cover
Contact Name
Amalia Setiasari
Contact Email
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia
ISSN : 19796366     EISSN : 25026550     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Indonesian Fisheries Policy Journal present an analysis and synthesis of research results, information and ideas in marine and fisheries policies.
Arjuna Subject : -
Articles 170 Documents
ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI SEKITAR TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT Isa Nagib Edrus; Suprapto Suprapto
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 5, No 1 (2013): (Mei 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2728.859 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.5.1.2013.25-38

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan arah pengembangan perikanan tangkap di Teluk Saleh. Pendekatan yang digunakan adalah analisis agroekosistem yang memformulasikan data dan informasi yang tersedia ke dalam bentuk ruang, waktu, alur, dan kebijakan yang mempengaruhi sifatsifat (properties) dari sistem perikanan yang ada, antara lain produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan equitabilitas, sehingga terbentuk hipotesis kerja pengembangan perikanan Teluk Saleh. Hasil analisi menunjukkan bahwa adanya beberapa faktor penting sebagai pendukung dan penghambat terhadap empat sifat agroekosistem tersebut. Pertanyaan kunci yang muncul adalah bagaimanamemberdayakan faktor-faktor pendukung dan memperkecil faktor faktor negatif yang menjadi penghambat, di mana dengannya proses produksi tidak menjadi eksternalitas antar usaha perikanan, dan teknologi tepat guna apa untuk pengembangannya. Untuk itu, diformulasikan 10 hipotesis kerja dalam rangka pengembangan usaha perikanan tangkap di Teluk Saleh.This paper aimed to provide a development direction for fisheries in the Saleh Bay. The approach used was an agro-ecosystem analysis by which the data and information given were formulated interesting in spaces, times, flow chart, and decision and those will influence the properties of existing fishery system, such as productivity, stability, sustainability, and equitability, from which working hypotheses will be created to improve the Saleh Bay fishing development The results showed that there were some crucial factors supporting and weakening toward the agro-ecosystem properties. A key question determined was how to empower the supporting factors and minimize the weakeningfactors of the properties fromwhich production processes will not be externality among fishery activities, and what kinds of the proper technologies to develop them. Hence, it’s formulated ten working hypotheses in terms of fishing development activities in Saleh Bay.
PENILAIAN KEPADATAN POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) DALAM KAITANNYA DENGAN KEPENTINGAN PENGELOLAAN DI INDONESIA Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 4, No 2 (2012): (November 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (52.435 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.4.2.2012.79-84

Abstract

Penerapan regulasi pengelolaan ikan Napoleon memerlukan informasi lain seperti kriteria kepadatan populasi. Tulisan ini adalah sisntesa atas kriteria tersebut yang bermanfaat untuk menilai tingkat status populasi ikan ini di alam, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaannya. Hasil sintesa menunjukkan bahwa kriteria kepadatan dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu 1). Status dalam kategori sangat kritis, dimana populasi dengan kepadatan sangat rendah (0–2 ekor/ha); 2). Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik, dimana populasi dengan kepadatan rendah (2,1 - 4 ekor/ha); 3). Status dalam kategori membaik, dimana populasi dengan kepadatan sedang 4,1- 6 ekor/ha; 4). Status dalam kategori mendekati normal, dimana populasi dengan kepadatan tinggi (6,1 –8 ekor/ha); dan 5). Status dalam kategori normal, dimana populasi dengan kepadatan sangat tinggi (8,1 – 10 ekor/ha).Aplication of the management regulation for Humphead Wrasse fish depend on further information like population density criteria. This paper is a synthesis on the criteria being usefull to value some levels of the fish natural states in order to be a guidance for monitoring, fishing and conserving. The results show that density criteria may divide into five categories, such as 1. The population may be under at risk with lowest level of density (from 0 to 2 individual per hectar); 2. The population may be still in danger but in earliest renewal with low level of density (from 2,1 to 4 individual per hectar); 3. The population may be under recovery with moderate level of density (from 4,1 to 6 individual per hectar); 4. The population may be under primary habitual with high level of density (from 6,1 to 8 individual per hectar); and 5. The population may be under normal condition with high level of density (from 8,1 to 10 individual per hectar).
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI SUNGAI SERKAP KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU Chairulwan Umar; Eko Prianto; Priyo Suharsono Sulaiman
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (74.083 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.71-77

