cover
Contact Name
Edi Yuhermansyah
Contact Email
eys_0401@yahoo.com
Phone
+6281363555462
Journal Mail Official
legitimasi@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Faculty Shariah and Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum
ISSN : 20888813     EISSN : 25795104     DOI : 10.22373/legitimasi
Core Subject : Social,
The Legitimasi Journal (the Journal of Criminal and Political Law) published biannually in January and July, is published by the Faculty Shariah and Law UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Its purpose is to promote the study of criminal law and Islamic law in general and to discuss discourses of the development of criminal law and government policies in various perspectives. It is also to help in the understanding of criminal law and politic of law in Indonesia.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 2 (2021)" : 8 Documents clear
The Offense of Using Pirated Computer Software in Law Nomor 28 of 2014 on Copyright Based on Islamic Criminal Law [Tindak Pidana Penggunaan Software Komputer Bajakan dalam Uundang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Perspektif Hukum Pidana Islam] Saiful Aris Munandar; Arifin Abdullah; Rispalman Rispalman
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11342

Abstract

Abstract: Today's technological developments are increasingly sophisticated and advanced, causing positive and negative impacts in the use of technology in today's society, such as the use of computer software. Law Nomor 28 of 2014 regulates copyright to protect software creators from taking or using their creations illegally by irresponsible people. The research questions in this article include is what the provisions for the use of pirated computer software in Law Nomor 28 of 2014 concerning Copyright and what is the perspective of Islamic criminal law on the use of pirated computer software in the Act. To answer this, the author uses a normative juridical research approach, namely research conducted by examining library materials and secondary data. The source of this research data is from library research (library research). The results of the research obtained indicate that computer software is one of the creations that is protected by Copyright Law Nomor 28 of 2014. The use of pirated computer software can be used for personal interests that are used for research and development of computer programs so that they do not violate the law. Except, its use which is intended for commercial purposes is a copyright infringement that can be penalized if any party feels aggrieved (complaint offense). Based on article 113 paragraph (4), the criminal provisions are imprisonment for a maximum of 10 (ten) years and/or a maximum fine of Rp. 4,000,000,000.00 (four billion rupiahs) for the perpetrators of piracy. Copyright piracy that harms the creator of his creation, namely computer software, is an act that is prohibited in Islam because it is equated with taking other people's property or property whose punishment is in the form of ta'zir punishment from the authorities who have not been regulated in the texts or law. syara'. Abstrak: Perkembangan teknologi dewasa ini semakin canggih dan maju sehingga menyebabkan dampak positif maupun negatif dalam penggunaan teknologi di lingkungan masyarakat saat ini, salah satu contohnya adalah penggunaan perangkat lunak (software) komputer. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengatur tentang hak cipta untuk melindungi pencipta perangkat lunak dari pengambilan maupun penggunaan ciptaannya secara tidak sah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pertanyaan penelitian dalam tulisan ini meliputi bagaimana ketentuan penggunaan software komputer bajakan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan bagaimana perspektif hukum pidana Islam terhadap penggunaan software komputer bajakan dalam Undang-Undang tersebut. Untuk menjawab hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder belaka. Sumber data penelitian ini adalah dari penelitian kepustakaan (library research). Hasil penelitian yang di dapatkan menunjukkan bahwa software komputer adalah salah satu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014. Penggunaan software komputer bajakan dapat digunakan untuk kepentingan pribadi yang digunakan untuk penelitian dan pengembangan program komputer sehingga tidak melanggar hukum. Kecuali, penggunaannya yang ditujukan untuk kepentingan komersial merupakan suatu pelanggaran hak cipta yang dapat dipidanakan apabila ada pihak yang merasa dirugikan (delik aduan). Berdasarkan pasal 113 ayat (4) ketentuan pidananya yaitu, penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) bagi pelaku pembajakan. Pembajakan hak cipta yang merugikan pencipta terhadap ciptaannya yaitu software komputer, merupakan suatu perbuatan yang dilarang dalam Islam karena hal tersebut disamakan dengan mengambil harta atau hak milik orang lain yang hukumannya berupa hukuman ta’zir yang berasal dari penguasa yang belum diatur di dalam nash atau hukum syara’.
The Qanun Hukum Jinayah in the frame of Law-Making Theory [Qanun Hukum Jinayah dalam Bingkai Teori Pembuatan Hukum] Muhammad Yusuf
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11343

