cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam
ISSN : 24605565     EISSN : 25031058     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue " Vol 4 No 1 (2018): Juni" : 10 Documents clear
Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah Dalam Pemeriksaan Notaris Yang Pindah Wilayah Jabatan Oleh Aparat Penegak Huku Rahman, Ahmad Laduni Arif; Sesung, Rusdianto
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3132.621 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.172-186

Abstract

Abstract: The exercise of authority of the Regional Notary Honorary Council in approving and / or rejecting applications for approval from law enforcement (investigators, public prosecutors, or judges) against a notary who has moved the area of ​​office related to the deed made. These involved in a criminal case raises 2 (two) the fundamental question related to the authority of the Regional Notary Honorary Council which is authorized to approve and / or reject the application for approval and determination of the time limit no later than 30 (thirty) working days for the Regional Notary Honorary Council provides an answer. From the results of the study, it is known that based on the laws and regulations, the authority to give approval to Notaries who moved to the position of office against the request of law enforcement officers was the authority of the notary council in the notary area concerned. This means that the provisions apply mutatis mutandis to the determination of the time limit no later than 30 (thirty) working days for the Regional Notary Honorary Council to provide answers as of the receipt of summons by law enforcement officers. Keywords: Authority, Regional Notary Honorary Council, notary, Law Enforcement Officials.   Abstrak: Pelaksanaan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah dalam memberikan persetujuan dan/atau penolakan permohonan persetujuan dari penegak hukum (penyidik, penuntut umum, atau hakim) terhadap notaris yang telah pindah wilayah jabatan berhubungan dengan akta yang dibuatnya tersangkut perkara pidana, menimbulkan 2 (dua) pertanyaan mendasar berkaitan dengan kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah yang berwenang memberikan persetujuan dan/atau penolakan permohonan persetujuan dan penentuan batasan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja bagi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah memberikan jawaban. Dari hasil penelitian diketahui bahwa berdasarkan peraturan Perundang undangan, kewenangan memberikan persetujuan terhadap Notaris yang pindah wilayah jabatan terhadap permohonan aparat penegak hukum adalah kewenangan Majelis Kehormatan notaris wilayah tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. Artinya ketentuan tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap penentuan batasan waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja bagi Majelis Kehormatan Notaris Wilayah memberikan jawaban terhitung saat penerimaan surat pemanggilan oleh aparat penegak hukum. Kata Kunci: Kewenangan, Majelis Kehormatan Notaris Wilayah, Notaris, Aparat Penegak Hukum.
Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan Pada Kantor Pertanahan Adjie, Habib; Purbawisesa, Brian Polly
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3341.216 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.186-201

Abstract

Abstract: This article examines about legal protection for creditors in relation to the Deed of Giving the Underwriting Rights that are not registered. As a result of the non-registration of the Deed of Giving Rights (hereinafter referred to as APHT) for banking credit agreements made by the parties before a Notary / Acting Officer (hereinafter referred to as PPAT) is a creditor having no prioritized position. Where the form of legal protection that can be given to creditors as a form of anticipation of not registering the APHT is by signing the deed of power of sale at the time of the credit agreement. The creditor's right to the collateral object in the case of the APHT is not registered, that is, it does not give precedence rights compared to other creditors. The purpose of imposing mortgage rights is to provide legal protection and certainty to all parties (especially creditors) and also to fulfill the publicity principle. Article 1 paragraph (1) of the Underwriting Rights Law regulates the provisions concerning to the granting of liability from the debtor to the creditor in connection with the debt pledged as collateral rights. Mortgage rights will not be born without APHT registration. But in practice there are still some PPAT individuals who are late registering the APHT to the Land Office for various reasons, of course this will harm the creditor as the lender. Keywords: Legal protection, Land Deed Making Officer, mortgage rights.   Abstrak: Jurnal ini mengkaji mengenai perlindungan hukum bagi Kreditur terkait adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan.Akibat hukum dari tidak didaftarkannya Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) terhadap perjanjian kredit perbankan yang dibuat para pihak di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah kreditur tidak memiliki kedudukan yang diutamakan. Di mana bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada kreditur sebagai bentuk antisipasi tidak didaftarkannya APHT adalah dengan penandatanganan akta kuasa menjual pada saat akad kredit. Hak kreditur terhadap benda jaminan dalam hal APHT tidak didaftarkan yaitu tidak memberikan hak saling mendahului dibandingkan dengan Kreditur lainnya.Tujuan dari pembebanan hak tanggungan adalah dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya kreditur) dan juga untuk memenuhi asas publisitas. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari debitur kepada kreditur sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Hak tanggungan tidak akan lahir tanpa adanya pendaftaran APHT. Namun pada praktiknya masih dijumpai beberapa oknum PPAT yang terlambat mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan dengan berbagai alasan, tentu saja hal ini akan merugikan pihak kreditur sebagai pemberi kredit. Kata Kunci:    Perlindungan hukum, Pejabat Pembuat Akta Tanah, hak tanggungan.
Sumpah Pocong Dalam Penyelesaian Sengketa di Polagan Sampang Madura Choirunnisa’, Chaja
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5063.056 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.1-23

