cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Mediator
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 19 Documents
Search results for , issue " Vol 3, No 1 (2002)" : 19 Documents clear
Salam MediaTor, Dewan Redaksi
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Atas Dasar Apa: Mediator Kali iniKebebasan pers memang bukan udara yang bisa dihirup di setiap saat dan di setiap tempat. Bahkan di Amerika, tempat bermula kebebasan pers didengungkan. Ketika AS mengirimkan serangan ke Afghanistan akhir 200 1 lalu, Gedung Putih melarangjaringan TV ABC, CBS, CNN, NBC, dan Fox, menayangkan rekaman video Usamah bin Ladin. Alasan: ditakutkan Usamah akan memanfaatkan tayangan itu untuk memberi kode-kode khusus kepada para pengikutnya. Siaran wawancara radio Voice ofAmerica dengan pejabat Talibanjuga sarna, di-blocking. Media cetak pun dilarang bila memuat transkrip lengkap tayangan tersebut.Atas dasar apa?"Ketakutan yang berlebihan dad pemerintah AS," jelas Awang Ruswandi, stafpengajar Jurusan I1mu Komunikasi, FISIP VI. Ketakutan itu punya umur yang panjang di dalam sejarah pers di negeri - yang terkaget-kaget oleh kehancuran menara kembar World Trade Center (WTC), pada September 200 1. "Sejarah AS memperlihatkan bahwa sebenamya tingkat kebebasan pers ... hanya terjadi pada saat kondisi negara sedang dalam keadaan normal. Tingkat kebebasan pers AS akan berbeda jika negeri ini sedang menghadapi perang atau konflik dengan negara lain." Kisahnya bisa diumt sejak negeri Paman Sam (Uncle Sam) meraih kemerdekaannya (Perang Sipil), lalu dalam PD I dan II, invasi AS ke Kuba, Perang Korea dan Vietnam, invasi ke Grenada (1983), Teluk Persia (1991), sampai dengan serangan ke Afghanistan (2001). Padahal, dari bangsa inilah, kita mengutip Graber (1980) yang berkata, pers ialah mata dan telinga bagi publik, serta watchdog bagi pemerintah. Atau, Thomas Jefferson, pendorong kebebasan pers masuk First Amendment, berseru bahwa di negeri demokratis "pers hams bebas dari pengawasan pemerintah". Namun, dalam kenyataan sejarahnya, hal itu kerap dilanggar.Ruswandi - mengutip Rivers, Peterson, & Jensen (197 1) - dengan amat baik, mencontohkan: Contoh yang ekstrem barangkali terjadi saat Presiden Andrew Jackson berkuasa. Jackson lebih jauh lagi mengatur kehidupan pers. Bahkan ia dijuluki sebagai presiden pertama yang mengatur negeri dengan surat kabar. Karena memang, Jackson dapat "menguasai" jumalis-jumalis kenamaan untuk dijadikanjuru bicaranya. Pada pemerintahan Jackson ini, pemerintah dapat membuatpublic opinion palsu yang seolah-olah ada pendapat umum, padahal pendapat itu "dibuat" oleh jumalisjumalis yang dekat dengan presiden, dan surat kabar-surat kabar di daerah "wajib" memuat pendapat tersebut. Ketika Perang Teluk meletus, 1991, pemerintah malah lebih detil membatasi kebebasan pers. Kekuatan militer AS, berbagai operasi intelejen, dan banyak lagi yang tidak boleh dilaporkan media. The Pentagon Ruled on Media Access to the Persian Gulf War merincikan 12 item yang hams diperhatikan media massa.Atas dasar apa?Tekanan politik dan ekonomi, nilai Ruswandi. Kedua tekanan itu menyebabkan, "tidak ada kebebasan pers secara mumi." Mengutip Melvin deFleur (] 985), yang dari sejak dini telahmengasumsi kelembagaan media massa itu tidak pemah bisa berdiri sendiri. Baik formal ataupun informal, economic andpolitical constraints selalu membayang-bayangi kerjajurnalisme. Karena itulah, "kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi tidak bersifat absolut." Diskusi macam ini memang punya arah tertentu. Arahnya terkait, antara lain, ke hasil reportase wartawan. Vakni, dalam kerja mereka ketika mengungkap hal-hal yang berbau skandal, kasus, atau pelanggaran. Kerja pers jadi menakutkan banyak pihak. Kebebasan pers jadi soal yang sangat perlu diwaspadai.Khususnya, ketika pers mengivestigasi pelbagai peristiwa di masyarakat. Ketika pers menyeruduk ke ruang-ruang gelap, yang sengaja disembunyikan, pelbagai pihak biasanya akan jadi serius menyeleksi arti kebebasan pers. Dan, yang sibuk biasanya pemerintah. "Pelbagai bentuk dari kasus-kasus investigasi itu meliputi permasalahan di antaranya .... biasanya terkait dengan hal yang i1egal, atau pelanggaran moral, penyalahgllnaan kekuasaan," tulis Septiawan. Kisah-kisah jumalisme investigatifpunya ukuran dan keluaran yang tak mudah digeneralisasikan. Ada yang mengukurnya dari pemuatan kisah "seorang korban" (victim), ada pula yang mengaitkannya dengan kelemahan sebuah