cover
Contact Name
Amalia Setiasari
Contact Email
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia
ISSN : 19796366     EISSN : 25026550     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Indonesian Fisheries Policy Journal present an analysis and synthesis of research results, information and ideas in marine and fisheries policies.
Arjuna Subject : -
Articles 170 Documents
KONTRUKSI SOSIAL DALAM MEMBANGUAN BISNIS LOBSTER DI INDONESIA Armen Zulham
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 10, No 1 (2018): (Mei 2018)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.518 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.10.1.2018.43-52

Abstract

Kontruksi sosial bisnis lobster merupakan fenomena sosial yang berperan menjaga keberlanjutan bisnis lobster. Peran itu telah ditunjukkan melalui berbagai regulasi dan kelembagaan (asosiasi lobster) di Amerika Utara, Australia dan Uni Eropa. Di Indonesia asosiasi atau organisasi yang demikian belum ada. Keberadaan Permen KP No. 56/ 2016, merupakan kontruksi sosial yang penting untuk merintis pengembangan bisnis lobster Indonesia yang berkelanjutan. Tulisan ini mempelajari fenomena kontruksi sosial dari jaringan sosial bisnis lobster pada berbagai kawasan di Indonesia. Bahan tulisan ini, diperoleh dari studi pustaka, hasil survey di Simeulue tahun 2015 – 2016 dan wawancara narasumber yang terkait langsung dengan bisnis lobster pada bulan Juli 2017. Hasil analisis menunjukkan kebijakan terobosan harus dilakukan dalam mengembangkan bisnis lobster di Indonesia dengan membentuk kelembagaan Asosiasi Lobster Indonesia (ALI) atau Konsorsium Lobster Indonesia (KLI). ALI atau KLI berperan tidak hanya untuk berdagang, tetapi membantu pemerintah menjaga stok lobster dan mempromosikan teknik penangkapan/budidaya lobster, serta merancang kebijakan untuk mempengaruhi pasar global.Social construction of lobster business is a social phenomenon to maintain the sustainability of lobster business. The role has been showed by many regulation and institution (lobster associations) in North America, Australia and European Union. Such associations have not been established in Indonesia. The Ministerial Decree of Fisheries & Marine Affair No. 56/2016 is an important social construction as a pioneer to develop sustainable lobster business only in Indonesia. This paper studied the phenomenon of social construction from lobster business network in many areas in Indonesia. The source of data and information were obtained from literature study, survey in Simeulue from 2015-2016, and interview with sources directly related with lobster business in July 2017. Result analysis showed that an innovation in Indonesian lobster business policy should be made by creating Indonesian Lobster Association (ILA) or Indonesian Lobster Consotium (KLI). The role of ILA or KLI are not only related to lobster trading, but also to assist the government in maintaining lobster stock, promoting techniques of lobster cultivation, and designing policy to affect global market.
PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN SUAKA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM DARATAN BERBASIS KO MANAJEMEN Zahri Nasution; Mas Tri Djoko Sunarno
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 1, No 1 (2009): (Mei 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (43.475 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.1.1.2009.17-29

