cover
Contact Name
Agni Susanti
Contact Email
agniesusanti2204@gmail.com
Phone
+6287722631615
Journal Mail Official
obstetrianestesi@gmail.com
Editorial Address
Department of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Sardjito General Hospital Yogyakarta Jl.Jl. Kesehatan No.1, Senolowo, Sinduadi, Yogyakarta
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia
ISSN : -     EISSN : 2615370X     DOI : https://doi.org/10.47507/obstetri.v3i2
Core Subject : Health, Science,
We accept manuscripts in the form of Original Articles, Case Reports, Literature Reviews, both from clinical or biomolecular fields, as well as letters to editors in regards to Obstetric Anesthesia and Critical Care. Manuscripts that are considered for publication are complete manuscripts that have not been published in other national journals. Manuscripts that have been published in the proceedings of the scientific meeting can still be accepted provided they have written permission from the organizing committee. This journal is published every 6 months with 8-10 articles (March, September) by Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC).
Articles 94 Documents
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea Pasien dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus) Iwan Nuryawan; Bambang Suryono; Sri Rahardjo
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.31

Abstract

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Menurut United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan, bahwa perkiraan jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai 34 juta. Kasus HIV pada anak paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang HIV positif ke anaknya. Pada laporan kasus ini dilaporkan penanganan anestesi pada penderita pasien wanita berusia 25 tahun berat badan 50 kg primigravida hamil aterm 38 minggu belum dalam persalinan dengan infeksi HIV belum mendapatkan terapi antiretroviral. Pasien diklasifikasikan ASA II dan dilakukan anestesi regional teknik blok subarakhnoid dengan obat bupivakin 0,5% hiperbarik 10 mg. Dilahirkan bayi perempuan berat lahir 2500 gram, dengan skor Apgar 9/10. Operasi berlangsung selama 1 jam dengan hemodinamik TD 90–120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/mnt, SpO2 99–100%, perdarahan 400 cc, produksi urin 0,5 ml/kgBB/jam. Pasca operasi pasien diobservasi di ruang pemulihan hingga skor Bromage 0 sebelum dikembalikan ke bangsal. Anesthesia Management in Cesarean Section Patients with HIV (Human Immunodeficiency Virus) Abstract Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) infections are the main problems of global health. According to United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), one part of the WHO that deals with AIDS states that the estimated number of people infected with HIV/AIDS worldwide by the end of 2010 reached 34 million. HIV cases in children are most often found due to the transmission of HIV-positive mothers to their children. We reported a 25-year-old primigravida, 38 weeks, weighing 50 kg, not in delivery with HIV infection without antiretroviral therapy underwent caesarean section. Patient was classified as ASA II and performed subarachnoid blocks with hyperbaric 0.5 mg bupivacaine 10 mg. A baby girl was born, weighing 2500 grams, with Apgar score 9/10. The operation lasts for 1 hour with hemodynamics TD 90-120/60-80 mmHg, HR 65-100 x/min, SpO2 99-100%, bleeding 400 cc, urine production 0.5 ml/kgBW/hour. In postoperative period, patient was observed in the recovery room until the Bromage score was 0 before transferred to the ward.
Manajemen anestesi pada pasien Seksio Sesarea Primigravida dengan Glioblastoma Multiforme Ratih Kumala Fajar Apsari; Bambang Suryono; Shinta Shinta
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.32