sistem. Kesemua bahan liputan direkontekstualisasikan ke dalam klasifikasi dan struktur pengisahan, berdasarkan tema dan tipe-tipe spesifikasi kisah. Dari keseluruhan kerja liputan jurnalisme investigatif, pada umumnya ditentukan lInsur-unsur yang dapat dikenali, yang menjadi karakteristik wacana reportase investigatif, antara lain: subjek investigasi, hipotesis riset, sumber sekunder, pikiran dokumentatif, narasumber, teknik riset, dan berpikir wisdom.Ciri-ciri itu kerap memberikan nilai lebih padajumalisme investigatif. Bahkan, dibanding varian jurnalisme lainnya, investigasi dianggap punya nuansa gengsi Pulitzer. Anggapan ini sering membuat pers sendiri jadiinsinuatif. Pers jadi tampil arogan. Dan, parahnya, wartawan jadi alergi dengan kritikan. Apalagi disebut kriminal. Padahal, berbagai kasus liputan banyak berkisah tentang pelanggaran wartawan. Ruang privasi masyarakat terganggu, terintimidasi, dan goyah. Wartawan bukan lagi dianggap mata dan telinga publik, akan tetapi vampire. Pers dinilai mengisap hak pribadi publik untuk, misalnya, tahu bahwa yang dihadapinya adalah benar-benar wartawan. Bukan intel, atau maling (informasi). Etika dan hukum merupakan hal penting yang patut pula diperhitungkan kalangan pers. Hal ini berarti terkait dengan sumber daya kewartawanan. Apa mereka, para pelaku pers, paham dengan utuh tentang etika dan hukum yang mesti diperhatikan di dalam jurnalisme. Terkait dengan itu pula, berarti pendidikan sekolah jumalitik pun punya akses. Sekolah jumalistik memiliki keterkaitan amat penting dengan sumber daya kewartawanan. Dari sekolah tersebut, para wartawan bekerja dengan baik bila mengatasnamakan "mata dan telinga" publik. Sekolah jurnalistik mesti menyiapkan dengan baik kurikulull1 sampai sarana dan prasarana pengajarannya. Bagaimana dengan sekolah jumalistik di Indonesia? Maka itulah, Mediator kali ini menampilkan ulasan Deddy Mulyana berjudul "Mempersiapkan Para Jurnalis Menyongsong Era Global". "Terdapat beberapa syarat mendasar yang hams dimiliki suatu universitas untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Syarat-syarat ini perlu ditekankan lebih jauh lagi mengingat Indonesia sekarang ini hams menghadapi era global," tulisnya. Perguruan tinggi (PT), fakultas,jurusan, atau program studi, mesti diberi otonomi yang luas. Salah satu wujudnya adalah kebebasan PT dalam menyusun kurikulumnya. Kebebasan untuk mengembangkan kajian khas yang dibutuhkan propinsi di mana lembaga pendidikan tinggi itu berada. "Misalnya, UI mungkin istimewa dengan periklanannya, sementara Unpad dengan jumalistik radio dan TV-nya, Unhas boleh jadi terkenal karena komunikasi pembangunannya, sementara Unisba mungkin bangga dengan jurnalistik cetaknya." Jurusan atau program studi ilmu jumalistik dapat merancang seleksi khusus (tambahan) untuk merekrut mahasiswa, misalnya dengan melakukan wawancara bahasa lnggris, tes bahasa lnggris TOEFL atau IELTS.Selain itu, visi dan misi yang jelas. "Bukan sekadar penghias bibir (lip service)". Akan tetapi, dijabarkan melalui komposisi dan keragaman mata kuliahnya serta penyediaan fasilitas (khususnya laboratorium) pendidikan yang relevan. Kurikulum program S1seyogianya menawarkan keahlian yang seimbang antara keahlian teoretis dan keahlian praktis. Idealnya, dalam jangka-panjang, rasio bandingannya mencapai 50:50, antara teori dan praktik. Kurikulum tersebut seyogianya pula memberi pengetahuan sosial yang kuat, termasuk pengantar filsafat (ilmu), sosiologi, psikologi, antropologi, dan ilmu politik, ilmu ekonomi "Dan tentu yang terpenting adalah etika," tegas Mulyana. Ini agar wartawan lulusan sekolahjurnalisme punya integritas moral dan pribadi yang tangguh. Kurikulum yang sudah disusun menurutnya, harus dikaji ulang dan bila perlu direvisi, setidaknya lima tahun sekali. Sekolah jurnalistik di Indonesia, dalam pandangan ini, juga harus mau mengubah ketentuan pembuatan skripsi. "Sebaiknya bersifat pilihan, terutama hanya dianjurkan bagi mereka yang akan melanjutkan studi ke program S2....Sebagai gantinya, mahasiswa membuat suatu proyek akhir, berupa makalah setebal 20-40 halaman, atau tugas .... pembuatan laporan mendalam atas suatu kasus/peristiwa, misalnya tentang pembunuhan terhadap puluhan wanita yang dilakukan seorang dukun, atau membuat paket berita dengan video tentang suatu lembaga pendidikan yang sukses, atau merancang suatu iklan TV," katanya.Di samping semua itu, para dosennya juga mesti berubah. "Para dosen seyogianya terus belajar, meskipun mereka telah mencapai gelar akademik tertinggi. Di samping itu, fasilitas belajar seperti: ruang editing, ruang video, laboratorium foto, laboratorium radio, laboratorium TV, ruang komputer (termasuk sistem internet), dan sisteminformasi (database) berbasis komputer. Pengelolaan sekolahjurnalistik macam itu amat penting. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia kini sudah mengenal fenomena surat kabar digital. Surat kabar digital, menurut Muhammad E. Fuady, bukan hanya surat kabar konvensional yang menggabungkan dirinya dengan teknologi internet, media khas seperti portal yang menyediakan informasi secara independen juga merupakan surat kabar digital. Surat kabar digital memadukan teknologi internet dengan kegiatan menyampaikan informasi, hiburan dan penerbitan, dari jurnalistik. Surat kabar digital memiliki karakteristik aktualitas dan universalitas. Tapi, ciri yang paling menonjol ialah sifat interaktifnya."Kekhawatiran akan punahnya eksistensi pers, karena adanya surat kabar digital tidak perlu ditanggapi secara berlebihan," nilai Fuad. Pers tidak perlu menganggap musuh, pers lebih baik menyikapi media baru ini sebagai peluang meningkatkan kualitas pemberitaan. Demikian pula sebaliknya, media pers konvensional dapat menggabungkan dirinya menjadi surat kabar digital tanpa meninggalkan bentuk sebelumnya. Kenyataan itu, sangat signifikan dengan realitas teknologi cyberspace yang kini sudah merasuk ke struktur masyarakat kita. Di Indonesia, pemanfaatan teknologi internet telah menggejalakan komunikasi cyberspace di dalam kehidupan sehari-hari. Cyberspace telah menjadi sarana bertukar pendapat, secara intim, bagi beberapa kelompok sosial di masyarakat. Internet menjadi sarana, dalam bentuk interaksi antarindividu, ketika berkomunikasi. Gejala chatting, misalnya, telah banyak dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Pada titik ini, perkembangan teknologi internet bukan lagi sebagai penyimpan informasi dan data. Akan tetapi, telah menjadi alat bagi perhubungan komunikasi personal. Alat bercakap-cakap bagi masyarakat selain handphone, radio CB (citizen band), ataupun interkom (yang dulu pernah menghangat di perkampungan kota kita). "Bagaimana implikasi perkembangan tersebut pada konteks komunikasi antarpersona....Masih pentingkah komunikasi antarpersona dilakukan? Masih berlakukah paradigma komunikasi antarpersona? Bagaimana aspekaspek psikologis yang terkait dengan komunikasi antarpersona? Mampukah internet pada bola cyberspace ini menggantikan peran komunikasi antarpersona? Berbagai pertanyaan itu diulas Dedeh Fardiah dalam Mediator kali ini . Dalam tilikan komunikasi antarpersona yang jarang dilakukan banyak pengamat, Dedeh mcnguraikan dampak cyberspace ketika menjadi Realitas komunikasi. Dalam tulisannya, ia mengkaji aspck-aspek komunikasi antarpersona, melalui perspcktif komunikasi cyberspace, yang mcncakup esensi komunikasi antarpersona, hubungan antarpersona, dayatarik antarpersona, dan efcktivitas komunikasi antarpersona.Komunikasi antarpersona merupakan satu konteks Komunikasi yang paling sering dilakukan manusia. Di sini, manusia yang terlibat dalam transaksi kotl1unikasi tcrsebut berperan sebagai pcngirim atau penerima secara simultan. Maka itu, Komunikasi antarpersona acapkali disebut dyadic communication (komunikasi dua orang); yang oleh Tubbs dan Moss (1996) - seperti dikutip Dedeh, demikian: "Peristiwa komunikasi dua orang mencakup hampir semua komunikasi informal, dan basa-basi, percakapan sehari-hari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi sampai kembali ke tempat tidur. Komunikasi diadik juga merupakan komunikasi yang mencakup hubungan antarmanusia yang paling erat". Bagaimana bentukannya ketika diperantarai teknologi cyberspace. Sebuah istilah, yang diciptakan penulis fiksi ilmiah, William Gibson, ketika membayangkan adanya dunia maya atau virtual yang dapat mensimulasikan dunia nyata kita sehari-hari.Dcngan adanya cyberspace, menurut Dedeh, kini kita mendapati dua macam komunikasi antarpersona: komunikasi antarpersona yang bersifat langsung dan komunikasi antarpersona via media (komunikasi cyberspace). "Komunikasi antarpersona yang bersifat langsung amat menekankan pentingnyaface toface .... Sebaliknya dengan komunikasi cyberspace, yang terjadi adalah bentuk komllnikasi tanpa tatap muka dan tanpa keterlibatan manusia secara fisik ... yang telah kehilangan aspek-aspek afeksi psikologis. "Dalam kesimpulanya, Dedeh Fardiah