Abstract

Pendekatan pengelolaan sumber daya perikanan yang berakar padamasyarakat lebih diarahkan langsung pada masalah-masalah yangberhubungan dengan pengelolaan dan pembangunan perikanan yang dalam pelaksanaannya bernaung di bawah program pembangunan perikanan nasional yang mengikutsertakan aspek-aspek ilmu ekonomi, antropologi, hukum, dan politik, di samping ilmu limnologi. Berbagai kajian yang telah dilakukan, baik di Sumatera (Sumatera Selatan dan Jambi) maupun Kalimantan (Kalimantan Barat) dan berbagai informasi lain menunjukkan bahwa pengelolaan suaka perikanan di perairan umum daratan sudah saatnya diterapkan, jika menginginkan pemanfaatan sumber daya perikanan perairan umum daratan tersebut secara bertanggungjawab. Pola ko manajemen dalam hal ini merupakan suatu alternatif pola kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan dan pengaturannya dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. Dalam implementasinya, penetapan suaka perikanan, secara tekhnis mengikuti beberapa kaidah fungsi biologi dan ekologis yang sudah ada. Sementara itu, mula-mula secara ekonomi suaka perikanan berdampak terhadap upaya mempertahankan dan atau meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan, dan pada akhirnya berdampak secara sosial dan kelembagaan. Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan, termasuk di dalam pengembangan model pengelolaan suaka perikanan, dapat dilakukan dengan mengikuti tahapan yaitu identifikasi dan penetapan kelompok kerja pengelola sumber daya perikanan, termasuk suaka perikanan di mana pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Penetapan rencana pengelolaan suaka perikanan, termasuk unsur-unsur batas yurisdiksi, hak dan kewajiban, dan aturan representasi terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dilakukan oleh masyarakat nelayan. Selain itu, penetapan pengawas dan sistem pengawasan pengaturan, termasuk aturan main penegakan peraturan yang telah ditetapkan pada tingkat masyarakat patut diperhatikan sebelum sampai dengan pada sistem hukum positif. Penetapan pengaturan berfungsi sebagai upaya mempertahankan kualitas biologi dan ekologi perairan umum daratan, di samping pengaturan penggunaan alat tangkap dan musim penangkapan yang diperbolehkan.Approach of fisheries resource management using society base is addressed directly to problems related to management and development of fisheries. In implementation it, follows the programs of national fisheries development involving aspects of economics, anthropologic, law, and politics as well as limnology. Many studies conducted in South Sumatera, Jambi, and West Kalimantan and other information concluded that management of fisheries reserve in inland waters could be applied to attain responsible fisheries management in those areas. Co management in this case is an alternative cooperation between the government and society groups. The society is responsible to execution and management those program, so the government plays only as a facilitator. In its application, decision of fisheries reserve technically has to follow existing biological and ecological functions. In the mean time, economical aspect initially of the fisheries reserve have to give an impact on an effort of defending and or increasing fisher income and in the last step, also impacts on aspects of social and institution as well. Organizations of management and utilization of fisheries resource including development of its model could be done following a protocol such as identification and decision of working group as a manager of the fisheries resource e. q. fisheries reserve where the government acts as facilitator. Decision of management plan of fisheries reserve e. q. jurisdiction borders, authority and obligation and representative regulation related to fish catch activities is conducted by the fishers. Besides, decision of observer and regulation system of observation including applying regulations have been made in the society level should be concerned before attaining positive laws. The decision of regulation functions as an effort of sustaining biological and ecological qualities of inland waters besides allowed regulation of using gears and seasonal catch.
OVERFISHING PADA PERIKANAN PUKAT CINCIN SEMI INDUSTRI DI LAUT JAWA DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA Suherman Banon Atmaja; Bambang Sadhotomo; Duto Nugroho
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 3, No 1 (2011): (Mei 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (66.744 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.3.1.2011.51-60

Abstract

Krisis perikanan merupakan akibat langsung penangkapan yang berlebihan pada sumber daya perikanan, yang antara lain disebabkan oleh teknologi penangkapan modern. Kini kemungkinan terjadi overfishing karena teknologi telah membuat armada penangkapan lebih mudah menuju ke lokasi gerombolanikan besar. Overfishing terjadi ketika suatu jenis ikan diambil lebih cepat dibanding dengan pembiakan stok spesies tersebut untuk menghasilkan penggantinya. Pada perikanan pukat cincin semi industri di Laut Jawa, paling sedikitnya telah terjadi economic overfishing, biological overfishing, dan Malthusian overfishing, di mana biaya ekonomi penangkapan yang mahal untuk hasil sedikit, dan nelayan mengorbankan biaya sosial dengan meninggalkan keluarga semakin lama akibat sulit mencari gerombolan ikan.Supposedly fisheries crisis is a direct result of the severe over harvesting of fisheries resources brought about among other by modern fishing technologies. Overfishing is possible today because technology has made it easier to locate large schools of fish and direct fishing fleets to those locations. Overfishing occurswhen a species is taken more rapidly than the breeding stock of that species can generate replacements. In the purse seiners semi industry fisheries in the Java Sea, at least there have been economic overfishing, biological overfishing, and Malthusian overfishing, where the economic cost of catching a very high price for a bit, and fishermen have to sacrifice the social cost of leaving the family longer because they are hard to find the fish schooling.
ANALISIS STRUKTUR POPULASI TIGA SPECIES LAYANG (Decapterus spp.) DI LAUT JAWA DAN SEKITAR SULAWESI: Saran Pengelolaan Berkelanjutan Ikan Pelagis Kecil dan Evaluasi WPP Suwarso Suwarso; Achmad Zamroni
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 6, No 2 (2014): (November 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.816 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.6.2.2014.75-86

