p-Index From 2019 - 2024
0.778
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Hortikultura
Witono Adiyoga
Unknown Affiliation

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Persepsi Publik terhadap Keberadaan Pertanian Ur ban di Ja karta dan Bandung Witono Adiyoga; Ahmad Dimyati; Thomas Agoes Soetiarso; Mieke Ameriana; Rahman Suherman
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 2 (2004): Juni 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n2.2004.p134-149

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-No vem ber 2001 di dua daerah ur ban di Ja karta dan Bandung.Kegiatan survai dilakukan untuk menghimpun persepsi dan pengetahuan responden mengenai keberadaanpertanian ur ban, melalui wawancara menggunakan kuesioner. Responden sejumlah 39 orang (Ja karta) dan 41orang (Bandung) dipilih secara sengaja dari beberapa institusi terkait, perguruan tinggi, dan lembaga swadayamasyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden memberikan tanggapan positif terhadapkeberadaan pertanian ur ban. Sementara itu, jenis kegiatan yang menjadi preferensi sebagian besar responden adalahpengusahaan hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), tidak saja dari sisi produksi, tetapi juga termasukpengolahannya. Sebagian besar responden mendukung penempatan kegiatan pertanian ur ban hampir di setiap lokasiyang secara teknis memenuhi syarat dan secara ekologis maupun estetis tidak mengganggu/merusak atau mengarahpada kegiatan yang bersifat kontra produktif. Responden juga berpendapat bahwa sebaiknya ada ar eal khusus di daerahur ban yang dialokasikan maupun yang dilarang untuk kegiatan pertanian. Menurut persepsi responden, tanggung jawabpembinaan yang perlu dilaksanakan secara terpadu oleh institusi pertanian, penataan kota, dan perencanaan harusmeliputi (a) memberikan pelayanan penyuluhan dan bantuan teknis bagi pelaku pertanian ur ban, (b) mengidentifikasilokasi yang memungkinkan untuk kegiatan pertanian ur ban, (c) menyusun formulasi kebijakan atau peraturanmenyangkut kegiatan pertanian ur ban, (d) memonitor kegiatan pertanian ur ban, dan (e) melakukan registrasi danpemberian ijin untuk kegiatan pertanian ur ban. Namun demikian, pengamatan dan pengalaman pribadi respondenmengindikasikan bahwa peranan institusi terkait dalam melakukan fasilitasi pengembangan pertanian ur ban di Ja -karta dan Bandung masih perlu terus ditingkatkan. Dua isu penting yang dipersepsi responden membatasiperkembangan pertanian ur ban adalah isu akses dan ketersediaan lahan, serta isu kelembagaan berhubungan dengandukungan kebijakan, regulasi, dan perencanaan. Strategi promosi yang harus dilakukan oleh berbagai instansi terkait(pertanian, penataan kota, dan perencanaan) menurut pendapat responden pada dasarnya, mengarah pada berbagaiupaya untuk melembagakan (institutionalization) pertanian ur ban ke dalam perencanaan pengembanganperkotaan. Secara berurutan, responden berpendapat bahwa prioritas tindakan yang perlu dilakukan berkenaan denganpengembangan pertanian ur ban adalah (1) menetapkan kebijakan yang jelas mengenai keberadaan pertanian ur ban sertaketerpaduannya dengan perencanaan pengembangan perkotaan yang dituangkan ke dalam peraturan daerah, (2)melakukan sosialisasi pertanian ur ban ke semua tingkatan masyarakat, tidak saja menyangkut potensi manfaatnya,tetapi juga mengenai kemungkinan dampak negatifnya (ekonomis dan ekologis), (3) memberikan pelatihan/penyuluhanteknologi tepat guna untuk mendukung kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran beserta pro grampercontohannya, dan (4) memberikan fasilitasi, terutama kemudahan memperoleh lahan garapan dan kredit, kepadapelaku pertanian ur ban.Pub lic per -cep tion of ur ban ag ri cul ture ex is tence in Ja karta and Bandung. This study was con ducted from Au gust to No -vem ber 2001 in ur ban Ja karta and Bandung. A sur vey was car ried out to col lect in for ma tion re gard ing pub licper cep tion and knowl edge on the ex is tence of ur ban ag ri cul ture, through in ter views by us ing a questionaire.Respondents (39 and 41 from Ja karta and Bandung, re spec tively) were se lected pur pos ively from some in sti tu -tions, such as ag ri cul tural of fices, city plan ning of fices, uni ver si ties, and non-gov ern men tal of fices. Re sults in di -cate that all re spon dents show pos i tive opin ion and re sponse with re gard to the ex is tence of ur ban ag ri cul ture.Ag ri cul tural ac tiv ity pre ferred by most re spon dents is hor ti cul ture (veg e ta bles, fruits, and ornamentals), not onlyfrom pro duc tion side, but also on pro cess ing. Most re spon dents sup port all lo ca tions that sat isfy the tech ni cal re -quire ments for car ry ing out ag ri cul tural ac tiv i ties as long as they are eco log i cally and aes thet i cally sound. Re spon -dents sug gest not only the al lo ca tion of spe cial area for con duct ing ag ri cul tural ac tiv i ties, but also the pro hi bi tionof par tic u lar area to be used that may lead to coun ter pro duc tive ac tiv i ties. Most re spon dents per ceive that the re -spon si bil ity for guid ing the de vel op ment of ur ban ag ri cul ture should be car ried out as an in te grated ef fort from ag -ri cul tural and city plan ning of fices that may in clude (a) pro vid ing ser vices, ex ten sion, and tech ni cal as sis tance tour ban ag ri cul ture ac tors, (b) iden ti fy ing lo ca tions most fea si ble for ur ban ag ri cul ture ac tiv i ties, (c) for mu lat ingpol i cies or legislations to reg u late ur ban ag ri cul ture ac tiv i ties, (d) mon i tor ing ur ban ag ri cul ture ac tiv i ties, and (e)con duct ing reg is tra tion and pro vid ing per mits for ur ban ag ri cul ture ac tiv i ties. How ever, re spon dents’ per sonal ob -ser va tion and ex pe ri ence in di cate that the ef fec tive ness of these in sti tu tions in car ry ing out their roles still needssome im prove ments. Two im por tant is sues con sid ered im por tant by most re spon dents that may limit or ham per thede vel op ment of ur ban ag ri cul ture are land ac cess/avail abil ity and in sti tu tional as pects re lated to pol icy, reg u la tionand plan ning sup ports. Most re spon dents per ceive that the pro mo tion strat egy of ur ban ag ri cul ture should beaimed at in sti tu tion al iz ing the in te gra tion of ur ban ag ri cul ture plan ning into ur ban/city de vel op ment plan ning.There are some pri or ity ac tions re spec tively sug gested by re spon dents in de vel op ing ur ban ag ri cul ture, those are(1) formulating clear policies regarding the existence of urban agri culture and its integration to the city development planning that is documented in regional legis lation/regulation, (2) socializing the existence of urban agri culture to alllev els, not only its po ten tials, but also its neg a tive im pacts, eco nom i cally, and eco log i cally, (3) pro vid ing train ing/ex -tension on appropriate technol ogy to support production, processing and marketing activities, including its dem onstra -tion programs/plots, and (4) providing facil itation, especially access to land and credit to urban agri culture producers.
Segmentasi Konsumen Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Berdasarkan Peubah Sosio-Demografis dan Kepentingan Kriteria Produk Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 4 (2011): DESEMBER 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v21n4.2011.p353-371