menyatakan, antara lain: "Esensi komunikasi antarpersona dalam perspektif komunikasi cyberspace masih tetap diakui penting keberadaannya.... Ketertarikan individu untuk melakukan komunikasi antarpersona melalui faktor daya tarik fisik, kedekatan, kesamaan, dan komplementer mengalami pergeseran prioritas...." Dengan demikian. teknologi tetaplah alat. Teknologi hanyalah alat untuk memudahkan manusia dalam berhubungan, bekerja, dan seterusnya. Lewat sisi lain, soal perkembangan teknologi informasi ini, disajikan Mediator pula melaluikajian Zulfebriges yang bertajllk "Informasi Dan Organisasi: Perspektif Sistem Informasi Manajemen". Zulfebriges adalah pengajar bidang kajian Manajemen Komunikasi.Tilikannya tentang Sistem Informasi Manajemen (SIM) mewacanai ulasan tentang informasi database - yang kini banyak diaplikasikan berbagai organisasi perusahaan ataupun LSM. Namun, dengan amatan dan referen yang cukup baik - dibanding berbagai ulasan tentang SIM, Zulfebriges menilik secaracukup komprehensif, melalui pendekatan sosial, khususnya untuk pengaplikasiannya di gerak organisasi. Dunia infonnasi, di era milenia ini, memang telah bisa dikeping-kepingkan ke dalam kemasan yang siap saji. Bagi organisasi modern, dengan kebutuhan dan kepentingan manajemen yangcukup kompleks, informasi menjadi sarana gerak kelembagaan yang penting. Berbagai tingkat manajemen, misalnya, membutuhkan mekanisme pasokan dan pengeluaran informasi yang efektif.Tidak hanya cepat, tapi juga tepat. Hal in i berarti memerlukan rancangan sistem infonnasi terapan yang handal: dari proses managing data sampai ke pengaturan database-nya. Oi samping itu, kehadiran administrator. Oalam mengelola pengadmistrasian data dan database, di berbagai tingkat manajemen, memerlukan kehadiran administrator dengan persyaratan tertentu. Maka itulah, penguasaan teknologi informasi - dengan berbagai seluk-beluk perangkatnya, merupakan hal vital bagi pengaturan data yang memenuhi kebutuhan organisasi. Semua itu tertuju kepada pembuatan sistem pemrosesan data yang, menurut istilah Zulfebriges, "handal" dalam memaksimalkan komponen-komponen yang terkait seperti mesin (komputer), program, data, dan manusia; juga, dapat dialokasikan ke dalam struktur organisasi yang efektif."Penyusunan data dalam organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan database karena database lebih dari sekadar pengumpulan dan penyimpanan data ke dalam database yang telah terintegrasi," Jelas Zulfebriges. Dalam Iingkungan database, terdapat empat komponen utama, yang terdiri atas: pengguna database, administrator database, aplikasi program, dan sistem manajemen database. Dalam konteks organisasi, manajemen database diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan oleh pimpinan. Database menyediakan data yang sangat beragam dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Karena itu, penyusunan dan penyimpanan data menjadi kompleks. SIM memperspektif kegiatan organisasi modem ke dalam tiga level gerak manajemen: Pertama, aktivitas operasional manajemen tingkat bawah; kedua, kegiatan manajemen perencanaan dan pengendalian aktivitas di tingkat menengah; ketiga, kegiatan manaj emen perencanaan strategis dan pembuatan kebijakan di level atas.Data yang dibutuhkan oleh ketiga tingkatan manajemen tersebut harus bisa dilayani dengan baik. "Manajer/pimpinan di semua level menggunakan data yang sarna," tulis Zulfebriges. "Bagian operasi memerlukan data yang segera, tepat, terinci, internal, dan historis. Sedangkan level menengah ke atas memerlukan data internal dan eksternal yang tidak hanya berorientasi ke masa depan, tetapi juga ke masa lalu .... Database organisasi memberikan data untuk modeling dan peramalan bagi manajemen puncak.." Karena itulah, SIM bagi organisasi modem, diperlukan untuk mendukung proses pengambilan keputusan secara efektif; yang dalam perancangannya, memerlukan sistem administrasidatabase yang melibatkan dua komponen, yakni: administrasi (administrator yang kompeten dan punya integritas) dan teknis.Selain jumalisme dan teknologi infonnasi, Mediator kali ini menampilkan pula materi kajian komunikasi lainnya. Lewat tataran perlambangan komunikasi, R. H. A. A. Ojajusman Tanudikusumah, memaparkan tafsiranya tentang demokrasi dan otonomi daerah- yang kini kian jadi kajian ngetrend. Yang menarik, Tanudikusumah menyorotinya dari ritus upacara bendera 17 agustusan, dan menghasilkan kesimpulan ihwal masih kuatnya feodalisme di era reformasi