Abstract

Sungai Serkap memiliki sumberdaya ikan yang unik dan beragam. Jumlah jenis ikan di Sungai Serkap pada tahun 2013 ditemukan sebanyak 54 jenis yang sebagian besar merupakan ikan perairan asam. Selain memiliki sumberdaya ikan yang melimpah, Sungai Serkap merupakan habitat ikan merah (Pectenocypris sp), ikan arwana kuning (Scleropages aureus) dan labi-labi (Amyda cartilagynea), dimana arwana kuning dan labi-labi termasuk biota yang dilindungi sedangkan ikan merah diduga ikan endemik dan merupakan spesies baru dari genus Pectenocypris. Walaupun ekosistem perairan Sungai Serkap masih alami namun aktifitas manusia disekitarnya dapat mengancam kualitas lingkungan dan kelestarian sumberdaya ikan di sungai tersebut. Beberapa faktor yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan antara lain: i) pembalakan liar, ii) kebakaran hutan, iii) penutupan kanal atau anak-anak sungai, iv) penangkapan pada musim pemijahan, v) eksploitasi jenis ikan tertentu dan vi) belum adanya reservat atau suaka perikanan. Untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan di masa mendatang diperlukan langkah-langkah pengelolaan sebagai berikut: (1) penetapan suaka perikanan, (2) rehabilitasi hutan rawa, (3) penetapan waktu dan lokasi penangkapan ikan, (4) re-stocking ikan arwana kuning dan (5) pengembangan co-managemen. Serkap river has been unique and diverse of fish resources. In 2013, the number of fish that found in Serkap River were 54 species which mostly are acidic water fish. Besides of having abundant resources, the Serkap River is a habitat for red fish (Pectenocypris sp), arwana yellow fish (Scleropages aureus) and labilabi (Amyda cartilagynea), where arwan yellow fish and labi-labi including protected biota while the red fish suspected as an endemic fish and represent a new species from Pectenocypris genus. Although the ecosystems in Serkap River is still natural/clean/unspoiled but human activity around there could threaten the environmental quality and preservation of fish resources in the river. Some factors that could threaten the sustainability of fish resources are: i) illegal logging, ii) forest fire, iii) the closure of canals or creeks, iv) fishing on spawning season, v) exploitation of certain fish and vi) the absence of reservat or fish santuary. Special treatment of fisheries management is needed to ensure the sustainability of fisheries resources in the future as follows: (1) the determination of fish santuary, (2) the rehabilitation of swamp forest, (3) determination of time and location of fishing, (4) restocking of arwana yellow fish and (5) development of comanagement.
DINAMIKA KELEMBAGAAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN KEPITING BAKAU DI OHOI EVU KABUPATEN MALUKU TENGGARA James Abrahamsz; Marvin M Makailipessy; Imanuel M Thenu
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 10, No 1 (2018): (Mei 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (990.335 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.10.1.2018.53-61