Abstract

Abstract: The establishment of such a legal rule as qanun must follow the national regulation as well as the theories of law formation developed by legal experts. The legislation process of The Qanun Hukum Jinayat (QHJ) has been formally taken, but the next question raises what process has been undertaken to make the qanun will be effective in society. This study wants to look at the QHJ from the procedures for legal drafting, theories of law formation, and their relation to legal effectiveness, especially regarding the principles of the qanun, the legal language used, and the types of crimes regulated in it. The purpose of this writing is to look the principles applied in the QHJ, the clarity of the language used, and what types of crimes are regulated in the qanun. This library research is qualitative. The results of the study indicate that in terms of the language used, it has met the requirements as described in the theory of law formation and met the requirements for the formation of laws as mandated in the Law of the Republic of Indonesia Number 10/2004 and Qanun 3/2007. Abstrak: Pembentukan sebuah aturan hukum seperti qanun tentunya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada. Pembentukan qanun di Aceh dapat berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia serta teori-teori pembentukan hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum. Proses pembuatan Qanun Hukum Jinayat sudah dilakukan namun bagaimana proses pembuatan qanun agar qanun tersebut berlaku efektif dalam masyarakat. Penelitian ini ingin melihat Qanun Hukum Jinayah dari tata cara penyusunan peraturan, teori-teori pembentukan hukum dan kaitannya dengan efektivitas hukum, terutama tentang asas-asas qanun, bahasa hukum yang digunakan, dan jenis-jenis kejahatan yang diatur di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat asas-asas qanun hukum jinayah, kejelasan bahasa yang digunakan dan jenis-jenis kejahatan apa saja yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayah. Penelitian ini bersifat kualitatif dan tergolong ke dalam jenis penelitian pustaka (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi bahasa yang digunakan sudah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dijelaskan dalam teori pembentukan hukum dan sudah memenuhi syarat-syarat pembentukan hukum seperti yang diamanahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.
Reconciliation for the Settlement of Criminal Cases: Reactualization of Local Wisdom in Indonesian Criminal Law [Upaya Perdamaian Untuk Penyelesaian Perkara Pidana: Reaktualisasi Kearifan Lokal dalam Hukum Pidana Indonesia] Rusjdi Ali Muhammad
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11339