perpolitikan Indonesia. "Peristiwa 17 Agustus adalah momentum akbar dalam berkomunikasi yang memancar ke seluruh penjuru Tanah Air. Tindak komunikasi tersebut mempererat persatuan dan kesatuan Nusantara Indonesia," asumsinya. Sekaligus menjadi lambang bagi kultur politik dijawantahkan. Maka itulah, tata-titi keprotokoleran upacara kenegaraan itu pun melambangkan sesuatu. Misalnya: ketika seorang anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), setelah menerima bendera dari presiden "harus mundur meniti tangga", melambangkan sesuatu. "Terkesan .... itu adalah pensakralan terhadap atasan tertinggi,"menurut Tanudikusumah. Pemfeodalan perlambangan yang ternyata masih hadir di tengah reformasi demokrasi diberlakukan. "Pensakralan rupanya masih tidak mengalami perubahan. Sisasisa masa lalu, sadar atau tak sadar, diteruskan, tanpa menyelami makna tersebut." "Peristiwa turun dengan jalan mundur setelah menerima bendera, memberi kesan yang lebih khusus lagi, seolah-olah tokoh sakral tidak oleh dibelakangi (dipantati). Kenyatannya, .... Semua yang berada di lapangan, baik Pasukan Pengibar Bendera maupun barisan Merah Putih (dari Akabri atau Paswalpres) semuanya membelakangi/memantati presiden sebagai Inspektur Upacara."Kajiannya dapat dinilai sebagai sebuah Vista Point: "tempat kita hening sebentar untuk berefleksi diri, apa yang perlu kita perbuat lagi. Apa yang dapat dianggap sebagai tindakan positif atau negatif." Upaya vista point itu memang terkait dengan pekerjaan semiotika. Semiotika adalah ranah ilmu yang mengurus pelbagai tanda, simbol, atau lambang. "Dalam bidang semiotika atau ilmu tanda, para ahli telah menemukan berbagai cara urituk memahami suatu teks," menurut Alex Sobur - ketika membahas semiotika dalam judul yang cukup renyah "Bercengkerama dengan Semiotika." Sifat reflektif terkait dalam konteks pemaknaan kita terhadap pelbagai wacana yang bergulir di masyarakat. Lewat kajian semiotika, di antaranya, kita dapat menelusuri "mitos-mitos" yang kerap sudah seperti ideologi, baik lewat kefanatikan penganutnya maupun kemalasan untuk mengkritisinya. Dengan demikian, kita dapat balik menginversi mitos - seperti upacara bendera. Dalam telaahan yang cukup rumit, tapi menarik, Sobur membahas bagaimana semiotika bekerja. Ditulisan ini, ia tampaknya coba menguraikan semiotika sebagai alat pengurai "tanda" dengan santai, setelah membuat buku Analisis reks Media (200 I) yang kini sudah cetak ulang kedua. "Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengenalan singkat, sekadar menguraikan satu sisi, satu kelokan, dari jalan semiotika yang terbentang amat luasnya."Semiotika, atau semiologi (Barthes), pada dasamya mempelajari bagaimana kita sebagai manllsia memaknai pelbagai hal (things) yang bersifat kemanusiaan (humanity). Sebab, melalui "tanda-tanda" sebagai perangkat, kita berusaha mencari jalan "di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia" di dunia ini. Akan tetapi, yang harus diperhatikan adalah "memaknai" (to signify) itu tidak dapat disamakan dengan pekerjaan "mengkomunikasikan (to communicate)". Umberto Eco (1976), kutip Sobur, "jauh-jauh hari sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran, sekaligus juga kebohongan". Semiotika, kata Eco (1979), adalah i1mu yang bisa dipakai untuk kepentingan "mendustai, mengelabui, atau mengecoh."Asa Berger (2000a), misalnya, mencontohkan dengan gamblang. Tanda "rambut palsu (wig)" bisa ditandakan sebagai "orang botak/gundul atau seseorang dengan warna rambut yang berbeda". Orang yang memakai "sepatll hak tinggi" adalah "orang pendek yang ingin kelihatan tinggi". Yang parah adalah ketika tanda "teater" digunakan untuk kepentingan "pura-pura berperasaan" di dalam konteks komunikasi tertentu. "Pada umumnya, tanda-tanda yang berisi kebohongan itu relatiftidak merugikan (misalnya rambut pirang kenyataannya coklat atau hitam), namun dalam beberapa kasus (seperti supir truk yang berpurapura sebagai dokter) boleh jadi sangat membahayakan orang lain," ingat Sobur. Maka itulah, "yang perlu digarisbawahi dari pendapat Eco adalahjika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan."Lalu, atas dasar apa semiotika itu berkerja? Sobur merujuk berbagai para ahli yang menunjuk dua tokoh penting semiotika, yang menggagas prosedur kerja semiotika. Pertama, adalah pendekatan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang mengatakan "tanda-tanda disusun dari dua e1emen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan". Kedua, adalah