Abstract

Dua species ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma) merupakan komponen utama dalam perikanan pelagis di Laut Jawa dan Selat Makasar, ikan layang biru/malalugis (D. macarellus) adalah jenis dominan di perairan laut dalam sekitar Sulawesi dan Indonesia timur. Analisis struktur populasi tiga spesies layang tersebut dilaksanakan berdasarkan data struktur populasi (mtDNA) untuk memberikan saran pengelolaan berkelanjutan dan evaluasi WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan). Hasil menunjukkan dari masing-masing dua unit stok tiap species yang terditeksi setiap unit stok/unit biologi yang juga merupakan unit manajemen memiliki sebaran ‘spatial’ yang tidak selalu terbatas di suatu WPP, tetapi sangat dimungkinkan menyebar ‘lintas’ WPP (dua atau lebih WPP) yang umumnya memiliki karakteristik habitat sama; sedangkan keragaman habitat seringkali terlihat dalam satu WPP. Untuk tujuan pengelolaan secara berkelanjutan, pengelolaan sumber daya ikan pelagis kecil disarankan berbasis pada unit manajemen serta meliputi daerah sebaran dari unit manajemen tersebut. Daerah sebaran tersebut mungkin terdapat dalam satu WPP, tetapi seringkali akan meliputi dua atau lebih WPP (lintas WPP). Stok layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma) Laut Jawa dan Selat Makasar (dua WPP) disarankan dikelola sebagai satu unit manajemen; sedangkan, stok malalugis yang memiliki ciri genetic sama yang tersebar lintas WPP Selat Makasar (bagian selatan), Teluk Bone, Teluk Tolo, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tomini dan Laut Maluku, disarankan dikelola sebagai satu unit manajemen; unit stok Laut Sulawesi dikelola secara terpisah sebagai unit manajemen yang berbeda. Dalam konteks perikanan layang di Laut Jawa fakta struktur populasinya (kasus D. macrosoma) tidak menunjukkan indikasi migrasi layang dari arah timur (Laut Banda atau Laut Flores) ke arah Laut Jawa seperti dihypotesakan oleh Hardenberg (1938). Two species of scads (Decapterus russelli and D. macrosoma) is a major component in the pelagic fisheries in the Java Sea and Makassar Strait, the mackerel-scads / malalugis (D. macarellus) is the dominant species around Sulawesi and the eastern waters of Indonesia. Population structure anlyses of those three species of layang was implemented to give a sustainable managementoptions and FMA evaluation, based on the population structure data (mtDNA). Results show from each two stock units by species detected each stock unit / units of biology is a management unit which is have a spatially distribute not only in one WPP/FMA, but it is possible to spread ‘cross’ of FMA (two or more FMA ) which is generally has the same habitat; whereas, the diversity of habitats are often exist. For the purpose of sustainable management, a management of small pelagic fish is recommended based on management units that covers an area of distributionof its management unit. This distribution area may be contained in one FMA, but often will include two or more FMA. Stock of scads (Decapterus russelli and D. macrosoma) in the Java Sea and Makassar Strait (two WPP) suggested to manage as a unit of management; whereas, stock malalugis with the same genetic characters that are spread across in the FMA of Makassar Strait (south), Bone Bay, Tolo Bay, Flores Sea, Banda Sea, Tomini and Maluku Sea, it is suggested to managed as a single unit of management; however, the stock of Celebes Sea are managed separately as different management units. In the context of Java Sea fisheries the fact of the population structure (in case of D. macrosoma) did not shows an indication of west ward migration (Banda Sea-Flores Sea) tothe Java Sea like a Hardenberg (1938) hyphotese.
PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN PERAIRAN EMBUNG DAN BENDUNG DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Eko Prianto; Chairulwan Umar; Endi Setiadi Kartamihardja; Husnah Husnah
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 9, No 2 (2017): (November, 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (487.479 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.9.2.2017.105-114

