Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Implikasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam Industri Kelapa Sawit dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan Raymond Jonathan; Lailatul Komaria; Muhammad Falah Dawanis; Wilda Prihatiningtyas
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 7 No 2 (2021): April
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38011/jhli.v7i2.326

Abstract

Industri sawit merupakan komoditas utama perekonomian Indonesia, bahkan di tengah pandemi COVID-19. Pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) salah satunya bertujuan untuk mendorong perekonomian Indonesia melalui penciptaan lapangan kerja, termasuk di industri sawit. Sebelum UU Cipta Kerja disahkan, industri sawit sudah dianggap sebagai komoditas utama perekonomian Indonesia dan cenderung mengakibatkan kerusakan hutan. Di sisi lain, Indonesia perlu mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang diwujudkan dengan kelestarian hutan di samping keperluan meningkatkan pertumbuhan ekonomi industri sawit. Perubahan ketentuan hukum di sektor kehutanan setelah adanya UU Cipta Kerja membawa pengaruh terhadap pencapaian TPB khususnya TPB angka 15 “Ekosistem Daratan” di Indonesia. Tulisan ini menganalisis secara normatif beberapa perubahan ketentuan di sektor kehutanan untuk mengetahui prospek pencapaian TPB angka 15 dalam industri sawit setelah adanya UU Cipta Kerja.
KONSTITUSIONALITAS MODEL PENGISIAN JABATAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) Wilda Prihatiningtyas
Media Iuris Vol. 1 No. 2 (2018): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.227 KB) | DOI: 10.20473/mi.v1i2.8836

Abstract

The local government is very important in the context of unitary state according to Indonesia Constitution (UUD NRI 1945). There is no constitution in the world that does not regulate important thing regarding to local government or state government explicitly. Therefore formulations charging a place on local government may be related parameter early governance in the region. There are 2 (two) important issues relating to constitutionality of model charging office deputy head of the regions in the regional head election. First, standing of deputy head based on the laws. Second, constitutionality of model charging office deputy head of the regions based on Law No. 1/2015 jo Law No. 8/2015. In this paper, there are 2 (two) models in placing the position of deputy head of region. First, the position is hierarchical under the head of the region with the argument that the deputy head of the region appointed by the head of the region. And second, the position of the deputy head of the region is considered parallel to the regional head because both are directly elected by the people in a package.
Pengelolaan Wilayah Laut Oleh Pemerintah Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Environmental Governance Wilda Prihatiningtyas
Media Iuris Vol. 2 No. 2 (2019): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (377.682 KB) | DOI: 10.20473/mi.v2i2.14744

Abstract

Berdasarkan Pasal 25 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) disebutkan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan  undang-undang". Konsekuensi logis dari bentuk negara yang bercirikan kepulauan tersebut yaitu luasnya wilayah lautan. Hal tersebut didukung dengan fakta empiris yang menunjukkan bahwa 70% dari wilayah Indonesia adalah berupa laut. Dengan melihat pada fakta tersebut, maka pengelolaan wilayah laut menjadi isu strategis yang penting untuk dibahas karena pengelolaan wilayah laut (khususnya wilayah pesisir) yang baik mempunyai potensi yang signifikan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya nasional. Oleh karenanya, dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, peran pemerintah daerah mempunyai posisi penting dalam mewujudkan hal tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Adapun isu hukum penelitian ini yakni mengenai prinsip-prinsip good environmental governance dalam pengelolaan wilayah laut dalam rangka mewujudkan sustainable development di bidang kelautan.
Fungsi Gubernur dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Wilda Prihatiningtyas*
Airlangga Development Journal Vol. 1 No. 1 (2017): Airlangga Develpoment Journal
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (820.744 KB) | DOI: 10.20473/adj.v1i1.18011