pendekatan tanda dari filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Peirce (1839-1914); yang menandaskan bahwa tanda-tanda itu berkaitan dengan objekobjek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Peirce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional.Untuk lebih menjelaskan uraian tersebut, Mediator kali ini menyertakan uraian Idi Subandy Ibrahim, melalui "Dunia Simbolik dan Gaya Hidup dalam Beragama: Dari Ideologisasi ke Komersialisasi Spiritualitas". Walau perlu ditegaskan di sini, uraian Idi bukanlah tuJisan pesanan yang direncanakan Mediator guna membahas semiotika. Ulasan Idi, seperti yang sudah jadi merek orientasi tulisannya di wacana pop culture, kali ini membahas sisi-sisi gelap dari fenomena keagamaan di masyarakat Indonesia. Teropongan Idi adalah teropongan intelektual muda yang intens dengan kesungguhannya dalam mengamati perkembangan masyarakatnya. Dalam hal "gaya hidup beragama", ia pun dengan amat tajam menyoroti makna-makna tersembunyi di balik maraknya simboJ-simbol keagamaan dipakai masyarakat. "Kini, korupsi terhadap wilayah keberagamaan telah dipraktikkan begitu gamblang di pentas kebudayaan massa," nilai Idi. "Korupsi wilayah keberagamaan ini telah melahirkan dua wajah spiritualitas yang memanifestasikan diri dalam praktik, ritus, dan ritual, serta simbol-simbol yang diyakini sebagai ungkapan kesalehan dan ketakwaan penganutnya."Beberapa faktor penyebab dicatat Idi: Pertama, korupsi spiritualitas yang diakibatkan oleh kuatnya politisasi dan ideologisasi agama. Doktrin, dogma, dan teks-teks agama dipolitisasi dan diideologisasi untuk menciptakan batas kita dan mereka. "Ayat-ayat Tuhan dimanipulasi sedemikian rupa supaya ... bisa menjadi sumber legitimasi penegasian dan bahkan penghancuran penganut ajaran atau keyakinan yang lain." Kedua, korupsi spiritualitas yang diakibatkan oleh komersialisasi pengalaman dan praktik religius. "Komersialisasi agama telah melahirkan fundamentalisme hedonis atau hedonisme spiritual, ... praktik dan ritualisme agama hanya menjadi jalan untuk hura-hura, extravaganza!" Dalam amatan yang amatjeli, Idi mendeskripsikan: "Jangan heran kalau jalan pencarian Tuhan, manusia modem tidak lagi mesti lewat perenungan dalam kesunyian, tapi cukuplah lewat pengajian yang mendatangkan siraman rohani dari dai beken yang di iringi konser nasyiddan disponsori barang-barang konsumsi massa (tennasuk mungkin rokok), serta tak ketinggalan pula disertai door-prize yang menarik." Spiritualitas konsumsi kini bertemu dengan konsumsi spiritualitas. Hasilnya, meminjam sebutan Kuntowijoyo (200 I), ialah generasi "Muslim tanpa Masjid". Dan, setelah mengutip Kuntowijoyo, Idi menilai, "pendakian spiritualitas bukan lagi hanya untuk berperang atas nama surga dan neraka, tetapi juga atas nama surga dan kenikmatan dunia." Kupasan perlambangan diJakukan pula oleh Santi lndra Astuti, melalui analisisnya terhadap buku (novel) Larung karya Ayu Utami. Santi mengupas permasalahan "Seks, Gender, dan Representasi Media, yang terungkap dalam buku tersebut. Dua tipe wacana seks, menurut Santi, diungkap novel Larung. Pertama, seks sebagai jenis kelamin (Ielaki maupun perempuan) dengan stereotype atau nonstereotype masing-masing; kedua, makna hubungan prokreasi pengetahuan seks antarindividu - baik yangbiasa diterima masyarakat, ataupuntidak biasa. Ketidaksetaraan gender - baik berlatar nature ataupun nurture, maupun berlatar biologis atau budaya - menjadi fokus naratif dari plot dan karakter dalam nove) tersebut. "Karya Ayu merepresentasikan kerjajurnalisme: berdiri di sebuah titik netral, dalam taraf obyektivitas tertentu." Walau seks dan gender telah banyak dikupas, tapi dari sisi referen keilmuan komunikasinya, analisis Santi tampaknya memberi perspektif yang memperkaya diskusi. Namun, analisisnya tentang representasi media Larung ditinjau dari pendekatan mediologi, cukup otentik. "Sebagai disiplin baru yang tengah berkembang, mediologi .... memikirkan kemungkinan lain untuk menguak praktik-praktik tersembunyi di balik dua retorika: pertama, retorika yang menopengi prosedurprosedurnya; kedua, retorika yang mengklaim mampu menarik tirai yang memungkinkan kita memandang gerak rahasia sejarah." Namun, untuk mengungkap corak ideologi itu sendiri lebih tepat dilakukan analisis semiotika. Mediologi, menurut Santi, (seperti pemah disampaikan lewat forum Seminar llmiah Intern, Fikom Unisba, 2002, adalah disiplin yang digagas Regis Debray, filosof