cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Jurnal Notariil
Published by Universitas Warmadewa
ISSN : 2540797x     EISSN : 26151545     DOI : https://doi.org/10.2225/jn
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 133 Documents
PERAN NILAI LOKAL DALAM PENYELASAIAN SENGKETA PERTANAHAN (SEBUAH ANALISIS MODEL MEDIASI PERDATA) Suhri, Lamahudin
Jurnal Notariil Vol 1, No 1 (2016): November 2016
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.1.1.105.14-36

Abstract

Masyarakat di nusantara menandang tanah bukan hanya dalam perspektif ekonomi saja tetapi juga dalam perspektif yang lain yaitu dalam perspektif religiusitas (ketauhitan) budaya dan ekologi. Masyarkat di nusantara melihat alam (tanah) adalah anugrah sekaligus amanah yang harus di pelihara dan di jaga. Peran nilai lokal dalam penyelesaan sengketa pertanahan dapat mejadi model mediasi perdata dalam berbagai kasus agraria nasional. Pendekatan antropologi hukum mejadi hal yang menarik untuk digunakan karena masyarakat Indonesia dengan beraneka ragam budaya, yang dapat memberi penjelasan dari data empiris dan pranata hukum dalam struktur masyarakat. Kedeapan penyelsaian sengkta pertanahan dengan model mediasi perdata yang mangacu kepada nilai nilai kearifan lokal. Dengan prinsip musyawarah bertujuan melibatkan atau mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga kesetiaan dan ketaatan masyarakat terhadap apa yang disepakati bersama akan dijaga pula secara bersamama-sama, karena kesepakatan tadi adalah buah dari pikiran dan pendapat bersama dalam nuansa kekeluargaan dan saling memuliakan. Nilai lokal ini diharapkan dapat menjaga kesatuan yang bulat dan utuh antara Manusia, Alam dan Tuhan, dalam nuanasa spritul, perdamaian dan persaudaraan.
Nominee Agreement Made For The Purposes Of Land Ownership By Foreign Citizens On The Basis Of ANotarial Deed Sudini, Luh Putu; Utama, I Wayan Kartika Jaya
Jurnal Notariil Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.3.2.849.109-115

Abstract

National land laws prohibit the ownership right of land by foreigners as reflected in the provisions of Article 9 UPPA, the Basic Agrarian Law, which confirm that only Indonesian citizens who can have ownership rights on the land. In addition, the provisions of Article 26 Paragraph (2) UUPA also prohibit the transfer of ownership of land from the citizen of Indonesian to foreign citizen, both directly and indirectly. Legal consequences of the deed of agreement of the land ownership rights of Indonesian citizen by foreign citizens made by a notary public is null and void because the objective conditions are not met, as postulated by Article 1320 of the Civil Code. Indeed ownership rights to land by foreign citizens, either directly or indirectly does not promise a legal protection to the party concerned.
WOMEN, LAW AND POLICY: CHILD MARRIAGE PRACTICES IN INDONESIA Judiasih, Sonny Dewi; Suparto, Susilowati; Afriana, Anita; Yuanitasari, Deviana
Jurnal Notariil Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.3.1.647.47-55

Abstract

Child marriages are common throughout Indonesia. This is due to a strong influence of Indonesian customs and religion that strongly influence the lives of its people. It is worth pointing that marriage age arrangements in Indonesian Marriage Law reinforces that legal age for men is 19 years and 16 years for women. The 2012 statistics show that Indonesia is the 37th highest in the world in child marriage, while at the Southeast Asian level, this country ranks second after Cambodia. The ranking went up dramatically since in 2016, based on UNICEF, Indonesia ranked the 7th in child marriage worldwide. This means that the practice of child marriage in Indonesia happens, especially to women at the age of 18 years, and there is no discrimination related to the age of marriage. Against this matter, there has been a file for judicial review that demands marriage age for men and women to be pegged at the age of 18 years. However, the Judge of the Constitutional Court, through Decision Number 30-74/PUU-XII/2014, states that age of marriage remains valid for the 19-year-old for man and 16-year-old for women. The struggle does not stop there because at this time, there a national movement of STOP CHILD MARRIAGE formed by civil organisations in cooperation with the Commission of Child Protection and Ministry of Woman Empowerment and Child Protection. This movement sees that the practice of child marriage is a national emergency problem that must be addressed seriously. Further, this movement demands immediate enactment of government regulation in favour of the law which must promptly revise the Marriage Law, especially related to the marriage age.
KEWENANGAN CAMAT DAN KEPALA DESA SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SETELAH BERLAKUNYA UUJN Cahyowati, RR.; Djumardin, Djumardin
Jurnal Notariil Vol 2, No 2 (2017): November 2017
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.2.2.349.84-100