Abstract

Tumor otak pada kehamilan jarang terjadi, Glioblastoma multiforme adalah tumor otak primer yang paling agresif dan biasanya membawa prognosis yang buruk. Tumor otak pada kehamilan berkorelasi dengan terjadinya peningkatan mortalitas maternal, kelahiran premature dan intra uterine growth restriction (IUGR). Adanya tumor otak pada kehamilan akan mempengaruhi penentuan waktu persalinan, jenis dan tehnik anestesi yang akan digunakan. Kasus: Dilaporkan pasien dengan G1P0A0 Hamil 33 minggu, mengeluh sakit kepala hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Sakit kepala berdenyut terutama sebelah kanan, tidak disertai mual, muntah, pandangan kabur dan kejang. Sakit kepala berkurang dengan obat paracetamol. Awal Mei 2017 pasien merasakan sakit kepala hebat disertai muntah proyektil, dilakukan pemeriksaan MRI kepala, curiga glioblastoma multiforme regio temporoparietal dextra. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien telah dilakukan SC dengan tehnik regional anestesi epidural obat Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml, janin cukup viable dilahirkan dan mencegah peningkatan tekanan intracranial lebih lanjut. Pasien pulang ke rumah setelah perawatan 5 hari dalam kondisi baik. Pembahasan: Pada wanita hamil dengan tumor otak yang akan dilakukan SC, selama tidak ada kontraindikasi neuroaxial anestesi dapat dilakukan. Tehnik ini pun dilakukan dengan menjaga hemodinamik tetap stabil, mencegah peningkatan tekanan intracranial, seperti saat dilakukan dengan general anestesi. Simpulan: Selama tidak didapati kontraindikasi untuk anestesi neuroaxial, wanita hamil dengan SOL yang tidak mempunyai efek massa, hidrosefalus, atau klinis kearah peningkatan TIK, dapat dilakukan tindakan dengan neuroaxial anestesi. Anesthesia Management for Cesarean Section in Patient with Glioblastoma Multiforme Abstract A brain tumor in pregnancy is rare. Glioblastoma mutltiforme is the most aggressive tumor primary brain and usually have poor prognosis. A brain tumor in pregnancy are associated with increased mortalitas maternal, prematurity and intra uterine growth restriction. The presence of a brain tumor in pregnancy may affect the decision for timing of delivery, type and technique an anesthesia to be used. Case: Patients with G1P0A0 pregnant 33 weeks, complaining of recurrent headaches since 6 months ago. Headache pulsate especially on the right side, without nausea, vomiting, blurred vision or seizures. Headache is relieved with paracetamol. Patients felt a severe headache accompanied by projectile vomiting on May 2017. And performed head examination MRI, suspected glioblastoma multiforme temporoparietal dextra region based on anamnesis, physical examination and brain MRI. Patient has been performed caesarea section with regional anesthesia technique with epidural drug Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml. Patient returns home after 5 days in good condition. Discussion: A pregnant women with a brain tumor to be performed caesarea section procedure, neuroaxial anesthesia can be successfully applied as long as the patients do not have any contraindications. This technique is keeping the hemodynamics stable, preventing an increase in intracranial pressure as when performed with general anesthesia. Conclusion: As long as there is no contraindications are found for neuroaxial anesthesia, pregnant woment with space occupying lesion without mass effect, hydrocephalus or clinical evidence of increasing ICP can be treated with neuroaxial anesthesia.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Preeklamsia Berat dan Morbid Obese RTH Supraptomo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.33

