Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

PROBLEMATIKA APLIKASI EKONOMI SYARIAH DALAM REZIM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA Anand, Ghansam; Aditya, Kukuh Leksono; Abrianto, Bagus Oktafian
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (56.244 KB)

Abstract

AbstrakPrinsip bagi hasil merupakan konsep praktik yang membedakan kegiatan usaha bank syariah dengan bank konvensional. Dalam praktiknya, banyak dijumpai bahwa skema pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah diikuti perjanjian assesoir yang pada intinya menyatakan pihak yang dibiayai harus memberikan sejumlah agunan kepada Bank Syariah selaku pemberi biaya. Jaminan diperkenankan dalam Islam namun pada posisi untuk mengamankan akad utama yaitu apabila orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya. Namun ditinjau dari perspektif kepailitan syariah di Indonesia ada suatu kecenderungan untuk mengubah esensi utang secara syariah menjadi utang-piutang secara konvensional. Perubahan esensi dari hubungan hukum demikian tampak dari unsur syarat mengajukan permohonan kepailitan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 terpenuhi yakni adanya kreditor dan debitor. Setiap sengketa kepailitan syariah yang terjadi selalu menimbulkan upaya paksa untuk memunculkan kreditur dan debitur, padahal para pihak tersebut (kreditur dan debitur) tidak ada dalam setiap pembiayaan syariah, dalam pembiayaan syariah dikenal hubungan kemitraan untuk menjaga iktikad baik dari para pihak supaya tidak ada yang dirugikan dari pembiayaan tersebut, namun ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kepailitan syariah secara khusus menyebabkan setiap sengekta kepailitan syariah di selesaikan melalui cara-cara konvensional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan teori.Kata Kunci : hubungan kemitraan, kepailitan syariah, perjanjian assesoir, , pembiayaan syariah, perbankan syariah AbstractProduction sharing principle is practical concept that distinguish business activity between sharia banking and conventional banking. In practice, mostly can be found that financial scheme that was done by sharia banking followed agreement accesoir in essence said that the parties who be funded should give a number of collateral to sharia bank a a funding. Security allowed in Islam in position to secure main agreement that ruled if a person who owes are not able to affort the loan. Viewed from sharia bankruptcy perspective in Indonesia, it’s have a trend to change essence of sharia debt to conventional debt. Essential change from sharia debt to conventional debt seem from requirement of applying bankruptcy in Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. Every dispute of sharia bankruptcy always incur of coersion to raise creditor and debitor, whereas the parties (i.c creditor and debitor) doesn’t exist in sharia financial. In sharia financial, known a partnership relation to keep good faith of the parties in order to be injustice. But nonexistent of regulation that to rule of sharia bankruptcy cause every dispute of sharia bankruptcy be solved by conventional manner. This is a normative legal research ellaborate with statute approach and theoritical approach. Keywords : agreement accesoir, partnership relation, sharia banking, sharia bankruptcy, sharia financial. 
Status Hak Atas Tanah Kas Desa dan Prosedur Pendaftarannya Menurut Hukum Administrasi Pertanahan Abrianto, Bagus Oktafian; Fikri, Muhammad Azharuddin
Pandecta Research Law Journal Vol 16, No 2 (2021): December
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v16i2.28208

Abstract

Pasal 6 ayat (1) Permendagri No. 1 Tahun 2016 memerintahkan agar setiap aset desa yang berupa tanah wajib disertifikatkan atas nama pemerintah desa. Adanya aturan tersebut ialah sebagai upaya untuk menjamin kepastian hukum. Namun dalam ketentuan tersebut menimbulkan kekaburan mengenai status hak atas tanah apa yang sesuai untuk tanah kas desa serta subjek hak atas tanahnya. Kedudukan desa yang unik membuat pengorganisasiannya menjadi berbeda dari pemerintahan yang lain. Kondisi tersebut menjadikan beragam hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional saat ini masih belum bisa mengakomodasi hak atas tanah yang sesuai untuk tanah kas desa. Penelitian ini mencoba untuk menilik jenis hak atas tanah apa yang sesuai untuk tanah kas desa serta sejauh mana kewenangan pemerintah desa dalam mengelola tanah kas desa yang belum bersertifikat. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Dari penelitian ini telah diperoleh kesimpulan bahwa hak atas tanah yang paling mendekati untuk tanah kas desa ialah hak pakai di atas tanah hak pengelolaan. Tanah kas desa dapat dimanfatkan untuk berbagai kegiatan desa dengan catatan bahwa pemanfaatan tanah kas desa harus diatur dalam peraturan desa setempat agar pemanfaatan tanah kas desa lebih terarah dan tertib administrasi.
DPD Persoalan Dilematis Lembaga Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Hezron Sabar Rotua Tinambunan; Bagus Oktafian Abrianto
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 10 No 1 (2021)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2021.v10.i01.p06

