Claim Missing Document
Check
Articles

Merancang Peran Baru Humas dalam Pengembangan Otonomi Daerah Mulyana, Deddy
Mediator Vol 2, No 1 (2001)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Humas pemerintah daerah, dalam upaya pengembangan otonomi daerah, seyogianya tidak lagi sekadar corong yang melulu menginformasikan kegiatan-kegiatan pemerintah kepada masyarakat, juga bukan hanya membela dan menyembunyikan cela pemerintah dari kritik yang dilontarkan publik. Lembaga humas harus berperan sebagai jembatan antara berbagai kepentingan pemerintah dan rakyat. Untuk itu, perlu dibuka dialog antara kedua pihak tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu lebih mengembangkan kemampuan mendengarkan rakyat, alih-alih berbicara terus dan hanya ingin didengarkan. Melalui keterbukaan, dialog, dan kepekaan mendengarkan suara berbagai pihak, iklim komunikasi kondusif dapat dikembangkan sebagai wahana bagi penyelesaian berbagai masalah di daerah.
Membangun TV Publik Mulyana, Deddy
Mediator Vol 2, No 2 (2001)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kehadiran televisi swasta tidak lebih sebagai penggembira yang melanggengkan budaya hedonistik lewat peran mereka sebagai agen-agen metropolis. Padahal, sudah saatnya Indonesia memiliki TV publik yang difungsikan menjadi wahana bagi masyarakat memperdebatkan urgensi permasalahan sehari-hari. Dalam perspektif multibudaya, urgensi kehadiran TV publik di Indonesia terasa semakin penting mengingat banyaknya masalah konflik antaretnis yang diakibatkan oleh prasangka-prasangka dan perbedaan kultural antaretnis yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Sementara menanti kehadiran TV publik, TV swasta yang sudah ada hendaknya mengintensifkan peran mereka sebagai pemersatu bangsa, sembari runtuhnya mitos-mitos sentralistik yang melekatkan peran penting bangsa ini hanya pada satu suku saja.
Mempersiapkan Para Jurnalis Menyongsong Era Global Mulyana, Deddy
Mediator Vol 3, No 1 (2002)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desentralisasi pendidikan komunikasi mutlak diberlakukan di negara kita, karena staf akademik di perguruan tinggi yang bersangkutanlah yang secara persis mengetahui lapangan, bukan para birokrat yang duduk di belakang meja. Keterikatan kepada pemerintah pusat hanya akan menghambat pengembangan program pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Jelas bahwa soal otonomi ini akan kian meningkatkan profesionalisme pengelolaan perguruan tinggi di samping kemandirian dapat dipertahankan.
Bridging Islam and the West: Toward the Development of Intercultural Understanding Mulyana, Deddy
Mediator Vol 4, No 2 (2003)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tidak mudah bagi bangsa Indonesia, termasuk kaum Muslimnya, untuk menjalin hubungan yang selaras dan menguntungkan dengan bangsa-bangsa Barat. Usaha itu akan lebih mungkin terlaksanajika di Indonesia sendiri sudah terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai kelompok (etnik, ras, agama). Sayangnya, sepanjang sejarahnya Indonesia penuh dengan berbagai konflik antarkelompok, khususnya dalam beberapa tahun belakangan ini. Problem nasional ini harus diselesaikan terlebih dulu sebelum kita menyelesaikan problem intemasional. Setidaknya ada duafaktor yang menghambat terbentuknya Indonesia yang rukun dan makmur: pertama, faktor struktural yang mencakup perbedaan kaya-miskin dan keterbelakangan pendidikan kebanyakan rakyat hidonesia; dan kedua, faktor kultural, yakni, terdapat begitu banyaknya kelompok suku dengan bahasa masing-masing yang masih saling berprasangka dengan sesamanya, baik secara terbuka ataupun secara Laten. Dalam hubungannya dengan Barat, secara psikologis hangsa Indonesia masih menderita penyakit rendah-diri akut yang ditandai dengan kekagwnan pada Barat serta peniruan atas nitai dan gaya hidup Barat yang berlebihan. Sebagai .wlasi untuk mengatasi masalah-masalah di atas, Indonesia perlu merumuskan kembali identitas nasional dan budayanya yang terdiri dari nilainilai positifdari sejarah. budaya (termasuk nilai-nilai agama universal), serta dari sumber budaya manapun sejauh aspek-aspek budaya tersebut meningkatkan martabat manusia Indonesia. Implisit dalamll usaha itu adalah reorientasi pendidikan nasional yang ditandai dengan terselenggaranya pendidikan multibudaya di segala tingkatan pendidikan serta melalui media massa, disertai dengan llsaha untuk mengatasi kendala struktural yang ada.
Menimbang Iklan Politik di Media Massa Menjelang Pemilihan Presiden 2004 Mulyana, Deddy