Abstract

Pendahuluan: Preeklampsia adalah terjadinya trias preeklampsia (hipertensi, hipoalbuminemia, dan edema) yang mendadak setelah 20 minggu kehamilan. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis dalam tatalaksana anestesi. Kasus: Wanita, 22 tahun G2P1A0 hamil 39 minggu dengan preeklampsia berat, KPD 12 jam, obesitas morbid akan dilakukan seksio sesarea emergency dengan status fisik ASA IIIE, dilakukan pembiusan dengan teknik regional anestesi subarachnoid block dengan puncture di L3–L4 median, menggunakan agen levobupivakain 15 mg dan fentanyl 25 mcg. Operasi berlangsung selama 1 jam 15 menit, dengan perdarahan 350 cc, hemodinamik stabil. Lahir bayi laki-laki, BB 3400 gr, APGAR Score 8–9–10. Diskusi: Preeklampsia adalah penyakit multiorgan yang spesifik terhadap kehamilan manusia, namun etiologi spesifik yang mendasari tetap belum diketahui. Tatalaksana bersifat suportif, melahirkan bayi dan plasenta tetap menjadi satu-satunya terapi definitif. Pasien obesitas memiliki banyak implikasi klinis untuk dipertimbangkan. Pemahaman mengenai patofisiologi akan membantu memberikan tatalaksana anestesi yang lebih baik. Simpulan: Pemilihan teknik neuraksial anestesi lebih direkomendasikan karena menghindari kemungkinan intubasi sulit pada kasus emergensi, perfusi uteroplasenta yang lebih baik, kualitas analgesi/anestesia yang baik, mengurangi obat yang masuk ke sirkulasi uteroplasenta, menurunkan stress operasi, dan psikologis ibu yang dapat melihat bayinya saat dilahirkan. Anesthesia Management in Caesarean Section with Severe Preeclampsia and Morbid Obese Abstract Introduction: Preeclampsia is a sudden triad of preeclampsia (hypertension, hypoalbuminemia and edema) after 20 weeks of pregnancy, Obese patients have many clinical implications to consider. Case: Female, 22 years old with G2P1A0, 39 weeks pregnant with severe preeclampsia, 12 hours PROM, pro morbid obesity SCTP-E with ASA IIIE physical status. Labor pain management was carried out using regional subarachnoid block anesthesia technique with puncture in median L3-L4, clear CSF (+), blood (-) using levobupivacaine 15 mg + fentanyl 25 mcg. The operation lasted for 1 hour 15 minutes, with 350 cc bleeding, hemodynamically stable. Born a baby boy, BW 3400 gr, APGAR Score 8-9-10. Discussion: Preeclampsia is a multiorgan disease that is specific to human pregnancy, and the underlying specific etiology remains unknown. Management is supportive, giving birth to the baby and placenta remains the only definitive therapy. Obese patients have many clinical implications to consider. Understanding of pathophysiology will help provide better anesthesia management. Conclusion: The neuraxial anesthesia technique is recommended to avoids the possibility of difficult intubation, better uteroplacental perfusion, good analgesia / anesthesia quality, reducing drugs that enter the uteroplacental circulation, decreasing surgical stress, and maternal psychological to be able to see the baby at birth.
Manajemen Nyeri Kronis pada Kehamilan Budi Yulianto Sarim; Bambang Suryono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.34

Abstract

Menurut IASP ( International Association of the Study of Pain) nyeri didefinisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or describe interm of such damage”. Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu.Kelainan muskuloskeletal yang sering dialami oleh wanita hamil adalah berupa nyeri lumbopelvis pada kehamilan (pelvic girdle pain) dan nyeri kronis lumbal (low back pain).Adapun yang menyebabnya adalah faktor hormonal, faktor mekanis dan vaskuler. Manajemen untuk nyeri kronis pada wanita hamil dapat dilakukan melalui manajemen non farmakologis dan manajemen farmakologis. Manajemen non farmakologis dapat dikerjakan dengan cara fisioterapi, terapi distraksi, terapi musik, guided imaginary dan relaksasi. Untuk manajemen farmakologis, obat – obatan yang dapat diberikan adalah asetaminofen, NSAID dan analgesik opioid. Management Chronic Pain in Pregnancy Abstract According to the IASP (International Association of the Study of Pain) pain is defined as "an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or describe the interim of such damage". Pain is a sensation and or emotional experience unpleasant and disturbing as a result of tissue damage, or potential tissue damage. Musculoskeletal disorders are often experienced by pregnant women is pelvic girdle pain and chronic pain lumbar. The etiology of that is the hormonal factor, mechanical factors and vascular factors. Management of chronic pain in pregnancy can be done through non-pharmacological management and pharmacological management. Non pharmacological management can be done by means of physiotherapy, distraction therapy, music therapy, guided imaginary and relaxation. For pharmacological management can be given is acetaminophen, NSAIDs and opioid analgesics.
Deteksi Pasien Obstetrik Kritis dengan Maternal Early Warning System Ratih Kumala Fajar Apsari
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i1.35