Abstract

The purpose of this research is to study and analyze the Dilemma Problems of Regional Representative Institutions in the Indonesian State Administration System, in this case the DPD which is a State institution in the category of state institutions using normative juridical categories through licensing in accordance with the demand (statute approach) and conceptual (approach conceptual), thus the DPD obligation related to the implementation of regional autonomy which is limited to providing an assessment also shows the weakness of the DPD's function because it cannot fight for regional interests in increasing the DPD's consideration which is not followed up by the DPR Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau dan menganalisis Persoalan Dilematis Lembaga Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam hal ini DPD yang merupakan lembaga Negara yang masuk kategori main state organ dengan menggunakan metode yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approch), bahwa Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah terhadap kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak ditindaklanjuti oleh DPR
THE RIGHT TO ACCESS BANKING DATA IN A CLAIM FOR A DIVISION OF COMBINED ASSETS THAT IS FILED SEPARATELY FROM A DIVORCE CLAIM Faizal Kurniawan; Xavier Nugraha; Bagus Oktafian Abrianto; Syifa Ramadhanti
Yustisia Jurnal Hukum Vol 9, No 1: January - April 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/yustisia.v9i1.34859

Abstract

Bank Secrecy remains as one of the most essential principles of banking. In Indonesia, however, this principle is not absolute. According to Article 40 (1) of Law No.10 of the Year 1998 regarding changes to Law Number 7 of the Year 1992 regarding Banking alongside Article 2 (4) of Bank Indonesia Number : 2/19/PBI/2000 regarding several exceptions in implementing Bank Secrecy. In its implementation, these exceptions have yet to adjust to recent social development. One problematic case is when it relates to a claim of combined assets that is filed in conjunction with a claim for divorce. In recent development, the Constitutional Court has asserted that the one of the exceptions for Bank Secrecy can occur for cases of divorce, in its Judgement Number 64/PUU-X/2012. However, this decision has yet to answer a problematic issue when the claim for divorce is filed separately from the claim for the division of combined assets. Such decision does not consider cases in which the two aforementioned claims are filed separately. This presents a problem for couples who are not muslim and are confined to divorce laws in which the two claims must be filed separately. Thus, does a claim for the division of combined assets that is filed separately from the claim of divorce fall under the Scope of Constitutional Court Decision Number 64/PUU-X/2012? According to the following research, such cases indeed fall under the scope of Constitutional Court Decision Number 64/PUU-X/2012. This conclusion is based on historical interpretation and Extensive Interpretation. According to historical interpretation, the original intent of the judges in drafting Constitutional Court Decision Number 64/PUU-X/2012 is to provide both the husband/wife equal share of their wealth. According to extensive interpretation, the concept of filing both claims separately is to an extension of the concept explicitly addressed in such Constitutional Court decision.   
Hak Konstitusional Lembaga Kepresidenan Dalam Penolakan Pengesahan RUU APBN Oleh DPR Bagus Oktafian Abrianto; Xavier Nugraha; Risdiana Izzaty
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.411 KB) | DOI: 10.29303/ius.v7i3.633

Abstract

Setiap negara tentulah memiliki sebuah konstitusi yang pada umumnya digunakan sebagai pedoman pada saat menjalankan roda pemerintahannya. Dalam konstitusi di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensiil, menggunakan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) antar lembaga yang digunakan dalam rangka menjalankan prinsip pemerintahan dengan checks and balances. Salah satunya adalah terhadap hal pengelolaan keuangan negara yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden sebagai lembaga eksekutif dalam mengajukan RAPBN serta memberikan sebuah kewenangan kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Penyetujuan DPR atas RAPBN dianggap sebagai hal yang krusial dalam pembentukan dan penetapan APBN sehingga dalam tulisan ini akan mengemukakan problematika apabila terjadi penolakan terhadap RAPBN oleh DPR serta upaya yang dapat ditempuh oleh eksekutif dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Metode penelitian menggunakan penelitian hokum normatif dan simpulan dari tulisan ini adalah hubungan antara pemerintah dengan DPR berupa hubungan check and balances dan pemerintah dapat mengambil opsi dengan mewujudkan Perpu APBN dalam hal terjadi penolakan RUU APBN oleh DPR.
Perkembangan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah Pasca-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 (Development of Lawsuit for Law Violation by the Government Post Statute/Law Number 30 of 2014) Bagus Oktafian Abrianto; Xavier Nugraha; Nathanael Grady
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 11, No 1 (2020): JNH Vol 11 No 1 Juni 2020
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (865.715 KB) | DOI: 10.22212/jnh.v11i1.1574

