Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

UPACARA PANGGIH PENGANTIN DALAM PERNIKAHAN ADAT JAWA DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP MONOGAMI PERKAWINAN KATOLIK Meidinata, Marianus Ivo; Raharso, Alphonsus Tjatur
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 18 Nomor 1 Februari 2022
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v0i0.6065

Abstract

In this study, the authors focus on the reality of monogamous matrimony, through a study of the law and the meaning of matrimony in Catholicism and Javanese culture. About Javanese culture, the authors take the limitation of the discussion on the Panggih Pengantinculture. This research is conceptual research with a literature study. This study concluded that there is harmony between Catholic and Javanese matrimony. Following the Code of Canon Law 1056, the Catholic Church requires its followers to adhere to monogamous matrimony, while the Javanese (though not regulated by customary law) have hopes of having monogamous matrimony. They continue to uphold monogamous matrimony and view negatively the reality of infidelity, divorce, or polygamy. This can be seen in the Panggih Pengantin ceremony. The traditional wedding ceremony contains meanings and values ​​that support the nature of monogamy in Javanese matrimony, namely giving love, justice, mutual cooperation and humility. The absence of offspring is not a reality that has to sacrifice matrimony. Married couples are still called to maintain the loyalty and holiness of the love that has been formed and blessed from the beginning, in order to achieve the goal of marriage – the welfare of husband and wife. Keywords: canonical Law; javanese culture; monogamous marriage Abstrak Dalam kajian ini, penulis mengambil fokus pada realitas perkawinan monogam, melalui pendalaman hukum maupun pemaknaan perkawinan dalam agama Katolik dan budaya Jawa. Tentang budaya Jawa penulis membatasi pembahasan pada budaya Panggih Pengantin. Penelitian ini merupakan penelitian konseptual dengan menggunakan data literatur. Studi ini memberi kesimpulan bahwa terdapat keselarasan antara perkawinan Katolik dan Jawa. Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK) nomor 1056, Gereja Katolik mengharuskan umatnya menganut perkawinan monogami, sedangkan masyarakat Jawa (meskipun tidak diatur dalam hukum adat) memiliki harapan untuk memiliki perkawinan yang monogami. Mereka tetap menjunjung perkawinan monogami dan melihat dengan negatif realitas ketidaksetiaan, perceraian, atau poligami. Hal ini dapat dilihat dalam upacara Panggih Pengantin. Upacara pernikahan adat tersebut mengandung makna dan nilai yang mendukung sifat monogami dalam perkawinan masyarakat Jawa, yaitu kasih yang memberi, keadilan, gotong royong dan kerendahan hati. Ketiadaan keturunan bukanlah kenyataan yang harus mengorbankan perkawinan. Pasangan suami isteri tetap dipanggil untuk menjaga kesetiaan dan kesucian kasih yang sudah dibentuk dan diberkati dari awal, demi tercapainya tujuan perkawinan yaitu kesejahteraan suami isteri. Kata kunci: budaya jawa; hukum kanonik; perkawinan monogami
Sollicitudo omnium ecclesiarum: Kepedulian Dan Kerjasama Gerejawi Untuk Tanah Misi Dan Di Tanah Misi Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 30 No. 29 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35312/serifilsafat.v30i29.5