Abstract

Adaptasi fisiologis yang terjadi pada ibu hamil dapat menyamarkan tanda-tanda penyakit maternal berat. Ini mempersulit identifikasi kolaps maternal yang akan terjadi. Penggunaan early warning system (EWS) yang dimodifikasi untuk penggunaan pada pasien ibu hamil dan postpartum akan membantu dalam identifikasi, treatment dini, dan penanganan pasien yang memiliki, atau akan mengalami, penyakit kritis. Maternal Early Warning System (MEWS) seharusnya mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk mengalami perburukan pada saat intervensi dini dapat mencegah perburukan ke morbiditas berat MEWS telah digunakan secara ekstensif dalam praktek obstetrik, tetapi sistem yang digunakan sangat bervariasi. Parameter-parameter yang sering dimasukkan dalam MEWS antara lain denyut jantung, tingkat pernapasan, tekanan darah, dan tingkat kesadaran. Dari berbagai MEWS yang telah dikembangkan, ada tiga MEWS utama, yaitu (1) modified early obstetric warning system (MEOWS), (2) Maternal Early Warning Criteria (MEWC), dan (3) Maternal Early Warning Trigger (MEWT) tool. Hingga kini masih belum diketahui sistem MEWS apa yang terbaik, dan setiap rumah sakit mungkin memerlukan penyesuaian dalam parameter MEWS. Literatur yang ada menunjukkan kemungkinan manfaat dan mendukung penggunaan MEWS. Implementasi dan penggunaan MEWT telah dikaitkan dengan penurunan morbiditas maternal komposit dan morbiditas maternal berat. Akan tetapi, respon apa yang optimal untuk setting tertentu agar memperbaiki pelayanan maternal setelah tanda peringatan muncul hingga kini masih belum jelas. Detection of Critically Ill Obstetric Patients with Maternal Early Warning System Abstract Physiological adaptations that develop in pregnant women may obscure signs of severe maternal diseases. These causes difficulties in identifying the impending maternal collapse. An early warning system (EWS) modified for pregnant and postpartum women may assist in identification, early treatment, and management of patients who already or will develop critical illness. Maternal Early Warning System MEWS has been extensively used in obstetric practices; however, the systems used in preactice are varied. The most considered parameters for MEWS are heart rate, respiratory rate, blood pressure, and level of consciousness. From many MEWS developed, three primary MEWS existed, (1) modified early obstetric warning system (MEOWS), (2) Maternal Early Warning Criteria (MEWC), dan (3) Maternal Early Warning Trigger (MEWT) tool. There is still no consensus regarding which MEWS is superior, and different hospitals may require adjustments in MEWS parameters. The existing literatures suggested the potential benefit of MEWS and supported MEWS in clinical practice. Implementation and adoption of MEWS had been associated with reduced composite maternal morbidities and severe maternal morbidities. However, the optimal response for certain settings to improve maternal services after warning system has been activated is still lacking.
Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Dosis 7,5 Mg dengan 5 Mg pada Seksio Sesarea Muh. Zulkifli; Andi Salahuddin; Muh. Ramli Ahmad
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.37

