Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Cardiovascular reflex Jenie, Ikhlas Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 7, No 1 (2007)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

It is familiar to measure cardiovascular parameters, such as blood pressure and pulse rate, in health care practice. The importance of such measure in clinical practice is out of question. Those cardiovascular parameters, basically, are products of reflex. In this paper, we would like to describe the basic tenets of cardiovascular reflex limited to that governed by autonomic nervous system, but not to that exerted by mechanical and local factors. The cardiovascular reflexes to be discussed are arterial baroreflex, cardiopulmonary baroreflex, cardiovascular reflex of stimulation of peripheral chemoreceptors, cardiovascular reflex associated to stimulation of exteroceptors, and interaction among those reflexes.
Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan Tekanan Intraokular pada Subyek Normotensif Purnamasari, Gindah Ratu Priyasa; Jenie, Ikhlas Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 2 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Recent people’s life style tends to be imbalance in input and output energy that results in obesity. Obesity is a risk factor of several diseases. Recently, obesity, as well as high blood pressure, is associated with glaucoma. The aim of this research is to know correlation between body mass index and intraocular pressure in normotensive people. This was an observational cross sectional study done to outpatient in Ophthalmology Polyclinic, Wonosobo District Hospital, along August - December 2008. Inclusion criteria were people aged between 30-55years old with normal blood pressure (systolic < 139 mmHg, diastolic < 89 mmHg). The exclusion criteria were people who had history of cardiovascular diseases, diagnosed of having glaucoma before, had contraindication to tonometry use, consumed drugs affecting cardiovascular system, and had family history of cardiovascular, kidney, liver, and lungs diseases. Body weight and body height were measured using weight and height scale (SMIC003), body mass index was calculated using formula, blood pressure was measured in lying position using sphygmomanometer (Spirit CK-101C) and stethoscope (3M Littmann Classic II SE) and intraocular pressure using tonometry Schiotz by an ophthalmologist. Data was analyzed using Pearson Correlation with p < 0.05 as level of significance and One Way Anova. As many as 51 subjects joined the study. This study found moderate correlation between intraocular pressure and body mass index. Body weight as a component of body mass index has a borderline correlation with intraocular pressure. Besides, it showed that intraocular pressure in each underweight, normal, and overweight subjects simultaneously increase with increasing of body mass index. It is concluded that there is correlation between body mass index and intraocular pressure in normotensive subjects.Gaya hidup masyarakat modern yang cenderung tak seimbang dalam hal input dan output energi dapat menimbulkan obesitas. Baru-baru ini diketahui bahwa obesitas, sama halnya dengan tekanan darah tinggi, berhubungan dengan glaukoma. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional cross sectional yang dilakukan pada pasien rawat jalan di poli mata RSUD Wonosobo selama bulan Agustus-Desember 2008. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu pasien yang berusia 30-55 tahun, bertekanan darah normal (tekanan sistolik < 139 mmHg, dan tekanan diastolik < 89 mmHg). Kriteria eksklusi penelitian ini yaitu pasien yang mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular, terdiagnosis glaukoma sebelumnya, mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian tonometri, mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, dan memiliki riwayat keluarga berpenyakit kardiovaskular, ginjal, hati, dan paru-paru. Berat badan dan tinggi badan diukur dengan alat ukur berat dan tinggi badan (SMIC003), indeks massa tubuh dihitung berdasarkan rumus IMT = Berat Badan (kg)/ Tinggi Badan2 (m2), tekanan darah diukur pada posisi berbaring dengan sphygmomanometer (Spirit CK-101C) dan stethoscope (3M Littmann Classic II SE), serta tekanan intraokular diukur dengan tonometri Schiotz oleh seorang dokter spesialis mata. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Pearson Correlation dengan p < 0.05 sebagai nilai signifikansi dan One Way Anova. Penelitian pada subyek sebanyak 51 orang ini mendapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang sedang antara indeks massa tubuh dengan tekanan intraokular. Selain itu, berat badan yang merupakan komponen dari indeks massa tubuh mempunyai korelasi yang rendah. Tekanan intraokular pada masing-masing kelompok underweight, normal, dan overweight meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara tekanan intraokular dengan indeks massa tubuh pada subyek normotensif.
Gambaran Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pasien Asma Ringan-Sedang di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta Kartikasari, Dian; Jenie, Ikhlas Muhammad
Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK) Vol 11, No 1 (2018): Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK)
Publisher : Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Asma merupakan penyakit paru yang disebabkan karena inflamasi sehingga terjadi kesulitan bernapas, mengi (wheezing) serta batuk di malam dan pagi hari yang berdampak pada penurunan arus puncak ekspirasi (APE). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi APE pada pasien asma ringan-sedang di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan  design cross sectional dengan sampel sebanyak 28 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi selama 1 bulan. APE diukur menggunakan Philips respironics peak flow meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa APE seluruh subyek penelitian 50-80% dari nilai standar. Dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan APE pada pasien asma ringan-sedang. Penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan dan pengetahuan bagi perawat mengenai rendahnya nilai APE pada pasien asma. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan nilai APE pasien asma.   Kata kunci: Asma, Arus Puncak Ekspirasi (APE)     Abstrack Asthma is a lung disease caused by inflammation resulting in difficulty breathing, wheezing and coughing in the night and early morning that impact on the decrease of peak expiratory currents (APE). The purpose of this study was to identify APE in mild-moderate asthma patients in Poly Hospital Lung Jalan Respira Yogyakarta. This study is a descriptive study using cross sectional design with a sample of 28 respondents in accordance with inclusion and exclusion criteria for 1 month. APE was measured using Philips respironics peak flow meter. The results showed that the APE of all research subjects 50-80% of the standard value. It can be concluded that there is a decrease in APE in mild-moderate asthma patients. This study is expected to be additional information and knowledge for nurses about the low value of APE in asthma patients. Researchers are then expected to be able to identify the factors that affect the decline in APE value of asthma patients. Keywords: Asthma, Peak Flow of Expiration
Gambaran Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pasien Asma Ringan-Sedang di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta Kartikasari, Dian; Jenie, Ikhlas Muhammad
Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK) Vol 11, No 1 (2018): Jurnal Ilmu Kesehatan (JIK)
Publisher : Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.656 KB)