Abstract

The concern to the situation and condition to all other members of the Church and the collaboration for the welfare of the entire Church is the expression of communio (communion) which is the character of Christ Church. The arise of Church in the mission land and its development which like the mustard seed is the fruit of the concern and collaboration of the missionaries showed by the community and Church which have been founded along the history. Considering Church resources are always limited, every form of across continents concern and collaboration should be done effectively. In the process of the evangelization in the mission land, these concern and collaboration encounter various forms of initiatives; starting from the simple, spontaneous, sporadic and individual to the consistent, coordinated organizations. These concern and collaboration often find frictions, conflicts of interest, impartialities, and injustice; especially concerning the implementation of the power of jurisdiction in the mission land and the submission to the superiority of the mission leaders. The negative excesses are seen and observed objectively and corrected to attain the more effective concerns and collaboration for the sake of the development of the mission work. The apostolic see is the central organ has explored and successfully founded an effective and sustainable missionary collaboration system, from the commissio to the mandate system. Nowadays, the missionary concern and collaboration across particular churches have not been centralized, but assigned to each local communities and particular Churches, to develop mutual collaboration according to the mutual need and projects through the written agreement to mutual minister
Reksa Pastoral Gereja Di Era Revolusi Industri 4.0 (Tinjauan Hukum Gereja) Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 29 No. 28 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gereja didirikan oleh Tuhan Yesus Kristus di bawah penggembalaan para pengganti Petrus dan para Rasul. Kristus mengutus Gereja ke dunia untuk menyejarah di sana, namun sekaligus menggarami dan menerangi sejarah manusia dan dunia dengan warta Injil, untuk mengarahkan dan mengantar dunia kepada perwujudan kerajaan Allah. Karena didirikan oleh Tuhan Yesus Kristus yang telah berinkarnasi namun bangkit mulia, dan terus dijiwai oleh kehadiran-Nya sebagai Kepala bagi Tubuh, Gereja memiliki sekaligus dimensi ilahi dan manusiawi, dimensi kharismatis dan institusional sekaligus. Dalam dimensi manusiawi dan duniawinya Gereja tentu dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Omnia mutantur, nos et mutamur in illis. Segala sesuatu berubah, dan kita pun berubah di dalamnya. Namun, dimensi ilahi, spiritual, dan kharismatis Gereja lantaran dikepalai dan dipimpin oleh Gembala Agung yang mulia dan tak- kelihatan, mengharuskan Gereja untuk selalu melihat tanda-tanda zaman, menafsirkan dan memberikan penilaian atasnya dalam terang Injil dan ajaran iman kristiani, agar arah dan tujuan perkembangan dunia selaras dengan tujuan akhir hidup manusia, yakni keselamatan kekal dalam Kristus.
Kewajiban Orangtua Dalam Katekese Anak Di Era Digital: Urgensi Dan Tantangannya Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 28 No. 27 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kata ‘orangtua’ (Latin: parens, -entis) disebut 50 kali di dalam Kitab Hukum Kanonik. Ada istilah lain, yaitu coniuges yang disebut sebanyak 51 kali, namun dikenakan pada suami-istri sebatas relasi di antara mereka berdua sebagai pasangan, tanpa mengaitkannya dengan anak- anak yang sudah mereka miliki. Atribut “orangtua” dikenakan pada pasangan suami-istri dalam relasi mereka dengan anak, meski hanya satu anak, entah anak kandung ataupun anak adopsi. Sebutan itu selalu dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab mereka terhadap anak, khususnya pendidikan, baik pendidikan umum, maupun dan terutama pendidikan religius atau pendidikan iman. Kitab Hukum Kanonik memberi perhatian dan penekanan istimewa pada peranan orangtua dalam pengajaran kateketik. Kan. 774, §2 menetapkan: “Melebihi semua yang lain, orangtua terikat kewajiban untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik dengan perkataan maupun teladan hidup mereka; demikian pula terikat kewajiban yang sama mereka yang menggantikan orangtua dan para bapak/ibu baptis”. Frase “melebihi semua yang lain” dalam edisi resmi Bahasa Indonesia (2016) sebenarnya kurang pas untuk menerjemahkan teks asli berbunyi “prae ceteris”. Kata Latin itu lebih tepat diterjemahkan dengan kata “sebelum yang lain-lain” (before all others, prima di tutti), karena dalam pelaksanaan pengajaran kateketik tempat dan peran orangtua didahulukan sebelum Uskup diosesan (kan. 775, §1; 780), Konferensi para Uskup (kan. 775, §§2-3), pastor