Prancis kelahiran 1938, yang bersentuhan langsung dengan teorisi semacam Lyotard. Mediologi mengkritisi semiotika dan signifikasi makna yang mendominasi filsafat abad 20. Sebuah ide abstrak tidak akan berubah menjadi ideologi dan ia, jika tidak berada dalam sebuah mediosphere: iklim media yang menunjang penyuburan gagasangagasan dalam sebuah milieu yang fertil. Debray membagi tiga periode sejarah media: logosphere (mencirikan antara lain, fase the age of writing), graphosphere (fase The age ofart: printing), videosphere (fase The age oJvisual: Audio/video broadcasting).Marshall McLuhan, menurut Debray, mereduksi definisi medium sebatas channel. McLuhanmelebih-lebihkan kekuatan teknologi, dan mengabaikan peran pesan dan kode yang diproduksi teknologi tersebut. Para semiotisian sebaliknya, melebih-lebihkan peran kode dalam sebuah milieu yang spesifik. Bukan hanya mediologi, wacana specimen art dari karya Naisbitt dan Phillips High Touch High Tech pun dikutip. Specimen Art, yang identik dengan Body Art, menjadikan tubuh manusia sebagai preparat bam, atau kanvas barn, untuk berolah seni. Hal ini, menurut Santi, direpresentasikan Ayu dalam kepingan deskripsi eksekusi nenek Larung. "Tapi, ideologi apapun yang dibawanya, Larung jelas adalah sebuah novel yang bennain dalam grey area, suatu wilayah yang tennasuk baru dan langka dalam khasanah penceritaan novel-novel Indonesia, lebih-Iebih yang pop, dan menyebal dari tradisi melegitimasi tindakan seseorang dalam dikotomi hitam putih yang kaku, keras, tegas." Ada tiga poin representasi media dalam Larung: Pertama, Larung adalah merepresentasi kerja media yang mendukung ideologi humanisme universal. Kedua, Larung sebagai buku cetakan, berada dalam periode historis graphosphere. Di sini, gagasan berubah menjadi ideologi politis yang bergerak dalam cakupan negara bangsa, berdasar teknologi reproduksi cetak yang maju dengan jaringan pemasaran yang mendukung penyebaran gagasan tersebut. Ketiga, penggalian makna Larung mengimplikasikan kerja memompa gagasan kontemplatif. Fase Graphosphere, di antaranya ialah fase printing dipergunakan, Political ideologies lebih berpengaruh dibanding Theology, Nations lebih berperan dibanding The Kingdom, dan Laws lebih dipakai ketimbag Faith. Ulasan Santi ini diharapkan memberi keluasan kajian media di dalam urusan tafsir-menafsir. Demikianlah, pembaca, atas dasar semua itu, Mediator kali ini terbit.Septiawan Santana K.
AS, Perang, dan Kebebasan Pers Ruswandi, Awang
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perang ternyata telah membawa AS kepada satu situasi yang buruk bagi kebebasan persnya, Meski kebebasan media massa AS dilindungi the First Amendment, namun pada pelaksanaannya di lapangan, praktik- praktik pengingkaran terhadap nilai-nilai kebebasan, tetap saja berlangsung. Kebebasan yang selalu menjadi acuan media, tampaknya tak lagi kebal terhadap tekanan pemerintah. Kebebasan yang kerap didengungkan itu nyatanya tak berkutik ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang menyangkut eksistensi pemerintah dan kerahasiaan negara.
Mempersiapkan Para Jurnalis Menyongsong Era Global Mulyana, Deddy
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desentralisasi pendidikan komunikasi mutlak diberlakukan di negara kita, karena staf akademik di perguruan tinggi yang bersangkutanlah yang secara persis mengetahui lapangan, bukan para birokrat yang duduk di belakang meja. Keterikatan kepada pemerintah pusat hanya akan menghambat pengembangan program pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Jelas bahwa soal otonomi ini akan kian meningkatkan profesionalisme pengelolaan perguruan tinggi di samping kemandirian dapat dipertahankan.
Jurnalisme Investigasi Kurnia, Septiawan Santana
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kisah-kisah jurnalisme investigatif punya ukuran dan keluaran yang tak mudah digenera/isasikan. Ada yang mengukurnya dari pemuatan kisah "seorang korban" (victim), ada pula yang mengaitkannya dengan kelemahan sebuah sistem. Kesemua bahan liputan direkontekstua/isasikan ke dalam klasijikasi dan struktur pengisahan, berdasarkantema dan tipe-tipe spesijikasi kisah. Dari keseluruhan kerja liputan jurnalisme investigatif, pada umumnya ditentukan unsur-unsur yang dapat dikenali, yang menjadi karakteristik wacana reportase investigatif antara lain: subjek investigasi, hipotesis riset, sumber sekunder, pikiran dokumentati, narasumber, teknik riset, berpikir wisdom.