Abstract

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sekitar 680 buah embung dan bendung berukuran antara 0,5-155 ha, dengan luas total 1.630 ha. Potensi sumber daya perairan tersebut belum dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan. Dewasa ini, badan air tersebut hanya berfungsi sebagai penampung air untuk keperluan irigasi pertanian dan minum ternak serta kebutuhan air rumah tangga. Tulisan ini bertujuan untuk merumuskan upaya pengelolaan dan pemanfaatan embung serta bendung yang berbasis budidaya (culture-based fisheries/CBF) di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metodologi pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan studi literatur yang dianalisis secara deskriptif. Potensi produksi ikan di embung dan bendung di NTT diperkirakan berkisar antara 34.3-55.8kg/ha/th dengan kondisi kualitas air yang masih baik dan mampu mendukung kehidupan organisme terutama ikan. Beberapa perairan embung dan bendung memiliki tingkat kesuburan sedang (mesotrof) hingga sangat tinggi (hypereutrof) dengan jenis plankton yang mendominasi yaitu kelas Cyanophyceae (genera Anabaena dan Oscilatoria) dan Dynophyceaea (Peridinium). Kelembagaan pengelola sumber daya ikan belum terbentuk, namun kelompok tani yang terlibat dalam pengelolaan badan air dengan struktur organisasi yang jelas sudah ada. Agar kegiatan CBF dapat berjalan dengan baik maka pemerintah daerah harus mengoptimalkan produksi benih di hatchery ikan bandeng dan menyusun regulasi yang mengatur penebaran ikan dan penerapan CBF.In East Nusa Tenggara Province there are 680 small reservoirs and dams (range from 0.5 to 155 ha/unit), with the total waters area of around 1,630 ha. Its high potential resources have not been utilized yet for fisheries. Nowadays, NTT’s dams and reservoirs are only be utilized for agricultural irrigation, livestock and household needs. Culture-based fisheries (CBF) is a technology that is suitable and recommended to be applied and developed in reservoirs or dams, because it does not alter the function ofthe reservoir. This paper aims to formulate cultured based fisheries management and utilization efforts of dams and small reservoirs in East Nusa Tenggara. Desk study was used to collect data and information, and analized and descriptively.The results show that the fish production potential of dams and reservoirs in NTT province was around 34.3-55.8 kg/ha/year. Most of the dams and reservoirs have clear water and able to support aquatic organism particulalrly for fish as the main exploited resources.Productivity levels varied from mesotrof to hypereutrof, inhabited by plankton group dominated by Cyanophyceae (Anabaena dan Oscilatoria) and Dynophyceae (Peridinium). The formal agency responsible to manage the resources was not established yet; however, some groups of fishers who directly utilized the resources have been developed. The local government of NTT should optimally increased the productivity of their owned hatchery to produce milk fish fry and able to arrange the regulation which guides the restocking and CBF implementation.
STATUS INTRODUKSI IKAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN SECARA BERKELANJUTAN DI PERAIRAN UMUM DARATAN DI INDONESIA Chairulwan Umar; Priyo Suharsono Sulaiman
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 5, No 2 (2013): (November 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (58.985 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.5.2.2013.113-120