Abstract

Abstrak Asma merupakan penyakit paru yang disebabkan karena inflamasi sehingga terjadi kesulitan bernapas, mengi (wheezing) serta batuk di malam dan pagi hari yang berdampak pada penurunan arus puncak ekspirasi (APE). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi APE pada pasien asma ringan-sedang di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi deskriptif menggunakan  design cross sectional dengan sampel sebanyak 28 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi selama 1 bulan. APE diukur menggunakan Philips respironics peak flow meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa APE seluruh subyek penelitian 50-80% dari nilai standar. Dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan APE pada pasien asma ringan-sedang. Penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan dan pengetahuan bagi perawat mengenai rendahnya nilai APE pada pasien asma. Peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan nilai APE pasien asma.   Kata kunci: Asma, Arus Puncak Ekspirasi (APE)     Abstrack Asthma is a lung disease caused by inflammation resulting in difficulty breathing, wheezing and coughing in the night and early morning that impact on the decrease of peak expiratory currents (APE). The purpose of this study was to identify APE in mild-moderate asthma patients in Poly Hospital Lung Jalan Respira Yogyakarta. This study is a descriptive study using cross sectional design with a sample of 28 respondents in accordance with inclusion and exclusion criteria for 1 month. APE was measured using Philips respironics peak flow meter. The results showed that the APE of all research subjects 50-80% of the standard value. It can be concluded that there is a decrease in APE in mild-moderate asthma patients. This study is expected to be additional information and knowledge for nurses about the low value of APE in asthma patients. Researchers are then expected to be able to identify the factors that affect the decline in APE value of asthma patients. Keywords: Asthma, Peak Flow of Expiration
Efek Hipoglikemik Jus Buah Morinda citrifolia pada Tikus Diabetik Achmad, Nurliana; Jenie, Ikhlas Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 12, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v12i2.1006