Mediator Vol 5, No 1 (2004)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berbagai penelitian menunjukkan, pemberitaan kampanye politik tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, selain memperteguh kecenderungan yang sudah ada. Oleh karena itu, iklan politik di kita – yang mirip dengan iklan kecap yang selalu mengklaim sebagai nomor satu–paling banter sekadar mengekalkan memori khalayak bahwa para capres dan cawapres itu eksis dan dapat dipertimbangkan untuk dipilih. Berdasarkan Teori Penggolongan Sosial, kesetiaan khalayak kepada partai politik atau kandidat politik lebih bersifat primordial, alih-alih merupakan pilihan rasional. Keanggotaan orang-orang dalam suatu kelompok tertentu menimbulkan dampak yang penting atas perilaku mereka. Media massa mungkin berhasil mempengaruhi massa untuk mengubah pilihan bila komunikasi tatap-muka juga digunakan untuk memperteguh pesan-pesan media massa. Bila komunikasi tatap-muka tidak dilakukan, pilihan seseorang akan lebih dipengaruhi kelompok rujukannya. Dalam konteks demikian, kampanye politik –lewat media massa– akan berdampak penting terutama bagi khalayak yang belum punya pilihan. Dengan asumsi bahwa setiap pertambahan suara itu penting, maka kampanye politik, termasuk iklan politik, harus dirancang sungguh-sungguh untuk menciptakan citra kandidat sebaik mungkin. Dan, para tim sukses sebaiknya tidak menggunakan iklan sloganistik, melainkan yang dramatik, tetapi rasional, tidak jauh dari kenyataan para kandidat. Untuk itu, media yang tepat adalah televisi. Dalam media ini, komunikasi verbal dan nonverbal, termasuk penampilan, perlu diperhatikan untuk mengarahkan kandidat agar tampil prima di mata khalayak. Lewat acara debat di televisi, sang kandidat dapat menampilkan citra-dirinya semaksimal mungkin, mulai dari kepribadian, kecerdasan hingga daya tarik fisiknya.
Cross-Cultural Health Communication Mulyana, Deddy
Mediator Vol 5, No 2 (2004)
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap kebudayaan memiliki pandangan yang beragam tentang kesehatan atau penyakit, kehidupan atau kematian. Ada masyarakat yang menganggap penyakit sebagai nasib yang harus diterima secara fatalistik. Ada pula masyarakat yang memandangnya sebagai cobaan dari Tuhan, dsb. Selain itu, terdapat juga perbedaan konsep untuk menamai jenis penyakit tertentu pada sejumlah pengguna bahasa yang berbeda. Nama suatu penyakit dalam suatu bahasa tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa lain. Dokter berkebangsaan Amerika, misalnya, akan kebingungan bila menangani pasien orang Indonesia yang berpenyakti “raja singa”, karena nama penyakit itu tak bisa diterjemahkan langsung menjadi “king lion”. Keragaman budaya ini berimplikasi pada para petugas kesehatan, perawat, dokter, untuk memahami budaya pasien, yang ditanganinya, yang berasal dari komunitas budaya berbeda. Kekeliruan memahami latar belakang budaya pasien dapat menimbulkan kesalahan dalam mendiagnosis penyakit, menangani pasien, atau menentukan resep obat.
Komunikasi Getok Tular Pengantar Popularitas Merek Harjanto, Rudy; Mulyana, Deddy
Mediator Vol 9, No 2 (2008): Dari “Starbucks’ hingga Pembebasan Biaya Kesehatan Dasar
Publisher : FIkom Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Word of mouth (WOM) is a self-spreading chained series of communication in a certain community. The term ‘mouth’ was derived from the fact that the mode of message delivery in WOM is mainly orally, informally, and personally—reflecting the ways we had been talking each other in daily conversation. Technological advance has broadening the scope of WOM. Through the Internet, WOM appears in many digital communication features such as website, online profile pages, personal blog postings, and of course, exchanging mails. WOM, in many ways, has enriched conversation content by exchanging information, knowledge, views, and so on. In a collectivist society like Indonesia, WOM melted—in fact integrated within families (family, clans, working class, etc.). Traditionally, WOM occured when people interested in certain topic. As a form of communication, WOM could be developed as reference channel to popularize a brand (product). This is due because audience believe more to message delivered by somebody they know or respected by them.
Adaptasi Perkawinan Lintas Agama Syam, Nia Kurniati; Mulyana, Deddy; Rachmiatie, Atie; Yusuf, Pawit M.
JURNAL LENTERA : Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Vol 3 No 1 (2017): March 2017
Publisher : STAI Miftahul Ula Nganjuk