Abstract

Abstract: This article discusses about pocong oath of the dispute resolution in Madegan Polagan Sampang Madura. Pocong oath is carried out as a middle way since there is not enough evidence and witness to be processed through a court. Pocong oath is carried out by a statement submitted to the village head of Polagan. The statement must also be known by the police chief and the local military command. An overview of Islamic law regarding pocong oath in the case of land dispute resolution in Polagan Village of Sampang Madura is included in the decisoir oath. In the case of no evidence at all, the judge will give a decisoir oath or a breaker oath to solve the case completely. By using a decisoir oath tool, the judge's decision will depend solely on the sound of the oath and the courage of the oath-swearman. Based on this practice, pocong oath in Islamic law is permitted because the oath strengthens proof. Keywords: Pocong oath, land dispute, Islamic law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang sumpah pocong terhadap penyelesaian sengketa di Madegan Polagan Sampang Madura. Sumpah pocong dilakukan sebagai jalan tengah karena tidak adanya cukup bukti dan saksi jika diproses melalui pengadilan. Sumpah pocong dilaksanakan dengan membuat surat pernyataan yang diajukan kepada kepala desa Polagan. Surat pernyataan tersebut juga harus diketahui oleh Kapolsek dan Danramil setempat. Tinjauan hukum Islam tentang sumpah pocong dalam kasus penyelesaian sengketa tanah di Desa Polagan Sampang Madura adalah termasuk dalam sumpah decisoir. Berdasarkan praktik tersebut maka sumpah pocong dalam hukum Islam diperbolehkan karena sumpah tersebut menguatkan pembuktian. Kata kunci: Sumpah pocong, sengketa tanah, hukum Islam.
Peran Santri Terhadap Pemberantasan Korupsi Sebagai Upaya Mempertahankan Keamanan Negara Fitriyani, Fitriyani; Sa'adah, Nabitatus; Ardi, Unggul Suryo
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4083.667 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.69-88

Abstract

Abstract: One of the criminal acts that can threaten state security is corruption. However, the problem is that various efforts to eradicate corruption have not been able to eradicate corruption yet. In fact, in 2017, the KPK found 576 corruption cases with 1,298 suspects. Of the total cases, the value of the state’s losses amounted to Rp.6.5 trillion while the KPK found the value of bribes amounted to Rp. 211 billion. Corruption is one of the most extraordinary legal issues, so the solution must be extraordinary way too, which involves the role of santri in pesantren (student of Islamic Boarding House) and kiai / ustadz (leader/teacher of Islamic Boarding House) through knowledge of religion and character that were formed during in pesantren as the basic behavior to become a leader. Indonesia has 3,642,738 santri as youth who have a very large role in the framework of national development.Keywords: Santri, eradicating corruption, state security.   Abstrak: Salah satu bentuk kejahatan yang bisa mengancam keamanan negara adalah tindak pidana korupsi. Namun permasalahannya, berbagai upaya pemberantasan korupsi hingga saat tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Faktanya, pada tahun 2017, KPK menemukan 576 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.298 orang. Dari jumlah kasus tersebut, nilai kerugian negara sejumlah Rp.6.5 Triliun sedangkan KPK menemukan nilai suap sebanyak Rp. 211 Miliar. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu permasalahan hukum yang luar biasa, maka penyelesaiannya harus dengan cara yang luar biasa (rule breaking) yakni melibatkan peran santri yang berada dalam pesantren termasuk peran kiai/ustadz. Melalui pengetahuan agama dan karakter yang dibentuk selama dipesantren sebagai basic behavior dalam perjalanannya menjadi seorang pemimpin. Indonesia mempunyai 3.642.738 santri sebagai pemuda yang mempunyai peran yang sangat besar dalam rangka pembangunan nasional. Kata Kunci: Santri, pemberantasan korupsi, keamanan negara.
Kontribusi Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi Dalam Pemikiran Hukum Publik Islam Mufid, Moh.
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5828.814 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.24-46

