi kesepakatan perdamaian yaitu tanah wakaf masjid ini masih bisa digunakan seperti biasa oleh masyarakat dari ketiga kemesjidan. Namun pihak masjid, aparatur gampong beserta masyarakat harus membayar ganti rugi kepada ahli waris. Pembayaran dilakukan dengan cara dibayar secara cicil dalam seminggu sekali pembayaran dan dapat dilunasi pada akhir tahun 2019. Uang yang dibayar kepada anak si wakif berasal dari hasil wakaf masyarakat gampong dan luar gampong. Hak kepemilikan dari tanah tersebut sudah berpindah menjadi milik masyarakat gampong Ulee Tanoh, Mee Meurubo, Matang Ranub Laseh, serta kaum kaum muslimin dan muslimat.
PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATAT DI KANTOR CATATAN SIPIL (BURGERLIJK STAND) Intan Sari Hutabarat; Jamaluddin J; Jumadiah J
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 3, No 1 (2020): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v3i1.4082

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengetahui untuk menganalisis dasar dan pertimbangan hakim mengabulkan perceraian dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, dan untuk menganalisis akibat hukum yang timbul terhadap perceraian dari perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan membentuk keluarga. Dalam sebuah Perkawinan tentunya memiliki aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama dan hukum yang berlaku di Indonesia, yang mana perkawinan mengutamakan keabsahannya dan juga harus diikuti oleh pengakuan negara yang tercantum menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Jenis penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data library resarch. Hasil penelitian diketahui bahwa Dasar dan pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri No.487/Pdt.G/2018/PN.Mdn yang mengabulkan gugatan perceraian dari perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil berlandaskan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1776K/PDT/2007 tanggal 28 Juli 2003 dengan menginterprestasikan secara fakultatif kedua ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dan memutuskan secara verstek.
Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Masjid (Studi Kasus Gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara) Asriati A; Jamaluddin J; Hamdani H
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 1 (2021): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i1.4215

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor penyebab terjadinya sengketa tanah wakaf masjid di gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara, dan juga untuk mengetahui dan menganalisis proses penyelesaian sengketa tanah wakaf masjid di gampong Ulee Tanoh Kecamatan Tanah Pasir Kabupaten Aceh Utara. Gugatan yang dilakukan oleh si penggugat terhadap tanah wakaf masjid bahwa tanah yang sudah diwakafkan tidak memiliki akta wakaf sebagai alat bukti. Sehingga dengan tidak adanya akta wakaf menjadi sebuah alasan terjadinya gugatan terhadap tanah yang sudah diwakafkan. Kondisi tersebut membuat pihak penggugat semakin berani untuk melakukan gugatnnya, walaupun pada dasarnya bahwa mewakafkan satu benda cukup dilakukan dengan ikrar wakaf sajatidak harus terlibat banyak pihak. Terkait tanah wakaf terdapat pada Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tetapi realita terjadi beberapa wakaf berjalan tidak sesuai dengan pengaturan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan empiris/yuridis sosiologis. Penelitian ini menggunakan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis maupun lisan orang-orang atau perilaku yang diamati. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sengketa tanah wakaf masjid ini adalah tidak memiliki akta wakaf sebagai alat bukti dan juga tidak adanya niat yang ikhlas dari ahli waris, yakni ahli waris dalam menerima kenyataan bahwa tanah ibunya sudah diwakafkan belum sepenuh hati secara ikhlas, serta dalam proses penyelesaiannya sengketa tanah wakaf masjid dengan pihak ahli waris terjadi kesepakatan perdamaian yaitu tanah wakaf masjid ini masih bisa digunakan seperti biasa oleh masyarakat dari ketiga kemesjidan. Namun pihak masjid, aparatur gampong beserta masyarakat harus membayar ganti rugi kepada ahli waris. Pembayaran dilakukan dengan cara dibayar secara cicil dalam seminggu sekali pembayaran dan dapat dilunasi pada akhir tahun 2019. Uang yang dibayar kepada anak si wakif berasal dari hasil wakaf masyarakat gampong dan luar gampong. Hak kepemilikan dari tanah tersebut sudah berpindah menjadi milik masyarakat gampong Ulee Tanoh, Mee Meurubo, Matang Ranub Laseh, serta kaum kaum muslimin dan muslimat. Kata kunci: Sengketa, Wakaf, Tanah This study aims to identify and analyze the factors causing the mosque waqf land dispute in Ulee Tanoh Village, Tanah Pasir District, North Aceh Regency, and also to identify and analyze the process of resolving mosque waqf land disputes in Ulee Tanoh Village, Tanah Pasir District, North Aceh Regency. The claim made by the plaintiff against the mosque's waqf land that the land that has been waqf does not have a waqf deed as evidence. So that the absence of a waqf deed becomes a reason for a lawsuit against land that has been waqfed. This condition made the plaintiffs bolder to file a lawsuit, even though basically it was enough to make waqf of one object with the pledge of waqf alone, not involving many parties. Regarding waqf land, it is contained in Law No. 41 of 2004 concerning Waqf, but the reality is that some waqf runs are not in accordance with the regulation. This study uses a qualitative research method with an empirical/juridical sociological approach. This study uses descriptive data in the form of written and spoken words of people or observed behavior. Based on the results of the study, it is known that the dispute over this mosque's waqf land is that it does not have a waqf deed as evidence and also that there is no sincere intention from the heirs, namely the heirs in accepting the fact that their mother's land has been waqf not yet wholeheartedly and in the process of settlement. The dispute over the mosque's waqf land with the heirs resulted in a peace agreement, namely the mosque's waqf land can still be used as usual by the people of the three mosques. However, the mosque, village apparatus and the community must pay compensation to the heirs. Payments are made by paying in installments once a week and can be repaid at the end of 2019. The money paid to the child of the wakif comes from the waqf of the village community and outside the village. The ownership rights of the land have been transferred to the community of Ulee Tanoh, Mee Meurubo, Matang Ranub Laseh, as well as the Muslims and Muslimat. Keywords: Dispute, Waqf, Land
EKSISTENSI PERKAWINAN EKSOGAMI MASYARAKAT SUKU GAYO DI LINGKUNGAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN (Studi Penelitian di Kecamatan Lut Tawar dan Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah) nofrin ariska beru sembiring; Jamaluddin J; Faisal F
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 4, No 1 (2021): Januari
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v4i1.4089