Abstract

Abstrak Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, bahwa notaris diberi kewenangan membuat segala akta otentik yang berkaitan dengan tanah. Sementara secara historis Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) baik sebelum maupun setelah berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kaitannya dengan pembuatan akta otentik dibidang pertanahan adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah. Secara yuridis bahwa dasar hukum PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai pelaksana dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA). Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa dalam dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Terkait dengan akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana disebutkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Dengan demikian secara yuridis normatif Akta PPAT bukan merupakan akta otentik karena (1) PPAT bukan Pejabat Umum; (2) Bentuk akta PPAT tidak ditentukan undang-undang, melainkan ditentukan Peraturan Menteri; oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaaan persepsi antara noratis sebagai PPAT dengan BPN atau pejabat lainnya sebagai PPAT dalam pembutan Akta PPAT maka perlu dilakukan singkronisasi antara berbagai produk hukum yang terkait dengan PPAT, terutama setelah berlakunya UUJN. Kata kunci : Kewenangan, Akta PPA
PEMBATASAN KLAUSULA EKSONERASI Sarjana, Made
Jurnal Notariil Vol 1, No 1 (2016): November 2016
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.1.1.175.109-127

Abstract

Kontrak merupakan suatu perjanjian yang didasarkan atas kesepakatan diantara pihak-pihak yang membuatnya. Kesepakatan yang dilakukan tersebut didasarkan pada adanya prinsip kebebasan berkontrak. Adanya prinsip kebebasan berkontrak tersebut terdapat kencendrungan sering dimanfaatkan oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat untuk meminimalisir tanggungjawabnya dan mengalihkannya terhadap pihak yang lemah. Klausula yang melepaskan tanggungjawab dan mengalihkannya kepada pihak lain dalam suatu kontrak disebut dengan klausula eksonerasi. Dalam praktik penggunaan klausula eksonerasi masih sering ditemukan dan dimanfaatkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat daripada yang lainnya. Dengan demikian posisi pihak yang lemah dalam suatu kontrak, akan selalu menjadi pihak yang dirugikan dengan berlakunya klausula eksonerasi. Keberadaan klausula eksonerasi perlu mendapat pengkajian lebih mendalam untuk melindungi posisi pihak-pihak yang kedudukannya lebih lemah dalam setiap kontrak. Penggunaan klausula eksonerasi tidak boleh dilakukan dengan leluasa tanpa mengindahkan kaedah-kaedah ataupun prinsip-prinsip dalam hukum kontrak. Pembatasan terhadap penggunaan klausula eksonerasi perlu dilakukan untuk melindungi pihak yang posisinya lemah, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum perjanjian serta yurisprudensi. Penggunaan klausula eksonerasi yang tidak mengindahkan pembatasan tersebut dijadikan dasar untuk melakukan gugatan bagi pihak yang dibebankan tanggungjawab untuk membebaskan dirinya dari kerugian yang semestinya tidak dialaminya dengan menyatakan kontrak dapat dibatalkan atau kontrak batal demi hukum. Demikian juga halnya untuk setiap kontrak tertentu keikut sertaan pemerintah perlu diberikan ruang semata-mata untuk melindungi masyarakat sebagai pihak yang lemah, agar tidak dirugikan karena adanya klausula eksonerasi.
Legal Consequences For The Guarantee Agreement Of The Warehouse Receipt Made With The Deed Widiyatmika, Dewa Made Ari
Jurnal Notariil Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.3.2.846.75-87