paroki (kan. 776-777), superior religius dan serikat hidup kerasulan (kan. 778), dan para katekis (kan. 780). Tulisan sederhana ini ingin mengulas tempat dan peran orangtua kristiani dalam pengajaran kateketik terhadap anak-anak mereka. Akan dipaparkan di sini bagaimana hukum Gereja mengatur tugas itu, apa alasan, maksud, dan tujuan legislator gerejawi mendahulukan mereka di antara semua yang lain. Selain itu, bagaimana Gereja sendiri, terutama magisterium, terus melakukan penyadaran dan penekanan mengenai tugas dan tanggung jawab khas orangtua itu? Di sini kita juga akan melihat sepintas kendala dan tantangan berat yang dihadapi orangtua dalam melaksanakan tugas itu terhadap anak-anak mereka yang hidup di zaman now?
Perkawinan Diawali Dengan Love, Dilanggengkan Oleh Mercy Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 26 No. 25 (2016)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kita sudah terbiasa berpendapat dan mengajarkan bahwa perkawinan antara 2 (dua) orang yang dibaptis diangkat oleh Kristus Tuhan ke martabat sakramen.1 Sakramentalitas adalah unsur pembeda yang khas antara perkawinan orang-orang beriman kristiani dan orang-orang yang tidak dibaptis. Unsur pembeda ini amat sangat sederhana dan bahkan tidak kelihatan dari luar, karena dalam realita konkret sehari-hari sebenarnya tidak ada bedanya antara perkawinan orang kristiani dan perkawinan orang- orang yang tidak dibaptis. Mereka sama-sama menghadapi masalah perkawinan dan keluarga yang sama, baik masalah klasik maupun masalah modern: ekonomi rumah tangga, kesehatan, pendidikan anak, pergaulan anak, pertengkaran suami-istri atau orangtua-anak, pergaulan suami atau pergaulan istri, relasi dengan mertua, dan sebagainya. Sakramentalitas tidak tampak dari luar, karena merupakan anugerah dari Kristus yang hadir dan bekerja dari dalam, yakni dari communio dan relasi kasih suami-istri kristiani.
Pengadilan Gerejawi Yang Berbelas Kasih Sesudah M.P. Mitis Iudex Dominus Iesus: Cita-Citadan Tantangan Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 25 No. 24 (2015)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Menjadi Gereja yang berbelas kasih bagi Paus Fransiskus berarti menjadikan orang miskin dan menderita pusat perhatian Gereja, dan Gereja melakukan tindakan belas kasih dan murah hati yang nyata bagi mereka.1 Di antara orang miskin dan menderita yang ada begitu banyak di dalam Gereja dan masyarakat, Paus Fransiskus memperhatikan secara khusus penderitaan tidak sedikit umat Katolik yang ingin mencari kepastian dan kejelasan yang menenteramkan hati nurani mereka, namun sering kali berada jauh dari struktur yuridis Gereja, karena jarak fisik dan moral yang jauh dan menjauhkan mereka. Orang miskin di pinggiran Gereja itu adalah pasangan suami-istri Katolik yang bercerai, di mana perkawinannya terindikasi cacat hukum atau tidak sah pada awal, namun tidak dapat menikmati pelayanan hukum dari pihak Gereja untuk memastikan ketidaksahan perkawinan mereka.2 Karena itu, Paus menginginkan Gereja tampil dan bertindak sebagai “lapangan rumah sakit” (field hospital) bagi umat yang mengalami “luka khusus” semacam itu, dengan memberikan intensive care dalam bentuk proses persidangan nulitas yang lebih cepat dan lebih murah.3 Untuk itu, pada tanggal 8 September 2015 yang lalu telah dipublikasikan Litt. Ap. M.P. Mitis iudex Dominus Iesus (selanjutnya disingkat MI) untuk Gereja Katolik Ritus Latin, dan Litt. Ap. M.P. Mitis et misericors Iesus untuk Gereja Katolik Ritus Timur.4 Kedua dokumen motu proprio itu dimaksudkan untuk mereformasi hukum kanonik mengenai persidangan nulitas perkawinan di tribunal-tribunal gerejawi.
Implikasi Yuridis-Pastoral Pencarian Kebahagiaan Oleh Umat Beriman Alphonsus Tjatur Raharso Tjatur Raharso
Seri Filsafat Teologi Vol. 24 No. 23 (2014)
Publisher : Sekolah Tinggi Widya Sasana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap orang mendambakan dan mengejar kebahagiaan dalam hidup.Namun, apakah orang mencari kebahagiaan dalam hukum atau melaluihukum? Apakah hukum menawarkan kebahagiaan kepada manusia? Jikaya, kebahagiaan macam apa yang ditawarkan dan diberikan oleh hukum?Dalam konteks Gereja Katolik, apakah hukum Gereja membantu umat untukmerengkuh kebahagiaannya. Apakah Gereja dengan seluruh hukumnya,organisasi, dan unsur-unsur institusionalnya, merupakan tempat umatmenemukan dan merasakan kebahagiaan? Tulisan ini ingin menampilkanbeberapa contoh konkret bagaimana sistem legislasi gerejawi dan setiapnormanya berupaya mewujudkan kebahagiaan umat beriman.
Syarat Sahnya Absolusi Sakramen Pengakuan Dosa Menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 966-973 Mathias Jebaru Adon; Alphonsus Tjatur Raharso
Sabda: Jurnal Teologi Kristen Vol 3, No 1 (2022): MEI- 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55097/sabda.v3i1.44