Abstract

Abstrak The Gayo tribe community is prohibited from carrying out exogamous marriages for several reasons, one of which is that they consider one clan / split to be one offspring. The Gayo tribe community still maintains this custom and cannot be violated, if the Gayo people marry into one clan / split or one village with girls in the village then this is considered a disgrace and will have a direct impact on being ostracized by the community in that village. Communities who carry out exogamous marriages will be subject to customary sanctions in the form of farak (exile) which is decided by customary deliberations conducted by Sarak Opat (customary institution). But in reality, there are still Gayo people in urban and rural areas who carry out exogamous marriages. This study aims to determine and explain the Exogamy Marriage Exogamy of the Gayo Tribe between urban and rural areas in Central Aceh Regency, to find out and explain the legal consequences of exogamous marriages in urban and rural areas for the Gayo tribe in Central Aceh District and efforts to resolve customary sanctions given to people who carry out exogamous marriages in Central Aceh District. This study uses a qualitative method with an empirical juridical approach. Data obtained through library research (library research) and supported by field research (field research). Data analysis was carried out descriptively (descriptive analysis). Based on the results of the research, it is known that exogamous marriage in urban communities has maintained the prohibition of marrying one clan / split until now, while in rural communities the prohibition of marrying among tribes is not really cared about because there has been a shift in customs in the countryside. So that the customs in the Gayo Tribe, not all people of Central Aceh District comply with the customary prohibition of exogamous marriage. The leniency of customs in several places, especially in Linge District, is because the majority of pentani communities from outside the region who carry out exogamous marriages due to ignorance of local customary rules. It is recommended for the community to continue to maintain the customs in the Gayo Tribe. Gayo and Reje Adat Majlis so that they can provide guidance to all rural communities so that they understand and know the local customs rules because the Gayo Tribe customs are the norms (rules) for all people in Central Aceh Regency that must be obeyed. Keywords: Exogamy Marriage of the Gayo Tribe, Traditional Gayo Tribe, Sanctions of Gayo Tribe Customary Law, and Differences in the Application of Gayo Customs.
PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK DALAM PUTUSAN VERSTEK DI MAHKAMAH SYAR’IYAH IDI Dian Saputra Saputra; Jamaluddin Jamaluddin; Yulia Yulia
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 9, No 2 (2021): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Oktober 2021
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v9i2.4799

Abstract

Putusan verstek seringkali menimbulkan aspek tidak baik bagi perempuan dan anak pasca perceraian. Penelitian bertujuan mengkaji perlindungan hak perempuan dan anak, upaya yang dilakukan dan kebijakan hakim memutuskan perkara verstek. Peneliti menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Bahan hukum primer dan sekunder menjadi bahan utama serta data primer diperoleh dengan wawancara. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan perlindungan perempuan dan anak dalam putusan verstek sangat rendah disebabkan tidak adanya tuntutan hak dari perempuan. Perempuan jarang melakukan upaya untuk menggugat kembali berkaitan hak untuk diri dan anaknya pasca perceraian. Kebijakan hakim dengan penggunaan hak ex officio bila perempuan tidak nusyuz.
ANALISIS YURIDIS PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN MENURUT PENDAPAT AHLI FIKIH ISLAM Yulisa Fitri; Jamaluddin Jamaluddin; Faisal Faisal
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 7, No 1 (2019): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Publisher : Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v7i1.1980