Abstract

Perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut mulai sejak jaman kolonial Belanda sampai saat ini. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini sudah ada 8 (delapan) Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, mulai dari UU No. 1/1945, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, dan terakhir UU No. 23/2014. Masing-masing UU tersebut memiliki politik hukumnya sendiri  yang kemudian berimplikasi pada adanya perbedaan fungsi Gubernur dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia. Ada 2 (dua) fungsi dasar yang melekat pada Gubernur. Pertama, yaitu fungsi desentralisasi. Dalam kaitannya dengan fungsi ini, Gubernur berkedudukan sebagai Kepala Daerah Otonom, yang memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan rumah tangga daerah dengan sumber pendanaan APBD. Kedua, yaitu fungsi dekonsentrasi.  Dalam  kaitannya  dengan  fungsi  ini,  Gubernur  berkedudukan sebagai Wakil Pemerintah Pusat, yang memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan (absolut maupun umum) dengan sumber pendanaan APBN.
PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Tyan Adi Kurniawan; Wilda Prihatiningtyas
Yuridika Vol. 27 No. 2 (2012): Volume 27 No 2 Mei 2012
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.474 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v27i2.292

Abstract

The shift from a parliament supremation to constitution supremation after the reformation brought a basic change in the state structur of Indonesia. MPR is not the highest institution of this country but has become a higher institution and has an equal position as other higher institutions. It has become the main reason of not putting MPR/S’ law’s products up as in the law hierarchy in Indonesia based on Law Number 10/2004. However, Law Number 12/2011 put MPR’s decision in the hierarchy has made a new problematique. First of all, as seen on its position is above the laws and below the constitution. Second, the validity of MPR’s decision in the Law Number 12/2011. Third, related to which institution that has authority to examine MPR’s decision when it contradicts to Indonesian constitution.Key Word : TAP MPR, Position, Law Status, Authority of Examination
KOMITMEN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA PERKEMBANGAN DINAMIK UPAYA PENGENDALIAN GLOBAL WARMING Suparto Wijoyo; Wilda Prihatiningtyas
Yuridika Vol. 31 No. 3 (2016): Volume 31 No 3 September 2016
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.216 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v31i3.4800

Abstract

Dynamic of commitment of International Community in the issue of control upon global warming has been developed since 1919 up to present. From available list of international treaties, it can be seen how strong the commitment of global community in the issues of environment, global warming as well as climate change. Unfortunately, it can be concluded, that those international treaties is so fragmented and therefore, is difficult to be implemented comparing with instrument of international environmental law in general. However, political will of national state is the essence to create international agenda. It is because olitical will of the state national is the core to make international agenda .It was because good reasons of a government can bring a good thing for the country and its people , especially again in control global warming So that in this case the state also has a role in realizing environmental sustainability for its people, it is also indirectly a part of the obligation of the state to maintain the stability and survival of the people and the preservation of natural resources in the country, for the welfare and prosperity of all the people .
Pendampingan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Desa tentang Badan Usaha Milik Desa dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Ekonomi Desa Gondanglor, Lamongan Bagus Oktafian Abrianto; Wilda Prihatiningtyas Prihatiningtyas
Abimanyu : Jornal of Community Engagement Vol 1 No 2 (2020): August 2020
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.431 KB) | DOI: 10.26740/abi.v1i2.7052

Abstract

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah  disebutkan bahwa œDesa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Substansi UU ini menegaskan tentang janji pemenuhan permintaan dalam konteks pembangunan tingkat desa. Logika pendirian BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain sesuai dengan asas negara hukum yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, maka dalam konteks pemerintahan desa, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, disebutkan bahwa Kepala Desa bersama-sama BPD dapat membentuk Peraturan Desa. Permasalahan yang sering muncul yaitu bahwa tidak semua Kepala Desa maupun BPD memiliki kompetensi atau kemampuan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (khususnya Peraturan Desa), termasuk di wilayah Desa Gondanglor Kabupaten Lamongan. Padahal Peraturan Desa merupakan dasar legalitas bagi setiap tindakan pemerintahan desa, termasuk manakala Pemerintah Desa ingin membentuk suatu BUMDes. Berdasarkan studi awal di lapangan dimana belum ada Peraturan Desa tentang BUMDes di wilayah mitra, maka menjadi penting untuk dilakukan pendampingan hukum berupa penyusunan peraturan desa tentang BUMDes dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.
Pengembangan Potensi Desa Wisata Di Masa Pandemi (Studi Di Desa Sukobendu, Lamongan) Rosa Ristawati Rosa; Radian Salman; Sri Winarsi; Wilda Prihatiningtyas; Giza'a Jati Pamoro
Jurnal Dedikasi Hukum Vol. 1 No. 3 (2021): Desember 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (358.551 KB) | DOI: 10.22219/jdh.v1i3.18408