Abstract

Masuknya jenis ikan asing berpotensi merubah keseimbangan pada perairan umum daratan, dan di Indonesia gejala ini sudah mulai terlihat. Makalah ini bertujuan untuk membahas lebih lanjut tentang perkembangan introduksi ikan asing, strategi pelaksanaan intoduksi dan berbagai dampaknya terhadap komunitas ikan asli perairan di Indonesia. Penelitian dilakukan melalui penelusuran dan studi pustaka tentang: sejarah kegiatan introduksi ikan yang dilakukan ke Indonesia, jenis-ikan introduksi ikan di Indonesia dan kegiatan introduksi ikan yang telah dan dilakukan di Indonesia beserta dampaknya. Verifikasi lapangan dilakukan pada tahun 2011 di beberapa danau dan waduk antara lain Danau Sentani, Danau Kerinci, Danau Matano dan Waduk Riam Kanan. Data yang terkumpul ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi ikan asing dilakukan di Indonesia sebelum tahun 1900. Introduksi ikan yang telah dilakukan selama ini, lebih banyak dilakukan tanpa melalui kajian ilmiah yang mendalam dan telah terbukti mengakibatkan hilang atau berkurangnya populasi ikan asli atau endemik serta menjadi agen pembawa penyakit.The entry of alien fish species could potentially change the balance of the inland waters and in Indonesia this symptoms was shown. The paper aims are to discuss more about the development introduction of alien fish species, the introduction implementation strategy and its impact to indigenous fish species communities in Indonesian inland waters. The study was conducted through a literature research about: the history of fish introductions activities which carried out in Indonesia, the species of fish introduction in Indonesia and the activities of introduction fish that have been conducted in Indonesia and its impact. Field verification was conducted in 2011 at several lakes and reservoir such us: Sentani Lake, Kerinci Lake, Matano Lake and Riam Kanan Reservoir. The collected data were tabulated and analyzed descriptively. The results showed that alien fish introductions were conducted in Indonesia before 1900. Introductions of fish those have been conducted so far is mostly done without in-depth scientific study and it has been shown affected in lost or reduced populations of indigenous or endemic species of fish as well as being an agent of disease carrier.
ALTERNATIF LANGKAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN Budi Iskandar Prisantoso
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 2, No 2 (2010): (November, 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (35.601 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.2.2.2010.121-129

Abstract

Pengelolaan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi, serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada dasarnya langkah pengelolaan sumber daya ikan dapat dikatagorikan sebagai pengendalian kegiatan penangkapan (control of fishing) dan pengendalian upaya penangkapan (control of fishing effort). Keseluruhan langkah pengelolaan akan bermuara kepada salah satu opsi langkah tersebut. Dari inventarisasi opsi langkah-langkah pengelolaan (management measures) sumber daya ikan yang bersifat multi species multi gear, yang dapat diterapkan di Indonesia terdapat enam belas langkah (measures) yang diuraikan secara umum. Pelarangan penangkapan komersial dengan trawl di kawasan baratIndonesia melalui Keputusan Presiden No.39 Tahun 1980 merupakan salah satu contoh lengkap baik dari bentuk pengendalian kegiatan penangkapan dan pengendalian upaya penangkapan. Following the Food and Agriculture Organization, fisheries management isdefine as the integrated process of information gathering, analysis, planning, consultation, decision making, allocation of resources, and formulation and implementation, with enforcement as necessary, of regulations or rules which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the resources and accomplishment of other fisheries objectives. Basically, management measures can be grouped into control of fishing and control of fishing effort. All measures intended to manage the fish resources can be directed toward one of the two options. From the inventory of the alternative measures available in the literature there are fifteen options of resources management measure in Indonesian multi species multi gear fisheries have been generally elaborated. The inactment of the Presidental Decree No.39-1980 concerning trawl ban in the western Indonesian waters provide a good example for the implementation of both control of fishing and control of fishing effort.
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT PERIKANAN DALAM PEMANFAATAN POTENSI DUA DANAU DI KABUPATEN SIMEULUE Armen Zulham
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 9, No 1 (2017): (Mei 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.833 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.9.1.2017.21-30