Abstract

Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein akibat insufisiensi fungsi insulin. Buah mengkudu (Morinda citrifolia)  mengandung flavonoid dan saponin yang berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek jus buah mengkudu terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus terinduksi aloksan. Penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan pre and post-test control group design. Subyek tiga puluh ekor tikus galur Wistar, 2-3 bulan 150-250  gr dibagi 5 kelompok: kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, kelompok perlakuan dengan jus buah mengkudu 2,25 gr/kgBB, jus buah mengkudu 4,5 gr/kgBB dan jus buah mengkudu 9 gr/kgBB. Hasil penelitian menunjukkan pemberian jus buah mengkudu dosis 2,25 gr/kgBB, 4,5 gr/kgBB dan 9 gr/kgBB mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetik terinduksi aloksan. Rata-rata penurunan kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan jus buah mengkudu 9 gr/kgBB paling rendah. Terdapat penurunan yang signifikan kadar glukosa darah pre-test dan post-test pemberian jus buah mengkudu dengan nilai P=0,000 (P 0,05). Disimpulkan bahwa pemberian jus buah mengkudu dosis 2 ,25 gr/kgBB, dosis 4,5 gr/kgBB dan 9 gr/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan pada tikus diabetik yang terinduksi aloksan. Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder characterized by hyperglycemia with disturbances of carbohydrate, fat and protein metabolism resulting from insufficiency of insulin function. Noni fruit (Morinda citrifolia) consists of flavonoid and saponin which function as an antioxidant. This study is aimed to analyze the effect of noni juice in blood glucose level in alloxan-induced diabetic rats. This study was experimental research with pre and post test control group design. The sample consisted of 30  rats Wistar strain, 2-3 months male, weight 150-250 grams were divided into 5 groups: negative control group, positive control group, treatment group with noni juice 2,25 gr/kgBW, noni juice 4,5 gr/ kgBW and noni juice 9 gr/kgBW. The results showed the administration of  noni juice 2,25 gr/kgBW, noni juice 4,5 gr/kgBW and noni juice 9 gr/kgBW was able to decrease blood glucose in Alloxan-induced diabetic rats. Mean of reduction blood glucose in treatment group with noni juice 9 gr/kgBW was the lowest (46,73+1 ,72). There are significant differences in reducing of blood glucose before and after treatment of noni juice which is P=0,000 (P 0,05). It was concluded that the giving of noni juice dosage 2,25 gr/kgBW, 4,5 gr/kgBW and 9 gr/kgBW can decrease blood glucose level significantly in alloxaninduced diabetic rats.
Cardivascular reactivity to earthquake Jenie, Ikhlas Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i1.1593

Abstract

Gempa bumi merupakan suatu stressor mental yang terjadi secara alamiah. Belum diketahui bagaimana respon kardiovaskular terhadap gempa bumi, berapa lama respon tersebut berlangsung, dan seberapa jauh akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi terhadap sistem kardiovaskular. Tujuan penulisan naskah ini adalah untuk mengetahui gambaran dan durasi serta potensial dari pengaruh reaktivitas Kardiovaskuler terhadap gempa bumi. Metode penelitian dilakukan dengan studi literatur terhadap penelitian-penelitian mengenai efek gempa bumi terhadap sistem kardiovaskular yang telah dipublikasikan pada MEDLINE. Tekanan darah dan frekuensi denyut jantung mulai berubah pada awal gempa bumi, dan kemudian naik sebesar 20% untuk tekanan darah sistolik, 46% untuk tekanan darah diastolik, dan 79% untuk frekuensi denyutjantung. Tingginya tekanan darah tersebut bertahan 1-2 minggu pasca gampa bumi, kemudian turun secara bertahap dalam kurun waktu 2 minggu. Peningkatan tekanan darah memanjang hingga 2 bulan pada pasien-pasien dengan mikroalbuminuria. Sementara itu, peningkatan tekanan darah tidak begitu tajam pada pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obat a- dan P-bloker Frekuensi denyut jantung kembali ke nilai awal lebih cepat daripada tekanan darah. Kejadian infark miokard meningkat 3 kali lipat penduduk yang tinggal dekat dengan pusat gempa daripada penduduk yang tinggal jauh dari pusat gempa. Terdapat hiperreaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi. Hiperreaktivitas kardiovaskular terhadap gempa bumi tersebut bersifat akut dan berpotensi menimbulkan komplikasi infark miokard.Earthquake is a naturally occurring mental challenge. It potentially exerts adverse effects on the cardiovascular system, thus may contribute to the development of cardiovascular diseases. To know pattern and duration of the effect of earthquake on cardiovascular reactivity, and to know the potential effect of earthquake on the cardiovascular system. We did literature search on studies published in MEDLINE database that reported changes in cardiovascular parameters among subjects lived in earthquake affected area. The result of blood pressure and heart rate started to change at the initial trembling preceded the earthquake. Then at the strongest shock, systolic blood pressure increased 20%, diastolic blood pressure rose 46%, and heartbeat was up to 79%. Blood pressure remained high in 1-2 weeks after the quake. It then gradually returned to the baseline by 4 weeks (3 - 5 weeks) after the disaster. This increased blood pressure was prolonged for at least until 2 months aftermath in patients with microalbuminuria. However, it was less pronounced in patients who treated with a- and /3-blocker. The heart rate returned to the baseline level more promptly than the blood pressure. The events of myocardial infarction increased 3-fold in people who lived close to the epicentre. The conclution is cardiovascular hyperreactivity to earthquake has cardiac and vascular pattern. Exaggerated cardiovascular reactivity to earthquake is short term response. Cardiovascular reactivity to earthquake potentially leads to myocardial infarction.
Captopril Mencegah Stres Oksidatif pada Tikus Wistar Jantan dengan Diet Tinggi Lemak Jenie, Ikhlas Muhammad; Afrian, Rizki; Pramono, Barii Hafidz
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 16, No 1: January 2016
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v16i1.4723