Abstract

Latar Belakang: Teknik anestesi yang efektif adalah tujuan utama dari teknik anestesi spinal, yang bertujuan meminimalkan efek samping pada ibu dan bayi baru lahir. Tujuan: Membandingkan ketinggian blok, onset dan durasi, efek samping antara Bupivakain 0,5% Hiperbarik dosis 7,5 Mg + Fentanyl 25 Mcg dan dosis 5 Mg + Fentanyl 25 Mcg pada seksio sesarea.Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan uji klinis acak tersamar ganda (Randomized double blind clinical trial). Sampel terdiri atas 2 kelompok yakni LD (Kelompok yang mendapatkan anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg + fentanil 25 μg ) dan CD (Kelompok yang mendapatkan anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg + fentanil 25 μg) dengan jumlah sampel masing-masing 20 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik Independen Sample T Test dengan tingkat kemaknaan α=0.05. Hasil: Ada perbedaan onset blok motorik (p=0,004), durasi motorik (p=0,000), durasi blok sensoris (p=0,000) antara kelompok LD dan kelompok CD. Sedangkan durasi operasi (p= 0,769), selisih perubahan TD Sistole (p> 0,05), selisih perubahan TD Diatole (p> 0,05), selisih perubahan nadi (p> 0,05), selisih perubahan MAP (p> 0,05), efek samping mual/muntah (p> 0,05) dan rescue (p> 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan.Simpulan: Onset blok sensorik lebih lama, dan durasi blok sensoris dan motorik lebih singkat pada kelompok LD dibanding CD sehingga ada perbedaan efektifitas bupivakain antara kedua kelompok. Tidak perbedaan yang bermakna untuk efek samping dan perubahan hemodinamik pada kedua kelompok. The Effectiveness of Spinal Anesthesia Using Bupivacaine 0.5% Hyperbaric Dosage 7.5 Mg with 5 Mg in Caesarean Section Surgery Abstract Latar Belakang: Teknik anestesi yang efektif adalah tujuan utama dari teknik anestesi spinal, yang bertujuan meminimalkan efek samping pada ibu dan bayi baru lahir. Tujuan: Membandingkan ketinggian blok, onset dan durasi, efek samping antara Bupivakain 0,5% Hiperbarik dosis 7,5 Mg + Fentanyl 25 Mcg dan dosis 5 Mg + Fentanyl 25 Mcg pada seksio sesarea.Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan uji klinis acak tersamar ganda (Randomized double blind clinical trial). Sampel terdiri atas 2 kelompok yakni LD (Kelompok yang mendapatkan anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg + fentanil 25 μg ) dan CD (Kelompok yang mendapatkan anestesi spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg + fentanil 25 μg) dengan jumlah sampel masing-masing 20 orang. Data dianalisis menggunakan uji statistik Independen Sample T Test dengan tingkat kemaknaan α=0.05. Hasil: Ada perbedaan onset blok motorik (p=0,004), durasi motorik (p=0,000), durasi blok sensoris (p=0,000) antara kelompok LD dan kelompok CD. Sedangkan durasi operasi (p= 0,769), selisih perubahan TD Sistole (p> 0,05), selisih perubahan TD Diatole (p> 0,05), selisih perubahan nadi (p> 0,05), selisih perubahan MAP (p> 0,05), efek samping mual/muntah (p> 0,05) dan rescue (p> 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan.Simpulan: Onset blok sensorik lebih lama, dan durasi blok sensoris dan motorik lebih singkat pada kelompok LD dibanding CD sehingga ada perbedaan efektifitas bupivakain antara kedua kelompok. Tidak perbedaan yang bermakna untuk efek samping dan perubahan hemodinamik pada kedua kelompok.
Diagnosis dan Tatalaksana Emboli Air Ketuban Dwiana Sulistyanti; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 2 (2020): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i2.38