Abstract

Abstract: This paper discusses about al-Buthi's thoughts in the field of Islamic criminal law. Al-Buthi concludes that critics of Islamic criminal law are too simplistic and superficial. Because Islamic criminal law actually accommodates the interests of victims of criminal acts and also aims to create a conducive and productive society. In this context, al-Buthi asserted that the implementation of punishment in Islamic criminal conduct is procedurally through rigorous verification. Apart from that, it also pays attention to other aspects, such as the conditions and situations in which the crime occurred. Philosophically, punishment in Islam must contain two elements: ibrah and zajr. Al-Buthi assessed that punishments in Islamic crimes are relevant to the purpose of maqasid sharia to create a safe and conducive society. Keywords: Contributions, Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, Thought of Islamic Criminal Law.                                  Abstrak: Tulisan ini membahas pemikiran al-Bûthi di bidang hukum pidana Islam. Al-Bûthi menyatakan bahwa para pengkritik hukum pidana Islam terlalu simplifikatif dan dangkal, padahal hukum pidana Islam sejatinya mengakomodasi kepentingan korban tindak kriminalitas dan juga bertujuan menciptakan masyarakat yang kondusif dan produktif. Pada konteks ini, al-Bûthi menegaskan bahwa pelaksanaan hukuman dalam pidana Islam dilakukan secara prosedural melalui pembuktian yang ketat. Selain itu, hukuman dalam pidana Islam juga memperhatikan aspek lain, misalnya kondisi dan situasi dimana tindak pidana tersebut terjadi. Secara filosofis, hukuman dalam Islam harus mengandung dua unsur: ibrah dan zajr. Al-Bûthi menilai hukuman dalam pidana Islam relevan dengan tujuan maqasid syariah untuk menciptakan masyarakat yang aman dan kondusif. Kata Kunci: Kontribusi, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthi, Pemikiran Hukum Pidana Islam.
Kontekstualisasi Teologi Keadilan Dalam Hukum Qisas Dan Poligami Bakry, Kasman; Gunawan, Edi
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6052.224 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.47-68

Abstract

Abstract: Principles of justice in both of al-Qur'an and al-hadith mean: equality (al-musâwâh), honesty (al-shidq), and purity (al-ikhlâsh). Islam is a religion that upholds the value of justice. Even, justice is the main character of the Prophet Muhammad (Peace be Upon Him)  and Muslims. However, Islamic criminal law, which contains of those three values, has many problem to be criticized particularly on some applications such as the punishment of qishāsh, the practice of polygamy. They are considered not to reflect the value of justice. The main problem of this research is the contextualization of theological justice in the law of qishash and polygamy, using a normative theological approach. The conclusions are that the values of justice which found in the application of the punishment of qishāsh and the practice of polygamy contain wisdom and benefit for mankind. Keywords: Theology, justice, qishash, polygamy.   Abstrak: Prinsip keadilan dalam al-Qur’an dan hadis meliputi makna antara lain: kesetaraan (al-musâwâh), kejujuran (al-shidq), dan kemurnian (al-ikhlâsh). Islam adalah ajaran yang menjunjung tinggi nilai keadilan, bahkan sisi keadilan merupakan karakter Rasulullah saw dan umat Islam. Namun nilai keadilan tersebut dikritisi pada beberapa penerapan hukum pidana Islam, seperti hukuman qishâsh, dan pada praktik poligami dalam perkawinan, yang dianggap tidak mencerminkan nilai keadilan. Pokok permasalahan penelitian ini adalah kontekstualisasi teologi keadilan dalam hukum  qishâsh  dan poligami, dengan menggunakan pendekatan teologi normatif. Kesimpulannya bahwa nilai-nilai keadilan terdapat pada penerapan hukuman qishâsh dan praktik poligami dalam perkawinan, dan mengandung hikmah bagi kemaslahatan umat manusia. Kata Kunci: Teologi, keadilan, qishâsh, poligami.
Analisis Yuridis Tindak Pidana Pencabulan Anak Di Bawah Umur Warjiyati, Sri
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3834.235 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.89-106