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: This research is a field study on the phenomenon of interfaith marriage, using subjective paradigm-Phenomenology interpretive method and theory of symbolic interaction to identify the types of motifs, adaptation and religious symbols in interfaith marriage. Data collection techniques natural setting, observation, interviews and documentation. The research objective is to explore apamotif interfaith marriage, how adaptations in marriage and religious symbols on families of different religions. The results showed that the pair families of different religions have a motive of love, appearance, comfort, education and the economy, in the adaptation of the marital interfaith marriage portion has a communication climate of consensus, where children married couples of different religions to adapt among married couples that have implications the decision to follow the religion of one parent and or choice in child later handed over to an adult. The authority of the couple in the election decision religion children found their own authority as a husband and wife having legitimacy, had a religious reference. In connection with religious symbols for families of different religions is not a sacred thing. Interfaith families have a high tolerance. Knowledge and strengthening the values ​​of their respective religions encourage the growth of tolerance and high empathy.
PENGALAMAN KOMUNIKASI KELUARGA PADA MANTAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN Utamidewi, Wahyu; Mulyana, Deddy; Rizal, Edwin
Jurnal Kajian Komunikasi Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.495 KB) | DOI: 10.24198/jkk.v5i1.7901

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman komunikasi keluarga buruh migran perempuan mengelola komunikasi dalam rangka mempertahankan keutuhan rumah tangga. Pokok-pokok pertanyaan penelitiannya adalah buruh migran perempuan memaknai peran dirinya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya serta memaknai profesinya sebagai buruh migran perempuan dan memaknai komunikasi dirinya terhadap suami dan anaknya. Motif apa saja yang menguatkan pasangan suami istri untuk mengelola perkawinan mereka serta pengalaman komunikasi keluarga buruh migran perempuan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan studi fenomenologi. Subjek penelitiannya adalah mantan buruh migran perempuan. Informan dipilih melalui teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buruh migran memaknai profesinya sebagai buruh migran perempuan yaitu sebagai profesi, mata pencaharian, aktualisasi diri, inspirator dan motivator. Buruh migran memaknai peran dirinya sebagai istri dan seorang ibu. Sebagai seorang istri buruh migran memaknai dirinya sebagai seorang perempuan ditakdirkan sebagai istri/kodrat illahi, sebagai istri dapat membantu mencari nafkah, sebagai teman hidup, penasehat yang bijaksana untuk suami, dan menjadi seseorang yang dapat mendorong/memotivasi suami. Buruh migran perempuan memaknai dirinya sebagai seorang ibu yaitu sebagai sumber pemenuhan kebutuhan anak, teladan atau model bagi anaknya dan sebagai pemberi stimuli bagi perkembangan anaknya.Tiga motif yang melatarbelakangi seseorang untuk mengelola komunikasi, yaitu motif saling menjaga, mencintai dan menyayangi, motif agama dan motif keluarga. Pengalaman komunikasi keluarga buruh migran perempuan dalam mengelola komunikasi untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang harmonis meliputi komunikasi yang dilakukan dengan suami dan anak-anaknya. Komunikasi yang terjalin selama berada diluar negeri sampai informan kembali terus dipertahankan agar anak-anak tetap merasa nyaman dengan keberadaan ibunya.
PENULIS SUNDA SEBAGAI PELESTARI BUDAYA Susanti, Santi; Mulyana, Deddy; Damayani, Ninis Agustini
Jurnal Kajian Informasi dan Perpustakaan Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.379 KB) | DOI: 10.24198/jkip.v1i2.11046

Abstract

This research aims to find out motives to become Sundanese Writers, self meaning construction of Sundanese Writers as culture preservators and message presenting process of Sundanese Writers as culture preservators. This research used qualitative method with a phenomenological approach. Data was gained through a series of indepth interviews with eight informants as Sundanese Writers in Bandung City, and also from nonparticipant observation and literature study. The informants of this research are classified into two types, these are Sundanese Culture Inheritors and Sundanese Culture Developers. The results of this study indicated that the main motive to become a Sundanese Writers is idealism, which consists of aspects of driving and the aspects of expectation. The self meaning of Sundanese Writers as culture preservators was constructed into two types, these are Sundanese Culture Inheritors and Sundanese Culture Developers. Message presenting process of Sundanese Writers as culture preservators were done by involving steps commonly done by writers to produce a writing. Penelitian ini bertujuan menemukan motif menjadi Penulis Sunda, konstruksi makna diri Penulis Sunda sebagai pelestari budaya dan proses penyampaian pesan Penulis Sunda sebagai Pelestari Budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan delapan Penulis Sunda yang berada di Kota Bandung, juga melalui observasi nonpartisipan dan studi pustaka. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa motif utama menjadi Penulis Sunda adalah idealisme kesundaan, yang terbagi ke dalam aspek pendorong dan aspek harapan. Konstruksi makna diri Penulis Sunda sebagai pelestari budaya terbagi menjadi Pewaris Budaya Sunda dan Pengembang Budaya Sunda. Proses penyampaian pesan Penulis Sunda sebagai Pelestari Budaya dilakukan melalui tahapan yang umum dilakukan penulis untuk menghasilkan suatu tulisan.