Abstract

Penelitian ini merupakan upaya mengetahui syarat demi sahnya absolusi Sakramen Tobat menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 966-973. Dengan memahami syaratnya sahnya Sakramen Tobat secara baik akan membangkitkan antusiasme umat untuk menggunakan sarana ini demi mencapai keselamatan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya minat umat beriman dalam menggunakan Sakramen Tobat dalam mengejar kesucian hidup. Hal ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya pemahaman umat beriman mengenai syarat yang harus dipenuhi demi sahnya absolusi dalam Sakramen Tobat.  Oleh karena itu, umat jarang mengaku dosanya di hadapan imam. Penelitian ini merupakan studi literatur mengenai ajaran Gereja Katolik tentang Sakramen Tobat dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 966-973.  Penelitian ini menemukan bahwa pemahaman yang benar mengenai Sakramen Tobat akan membangkitkan antusiasme umat beriman untuk menggunakan Sakramen Tobat dalam mencapai keselamatan.
Liturgi Sebagai Perayaan Umat Menurut KHK Kanon 837: Upaya Mewujudkan Partisipasi Umat Dalam Kehidupan Sosial-Politik Mathias Jebaru Adon; Alphonsus Tjatur Raharso
AL-ADYAN Vol 17, No 1 (2022): Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (551.082 KB) | DOI: 10.24042/al-adyan.v17i1.11119

Abstract

The involvement of Catholics in socio-political life in Indonesia is getting dimmer. The appreciation of the people's faith tends to be focused on inward fellowship, not outward. Whereas the call to become Catholics in Indonesia demands the active involvement of all communities as a contribution to the wealth of the nation's pluralism. This is influenced by the liturgical life which does not touch the struggles of daily life. The liturgy seems to return to Old Testament worship which distances people from celebrations, and worship seems to be a special business for the clergy. The true liturgy is a celebration of the entire community so that it becomes the source and peak of the Christian life. Therefore, this study aims to make the liturgy a celebration of all the people as stated in the Canon Law of the Catholic Church Canon 837. In this way, liturgical celebrations bring renewal of people's lives so that people are increasingly called to manifest their faith through their involvement in socio-political life in Indonesia. This research uses literature study from the perspective of phenomenology. This study found a link between the people's active participation in the liturgy and their involvement in community life.
Marriage in Secret According to Islam and Catholic: A Comparative Study on Religious Laws Alphonsus Tjatur Raharso; Antonius Barak
Religio: Jurnal Studi Agama-agama Vol. 12 No. 2 (2022): September
Publisher : Department of Religious Studies, Faculty of Ushuluddin and Philosophy, Sunan Ampel State Islamic University Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/religio.v12i2.1817

Abstract

This article discusses secret marriage from another perspective, namely in the form of a comparative study of religious law between Islam and Catholicism. This research aims to find similarities and differences between the two religions in assessing and regulating secret marriages. This study found that both religions recognize secret marriage as an uncommon and not ideal marriage. Both religions see the disadvantages and harms of secret marriage. This study found some key differences. In Islam, sirri marriage is not created by religious doctrine, but are practices carried out by several people which is subsequently judged and regulated by religious law. Whereas in Catholicism, secret marriage are officially created by the highest legislator of the Church. In Islam, unregistered marriage often colludes with polygamy, while in the Catholic Church secret marriage is carried out while upholding the essential nature of marriage: monogamous and indissoluble. In Islam, sirri marriage is not recorded anywhere, while secret marriage in the Catholic Church is recorded internally in the diocesan secret archives. This study raises mutual respect among adherents of both religions regarding secret marriages. This study also encourages further studies on the problem of the two religions facing civil lawsuits regarding marriage registration.