Abstract

Abstract: One characteristic of Islamic law is not explicitly distinguished between the domain of public law and private law. Sanctions for deliberate murder are qishas for example, where the victim's heirs have a more permanent role to choose the death penalty imposed (qishas) or give forgive by request to pay diyat (compensation). Amount number of diyat is also can be negotiated through mediation method called Shulh (peace). So here the element of private law is more dominant. Even diyat can be released at all heirs of the victim initiatives. In this last case, the state may punish the offender with ta'zir, so here its public law elements recur. This idea is not unknown in Indonesian national law provisions. The victim had usually been involved as a witness in his father's murder case or rape case against her. In customary law in Aceh, there are several institutions in efforts to realize peace for criminal cases, namely in the form of adat meulangga, dhiet, sayam, or takanai (South Aceh). Principles of peaceful settlement of disputes may also be considered not only for civil cases but also in criminal cases. Thus, the doctrine that says the criminal nature of a case will not remove although there is a peace agreement, would need to be revisited. However, it is important also to restrict that not every criminal case could be solved by a peace agreement. Criminal cases like premeditated murder and rape should be excluded from the possibility of a peace agreement. Abstrak: Salah satu ciri hukum Islam adalah tidak secara tegas membedakan antara ranah hukum publik dengan hukum privat. Sanksi untuk pembunuhan yang disengaja adalah Qisas misalnya, dimana ahli waris korban memiliki peran yang lebih permanen untuk memilih hukuman mati yang dijatuhkan (Qisas) atau memberi maaf dengan meminta pembayaran Diyat (ganti rugi). Besaran jumlah Diyat juga dapat dinegosiasikan melalui semacam metode mediasi yang disebut Shulh (damai). Jadi di sini unsur hukum privat lebih dominan. Bahkan Diyat dapat dibebaskan pada semua ahli waris atas inisiatif korban. Dalam hal yang terakhir ini Negara dapat menghukum pelakunya dengan ta'zir, sehingga di sini unsur hukum publiknya terulang kembali. Gagasan ini tidak dikenal dalam ketentuan hukum positif Indonesia. Korban biasanya terlibat sebagai saksi dalam kasus pembunuhan ayahnya atau kasus pemerkosaan terhadap dirinya. Dalam hukum adat di Aceh terdapat beberapa lembaga dalam upaya mewujudkan perdamaian atas perkara pidana, yaitu berupa adat meulangga, dhiet, sayam atau takanai (Aceh Selatan). Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai juga dapat dipertimbangkan tidak hanya untuk kasus-kasus perdata tetapi juga dalam kasus-kasus pidana. Dengan demikian doktrin yang mengatakan bahwa sifat pidana suatu kasus tidak akan hilang meskipun ada kesepakatan damai, perlu ditinjau kembali. Namun penting juga untuk membatasi bahwa tidak setiap kasus pidana dapat diselesaikan dengan kesepakatan damai. Kasus-kasus kriminal seperti pembunuhan berencana dan pemerkosaan harus dikesampingkan dari kemungkinan kesepakatan damai.
Illegal Internet Usage in Syiah Kuala District, Banda Aceh According to Legal Traditions [Pencurian Internet Wifi Perspektif Hadis Ahkam: Studi Kasus di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh] Faisal Yahya; Maisarah Maisarah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11344

Abstract

Abstract: This writing was motivated by many cases of Illegal Wi-Fi usage which were found especially among students, most of whom live in Syiah Kuala District, Banda Aceh City. The main factor in this case is due to the high internet needs among students because the entire lecture process is carried out online. This paper is to find out type of Illegal Wi-Fi usage in Syiah Kuala District, Banda Aceh City, and how the perspective of the legal traditions about this phenomena. It uses descriptive analysis methods and field research through interviews and observations, to describe the results of research objectively on the conditions encountered in the field. The modus operandi of Wi-Fi internet theft in Syiah Kuala District, Banda Aceh City is by using a laptop or cellphone and downloading certain software or applications that they need to break through the security system and obtain a username and password to use on the Wi-Fi they want to use. get internet access. The perspective of Islamic law is not allowed (haram) because Wi-Fi has been given special security. It is hoped that the perpetrators of Wi-Fi internet theft will not do this again and it is hoped that the Wi-Fi owner will report it to the authorities. Abstrak: Penelitian ini di latar belakangi oleh banyaknya kasus pencurian internet Wi-Fi yang ditemukan terutama di kalangan mahasiswa yang sebagian besarnya berdomisili di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Faktor utama terjadinya pencurian tersebut disebabkan kebutuhan internet yang tinggi di kalangan mahasiswa karena seluruh proses perkuliahan dilakukan secara online. Tulisan ini untuk menemukan bagaimana modus pencurian internet Wi-Fi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan bagaimana perspektif hadis-hadis hukum tentang fenomena tersebut. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis dan dipandukan dengan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, sehingga dapat memaparkan dan menggambarkan hasil penelitian secara objektif terhadap keadaan yang ditemui di lapangan. Modus operandi pencurian internet Wi-Fi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh adalah dengan cara, pelaku menggunakan laptop atau handphone dan mendonwload beberapa software atau aplikasi tertentu yang mereka perlukan untuk menerobos sistem keamanan dan memperoleh username dan password untuk digunakan pada Wi-Fi yang ingin didapatkan akses internetnya. Perspektif hukum Islam adalah jelas tidak boleh (haram) karena Wi-Fi tersebut telah diberikan keamanan khusus. Maka diharapkan kepada pelaku pencurian internet Wi-Fi untuk tidak melakukan hal yang demikian lagi dan diharapkan kepada pemilik Wi-Fi untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib.
Ibnu Taimiyyah on Repentance as Eliminating the Punishment for Adultery [Taubat Sebagai Penghapus Had Zina Menurut Ibnu Taimiyyah] Syuhada Syuhada; Zulkiram Zulkiram
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11340