Abstract

Emboli air ketuban merupakan sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah melahirkan. Emboli air ketuban adalah peristiwa masuknya air ketuban yang mengandung sel-sel janin dan material debris lainnya ke dalam sirkulasi maternal yang menyebabkan kolaps kardiorespirasi. Patofisiologinya sampai saat ini belum jelas. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu yaitu robekan amnion dan korion, terbukanya vena ibu baik melalui vena-vena endoserviks, sinus venosus subplasenta atau akibat laserasi segmen bawah rahim serta adanya tekanan yang mendesak masuknya air ketuban kedalam sirkulasi ibu. Gambaran klinisnya sesak yang tiba-tiba, gagal nafas dan hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskuler, DIC dan kematian. Emboli air ketuban mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pengenalan dini dan diagnosis emboli air ketuban sangat penting untuk meningkatkan angka harapan hidup maternal maupun janin. Penatalaksanaan emboli air ketuban bersifat non spesifik dan suportif, yaitu meningkatkan oksigenasi, memperbaiki sirkulasi, dan memperbaiki koagulopati diikuti dengan prinsip-prinsip basic life support dan advanced life support, dengan fokus utama yaitu stabilisasi kardiopulmonal maternal secara cepat. Tujuan utama yang paling penting adalah mencegah bertambah beratnya hipoksia dan gagal organ yang lebih lanjut. Resusitasi cepat sangat diperlukan tergantung pada keadaan klinis pasien. Pasien dengan emboli air ketuban mempunyai prognosis yang sangat jelek. Sampai saat ini, sindroma ini tidak dapat diprediksikan atau dicegah. Dengan diagnosis awal yang baik, resusitasi cepat dan pendekatan multidisiplin yang baik akan meningkatkan prognosis, memperbaiki mortalitas dan morbiditas maternal maupun fetal. Diagnostic and Management of Amniotic Fluid Embolism Abstract Amniotic fluid embolism (AFE) is a catastrophic syndrome that occurs during pregnancy and childbirth or immediately after delivery. Amniotic fluid embolism is an event when amniotic fluid containing fetal cells and other debris enter the maternal circulation, which causes cardiorespiratory collapse. The pathophysiology is not yet clear. There are three main factors that cause the entry of amniotic fluid into the mother's circulation, i.e. tearing of the amnion and chorion, an opening of the maternal veins either through the endocervical veins, subplacental venous sinuses or due to laceration of the lower uterine segment and the pressure that forces the entry of amniotic water into the mother's circulation. The clinical features are sudden onset of breathlessness, respiratory failure and hypotension followed by cardiovascular collapse, DIC and death. Amniotic fluid embolism has high morbidity and mortality rates. Early recognition and diagnosis of amniotic embolism are very important to increase the life expectancy of both the maternal and the fetus. Management of amniotic fluid embolism is non-specific and supportive, namely increasing oxygenation, improving circulation, and improving coagulopathy followed by the principles of basic life support and advanced life support, with the main focus of rapid maternal cardiopulmonary stabilization. The main and most important goal is to prevent further progression of hypoxia and organ failure. Rapid resuscitation is necessary, depending on the clinical condition of the patient. Patients with amniotic fluid embolism have a very poor prognosis. Until recently, this syndrome could not be predicted or prevented. With a good initial diagnosis, rapid resuscitation and a good multidisciplinary approach will improve prognosis, improve maternal and fetal mortality and morbidity.
Open Lung Recruitment untuk Pasien Udem Paru Akut Pasca Operasi Sesar Dwiana Sulistyanti; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.39