Abstract

The existence of a lawsuit for unlawful acts by the authorities (onrechtmatige overheidsdaad) is one of the means of providing legal protection for the citizens from actions (handling) carried out by the government. Over time, the concept of onrechtmatige overheidsdaad has develops dynamically. The change in the concept of the State Administrative Decree in Article 87 of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration has caused an onrechtmatige overheidsdaad lawsuit which was once the absolute competence of the District Court, and now became the absolute competence of the State Administrative Court. This research attempts to explain the changes in the regulation and changes in the concept of onrechtmatige overheidsdaad after the enactment of Law Number 30 of 2014. The transfer of authority to examine onrechtmatige overheidsdaad lawsuit from the general court to the state administrative court has various juridical consequences, ranging from changes in procedural law, petitum and posita. One of the important consequences is a change related to the implementation or execution of the judicial decision, where in the past, when an onrechtmatige overheidsdaad lawsuit was an absolute competence of a district court, the implementation of the decision depended on the good will of the government. However, after becoming absolute competence of the Administrative Court, there is a mechanism of forced efforts so that the decision can be carried out by the relevant government agencies (defendants).AbstrakKeberadaan gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan salah satu sarana pelindungan hukum masyarakat atas tindakan (handeling) yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun konsep mengenai onrechtmatige overheidsdaad berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konsep Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyebabkan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang dahulu merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri, berubah menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini berusaha memaparkan mengenai perubahan pengaturan dan perubahan konsep onrechtmatige overheidsdaad pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Beralihnya kewenangan untuk memeriksa gugatan onrechtmatige overheidsdaad dari lingkungan peradilan umum ke peradilan tata usaha negara memiliki berbagai konsekuensi yuridis, mulai dari perubahan hukum acara, petitum, dan posita. Salah satu konsekuensi yang cukup penting adalah perubahan terkait dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dahulu, gugatan onrechtmatige overheidsdaad merupakan kompetensi absolut pengadilan negeri, sehingga pelaksanaan putusan tergantung dari itikad baik (good will) dari pemerintah. Pasca-beralih ke kompetensi absolut PTUN, terdapat mekanisme upaya paksa agar putusan tersebut dapat dijalankan oleh instransi pemerintah terkait (tergugat).
PROBLEMATIKA APLIKASI EKONOMI SYARIAH DALAM REZIM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA Ghansam Anand; Kukuh Leksono S. Aditya; Bagus Oktafian Abrianto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPrinsip bagi hasil merupakan konsep praktik yang membedakan kegiatan usaha bank syariah dengan bank konvensional. Dalam praktiknya, banyak dijumpai bahwa skema pembiayaan yang dilakukan oleh Bank Syariah diikuti perjanjian assesoir yang pada intinya menyatakan pihak yang dibiayai harus memberikan sejumlah agunan kepada Bank Syariah selaku pemberi biaya. Jaminan diperkenankan dalam Islam namun pada posisi untuk mengamankan akad utama yaitu apabila orang yang berutang tidak mampu membayar utangnya. Namun ditinjau dari perspektif kepailitan syariah di Indonesia ada suatu kecenderungan untuk mengubah esensi utang secara syariah menjadi utang-piutang secara konvensional. Perubahan esensi dari hubungan hukum demikian tampak dari unsur syarat mengajukan permohonan kepailitan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 terpenuhi yakni adanya kreditor dan debitor. Setiap sengketa kepailitan syariah yang terjadi selalu menimbulkan upaya paksa untuk memunculkan kreditur dan debitur, padahal para pihak tersebut (kreditur dan debitur) tidak ada dalam setiap pembiayaan syariah, dalam pembiayaan syariah dikenal hubungan kemitraan untuk menjaga iktikad baik dari para pihak supaya tidak ada yang dirugikan dari pembiayaan tersebut, namun ketiadaan regulasi yang mengatur tentang kepailitan syariah secara khusus menyebabkan setiap sengekta kepailitan syariah di selesaikan melalui cara-cara konvensional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan teori.Kata kunci: hubungan kemitraan, kepailitan syariah, perjanjian assesoir, pembiayaan syariah, perbankan syariah. ABSTRACTProduction sharing principle is practical concept that distinguish business activity between sharia banking and conventional banking. In practice, mostly can be found that financial scheme that was done by sharia banking followed agreement accesoir in essence said that the parties who be funded should give a number of collateral to sharia bank a a funding. Security allowed in Islam in position to secure main agreement that ruled if a person who owes are not able to affort the loan. Viewed from sharia bankruptcy perspective in Indonesia, it’s have a trend to change essence of sharia debt to conventional debt. Essential change from sharia debt to conventional debt seem from requirement of applying bankruptcy in Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. Every dispute of sharia bankruptcy always incur of coersion to raise creditor and debitor, whereas the parties (i.c creditor and debitor) doesn’t exist in sharia financial. In sharia financial, known a partnership relation to keep good faith of the parties in order to be injustice. But nonexistent of regulation that to rule of sharia bankruptcy cause every dispute of sharia bankruptcy be solved by conventional manner. This is a normative legal research ellaborate with statute approach and theoritical approach.Keywords: agreement accesoir, partnership relation, sharia banking, sharia bankruptcy, sharia financial. DOI: https://doi.org/10.23920/jbmh.v2n1.6
Digital Supply Chain Mechanism in Indonesian Society and Industrialization Suparto Wijoyo; Bagus Oktafian Abrianto; M. Syaiful Aris; Xavier Nugraha; Ave Maria Frisa K
International Journal of Supply Chain Management Vol 9, No 4 (2020): International Journal of Supply Chain Management (IJSCM)
Publisher : International Journal of Supply Chain Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract— The electronics industry has been a key driver of economic growth and employment in many developing countries, including Indonesia. Participating in global electronics supply chains can  have  several  benefits,  including  the  growth  of  domestic  industries  as  competitors  and suppliers, and increasing exports.  This study uses a normative legal research method with the statutory approach, conceptual approach, and case approach. Based on the digital supply chain in Indonesian society and industry for implementing DSCM in Indonesia, namely, First, it does not violate the principle of direct, general, free, confidential, honest, and fair. Second, the regions that apply the DSCM method are ready in terms of technology, financing, human resources and software, the readiness of the people in the area concerned, as well as other requirements needed
EKSISTENSI PERATURAN DESA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bagus Oktafian Abrianto
Yuridika Vol. 26 No. 3 (2011): Volume 26 Nomor 3 September 2011
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.801 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v26i3.275