Abstract

Abstract: Scholars differ on whether the repentance of an adulterer can abrogate the punishment of the limit. Some scholars state that there is no fall at all, while others state that the punishment is limited to fall. In this regard, Ibn Taymiyyah's opinion is the same as the last opinion that the repentance of an adulterer can remove the demand of the limit as long as it has not been submitted to the ruler, but if it has been submitted to the ruler then the limit does not fall so it remains punished and his repentance is accepted by Allah swt. The research method is qualitative, the type of literature research, research data from library materials in the form of books of jurisprudence, law, and other relevant literature, both from primary, secondary, and tertiary data, then analyzed by descriptive analysis. The results of the study showed that according to Ibn Taymiyyah, the perpetrator of adultery who repented before being complained to the government fell ḥadd adultery. The perpetrator does not have to admit his actions because the attitude is seen as better. As for the adulterer who repents after being complained to the government, then it does not fall ḥadd adultery. The perpetrator must still be punished, his repentance is accepted by Allah swt., while the punishment of ḥadd is a consummation of his repentance. The argument used by Ibn Taymiyyah about the fall of ḥadd zina due to repentance refers to the provisions of the QS. al-Nisā 'verse 16, QS. al-Māidah verses 33-34, QS. Ṭāhā verses 121-122, and the hadith narrated by Abū Dawud about the punishment of Maiz. The method of istinbāṭ that he uses tends to use heroic reasoning, that is, looking at the sides and rules of language, general and special relations, cause and effect, and understanding the words of the Qur'an. Abstrak: Para ulama berbeda pendapat apakah tobat seorang pezina dapat membatalkan hukuman batas? Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak ada jatuhnya sama sekali, sedangkan sebagian lainnya menyatakan bahwa hukumannya terbatas pada jatuh. Dalam hal ini pendapat Ibnu Taimiyah sama dengan pendapat yang terakhir bahwa tobat seorang pezina dapat menghilangkan tuntutan batas selama belum diserahkan kepada penguasa, tetapi jika sudah diserahkan kepada penguasa maka batasnya tidak jatuh sehingga tetap dihukum dan tobatnya diterima oleh Allah SWT. Adapun metode penelitiannya adalah kualitatif, jenis penelitian kepustakaan, data penelitian dari bahan pustaka berupa buku-buku fiqih, hukum, dan kepustakaan lain yang relevan kemudian data-data yang telah terkumpul, baik dari data primer, sekunder, maupun tersier. Kemudian dianalisis secara deskriptif-analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyah, pelaku zina yang bertobat sebelum mengadu ke pemerintah, jatuh hadd zina. Pelaku tidak harus mengakui perbuatannya karena sikapnya dipandang lebih baik. Adapun pezina yang bertobat setelah diadukan kepada pemerintah, maka tidak termasuk zina. Pelaku tetap harus dihukum, tobatnya diterima oleh Allah SWT., sedangkan hukuman hadd sebagai penyempurnaan tobatnya. Dalil yang digunakan Ibnu Taimiyah tentang jatuhnya hadd zina karena taubat mengacu pada ketentuan QS. al-Nisā' ayat 16, QS. al-Maidah ayat 33-34, QS. Thāhā ayat 121-122, dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang hukuman Maiz. Metode istinbāṭ yang digunakannya cenderung menggunakan nalar heroik, yaitu melihat sisi dan kaidah kebahasaan, hubungan umum dan khusus, sebab akibat, dan memahami kata-kata Alquran.
Legal Reasoning of Credit on Buying and Selling Gold: Mapping The Debate on 'Ilath Al-Hukm [Menalar Hukum Kredit Jual Beli Emas: Memetakan Perdebatan tentang 'Ilath Hukum] Muhammad Sholihin
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11345