Abstract

Dampak Covid-19 yang signifikan tidak hanya pada level nasional, tetapi juga signifikan untuk bagi masyarakat di pedesaan, salah satunya adalah Desa Sukobendu, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Desa Sukobendu tidak memiliki potensi alam dan cagar budaya yang dapat dikembangkan sebagai obyek wisata, Namun Desa Sukobendu mempunyai potensi letak geografis yang strategis karena berada di Perbatasan antara tiga kecamatan. Potensi wisata yang mungkin dikembangkan adalah Wisata Budaya dan Wisata Edukasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dirasa perlu adanya pendampingan pengembangan Desa wisata dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat Desa di Desa Sukobendu, Lamongan.Adapun permasalahan dan hambatan yang telah diinventarisasi di Desa Sukobendu diantaranya yaitu: belum adanya program Desa wisata, kondisi dan kualitas lingkungan yang kurang bersih, tata ruang untuk Desa wisata yang belum baik, kurangnya penyuluhan dan pelatihan pariwisata khususnya tentang Desa wisata, kurangnya fasilitas dan infrastruktur kepariwisataan, rendahnya kemampuan sumber daya manusia. Berdasarkan permasalahan tersebut selanjutnya telah dirumuskan beberapa solusi, yaitu: membuat masterplan pembangunan Desa berdasarkan potensi dan kebutuhan Desa, menjaga dan memelihara kualitas lingkungan, menetapkan tata ruang Desa wisata, mengadakan sosialisasi dan penyuluhan kepariwisataan, membangun fasilitas dan infrastruktur kepariwisataan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan potensi Desa, khususnya yang terkait dengan hasil pertanian unggulan Desa, melalui pelatihan. Pengabdian masyarakat ini telah dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap I yakni persiapan, Tahap II yakni pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat berupa penyuluhan, Tahap III adalah pendampingan dan pelatihan terhadap masyarakat Desa sesuai kebutuhan yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya, dan Tahap IV yaitu tahap evaluasi.   Development of Tourism Village Potential in the Pandemic (Study in Sukobendu Village, Lamongan) The impact of Covid-19 on humanity is extraordinary, especially for the people of Sukobendu Village, Mantup District, Lamongan Regency, East Java. Sukobendu Village does not have the potential for natural and cultural heritage that can be developed as a tourist attraction, however, Sukobendu Village has the potential for a strategic geographical location because it is located on the border between three sub-districts. The tourism potential that might be developed is Cultural Tourism and Educational Tourism. Based on this, it is felt that there is a need for assistance in the development of tourist villages in order to improve the economy of rural communities in Sukobendu village, Lamongan.The problems and obstacles that have been inventoried in Sukobendu Village include: the absence of a tourist village program, unsanitary environmental conditions and quality, poor spatial planning for tourist villages, lack of tourism counseling and training, especially regarding tourist villages, lack of facilities and infrastructure. tourism, low capacity of human resources. Based on these problems, several solutions have been formulated, namely: making a village development master plan based on the potential and needs of the village, maintaining and maintaining environmental quality, determining the spatial planning of tourist villages, conducting tourism socialization and counseling, building tourism facilities and infrastructure, increasing human resource capabilities. in managing village potential, especially those related to superior village agricultural products, through training. This community service has been carried out in several stages. Phase I is preparation, Phase II is the implementation of community service in the form of counseling, Phase III is mentoring and training for village communities according to the needs that have been formulated in the previous phase, and Phase IV is the evaluation phase.    
Pendampingan Hukum Pemberdayaan Usaha Mikro Dan Pengembangan Bumdes Di Desa Blumbungan, Pamekasan Wilda Prihatiningtyas; Radian Salman; Indria Wahyuni
Berdikari: Jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia Vol. 5 No. 1 (2022): Berdikari: jurnal Pengabdian Masyarakat Indonesia
Publisher : Future Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/bjpmi.05.01.05