Abstract

Pengelolaan perikanan kepiting pada Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pulau Kei Kecil dan Perairan Sekitarnya di Kabupaten Maluku Tenggara Provinsi Maluku telah dilakukan. Salah satunya melalui pengembangan kelembagaan pengelola di Ohoi Evu, Kecamatan Hoat Sorbay. Inisiatif pengembangan model pengelolaan perikanan kepiting berbasis masyarakat dimulai dengan pembentukan kelompok nelayan Sinar Abadi. Kajian bertujuan menilai dinamika, status dan perkembangan kelembagaan di masyarakat dalam mendukung pengelolaan perikanan kepiting secara berkelanjutan. Dinamika kelembagaan dianalisis melalui penilaian domain kelembagaan dalam Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) dan pendekatan flag model. Status dan perkembangan kelembagaan dianalisis dengan pendekatan Institutional Development Framework (IDF). Penelitian ini menemukan dinamika kelembagaan pengelola perikanan kepiting bakau di Ohoi Evu tergolong dalam kategori sedang. Status kelembagaan cukup baik, berada pada tahap pemantapan dan kebutuhan pengembangan kelembagaan mendesak. Implikasi pengembangannya adalah peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan perikanan kepiting bertanggungjawab, penetapan dan implementasi Rencana Pengelolaan Perikanan Kepiting, serta penguatan sumberdaya manajemen kelompok dan kemitraan.The management of crab fishery in the Coastal and Small Islands Conservation Area of Kei Kecil Island and the surrounding Waters of Southeast Maluku Regency of Maluku Province has been conducted. One of them is through the development of management institution in Ohoi Evu, Hoat Sorbay Sub-district. The initiative of developing a community-based crab fisheries management model begins with the formation of the Sinar Abadi fishing group. The study aims to assess the dynamics, status and institutional development in the community to supporting the sustainable management of crab fisheries. The institutional dynamics are analyzed through the assessment of institutional domains in the Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) and the flag model approach. Institutional status and development are analyzed by Institutional Development Framework (IDF) approach. This research found that the institutional dynamics of crab fishery management in Ohoi Evu belong to medium category. The institutional status is quite good, at the consolidation stage and the urgent institutional development needs. The implications are enhancement of institutional capacity in responsible fishery management of crabs, establishment and implementation of the Crab Fisheries Management Plan, and strengthening of institutional management resources and partnership.
STATUS SUMBER DAYA IKAN TUNA SAMUDERA HINDIA: IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA Victor P. H. Nikijuluw
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 1, No 1 (2009): (Mei 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (52.029 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.1.1.2009.31-44

Abstract

Sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia dikelola oleh 2 Regional Fisheries Management Organization yaitu Indian Ocean Tuna Commission dan Commission for the Conservation of the Blue Fin Tuna. Dengan pengolahan ini, maka sumber daya ini tidak lagi bebas dimasuki untuk dimanfaatkan, kecuali oleh negara atau entitas yang menjadi anggota ke-2 Regional Fisheries Management Organization ini. Sumber daya tuna ini telah dimanfaatkan sejak tahun 1950, dan mungkin akan terus menjadi daerah penangkapan utama di masa mendatang. Jenis-jenis tuna ukuran besar sudah cenderung ditangkap secara berlebihan. Sementara jenis tuna ukuran kecil cenderung belum tinggi intensitas penangkapan. Indonesia sudah saatnya mengembangkan perikanan tuna di Samudera Hindia ini secara besar-besaran, mengingat posisi geografis Indonesia yang relatif lebih dekat dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.Indian Ocean tuna resources are managed by two Regional Fisheries Management Organization; the Indian Ocean Tuna Commission and Commission for the Conservation of the Blue Fin Tuna. Under this management regime, the fishery is not an open access. It can only be utilized by member countries and entities of the those Regional Fisheries Management Organization. The tuna resources have been extensively caught since 1950, and may be kept on being exploited in the future. The large tuna species tended to have been fully utilized, while the small species may be considered under fished. Indonesia should develop its capacity to the best use of the existing resources, considering its relatively shorter distance to the fishing ground.
MODEL OPTIMISASI DENGAN SASARAN BERAGAM UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA Purwanto Purwanto
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 3, No 1 (2011): (Mei 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.05 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.3.1.2011.61-79