Abstract

Perceraian di luar pengadilan  masih sering terjadi hingga saat ini. Hal ini dikarenakan adanya pendapat ahli fikih yang membolehkan terjadinya perceraian di luar pengadilan. Pendapat ahli fikih dianggap sesuai dengan ketentuan hukum Islam sehingga kemudian masyarakat Muslim mengikuti ketentuan ini. Bertolak belakang dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang  menghendaki sebuah perceraian di lakukan di depan pengadilan. Adapun yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini ialah tentang akibat hukum dari perceraian di luar pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menurut pendapat ahli fikih Islam, serta peran negara dalam proses penegakan hukum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, akibat perceraian di luar pengadilan adalah tidak sah secara hukum. Perceraian yang sah dan diakui oleh hukum adalah perceraian yang dilakukan di depan pengadilan. Sedangkan menurut pendapat ahli fikih Islam, perceraian di luar pengadilan tetap sah secara agama. Penegakan hukum dalam pemberian sanksi belum bisa diterapkan, sebab hingga kini belum ada satu aturanpun yang menyatakan bahwa perceraian di luar pengadilan merupakan sebuah  kejahatan yang dapat dihukum. Selain itu Indonesia mengakui bahwa hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dalam membuat sebuah aturan hukum baru, negara perlu mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat agar hukum itu dapat diterima oleh masyarakat secara universal. Kedepan negara kiranya dapat membuat sebuah Perda atau Qanun sebagai sebuah regulasi baru yang berisi tentang sanksi tegas bagi pelaku perceraian di luar pengadilan. Hal ini tidak lain untuk menjamin terciptanya keadilan dan kepastian hukum.
KEWENANGAN MAHKAMAH PARTAI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INTERNAL PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PARTAI POLITIK Jamaluddin Jamaluddin
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 8, No 1 (2020): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, April 2020
Publisher : Program Studi Magister Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v8i1.2486

Abstract

Perselisihan partai politik merupakan persoalan yang terjadi akhir-akhir ini. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik memberi wewenang kepada Mahkamah Partai Politik apabila terjadi sengketa Partai Politik. Namun dalam kenyataannya, keputusan Mahkamah Partai tidak ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Maka bagaimana peran Mahkamah Partai Politik menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan kekuatan hukum putusan Mahkamah Partai Politik dalam penyelesaian sengketa Partai Politik menentukan bahwa mahkamah partai politik berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan internal Partai Politik. Penyelesaian perselisihan internal partai politik harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari. Putusan mahkamah partai politik bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengankepengurusan. Berdasarkan latar belakang masalah tesis ini bertujuan untuk membahas mengenai kewenangan mahkamah Partai Politik Lokal dalam penyelesaian konflik internal Partai Politik dan kekuatan hukum Mahkamah Partai politik Lokal dalam penyelesaian konflik internal Partai Politik. Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum yang melihat tentang isi dan dalam mengkaji permasalahan, yaitu pendekatan peraturan atau undang-undang. Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik berkeenangan menyelesaikan konflik internal partai politik, maka secara ketentuan partai sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar (AD) maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) penyelesaiannya diserahkan kepada mahkamah partai politik atau sebutan lain di setiap Partai Politik. Penyelesaian konflik internal Partai Politik Lokal di Aceh yang berhubungan dengan konflik antara pimpinan dengan pimpinan, pimpinan dengan anggota dan anggota dengan anggota diselesaikan oleh Majelis Tuha Peut menurut tingkatan dan putusan Majelis Tuha Peut mengikat para pihak yang berselisih. Direkomendasikan agar pembentuk undang-undang segera melakukan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 terutama Pasal 33, agar terciptanya kepastian hukum terkait fungsi dan wewenang Mahkamah Partai Politik serta tidak melibatkan negara dalam penyelesaian konflik internal Partai Politik.Kata kunci: Kewenangan, mahkamah, partai politik lokal
ANALISA YURIDIS SOSIOLOGIS TENTANG PENERAPAN ASAS RESMI DAN PATUT DALAM PERKARA PERCERAIAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 201 TENTANG PEMBENTUKAN PERUNDANG UNDANGAN Saifuddin Saifuddin; Jamaluddin Jamaluddin; Ramziati Ramziati
Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Vol 7, No 1 (2019): Suloh:Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
Publisher : Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/sjp.v7i1.1982

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisa secara yuridis  sosiologis terhadap penerapan asas resmi dan patut dalam perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif sosiologis. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penerapan asas resmi dan patut dalam penyelesaian perkara perdata perceraian di Mahkamah Syar’iyah mengalami kendala secara sosiologis, dimana surat panggilan sidang atau relaas panggilan cenderung lebih sering diterima oleh aparat kampung: sekretaris kampung, kepala dusun atau pun kepala lorong, hal tersebut terjadi karena kepala desa/kampung sering tidak berada di tempat, sehingga surat panggilan sidang atau relaas panggilan sidang sering diserahkan dan diterima oleh sekretaris kampung, kepala dusun atau pun kepala lorong. Fakta tersebut menunjukkan bahwa norma keabsahan sebuah surat panggilan sidang atau relaas panggilan sidang perkara perdata perceraian (Pasal 390 HIR, Pasal 718 ayat (1) RBg, Pasal 26 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 138 Kompilasi Hukum Islam), yang selama ini menjadi pedoman pelaksanaan pemanggilan para pihak, sudah tidak sesuai lagi diterapkan dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah akibat adanya perubahan struktur sosial kemasyarakatan, sehingga perlu adanya redefinisi tentang standar keabsahan sebuah surat panggilan sidang atau relaas panggilan.