Abstract

Stres oksidatif berperan dalam terjadinya penyakit-penyakit kardiovaskular. Stres oksidatif ditandai dengan peningkatan radikal bebas dan penurunan sistem antioksidan. Sumber utama radikal bebas pada sirkulasi adalah enzim NAD(P)H oksidase. Enzim tersebut dimodulasi oleh angiotensin II. Angiotensin II dihasilkan dari konversi Angiotensin I oleh enzim angiotensin converting enzyme (ACE). Timbul pertanyaan apakah pemberian captopril, suatu penghambat ACE, dapat mencegah stres oksidatif. Untuk itu dilakukan penelitian pra-eksperimental pada hewan coba dengan rancangan post test only measurement. Sebanyak 24 ekor tikus Wistar jantan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok: kelompok I mendapat diet normal 20g/hr, kelompok II diet tinggi lemak (10%) 20g/hr dan kelompok III diet tinggi lemak (10%) 20g/hr dan captopril 50 mg/kgBB/hr. Perlakuan diberikan selama 2 bulan. Variabel yang diukur adalah berat badan, kadar kolesterol total, kadar hidrogen peroksida (H2O2) dan histopatologi aorta. Data dianalisis dengan ANOVA satu arah. Berat badan tikus antarkelompok tidak berbeda bermakna pada awal dan akhir perlakuan. Kadar kolesterol total antarkelompok berbeda bermakna, dengan kadar kolesterol total pada tikus kelompok III lebih rendah secara bermakna daripada kelompok I dan II. Kadar H2O2 antarkelompok berbeda bermakna, dengan kadar H2O2) pada tikus kelompok II lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok I dan III. Pada pemeriksaan histopatologi, lesi aterosklerotik ditemukan pada kelompok II dan III. Disimpulkan bahwa pemberian captoprildapat mencegah stres oksidatif pada tikus Wistar jantan dengan diet tinggi lemak.  
Hubungan antara Riwayat Keluarga Hipertensi dengan Tekanan Darah setelah Berolahraga Isotonik pada Dewasa Muda Normotensif Jenie, Ikhlas Muhammad; Meiryisha, Sisti
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i1 (s).1627

Abstract

Hypertension is divided into primary and secondary hypertension according to the causes. A secondary hypertension is caused by another disease, while a primary hypertension has an unknown cause but other factors such as genes and environmental issues can cause primary hypertension. The aim of this articles is to give a feature about blood pressure respons after exercise on young mature normotensive that have a family history of hypertension. The research design is a mixed semi-experimental method. The numbers of subjects are 45 people, divided in two groups. The first group consists of 23 people who have a family history of hypertension, and the second group consists of 22 people don ’t have a family history of hypertension. Every subject does an isotonic exercise using an ergometer cycle for 6 minutes. Before, during and after the exercise, the subject’s systole, diastole, and heart rates are measured. The comparison heart rate between the two groups was significant before (p=0,004), during (p=0,005), and after (p=0,002) isotonic exercise, and so did the increasing diastole pressure (p=0,030), no significant systole and diastole pressure results between the two groups in before, during, and after the exercise. The increasing of heart rate and diastole pressure, and also the recovery of heart rate, systole and diastole pressures did not differ between the two groups. It can concluded that familial history of hypertension influence the heart rate before, during, and after isotonic exercise, and also influence the increasing of systole pressure in normotensive young adults.Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang banyak menyebabkan kematian di Indonesia, salah satunya adalah hipertensi. Hipertensi adalah apabila tekanan darah sistolik mencapai 140 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik melebihi 90 mm Hg atau lebih. Hipertensi menurut penyebabnya digolongkan menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit lain sedangkan hipertensi primer sampai sekarang belum diketahui penyebabnya akan tetapi faktor yang berperan adalah faktor genetik dan lingkungan. Tujuan makalah ini untuk memberi gambaran tentang respon tekanan darah setelah berolahraga isotonik pada dewasa muda normotensif yang memiliki riwayat keluarga hipertensi. Penelitian ini menggunakan metode semi experimental mixed design. Subjek 45 orang dibagi dua kelompok, yaitu kelompok satu 23 orang subjek memiliki riwayat keluarga hipertensi dan kelompok dua 22 orang subjek tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi. Semua subjek melakukan olahraga isotonik dengan sepeda ergometer selama 6 menit, kemudian tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan frekuensi denyut nadi diukur pada waktu sebelum, saat, dan setelah berolahraga. Peningkatan serta pemulihan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan frekuensi denyut nadi juga diukur. Didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pada frekuensi denyut nadi sebelum (p=0,004), saat (p=0,005), dan setelah berolahraga (0,002) serta peningkatan tekanan darah sistolik (p=0,030), tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok pada tekanan darah sistolik dan diastolik sebelum, saat, dan setelah berolahraga. Pada peningkatan tekanan darah diastolik dan frekuensi denyut nadi serta pemulihan pada tekanan darah sistolik, diastolik, dan frekuensi denyut nadi juga tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Disimpulkan bahwa riwayat keluarga hipertensi mempengaruhi frekuensi denyut nadi sebelum, saat, dan setelah berolahraga serta peningkatan tekanan darah sistolik pada dewasa muda normotensif.
Respon Akut Tekanan Darah terhadap Konsumsi Daging Kambing Jenie, Ikhlas Muhammad; Adi, Danisworo K.
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (s) (2008): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1 (s).1643