Abstract

Partners in this community service are Blumbungan village community, Larangan District, Pamekasan Regency, East Java. Socio-economic and cultural conditions of the community as well as the activities of the Blumbungan village community are heavily influenced by socio-religious activities, including the existence of youth organizations, mosque youth, “PKK”, recitation groups, farmer groups, and the development of small/home industries (cassava chips, making cigarettes, furniture, pillar making, tofu production). The existence of this small/household industry has positive impact on increasing the income of the Blumbungan community, although there are still obstacles in practice. The problems that have been inventoried, include: (1) Lack of understanding of legal aspects in business management, (2) Lack of knowledge about marketing methods and product packaging, (3) Lack of access to capital business for WUB (New Entrepreneurs), and (4) The direction and development of Village-Owned Enterprises has not yet been determined. The method of the activities includes preparation, counselling, mentoring, and evaluation. The results and conclusions of this community service activity are: (1) Increasing knowledge of the legal basis, function, and role of BUMDes for partners, as evidenced by the results of the distributed questionnaires. (2) Village regulations regarding BUMDes, AD-ART, and the Roadmap of BUMDES Blumbungan Sejahtera are important components in the development of BUMDes. So it must be completed as part of the output in this assistance. (3) In addition to regulations, product development to be managed by BUMDes is also important. In the next mentoring, it will be focused on developing packaging systems and promoting typical Village products both offline and online. (4) With the strengthening of BUMDes as legal entities as regulated in the Village Law after the Employment Creation Law and PP BUMDes, it is easier for BUMDes to gain access to capital.
Optimalisasi Pengelolaan Hutan Desa Melalui BUMDes sebagai Instrumen Percepatan Capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Desa Zuhda Mila Fitriana; Wilda Prihatiningtyas; Dessy Maeyangsari
Media Iuris Vol. 6 No. 2 (2023): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v6i2.38955

Abstract

AbstractSocial forestry has been an instrument of government to escalate community welfare. Forest village in Indonesia is one of the schemes recognized in the national social forestry program since 2007. The economic potential of forest village management is now realized in the Government Regulation in Lieu of Law No.2/2022 regarding Job Creation, specifically designed to accelerate the national economy. The ease offered by the JCL changes nothing to the community perspective in benefiting Village forests through a collaborative scheme between Village-owned enterprises and other groups. Thus, it is essential to portray this collaboration’s potency to provide village community welfare further. This study uses the socio-legal method by applying statutory and conceptual approaches supported by interview’s respond from the governments. This study’s result shows that the village-owned enterprises shall collaborate in benefiting the village forest to escalate the village IDM level which also represents the achievement of Village SDGs. Eventually, it contributes to the national SDGs’ achievement.Keywords: Indeks Desa Membangun; SDGs; Social Forestry; Village-Owned Enterprises; Village Forest. AbstrakPerhutanan sosial telah menjadi instrumen Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hutan desa di Indonesia merupakan salah satu skema yang diakui dalam program perhutanan sosial nasional sejak tahun 2007. Potensi ekonomi pengelolaan desa hutan kini diakui dalam Perpu No.2/2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja) yang dirancang khusus untuk mengakselerasi perekonomian nasional. Kemudahan yang ditawarkan dalam peraaturan tersebut tidak mengubah cara pandang masyarakat dalam memanfaatkan hutan Desa melalui skema kerjasama antara Badan Usaha Milik Desa dengan kelompok lain. Oleh karena itu, penting untuk menggambarkan potensi kerjasama ini yang bertujuan untuk lebih memberikan kesejahteraan masyarakat desa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis yang didukung oleh hasil wawancara pemerintah terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BUMDes dapat berkolaborasi dalam memanfaatkan hutan desa untuk meningkatkan level IDM desa yang juga merupakan pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Desa (TPB Desa). Pada akhirnya, ini berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Nasional (TPB Nasional).Kata Kunci: BUMDes; Indeks Desa Membangun; Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; Perhutanan Sosial; Hutan Desa.