Abstract

Kriteria pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional, yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment, mengarahkan pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura untuk mencapai kelangsungan produktivitas stok udang, mengoptimumkan produksi dan total keuntungan perikanan, serta meningkatkan keuntungan pelaku usaha dan peluang kerja di kapal perikanan. Sementara itu, visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada optimisasi produksi dan total keuntungan perikanan. Tujuan-tujuan pengelolaan perikanan tersebut saling bertentangan sehingga tidak dapat dicapai secara bersamaan. Oleh karena itu perlu ditentukan tingkat kompromi optimal di antara tujuan-tujuan tersebut dan sasarannya. Tulisan ini menyajikan model pemrograman matematika untuk optimisasi dengan tujuan beragam yang mengakomodasikan empat sasaran pengelolaan perikanan serta menggunakannya untuk mengestimasi tingkat kompromi optimal dari empat sasaran tersebut dan jumlah optimal kapal penangkap udang. Hasil analisis dengan memberikan bobot prioritas yang sama terhadap empat tujuan pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional menunjukkan bahwa tingkat kompromi optimal dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan pada tingkat yang setara dengan 511 kapal pukat udang berukuran 130 GT. Tingkat kompromi optimal yang sama dihasilkan dari analisis dengan memberikan bobot prioritas yang lebih tinggi terhadap dua tujuan pengelolaan perikanan untuk mendukung upaya pencapaian visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi pengelolaan perikanan guna mendukung pencapaian visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak berbeda dari strategi pengelolaan perikanan dalam kerangka pembangunan nasional.The criteria of fisheries management undertaken in a framework of national development, particularly pro-growth, pro-poor, pro-job, and pro-environment, guide the management of shrimp fishery in the Arafura Sea to achieving sustainable shrimp stock productivity, optimising shrimp production and total fishery profit, and increasing average fisher profit and job opportunity as vessel crews. Meanwhile, the vision and the mission of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries provided higher priorities to optimising shrimp production and total profit of fishery. However, those objectives were conflicting that couldnot be achieved simultaneously. Therefore, it is necessary to seek an optimal compromise amongst several conflicting objectives or to achieve satisficing levels of goals. This paper presents a mathematical programming model accommodating four goals of fishery management, and the utilisation of this for estimating the optimal compromise solution to the goals and the optimal number of fishing vessels. The result of analysis shows that the optimal compromise levels for the four conflicting objectives of fishery management supporting the national development could be achieved by controlling fishing effort at the level equal to 511 shrimp trawlers of 130 GT. The same optimal compromise levels resulted from the analysis providing higher priority to the objectives to achieve the vision and the mission of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries. This indicates that the fishery management strategy to achieve the vision and the mission of the Ministry of Marine Affairs and Fisheries was not different from the strategy to support the national development.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM DI PAPARAN BANJIRAN GIAM SIAK KECIL Kamaluddin Kasim; Eko Prianto; Husnah Husnah; Setiya Triharyuni
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 9, No 2 (2017): (November, 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (411.435 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.9.2.2017.115-124

Abstract

Cagar biosfir Giam Siak Kecil (GSK) merupakan ekosistem paparan banjiran yang unik dengan sumberdaya ikan yang beragam. Terdapat beberapa permasalahan terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan diantaranya penurunan jumlah dan jenis sumberdaya perikanan. Salah satu upaya pengelolaan perikanan yang digunakan adalah pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management/EAFM). Tulisan ini bertujuan untuk merumuskan pengelolaan sumberdaya perikanan melalui pendekatan ekosistem di rawa banjiran GSK Provinsi Riau. Jenis ikan yang ditemukan sebanyak 37 jenis ikan, 10 jenis diantaranya merupakan ikan ekonomis penting, sementara 5 jenis ikan mengalami kelangkaan diantaranya arwana (Schleropages aureus), belida (Chitala sp), patin (Pangasius sp), jalai (Channa maruliodes). Nilai beberapa domain pada pengelolaan perikanan GSK menunjukkan skor pada kategori buruk (dibawah reference point) yakni pada domain penangkapan, kelembagaan dan ekonomi. Namun, secara umum kondisi pengelolaan rawa banjiran GSK tergolong dalam kategori sedang (nilai 1,53). Focus group discussion merumuskan langkah-langkah pengelolaan yang diperlukan diantaranya: 1) restocking ikan asli. 2) pengembangan kawasan suaka perikanan, 3) peningkatan pengawasan terhadap praktek-praktek penangkapan ikan ilegal dan merusak, 4) penguatan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan 5) monitoring hasil tangkapan ikan beserta evaluasi pengelolaannya.Giam Siak Kecil Biosphere Reserve is a part of unique floodplain ecosystem, which is inhabited by various fresh water fish species. The catches of some native species have curtailed over the last decade since the local fishers often use destructive fishing practices and gears. A sustainable management approach needs to be addressed to avoid over-exploitation and to restore the stock. This research aimed to formulate proper management approach that can be applied to the floodplain ecosystem of Giam Siak Kecil Biosphere Reserve. The research found that at least 37 species of fish were recorded, 10 of them were economically important species. There were five species categorized as rare species such as Arwana (Schleropages aureus), Belida (Chitala sp), Patin (Pangasius sp), and Jalai (Channa maruliodes). EAFM indikators showed that the lowest score (below the reference point) were found on fishery domain, organization domain, and economy domain. Nevertheless, it could be concluded that floodplain ecosystem of Giam Siak Kecil Biosphere Reserve was categorized in middle class category, with average scores of 1.53. Based on the findings above, the formulation of management purposed should be addressed to: 1) restocking native fishes, 2) developing fishery sanctuary, 3) increase surveillance of illegal fishing practices, 4) strengthening fishers organizations, 5) monitoring and evaluating the catch on weekly or monthly basis.
KEBIJAKAN PENANGKAPAN DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN LAUT-DALAM DI INDONESIA Ali Suman; Badrudin Badrudin
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 2, No 2 (2010): (November, 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (32.052 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.2.2.2010.131-137