Abstract

In the legislation concerning the Warehouse receipt system in Indonesia, there is no explanation of the form of the agreement to impose security rights on warehouse receipts. As a result, the agreement is made under private a deed. The purpose of this study is to find out related provisions to legal consequences of the agreement to impose security rights on warehouse receipts made with the deed under hand. The research method used in this study is normative juridical method with statute approach. The data of the study were collecting by examining primary legal materials, namely legislation and secondary legal material in the form of doctrines or theories obtained from legal literature and scientific research. Results of the study show that the conditions that must be fulfilled in preparing the agreement to impose the guarantee rights on the Warehouse receipt encompass the validity of the ownership of the Warehouse receipt, the validity of the agreement based on Article 1320 of Indonesian BW. The agreement to impose the guarantee right on the Warehouse receipt is made with an authentic deed, and notification to the registration center or BAPPEBTI. The legal consequence of the agreement to impose the guarantee right on the warehouse receipt made under the deed of hand is that it does not have perfect verification power in the event that one party can still deny the signature in the deed under hand, and another supporting evidence is required in the court to prove the truth of the deed under the hand. It is different from an authentic deed made by a general official who has perfect verification power (volledig) and is binding (blindende).
TATA KELOLA TANAH LAR DI KABUPATEN SUMBAWA Zuhri, Lahmuddin
Jurnal Notariil Vol 2, No 2 (2017): November 2017
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.2.2.413.160-173

Abstract

Abstrak Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal 33 (3) UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 dengan prinsip keadilan dalam penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam, melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Penyelesaian sengketa tanah Lar dalam masyarakat sumbawa. Sehingga perlu penyelesaian dan perlindungan hukum terhadap keberadaan tanah Lar guna menjaga budaya dan eksistensi masyarakat Sumbawa, yang mayoritas adalah petani-peternak. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-sosio kultural. Masyarakat Sumbawa dengan nilai kearifan lokal yang dijiwai oleh “Adat Barenti ko Syara’, Syara’ beranti ko Kitabollah”. Nilai lokal masyarakt sumbawa belum terakomodir dalam regulasi terkai pengelolaan tanah Lar. Kedepan upaya optimalisasi atas fungsi Lar tersebut dengan mengedepankan pengelolaan atas unsur-unsur sumber daya peternakan secara efektif dan efisien, dapat mempercepat terwujudnya Masyarakat petani-peternak yang sejahtera, Mandiri dan Tangguh serta berdaya saing. Kata kunci: Lar, regulasi, masyarakat sumbawa, sejahtera Abstract The land is an asset of the nation of Indonesia which is the authorized capital of development toward a just and prosperous society. Therefore, its utilization should be based on the principles contained in article 33 (3) 1945 CONSTITUTION and statutes, the MPR No. IX/MPR/2001 with the principle of fairness in mastery, usage, utilization and maintenance of agrarian resources and natural resources, carry out social functions, sustainability and ecological functions in accordance with the social conditions of the local culture. Dispute resolution in the public land Lar sumbawa. So need a settlement and legal protection of the existence of the ground to keep the culture and the Lar of existence of society the majority are Sumbawa, farmer-breeders. This research uses a juridical approach to socio-cultural. Sumbawa community with the local wisdom values imbued by "Customary Barenti ko Syara , Syara beranti ko Kitabollah". Local values celebrated by sumbawa has not terakomodir in the regulation of land management terkai Lar. The fore top optimization efforts by putting forward Lar function management over elements of the farms resources effectively and efficiently, can accelerate the attainment of the Community farmer-breeders a prosperous, independent and tough as well as competitive power. Keywords: Lar, regulation, sumbawa, prosperous society
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LINGKUNGAN WISATA BAHARI DI NUSA LEMBONGAN sudini, luh putu
Jurnal Notariil Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.2.1.153.46-57