Abstract

Abstract: Cases of crime on child often occur and the number of the crime is increasing every year. Molestation is a violation of the child's rights and cannot be justified regardless of the reason, both in moral and religious term. Child has right to be protected for his or her welfare, because child is vulnerable group of community. In positive law, Article 82 of Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection, explains that the perpetrators of the crime on child are subject to a maximum sentence of 15 years and a minimum of 3 years in prison with a maximum fine of 300,000,000.00 and at least 60,000,000. 00. Whereas in Islamic criminal law, sexual abuse is equated with adultery and the perpetrators of which are stoned to death, while those of the ghair muhshan are flogged a hundred times and exiled.Keywords: Positive law, Islamic criminal law, child abuse, KPAI.   Abstrak: Kasus kejahatan pada anak seringkali terjadi dan jumlah kejahatannya setiap tahun semakin bertambah. Pencabulan merupakan pelanggaran hak anak dan tidak dapat dibenarkan bagaimanapun alasannya, baik dari segi moral, susila dan agama. Anak memiliki hak untuk dilindungi demi kesejahteraannya, karena anak-anak merupakan golongan yang rawan. Pada hukum positif, Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa para pelaku kejahatan pada anak dikenai hukuman maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun penjara dengan denda paling banyak 300.000.000,00 dan paling sedikit 60.000.000,00. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, pencabulan disamakan dengan zina dan para pelaku yang muhshan dirajam hingga mati, adapun yang ghair muhshan dicambuk seratus kali dan diasingkan. Kata Kunci : Hukum Positif, Hukum Pidana Islam, Pencabulan Anak, KPAI.
Rekonstruksi Dikotomi Dar Al-Islam Dan Dar Al-Harb Junaidy, Abdul Basith
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5451.718 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.107-130

Abstract

Abstract: Historically it was recognized that fukaha (Muslim Sholars) divided the country into two: Islamic State (dâr al-Islâm) and infidel state (dâr al-harb) for certain purposes. In responding to this division, contemporary Muslim thinkers differed. Some Muslim thinkers are of the view that the division is carried out because it is based on the philosophy that the basis of relation between Muslims and non-Muslims is permanent hostility until the whole world is ruled by Muslims. On the other hand, there are some Muslim thinkers who claim that the basis of relation between Muslims and non-Muslims is peace. The division is actually intended to find the point of difference between a stable, perfect and normal Shari'a law with an imperfect, unstable, abnormal or exceptional Sharia law. The division of this area is intended to help Muslim residents in areas with a majority of non-Muslims in order to be able to carry out their lives while still practicing the Sharia law. But along with the times, the division of countries into 2 categories is no longer valid. The world now has indeed been divided into several types of regions, but the distribution is not at all based on the religious differences of its citizens. Keywords: Reconstruction, dâr al-Islam, dâr al-harb.   Abstrak: Secara Historis diakui  bahwa fukaha membagi negara menjadi dua: Negara Islam (dâr al-Islâm) dan negara kafir (dâr al-harb) untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam merespon pembagian tersebut, para pemikir muslim kontemporer berbeda pendapat. Di satu sisi, sebagian pemikir muslim berpandangan bahwa pembagian tersebut dilakukan karena didasarkan pada falsafah bahwa basis hubungan antara muslim dan non-muslim adalah permusuhan permanen sampai seluruh dunia dikuasai oleh kaum muslim. Di sisi lain, ada sebagian pemikir pemikir muslim menyatakan bahwa basis hubungan  antara muslim dan non-muslim adalah perdamaian. Pembagian tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari titik perbedaan antara hukum syariat yang stabil, sempurna dan normal dengan hukum syariat yang tidak sempurna, tidak stabil, tidak normal atau bersifat pengecualian. Pembagian wilayah  ini ditujukan membantu penduduk muslim yang berada di wilayah yang mayoritas penduduknya non-muslim agar dapat menjalankan kehidupun dengan tetap menjalankan hukum syariat. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pembagian negara menjadi 2 kategori ini tidak berlaku lagi. Dunia sekarang memang sudah terbagi menjadi beberapa tipe wilayah, akan tetapi pembagian itu sama sekali tidak berdasarkan perbedaan agama para warganya. Kata kunci: Rekonstruksi, dâr al-Islam, dâr al-harb.
Kedudukan Dan Fungsi Kaidah Fikih Dalam Hukum Pidana Islam Musyafa'ah, NurLailatul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3534.693 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.131-147