Abstract

Jenis-jenis organisme laut-dalam yang telah ditemukan antara lain meliputi ikan bertulang rawan (Elasmobranch), ikan bertulang keras (bony fish), krustasea, cephalopod, echinoids, asteroids, ophiuroids, holoturoids, dan anthozoa. Dari sejumlah 550 jenis biota laut, ada sebagian di antaranya bahkan belum ditemui dalam literatur. Jenis-jenis ikan laut-dalam yang ditemui di Samudera Hindia tampaknya mempunyai prospek yang cukup baik untuk dimanfaatkan. Sebagianbesar jenis-jenis ikan laut-dalam memiliki karakterisitik daging yang khusus dengan kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah. Selain itu juga dalam daging ikan laut-dalam tersebut telah ditemukan 17 jenis asam amino, yaitu sembilan asam amino esensial dan sisanya asam amino non esensial yang ke semuanya itu dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dari 10 jenis ikan laut-dalam yang dianalisis tempak bahwa leusin merupakan asam amino esensial dengan kuantias paling dominan. Selain asam amino, dalam daging ikan laut-dalam juga ditemukan unsur kimia steroid yaitu sejenis hormonyang berisi nucleolus steroid, merupakan unsur biokimia yang berfungsi sebagai bahan pemulih vitalitas (aphrodisiach), yang berguna dalam meningkatkan kesehatan fungsi seksual. Dari manfaat kandungan biokimia ikan laut-dalam tersebut kiranya perlu direkomendasikan agar eksploitasi sumber daya ikan laut dalam hendaknya tidak ditujukan untuk konsumsi langsung. Pemanfaatan yang optimal hendaknya ditujukan untuk memperoleh kandungan bioaktif bagi keperluan farmakologis. Dengan demikian, stok ikan laut-dalam yang tidak terlalubesar tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang. A wide range of marine organisms had been found in the catch. These include fishes group of both bony fish and Elasmobranch. Other groups were crustaceans, cephalopods, echinoids, asteroids, ophiuroids, holoturoids, and anthozoa. A total of more than 550 species were found in the catch, of which until now some species were not yet found in the literatures. Most of deepsea fish in the Eastern Indian Ocean having special meat characteristic with high protein content and lower lipid. On top of that there are some 17 amino acid, consisted of 9 essential and non essential were found in the dee-sea flesh, all needed for metabolism of human life. From the flesh analysis of 10 deepsea species it was found that leusin provide the highest content of the essential amino acid. In addition to the amino acid content it was also found steroid, abiochemical substant containing nucleolus steroid that provide agent in accelerating sexual health function. From this benefit of biochemical substant it is recommended that deep-sea fish resources exploitation should not allotted toward direct consumption. Some optimal exploitation of these resources should be directed to obtain bioactive substants for pharmalogical purposes, so that the relatively small size of potential stock biomass could be utilized sustainably.
STRATEGI MENGATASI KEMISKINAN UNTUK ANAK BUAH ‘BAGAN’ DI SUMATERA BARAT Richard Stanford; John Haluan; Budy Wiryawan; Dietriech G. Bengen; Rudi Febriamansyah
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 6, No 1 (2014): (Mei 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.428 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.6.1.2014.1-10