Abstract

Danau Laulo dan Danau Lauik Tawar adalah dua danau di Simeulue yang informasinya belum tersedia secara memadai. Akibatnya program pembangunan untuk masyarakat disekitar danau itu belum dapat diwujudkan. Tulisan ini, mempelajari tingkat partisipasi pemangku kepentingan di Desa Amabaan dan Desa Bulu Hadek dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi kedua danau tersebut. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Nopember 2015 dengan mewawancara secara acak 20 responden di Desa Amabaan dan 20 responden di Desa Bulu Hadek. Pengumpulan data kedua dilakukan pada Oktober 2016 melalui diskusi dengan tokoh masyarakat setempat. Hasil penelitian menggungkapkan tingkat partisipasi masyarakat memanfaatkan potensi danau, belum mencapai tingkat partisipasi mandiri. Tingkat partisipasi pedagang hanya pada tingkat partisipasi informatif (di Desa Bulu Hadek) dan tingkat partisipasi interaktif (di Desa Amabaan). Tingkat partisipasi masyarakat membiayaai usaha di Amabaan adalah tingkat partisipasi interaktif dan di Desa Bulu Hadek adalah tingkat partisipasi insentif. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemupukan modal melalui tabungan adalah tingkat partisipasi pasif. Tulisan ini merekomendasikan, untuk peningkatan pemanfaatan potensi danau perlu dilakukan intervensi pemerintah dengan membentuk pasar informal dan mengembangkan inkubator bisnis pada kedua lokasi tersebut. Dampak dari rekomendasi itu akan mendorong perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga dapat membuat partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan potensi danau, perdagangan dan pemupukan modal menuju tingkat partisipasi mandiri. There is limited information related to Laulo and Lauik Tawar Lakes located in Simeulue. As a consequences, the economic development program for the community cannot be appropriately implemented. This paper aims to investigate the level of participation among stakeholders in the community of Amabaan and Bulu Hadek Villages. Data was collected in November 2015 by interviewing 20 respondents in both villages randomly. The second data collection was conducted in October 2016 by discussing with the local public figures. The results showed that the community has not reached independent level in utilizing the lakes potency. The level of traders’ participation only reached the informative participation and the interactive participation in Bulu Hadek Village and Amabaan Village repectively. The level of participation in community in funding the business in Amabaan and Bulu Hadek Village are interactive and incentive, respectively. The level of participation by community on capital formation by savings is passive. The government intervention needed to increase participation level, such as creating informal market or market day (farmers market) and creating business incubator on both locations. Those activities will encourage social change to make the community participate in utilizing lake potency, trade, and capital growth through independent level of participation. 
PENGEMBANGAN DAN UJI COBA MODEL EVALUASI PENGELOLAAN PERIKANAN MELALUI PENDEKATAN EKOSISTEM Indra Jaya; Nimmi Zulbainarni
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4804.57 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.115-131

Abstract

Salah satu masalah utama pengelolaan perikanan Indonesia saat ini adalah belum adanya model evaluasi yang cukup praktis untuk melihat dan mengevaluasi secara komprehensif dan terukur efektifitas tindakan pengelolaan (management measures). Dalam makalah ini dikembangkan model evaluasi pengelolaan perikanan melalui pendekatan berbasis ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management = EAFM). Evaluasi pengelolaan dilakukan secara kuantitatif agar jelas arah dan besarnya upaya yang mesti diambil untuk perbaikan kinerja dari evaluasi tersebut. Evaluasi dilakukan melalui pembobotan pada setiap aspek pengelolaan yang kemudian diakumulasikan untuk mendapatkan gambaran hasil evaluasi yang lebih utuh. Dari setiap aspek pengelolaan dikembangkan indikator-indikator beserta nilai acuan/baku untuk membantu proses evaluasi. Hasil akhir dari model evaluasi ditampilkan dalam bentuk peta kombinasi tingkat pengelolaan sumberdaya ikan (SDI) dan tingkat pengelolaan (pengendalian upaya) pemanfaatan, yang dibagi kedalam 4 kuadran. Kuadran I (warna merah) menunjukkan bahwa tingkat pengelolaan SDI dan pengendalian pemanfaatan yang dicapai masih rendah/buruk, sebaliknya apabila tingkat pengelolaan SDI yang dicapai adalah tinggi/baik dan demikian pula dengan tingkat pengendalian pemanfaatannya maka hasil evaluasi berada pada kuadran III (hijau). Sementara itu, apabila tingkat pengelolaan SDI rendah/buruk, namun tingkat pengendalian pemanfaatan tinggi/baik maka hasil evaluasi berada pada kuadran II (jingga). Apabila tingkat pengelolaan SDI tinggi/baik, namun tingkat pengendalian pemanfaatan rendah/buruk maka hasilevaluasi berada pada kuadran IV (kuning). Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana pencapaian pengelolaan perikanan, khususnya pengelolaan perikanan pada WPP yang dilakukan dari waktu ke waktu, sehingga dapat diberikan arahan/rekomendasi dan rencana aksi yang tepat untuk meningkatkan kinerja kegiatan pengelolaan perikanan di WPP tersebut. One major management problem related with capture fisheries in Indonesia is the lack of practical evaluation model to comprehensively observe and effectively measure management measures initiated by different authorities. In this paper we have developed fisheries management evaluation model utilizing ecosystem-base approach. Management evaluation was measured quantitatively by means of weighted analysis to each management aspects, thus direction and the amount of effort for improvement could be develop effectively. To assist the evaluation process, management indicators and treshold value were developed, followed by analyzing existing fisheries management condition and presented in the form of map with four quadrants combining aspects of fisheries utilization and control (conservation measures). The first quadrant reflects a poor condition on fisheries management and regulation (red colour). If both management and regulation of fisheries resources are in a good condition, then evaluation results will be shown in the third quadrants (green). For good fisheries management but poor fisheries regulation will resulted in the second quadrants (orange), while the opposite shown in the fourth quandrants (yellow). As a result, using the proposed evaluation model we can analyze existing management performance of fisheries in all WPPs (fisheries management areas), followed by suggesting appropriate recomendation to improve fisheries management in Indonesia.
KEBIJAKAN MORATORIUM IKAN NAPOLEON (Cheilinus ndulatus Rüppell 1835) Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 3, No 2 (2011): (November, 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.064 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.3.2.2011.115-133