Abstract

Hypertension, a risk factor for cardiovascular events, is related to diet. Consumption of red meat in the long terms will increase saturated fatty acid concentration and body mass index. However, there is no report yet of the effect of consumption of red meat in the short terms. The aim of this research is to examine the acute effect of goat and beef meat to blood pressure. It is an experimental, randomized, single blinded study, pretest and posttest comparison between subjects design, in 28 male normotensive young adults. The inclusion criteria were age 20-25years old, body mass index 18-25 m/kg2, systolic blood pressure 140 mmHg, and diastolic blood pressure 90 mmHg. The exclusion criteria were a smoker, a caffein addicted, and had chronic diseases, such as kidney failure, hepatic chirrosis, and diabetes mellitus. Sample was then randomly divided into two groups: consumption of goat meat and of beef meat. Both goat and beef meat was cooked as sate, eat as much as 100 gr for each subject, with rice and mineral water. Blood pressure was measured before and after eating sate. Data was analyzed using independet t test and general linear model repeated measutements. There were no any significant differences in terms of age, BMI, systolic and diastolic blood pressure between goat and beef meat consumption groups. Systolic, but not diastolic, blood pressure after consumption of goat sate was significantly higher than of beef meat. The response of blood pressure, both systolic and diastolic, was positive to goat meat sate consumption but negative to beef meat consumption. There was interaction between groups, time of measurements, and types of meat. As a conclusion, the consumption of goat, but not beef, meat will increase blood pressure in male normotensive young aduts.Diet mempengaruhi tekanan darah. Penderita hipertensi disarankan untuk mengurangi konsumsi daging. Telah dilaporkan efek konsumsi daging dalam jangka lama terhadap kejadian hipertensi, namun belum diketahui efek konsumsi daging secara akut terhadap tekanan darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek akut konsumsi daging kambing dan sapi terhadap tekanan darah pada laki-laki dewasa muda normotensif. Desain penelitian adalah eksperimental, acak, buta tunggal, perbandingan antardua kelompok, dengan pengukuran pre- dan post-test. Subyek penelitian sebanyak 28 laki-laki dewasa muda, usia usia 20-25 tahun, indeks masa tubuh 18-25 m/kg2, tekanan darah 140/90 mmHg, bukan perokok, peminum kopi, dan penderita penyakit kronis. Subyek diukur tekanan darah istirahat dalam posisi duduk dengan menggunakan sphygmomanometer air raksa, kemudian secara acak subyek mendapat sate daging kambing atau sapi sebanyak 100 gram dan diukur kembali tekanan darah istirahat sesudah makan. Kedua kelompok tidak berbeda bermakana dalam usia, indeks masa tubuh, dan tekanan darah. Tekanan darah sistolik sesudah makan lebih bermakna daripada sebelum makan pada kelompok daging kambing, namun tidak pada kelompok daging sapi. Respon tekanan darah terhadap konsumsi daging kambing adalah positif, sedangkan respon tekanan darah terhadap konsumsi daging sapi adalah negatif. Terdapat interaksi antara kelompok perlakuan, waktu pengukuran, dan jenis daging. Disimpulkan bahwa secara akut, konsumsi daging kambing, namun tidak daging sapi, meningkatkan tekanan darah pada laki-laki dewasa muda normotensif.
Perbandingan Efek Antiinflamasi antara Ekstrak Pare (M. Charantia) dengan Kortikosteroid terhadap Dermatitis Eksperimental pada Mencit secara Topikal Jenie, Ikhlas Muhammad; Soesatyo, Marsetyawan HNE; -, Praseno
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 3, No 2 (2003)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v3i2.1700