Dunia Simbolik dan Gaya Hidup dalam Beragama: Dari Ideologisasi ke Komersialisasi Spiritualitas Ibrahim, Idi Subandy
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ternyata, agama selama ini cuma ditempatkan di bagian pengjaran dalam drama kehidupan masyarakat dan nilai bangsa. Sekiranya menguasai sejarah kita gunakan untuk melihat sejauh mana peran agama dalam hubungannya dengan proses politik di Indonesia selama setengah abad ini. betapa akibat langsung atau tidak langsung dari korupsi wilayah agama ini telah mengantarkan bangsa kila mencapai "prestasi" terbesar, paling tidak dalam empat hal: salah satu paling korup di dunia, negara paling banyak utangnya. bangsayang paling tidak kompetiti[di dunia, dan bangsa yangpaling sering mempertontonkan silang saling-tuding bahkan saling bunuh antarbangsa sendiri.
Bercengkerama dengan Semiotika Sobur, Alex
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Munculnya studi khusus tentang sistem penandaan benar-benar merupakanfenomena modern. Tanda, dalam pandangan Peirce, adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). fa hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Dalam konteks ini, semiotika berusaha menjelaskanjalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasiyang menyertainya.
Paradigma Baru Dakwah Islam: Perspektif Komunikasi Massa Rachmiatie, Atie
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terdapat pergeseran atau perubahan karakteristik media massa dan khalayak sasaran sejalan dengan perubahan secara internal suatu bangsa/negara dalam tatanan dunia internasional yang perlu diantisipasi oleh umat Islam, termasuk dalam kegiatan dakwah Islam. Kini, karakteristik komunikasi massa telah bergeser dari linier ke konvergensi. Di sini lain, khalayak pun cenderung bersifat akti[. kritis, dan selekti[. sehingga untuk mengembangkan dakwah yang professional, diperlukan tahapan-tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dakwah secara professional pula.
Seks, Gender, dan Representasi Media dalam Karya Ayu Utami Astuti, Santi Indra
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dua tipe wacana seks diungkap Ayu Utami dalam novel ini: pertama, seks, gender, dan kelamin (lelaki maupun perempuan) dengan stereotipe atau nonstereotlpe masing-masing;kedua, seks dalam makna hubungan prokreasi yang melahirkan berbagai pengetahuan:tentang hubungan antarindividu-dalamjenis yang biasa diteri"!a ma~yara:"t, dan Jenis. yang tidak biasa diterima masyarakat. Apakah perselingkuhan Juga. ditafsirkan sebagai jenis hubungan yang diterima masyarakat. itu masih tanda tanya dan dlserahkan pada sidang pembaca. Namunjelas bahwa perselingkuhan yang diungkap Ayu dalam LARUNG sudah menjadi realitas di tengah masyarakat kita.
Characteristic of Moslem Intellectual, a Perspective of Communication Psychology Hasbiansyah, O
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Makna intelektual muslim tidak terpisahkan dari makna intelektual itu sendiri. Seseorang dikatakan sebagai intelektual bukan karena gelar akademik atau tingkat pendidikan yang dicapainya. tetapi dilihat apakah ia memiliki komitmen untuk membangun masyarakat ke arah yang lebih baik lewat gagasan dan alesi-alesi yang dikembangkannya. Seiring dengan pengertian ini. intelektual muslim adalah orangyang terikat dengan ajaran Islam. yang dengan kecerdasannya dan kearifannya. merasa terpanggil untuk menerjemahkan ajaran Islam sebagai rahmat bagi manusia dan alam semesta. Dalam perspektifkomunikasi. seorang intelektual muslim adalah orang yang terbuka sekaligus kritis. Kehadiran mereka di tengah umat sangat dibutuhkan sebagai mitra dialog agar umat tidak terjerembab pada fanatisme buta serta mampu menggali hikmat dari berbagai informasi dan perbedaan paham. lebih-lebih di tengah membludaknya arus informasi padajaman sekarang ini.
Pemberdayaan Usaha Sektor Maritim (Pariwisata) melalui Humas Internasional dengan Pendekatan Marketing Public Relations Yuningsih, Ani
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kondisi usaha sektor maritim bidang pariwisata saat ini mengalami ketertinggalan dan sulit berkembang, karena belum terpanggilnya sumber-sumber investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Padahal, potensi usaha pariwisata bahari di Indonesia sebagai wi/ayah kepulauan sangat besar, tersedia .lumber daya alam yang melimpah dan tersebar di berbagai wilayah, maka itulah peranan humas sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan citra pariwisata Indonesia melalui pendekatan Marketing PR. agar hasilnya lebih efektifdan eflsien dalam penggunaan pembiayaan publikasi

Page 1 of 2 | Total Record : 19