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perlindungan jenis ikan rawan punah, seperti ikan Napoleon. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam mempertimbangkan inisiatif moratorium penangkapan ikan tersebut. Metode penulisan menggunakan analisis kebijakan publik. Pertimbangan moratorium antara lain adalah bahwa perikanan Napoleon mengalami krisis karena lebih kapasitas usaha, lebih tangkap dan cara penangkapannya yang merusak, sementara kebijakan pengelolaan ikan Napoleon tidak kondusif dari sisi lingkungan hidup, hukum dan penegakan hukum. Lebih jauh statusnya sudah digolongkan rawan punah oleh UNEP dan dibutuhkan pengelolaan yang lebih berhati-hati. Ketidak-beruntungannya adalah telah terjadi penangkapan ilegal dan tidak terdata dalam sistem transpotasinya. Kuota penangkapan ikan Napoleon hanya mengatur perdagangan global, tetapi peraturan pengelolaan yang bersifat domestik membutuhkan aturan yang lebih serius untukmenyelamatkan ikan Napoleon dari kepunahan. Inisiatif perlindungan jenis satwa rawan punah memiliki dasar hukum hingga disarankan untuk menetapkan moratorium berjangka. Sosialisasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan penerimaan masyarakat atas moratorium. Monitoring dan evaluasi merupakan bagian siklus dari moratorium untuk melihat kemajuan dan perbaikan manajemen.This paper is aime to make a sinthesis of policy of endangered species protection, such as Hump Head Wrasse (HHW). This will be usefull for the Ministry for Marine and Fishery to decide a moratorium inisiative for the fish. A method used is the publicpolicy analysis. Some of judgements for making moratorium are that HHW fisheries were under crisis condition due to over capacity, over fishing and destructive fishing, while Napoleon fishery management was being worse for circumstances of living environment, law and law enforcement. Furthermore, HHW was listed in endanger species by UNEP and needed to carefully management. Unfortunatelly, it was happened the Illegal, Unregulated and Unmonitored (IUU) fishing. Napoleon Fishing quota was only for global market regulation; however, domestically management regulation was needed a serious protocol to keep Napoleon save from losses. More protective manner for endanger wilds have the regulation willing to use in decision making for moratorium. Moratorium translations for publics are potential suggestion to get social acceptances and understanding. Monitoring and evaluation include in moratorium cyclus to identity progress and improve management.

Page 3 of 17 | Total Record : 170