Abstract

Udem paru akut pada wanita hamil merupakan kejadian yang jarang tetapi merupakan kejadian yang dapat mengancam jiwa. Meskipun merupakan kejadian yang jarang terjadi tetapi berhubungan dengan meningkatnya resiko pada ibu juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas janin. Beberapa faktor resiko yang diidentifikasikan dapat menyebabkan udem paru: preeklamsi atau eklamsi, infeksi yang berat, penggunaan obat tokolitik, kelebihan cairan dan kehamilan ganda. Selain itu, perubahan fisiologi yang berhubungan dengan kehamilan mungkin bisa menjadi penyebab udem paru pada wanita hamil. Ventilasi mekanik efektif meningkatkan kandungan oksigen dan menurunkan trauma pada paru. Open lung recruitment dapat meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan udem paru akut, dapat menurunkan indeks cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pengembangan paru dan menurunkan tekanan pada jalan nafas. Laporan kasus ini menjelaskan tentang penanganan udem paru akut pada wanita muda pasca operasi sesar atas indikasi preeklamsi, dimana dilakukan open lung recruitment saat pasien dirawat di ruang ICU, pasien dirawat selama hampir 2 minggu dan pulang dalam keadaan baik. Open Lung Recruitment for Patient Acute Pulmonary Edema Post Caesarean Section Abstract Acute pulmonary edema in pregnant women is a rare but life-threatening event. Although it is a rare event, but it is associated with an increased risk for the mother as well as increasinh fetal morbidity and mortality. Several indentified risk factors can cause pulmonary edema : preeclampsia or eclamsia, severe infections, use of tocolytic drugs, fluid overload, and multiple pregnancies. In adition, physiological changes related to pregnancy may be a cause of pulmonary edema in pregnant women. Mechanical ventilation effectively increases oxygen content and reduces trauma to the lungs. Open lung recruitment can increase oxygenation in patient with acute pulmonary edema, can reduce the pulmonary extravascular fluid index, increase lung development, and reduce pressure on the airway. This case report describes the management of acute pulmonary edema in young women post-operative cesarean section for indications of preeclampsia, where open lung recruitment is performed when the patient is treatedin the ICU, the patient is treated for almost two weeks and return home in good condition.
Serial Kasus: Manajemen Anestesi pada Wanita Hamil dengan Plasenta Akreta yang Direncanakan Tindakan Seksio Sesarea Purwoko Purwoko; Rio Rusman; M. Ridho Aditya
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.40

Abstract

Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu selain penyakit kardiovaskuler. Diantara penyebab perdarahan post partum adalah plasenta akreta dimana insidennya semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah persalinan dengan seksio sesarea. Kami laporkan dua kasus ibu hamil dengan plasenta akreta yang direncanakan tindakan seksio sesarea emergency yang dikelola dengan general anesthesia rapid sequence induction. Kasus pertama, perempuan berusia 31 tahun G3P1A1 usia kehamilan 36–37 minggu dalam persalinan, perdarahan antepartum ec plasenta previa totalis, plasenta akreta dengan hemodinamik stabil. Intraoperatif, perdarahan sekitar 7000 cc, dan diberikan transfusi 8 unit PRC, 4 unit WB, 4 unit FFP, dan 4 unit Tc. Pascaoperasi pasien dirawat di ICU, dan komplikasi yang terjadi produk drain abdomen sekitar 1900 cc bercampur darah. tidak ada komplikasi mayor lainnya, pasien pindah ruang rawat inap pada hari keempat pascaoperasi. Kasus kedua, perempuan berusia 40 tahun G3P2A0 usia kehamilan 37–38 minggu dalam persalinan, perdarahan antepartum ec plasenta previa totalis, plasenta akreta dengan hemodinamik stabil. Intraoperatif, perdarahan sekitar 9000 cc, dan dilakukan transfusi 8 unit PRC, 8 unit WB, 4 unit FFP, dan 4 unit Tc. Pascaoperasi pasien dirawat di ICU, dan. tidak ada komplikasi signifikan terjadi. Hari kedua pascaoperasi pasien pindah ke ruang rawat inap. Case Series: Anesthesia Management in Pregnant Woman with Placenta Accreta Planned for Caesarean Section Abstract Postpartum hemorrhage is one of the leading causes of maternal morbidity besides cardiovascular disease. Among the causes of postpartum hemorrhage is placenta accreta, where the incidence increases from year to year along with the increase in the number of cesarean delivery. We report two cases of pregnant women with placenta accreta planned for emergency cesarean section managed with general anesthesia rapid sequence induction. The first case, 31-year-old woman G3P1A1 36–37 weeks of gestation in labor, antepartum hemorrhage ec placenta previa totalis, placenta accreta with hemodynamically stable. During procedure, blood loss about 7000 cc, and given transfusion of 8 units of PRC, 4 units of WB, 4 units of FFP, and 4 units of Tc. In the end of procedure, the patient was transferred to intensive care unit, and complications that occurred around 1900 cc of abdominal drain product mixed with blood. After that, there were no other major complications, then the patient moved the ward on the fourth day. The second case, a 40-year-old woman G3P2A0 37–38 weeks of gestation in labor, antepartum hemorrhage ec placenta previa totalis, placenta accreta with hemodynamically stable. During procedure, blood loss about 9000 cc, and given transfusion of 8 units of PRC, 8 units of WB, 4 units of FFP, and 4 units of Tc. In the end of procedure, the patient was transferred to intensive care unit, and no significant complications happen. The second day after surgery the patient moved to the ward.
Tatalaksana Anestesi pada Operasi Obstetri dengan Covid-19 Isngadi Isngadi; Rafidya Indah Septica; Susilo Chandra
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 3 No 1 (2020): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v3i1.41