Abstract

Laut merupakan sumber daya alam (sda) untuk pengganti sumber kehidupan umat manusia di darat, yang mana sumber kehidupan manusia di darat keberadaannya dewasa ini sudah semakin menipis.Selain itu, laut beserta lingkungannya selain merupakan sumber daya alam, juga bermanfaat sebagai pariwisata khususnya pariwisata berupa wisata bahari.Wisata bahari di Bali utamanya di Desa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida sudah mengalami kemajuan pesat yang banyak didatangi oleh wisatawan nasional /domestic maupun internasional. Potensi utama wisata bahari yang dikelola di Desa Lembongan, yakni : snorkeling, diving, surfing, pariwisata baik hotel, layanan wisata bahari dan penyewaan sepeda motor. Nusa Lembongan Bali, memiliki pantai pasir putih, tempat terbaik untuk wisata diving, snorkeling, surfing, fishing dan island trekking. Selain itu, wisata bahari yang dikenal di Nusa Lembongan, ada juga berupa hutan lindung, yang disebut sebagai Hutan Mangrove Nusa Lembongan. Selanjutnya, Perlindungan hukum terhadap lingkungan wisata bahari di Nusa Lembongan, dalam hal ini pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan, baik bersifat nasional maupun lokal di Provinsi Bali, sebagai payung hukum atau yuridis dari pelaksanaan atau pengelolaan wisata bahari yang ada di Nusa Lembongan. Peraturan tersebut, antara lain : Undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan; Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010 – 2025; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 24/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Kabupaten Klungkung di Provinsi Bali; Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali 2015 – 2029.
PEMBUATAN PERJANJIAN NOMINEE SESUAI UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA Hasibuan, Nella
Jurnal Notariil Vol 1, No 1 (2016): November 2016
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.1.1.106.37-50

Abstract

Perjanjian nominee akan mempunyai kekuatan hukum bilamana di dalamnya ada unsur itikad baik dan diperjanjikan bahwa warga negara asing hanya dapat menguasai tanah hak milik secara fisik dan untuk jangka waktu yang terbatas misalnya untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun serta dapat diperbaharui lagi sehingga tidak untuk selama-lamanya sebagaimana jangka waktu dari tanah hak milik. Struktur perjanjian nominee yang benar adalah yang sesuai dengan sistem hukum pertanahan Indonesia yaitu perjanjian nominee yang di dalamnya tidak terdapat klausul yang menyatakan bahwa warga negara asing dapat menguasai tanah hak milik secara juridis atau tanpa batas karena hanya warga negara Indonesia yang boleh memiliki tanah hak milik, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Angka (2) UUPA. Dalam pembuatan perjanjian nominee yang baik dan benar harus ada itikad baik (good faith) dari para pihak sejak awal pembuatannya sampai penanda-tangan perjanjian nominee tersebut sehingga memenuhi ketentuan KUHPerdata. Perjanjian Nominee juga sebaiknya dibuat dengan transparan dan to the point.
The Implication Of Computerized System-Based Mortgage Right Registration Resmawan, I Putu Arwan Puspa; Andjarwati, Any
Jurnal Notariil Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Notary Department, Post Graduated Program, Warmadewa University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.3.2.871.97-108

Abstract

The Circular No. 5/SE-100/I/2015 dated January, 29th 2015 issued by the Ministry of Agrarian and Spatial Planning/Head of National Land Agency, gives order to all ranks of working environment of the Land Agency to use the computerized system in the service of land registration, as long as the facilities and infrastructures are adequate. The strategy is aimed at; easing the access to land registration services for society and modernizing the agrarian management and service, Spatial Planning, and Land service. This is due to some reasons, which also affects the Mortgage Right registration system which, according to respondents, more than one registration of deed of imposition of mortgage but still in one credit agreement, cannot be registered at the same time. This study is an empirical research or non-doctrinal legal research. With regard to this the present study examines implementation of Mortgage Right registration at the Land Office of Badung District based on a computerized system after the issuance of the Circular 5/2015, to identify the obstacles faced in registering Mortgage Right in that new system and to seek for solutions to solve it.

Page 3 of 14 | Total Record : 133