Abstract

Penelitian ini bertujuan merumuskan strategi mengatasi kemiskinan pada anak buah bagan di Sumatra Barat. Metoda kuantifikasi pendekatan Sustainable Livelihoods Approach (SLA) digunakan dalam penelitian ini dan diterapkan di dua kampung nelayan yaitu Sungai Pinang dan Ampang Pulai, di Provinsi Sumatera Barat. Wawancara dilakukan pada 52 rumah tangga nelayan yang bekerja di sektor perikanan bagan sebagai anak buah, kapten atau sebagai pemilik bagan. Analisis data menggunakan multi-dimensional scaling berdasarkan pengelompokkan ke dalam enam jenis sumber daya yaitu alam, keuangan, manusia, sosial, kelembagaan dan sumber daya buatan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pemilik kapal bagan memiliki sumber daya buatan, keuangan dan manusia yang lebih tinggi daripada anak kapal atau buruh tetapi tidak terdapat perbedaan untuk sumber daya alam, sosial dan kelembagaan. Lembaga perikanan kurang mendukung semua dari bagan sektor. Program pemerintah cenderung menargetkan pada sumber daya buatan tanpa meningkatkan keuangan dan sumber daya manusia terlebih dahulu. Penelitian ini menghasilkan empat jalan keluar dari kemiskinan yang dihadapi nelayan. In this paper a new methodology of quantifying the Sustainable Livelihoods Approach (SLA) is presented and applied to two fishing communities, Sungai Pinang and Ampang Pulai, in West Sumatra. Interviews with 52 households from the bagan sector, including crew members, captains and owners, are analysed using a multi dimensional scaling approach according to six asset categories. The analysis demonstrated that owners possess higher physical, financial and human capital than crew members but that there was no difference in the natural, social and institutional fields. Institutional support across all sectors scored poorly. Government programs tend to emphasise bridging the gap between crew members and owners by providing physical capital without necessarily addressing the underlying financial and human capital limitations that crew members face. The paper concludes with an explanation of the main routes out of poverty for a crew member.
PENGELOLAAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) YANG BERKELANJUTAN BERDASARKAN ASPEK BIOEKOLOGI DI TELUK LASONGKO, SULAWESI TENGGARA Abdul Hamid Lakudo; Yusli Wardiatno Wardiatno; Djamar T.F Lumban Batu; Etty Riani Riani
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 9, No 1 (2017): (Mei 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2120.213 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.9.1.2017.41-50

Abstract

Status perikanan rajungan di Teluk Lasongko saat ini telah overfishing dan kritis, sehingga perlu dikelola dengan baik. Makalah ini bertujuan untuk menentukan potensi dan permasalahan keberlanjutan pemanfaatan rajungan serta menyusun strategi pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan pada aspek bioekologi. Data ekobiologi dikumpulkan sejak tahun 2006, dan 2013 sampai 2014 di Teluk Lasongko. Hasil penelitian menunjukkan potensi dan keberlanjutan pemanfaatan perikanan rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi. Permasalahan yang timbul yang mengancam keberlanjutan rajungan adalah overfishing, penangkapan rajungan berukuran kecil dan rajungan betina ovigerous, daerah penangkapan rajungan yang tidak merata, dan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan. Beberapa strategi pengelolaan harus dilakukan untuk mendukung dan memastikan pengelolaan berkelanjutan rajungan di Teluk Lasongko, yaitu penetapan ukuran terkecil yang boleh ditangkap (untuk jantan >109,8 mm-CW dan betina >115,7 mm-CW), pelarangan penangkapan rajungan betina ovigerous, dan mengurangi upaya penangkapan dengan bubu sampai 50%. Selain itu, restocking dan pembentukan suaka rajungan juga harus dilakukan.  The status of blue swimming crab (Portunus pelagicus) fishery in Lasongko Bay is detected overfishing and critical, so it needs to be managed properly. This paper was aimed to determine the potential and problems of sustainability use of the crab and establish strategic management based on bioecology aspects. Bioecological data on the crab were collected in 2006, and from 2013 to 2014 in Lasongko Bay. Research result of indicated high potential and sustainable of use of crab fishery in the bay. Arising problems to threat the sustainability were over-fishing, small size crab and ovigerous female catch, localized fishing ground, and unfriendly environmentally fishing activities. Some management strategies must be done to support and ensure the sustainability management of the crab in Lasongko Bay, i.e. the minimum legal size (for males >109.8 mm-CW and females >115.7 mm-CW), not catching ovigerous female crabs, and reducing use of traps up to 50%. Restocking and establishing crab sanctuary could be also important to enhance the aforesaid management strategies.

Page 5 of 17 | Total Record : 170