Abstract

Era otonomi daerah dalam dinamika demokrasi sekarang ini menuntut adanya partisipasi masyarakat, tidak terkecuali masyarakat desa dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan regulasi di tingkat daerah termasuk regulasi di desa. Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum Negara bangsa ini terbentuk, desa merupakan daerah dengan karakter yang unik, yang dapat menyelengarakan fungsi pemerintahan dan memiliki tradisi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Akan tetapi dalam konteks kekinian telah terjadi pergeseran otonomi di desa, dimana sekarang desa tidak lagi memiliki hak otonomi. Dalam pemerintahan desa, terdapat regulasi untuk menjalankan pemerintahan desa berdasarkan wewenang yang dimiliki desa yaitu peraturan desa. Namun karena telah terjadi pergeseran otonomi desa, peraturan desa dalam perkembangannya hanya merupakan penjabaran lebih lanjut peraturan yang lebih tinggi bukan untuk menjalankan otonomi.Kata Kunci: Peraturan Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi.
REORGANIZATION OF REGIONAL ENVIRONMENTAL INSTITUTION Bagus Oktafian Abrianto; Suparto Wijoyo
Yuridika Vol. 32 No. 1 (2017): Volume 32 No 1 January 2017
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (260.448 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v32i1.4799

Abstract

Nowadays, The Institutional of environmental in regional experinced many changes, its cause of stipulated of Law No. 23 of 2014 on Local Government and Government Act No. 18 of 2016 on Local Government Organization. Rule about central government authority and local government authority on environment aspect that ruled by Act No. 32 of 2009 on Protection and Management of Environment must be adjusted with Act No. 23 of 2014 on Local Government and Government Act No. 18 of 2016 on Local Government Organization. This research analyze about institutional harmonization on statute approaches. It is expected that this research give a knowledge of affairs which central government authority, province government authority, and district/regency government authority clearly especially on environment aspect. The minister of environment and forestry in order to implementing coordinative function, should be obliged to synchronize working program of environment institution between local and central government for making integrated environment management (policy) approaches.