Abstract

SARS (severe acute respiratory syndrome) represents how confusing the picture of inflammation is. In spite of its ability to protect our body, inflamma¬tion could have some disadvantages. Corticosteroid is one of symtomatically therapy for SARS. Corticosteroids itself has been used for a long time as antiinflammatory drug. But, its adverse reaction such immunocomprimised effect has limited its widely use. It was reported that a and b momorcharin from Pare has antiinflammatory activity. Momorcharin has an ability to prevent antigen-induced limfosit pro¬liferation and reduce the ability of macrofag to fagosit antigen. The aim of this research is to know how good the antiinflammatory effect of Pare comparing with hidrocortison’s is. The subject of this observation are mice as many as 22, which randomly divided into 4 groups. Each group had been injected with S. aureus subcutan. As soon as signs og infection appeared, we treated one group with Pare oint¬ment, one other group with hidrocortison, and 2 groups the rest as positive and negative control. The inflammation reaction in each group had been recorded, clinically and histologically. The datas were assessed with descriptively and qualitatifly analitic. The result was Pare itself had antiinflammatory effect. Topically, it could make inflammation reaction reduced, udema diminished, necrose not widened, healing time shorted and fibrosis prevented. But, still, its effect was not as strong as corticosteroid had. Neverthanless, all mice that had been treated with corticosteroid had died because of sepsis or immunocomprimised state, that Pare wouldn’t had.Fenomena SARS (severe acute respiratory syndrome) mewakili gambaran hebatnya reaksi inflamasi, yang merupakan respon imun bermata dua. Pada satu sisi merupakan alat pertahanan tubuh, namun pada sisi yang lain dapat merugikan. Terapi simtomatis SARS salah satunya adalah pemberian metilprednisolon, yang merupakan golongan kortikosteroid. Sebagai antiinflamasi, kortikosteroid sudah digunakan setengah abad lamanya. Penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkannya, terutama penurunan status imun/ imunokompromised. Dilaporkan bahwa biji pare (M charantia) -mengandung zat a dan b momorcharin- mempunyai aktivitas antiinflamasi. In vitro momorcharin mampu menghambat proliferasi limfosit terinduksi antigen dan menurunkan fungsi fagosit dari makrofag. In vivo pada tikus mampu menghambat migrasi makrofag dan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek antiinflamasi antara ekstrak Pare 10% dengan hidrokortison 1% secara topikal terhadap dermatitis eksperimental pada mencit. Subyek penelitian adalah mencit berjumlah 22 ekor, dibagi random menjadi empat kelompok: K (6 ekor), C (7 ekor) dan P (7 ekor,) masing-masing mendapat injeksi subkutan S. aureus 9 x 10,0ul. Terjadi infeksi lokal dengan angka kegagalan 5%. Mencit kelompok C mendapat terapi ointment Hidrokortison 1%, kelompok P oint¬ment ekstrak biji pare 10%, kelompok K tidak mendapat terap i/kontrol positif dan kelompok S (2 ekor) kontrol negatif. Pengukuran meliputi derajat peradangan -secara klinis dan histopatologi- serta kesembuhan yang dicapai. Analitisa data bersifat kualitatif deskriptif. Didapatkan hasil ekstrak biji pare mempunyai efek antiinflamasi. Pemberiannya secara topikal mampu memperlambat reaksi peradangan, mencegah akumulasi sel radang, meminimalisasi udema, mengurangi nekrosis, waktu pemulihan lebih cepat dan menghambat terbentuknya jaringan parut. Tetapi, efek antiinflamasi ekstrak biji pare masih lebih rendah dibandingkan dengan hidrokortison. Meskipun demikian seluruh mencit kelompok C/terapi hidrokortison mati dalam kondisi imunokompromised/sepsis.