Abstract

Abstract: This paper is intended to identify the law of buying and selling gold legally. Credit and understand the illat stated to the law. The approach used in this study is more of a normative and legal juridical approach, where the study of secondary sources in the form of books, open books, and articles is carried out to obtain answers to the formulation of the problem. In general, this study has identified that gold transactions on credit among Mazhab scholars are haram-mutlaq, with the illat that gold is a Ribawi commodity and is mutlaq tsammaniyah. In contrast to Ibn Taimiyah and Ibn Qayyim and the DSN-MUI fatwa, which allows it as long as gold is not used as a price or money. Abstrak: Tulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi hukum jual beli emas secara legal. Menghargai dan memahami illat yang dinyatakan dalam undang-undang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih merupakan pendekatan yuridis normatif dan hukum, dimana kajian terhadap sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, buku-buku terbuka, dan artikel-artikel dilakukan untuk memperoleh jawaban atas rumusan masalah. Secara umum penelitian ini telah mengidentifikasi bahwa transaksi emas secara kredit di kalangan ulama mashab adalah haram-mutlaq, dengan illat bahwa emas adalah komoditas ribawi dan mutlaq tsammaniyah. Berbeda dengan Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim serta fatwa DSN-MUI, yang membolehkan selama emas tidak dijadikan sebagai harga atau uang.
The Effectiveness of Adat Sanction for Khalwat Offense Based on Islamic Criminal Law in Ketol, Central Aceh [Efektifitas Sanksi Adat Bagi Pelaku Khalwat: Perspektif Hukum Pidana Islam di Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah] Satiya Citra Dewi; Hasanuddin Yusuf Adan
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11341

Abstract

Abstract: This study aims to first, find out what forms of customary sanctions are imposed on perpetrators of khalwat in Ketol, Central Aceh district. Second, to know the level of effectiveness of customary sanctions in Ketol District against the eradication of the crime of seclusion. Third, a review of Islamic law on customary sanctions in Ketol District for perpetrators of the crime of seclusion. The method used in this research is a qualitative descriptive method using field research and library research. The results of the research in this thesis are the settlement of the khalwat dispute in the Ketol District, Central Aceh Regency, in which the dispute is settled customarily by a deliberation process. Then each actor is charged with paying one or more oxen following the deliberation agreement between the parties. The sanctions that apply are very ineffective among people with middle and upper economic levels, for those who are middle and above do not feel the effects of the sanctions imposed, because it is very easy for them to pay the sanctions. Overview of Islamic law customary sanctions do not conflict with Islamic law because in Islamic law the sanction for seclusion is ta'zir, namely the punishment determined by the ruler or judge, which in customary law in Central Aceh who acts as a judge is Reje Kampung. Abstrak: Tujuan dari penelitian ini, pertama, untuk mengetahui apakah bentuk sanksi adat yang dijatuhkan bagi pelaku khalwat di Ketol, Aceh Tengah. Kedua, tingkat efektivitas sanksi adat di Kecamatan Ketol terhadap pemberantasan tindak pidana khalwat. Ketiga, tinjauan hukum Islam terhadap sanksi adat di Kecamatan Ketol bagi pelaku tindak pidana khalwat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif Kualitatif dengan menggunakan data lapangan (field research) dan data pustaka (Library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Islam mengatur tentang penyelesaian khalwat dan sistem putusan Peradilan Adat di Aceh Tengah. Hasil penelitian dalam skripsi ini adalah penyelesaian sengketa khalwat di Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah, dalam penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan secara adat dengan proses musyawarah. Kemudian masing-masing pelaku dibebankan untuk membayar satu atau lebih dari satu ekor lembu sesuai dengan kesepakatan musyawarah antara para pihak. Adapun sanksi yang berlaku tersebut sangat tidak efektif di kalangan masyarakat yang tingkat perekonomiannya menengah ke atas, bagi mereka yang menengah ke atas tidak merasakan efek dari sanksi yang dijatuhkan, karena sangat mudah bagi mereka untuk membayar sanksi tersebut. Tinjauan hukum Islam sanksi adat tidak bertentangan dengan hukum Islam karena dalam hukum Islam sanksi bagi khalwat ialah ta’zir yaitu hukuman yang ditentukan oleh penguasa atau hakim, yang dimana dalam hukum adat di Aceh Tengah yang berperan sebagai hakim adalah Reje Kampung.
The Settlement of Minor Offense by Panglima Laot based on Islamic Law in Mesjid Raya District, Aceh Besar [Penyelesaian Tindak Pidana Ringan oleh Panglima Laot Ditinjau Menurut Hukum Islam: Studi Kasus di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar] Miratul Ula; Muslem Abdullah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i2.11346