Abstract

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan masalah utama kesehatan dunia. Kasus COVID-19 terus meningkat secara ekponensial di berbagai belahan dunia. Wanita hamil juga mengalami peningkatan kejadian infeksi COVID-19. Manifestasi klinis COVID-19 bervariasi, dengan sebagian besar pasien memiliki gejala saluran pernapasan. Pasien terinfeksi covid-19 yang asimpomatis atau pasien yang terinfeksi sebelum munculnya manifestasi klinis mampu menularkan penyakit. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini kepada semua maternal yang akan dilakukan tindakan operasi, terutama di daerah dengan kejadian inveksi COVID-19 yang tinggi. Tatalaksana anestesi pada operasi obstetri dengan COVID-19 harus memperhatikan beberapa hal dengan tujuan pengendalian infeksi untuk mencegah penularan COVID-19, kepada petugas kesehatan, anak yang baru dilahirkan serta orang lain lingkungan sekitar. Tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 berisiko terinfeksi apabila tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar, sehingga penggunaan APD sesuai standart secara benar sangat penting,untuk mencegah tertularnya COVID-19 pada petugas. Tehnik anestesi yang menjadi pilihan utama untuk operasi obstetri dengan COVID-19, adalah dengan tehnik anestesi regional (epidural dan atau spinal), karena dengan tehnik tersebut mengindari timbulnya aerosol. Tehnik anestesi umum hanya digunakan apabila : gagal dengan tehnik anestesi regional, ada kontraindikasi dengan tehnik anestesi regional atau maternal mengalami desaturasi(saturasi <93%). Apabila menggunakan tehnik anestesi umum maka dalam pelaksanaanya harus dengan prinsip pencegahan terjadinya penyebaran infeksi. Anesthesia Management for obstetric surgery with COVID-19 infected Abstract The coronavirus disease 19 (COVID-19) is a global health problem. The number of cases of COVID-19 continue to rise exponentially in many parts of the world. Pregnant women have also increasing COVID-19 infection. The clinical manifestations of COVID-19 are varied, with most patients having respiratory symptom. The asymptomatic covid-19 infected patients or infected patients before clinical manifestations can transmit the disease. So early detection should be done for all mothers who will perform surgery, especially in areas with a high incidence of COVID-19 infection. Anesthesia management in obstetric surgery with COVID-19 must pay attention to several things with the aim of controlling infection to prevent transmission of COVID-19, for health workers, newborn babies and other people in the surrounding environment. Health workers who are exposed to COVID-19 are at risk of infection if they do not use personal protective equipment (PPE) according to the standard, so the use of PPE according to proper standards is very important, to prevent the transmission of COVID-19 to the officerExpected health workers, COVID-19, the risk of coverage, do not use personal protective equipment (PPE) according to standards, so the use of PPE according to the standard, is very important. The first choice of Anesthesia techniques for obstetric surgery in maternal COVID-19 infection are regional anesthesia techniques (epidural and or spinal), because with these techniques avoid the emergence of aerosols. General anesthesia techniques are only used if: fail with regional anesthesia techniques, there are contraindications to regional anesthesia or maternal desaturation (saturation <93). If using general anesthesia techniques, the prevention of infection is a major concern.

Page 3 of 10 | Total Record : 94