Abstract

Abstract: The rules of fiqh are the results or conclusions of detailed fiqh laws and are separate as a result of the ijtihad of the fuqaha (Muslim Shcolar), then these separate parts are bound into a single bond or rule. Jurisprudence rules need to be studied in order to find out the general principles of doing legal istinbath (legal reasoning) on new problems which are not appointed by shari'ah (al-Qur'an and Sunnah) clearly and are in dire need of legal provisions. People do not easily determine the law against new problems if they do not know the rules of fiqh. It is because the rules of fiqh have an important position in determining Islamic law including Islamic criminal law. Jurisprudence aims to nurture the spirit of Islam in fostering the law and realizing high ideas concerning to right, justice, equality, and maintaining care, refusing mafsadat, and paying attention to circumstances and atmosphere. Knowledge about jurisprudence will be easier if we master the rules. Keywords: Function, the rule of fiqh, Islamic law.   Abstrak: Kaidah fikih merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fikih yang terperinci (juz’iy) dan terpisah-pisah sebagai hasil dari ijtihad para fuqaha, kemudian bagian yang terpisah-pisah ini diikat menjadi satu ikatan atau kaidah. Kaidah fikih perlu dipelajari guna mengetahui prinsip-prinsip umum dalam melakukan istinbath hukum atas masalah-masalah baru yang tidak ditunjuk oleh nash syar’i (al-Qur’an dan Sunnah) secara sharih (jelas) dan sangat memerlukan ketetapan hukum. Orang tidak mudah menetapkan hukum terhadap problem baru dengan baik apabila dia tidak mengetahui kaidah fikih, karena kaidah fiqh mempunyai kedudukan yang penting dalam menentukan hukum Islam termasuk hukum pidana Islam. Kaidah fikih bertujuan untuk memelihara ruh Islam dalam membina hukum dan mewujudkan ide-ide yang tinggi, baik mengenai hak, keadilan, persamaan, maupun dalam memelihara maslahat, menolak mafsadat, serta memperhatikan keadaan dan suasana.  Pengetahuan tentang fikih jinayah akan lebih mudah jika menguasai kaidah-kaidahnya. Kata Kunci: Keduudkan, fungsi, kaidah fikih, hukum pidana Islam
Kebijakan Hukum Tentang Bantuan Hukum Untuk Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Rizal, Moch. Choirul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari?ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5046.977 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.147-171

Abstract

Abstract: Legal policies regarding to legal aid in Indonesia can be found in the Law of the Republic of Indonesia Number 16 of 2011 about legal aid and its implementation rules. The legal policy is seen as more concrete and guarantees aspects of the fulfillment of the right to legal assistance for the poor. Legal policies regarding to legal assistance in Indonesia make it possible for lawyers, paralegals, lecturers and students to do. In its later development, legal policies regarding to legal assistance can be maximized for efforts to eradicate corruption in Indonesia. The activity of legal aid to disadvantaged communities are not only limited to assistance or settlement of cases in court (litigation), but can also be given non-litigation. For example, lecturers and students who are members of legal aid organizations that are verified and accredited by the government can conduct legal research as part of the activities of providing legal assistance to disadvantaged communities. The results of the legal research, at least, contain monitoring and evaluating of legal policies to eradicate corruption in Indonesia. Starting from the results of the legal research, in addition to the public being unable to get their rights to obtain legal information, holders and policy breakers get recommendations for legal policy reforms to further maximize efforts to eradicate corruption in Indonesia. Keywords: Legal policy; legal assistance; eradicating corruption.   Abstrak: Kebijakan hukum tentang bantuan hukum di Indonesia dapat dijumpai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum beserta aturan pelaksanaannya. Kebijakan hukum tersebut dipandang lebih konkrit dan menjamin aspek pemenuhan hak atas bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu. Kebijakan hukum tentang bantuan hukum di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa. Pada perkembangannya kemudian, kebijakan hukum tentang bantuan hukum dapat dimaksimalkan untuk upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kegiatan pemberian bantuan kepada masyarakat tidak mampu tidak hanya sebatas pendampingan atau penyelesaian perkara di pengadilan (litigasi), tetapi juga dapat diberikan secara nonlitigasi. Misalnya, dosen dan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum yang terverifikasi dan terakreditasi oleh pemerintah dapat melakukan penelitian hukum sebagai bagian dari kegiatan pemberian bantuan hukum untuk masyarakat yang tidak mampu. Hasil penelitian hukum tersebut, paling tidak, memuat monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Berawal dari hasil penelitian hukum tersebut, selain masyarakat tidak mampu mendapatkan haknya untuk mendapatkan informasi hukum, pemegang dan pemutus kebijakan mendapatkan rekomendasi pembaruan kebijakan hukum untuk lebih memaksimalkan upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kata Kunci: Kebijakan hukum; bantuan hukum; pemberantasan korupsi.

Page 1 of 1 | Total Record : 10