Abstract

Abstract: Panglima laot is a traditional institution that has the authority to settle cases of minor crimes according to Aceh Qanun Number 10 of 2008. There are three types of cases that can be resolved by Panglima laot, namely disputes, adat laot cases, and violation cases. There are three problem formulations in this study, first: what are the types of minor crimes that occurred in Mesjid Raya District, Aceh Besar District, second, how is the settlement of minor crimes by Panglima Laot in Mesjid Raya District, Aceh Besar District, and third how is the review Islamic law against the settlement of minor crimes by Panglima Laot. This research is field research that uses a descriptive analysis method with a qualitative approach, namely by looking at the role of Panglima Laot in resolving disputes that occur at sea, which is then explained systematically about the data obtained in the study based on a review from the formulation of the problem. The results of this study are that there are three types of minor crimes that occurred in Mesjid Raya District, Aceh Besar Regency, namely: beating cases, peupok jaloe cases, and the case of a Padang cement ship hitting a fishing boat. Furthermore, the role played by the Panglima laot in resolving disputes at laot by peaceful means and deliberation, and if there are parties who do not agree to be resolved by adat laot, it will be delegated to the police. In Islamic law, the punishment imposed on people who commit minor crimes of beating is qishash diyat. Qishash as the main punishment and diyat as a substitute punishment, namely one hundred camels, and the punishment has been determined by syara'. Abstrak: Panglima Laot merupakan sebuah lembaga adat yang mempunyai kewenangan menyelesaikan kasus tindak pidana ringan menurut Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Ada tiga jenis perkara yang dapat diselesaikan oleh Panglima Laot yaitu perkara perselisihan, perkara adat laut dan perkara pelanggaran. Ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, pertama: apa saja jenis-jenis tindak pidana ringan yang terjadi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh besar, kedua, bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan oleh Panglima Laot di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar, dan ketiga bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap penyelesaian tindak pidana ringan oleh Panglima Laot. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan cara melihat peran Pangima Laot dalam menyelesaikan bentuk perselisihan yang terjadi di laut, yang kemudian dijelaskan secara sistematis mengenai data-data yang diperoleh dalam penelitian berdasarkan tinjauan dari rumusan masalah. Adapun hasil dari penelitian ini adalah ada tiga jenis tindak pidana ringan yang terjadi di Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar yaitu: kasus pemukulan, kasus peupok jaloe dan kasus kapal semen padang menabrak perahu nelayan. Selanjutnya peran yang dilakukan oleh Panglima Laot dalam menyelesaikan perselisihan di laut dengan cara damai dan musyawarah, dan apabila ada pihak yang tidak setuju di selesaikan secara adat laut, maka akan dilimpahkan kepada kepolisian. Dalam hukum Islam hukuman yang dijatuhkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana ringan pemukulan adalah qishash diyat. Qishash sebagai hukuman pokok dan diyat sebagai hukuman pengganti yaitu seratus ekor unta dan hukuman nya sudah di tentukan oleh syara’.

Page 1 of 1 | Total Record : 8