Abstract

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi segmen-segmen konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah berdasarkan peubah sosio-demografis dan persepsi tentang kepentingan kriteria produk. Penelitian survai dilaksanakan di tiga kota besar konsumen utama sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan Juni sampai dengan September 2006. Responden terdiri dari 335 konsumen kentang, bawang merah, dan cabai merah yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan ialah statistik deskriptif, tabulasi silang, dan analisis klaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kentang, dua peubah sosio-demografis (pendidikan dan pengeluaran) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, kemasan, label produk, dan  kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen kentang. Jumlah segmen konsumen kentang yang dianggap paling sensible (pantas/masuk akal) ialah tiga segmen (segmen 1=120 orang, segmen 2=12 orang, dan segmen 3=203 orang). Berdasarkan komposisi tersebut, pemasar/petani kentang disarankan agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3. Untuk bawang merah, tiga peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran) dan 13 peubah kriteria produk (kesegaran, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, aroma, label produk, produk lokal, produk impor, dan  kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen bawang merah. Jumlah segmen konsumen bawang merah yang dianggap paling sensible ialah dua segmen (segmen 1=113 orang dan segmen 2=222 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani bawang merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 2. Untuk cabai merah, empat peubah sosio-demografis (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, dan frekuensi memasak sendiri) dan 11 peubah kriteria produk (kesegaran, rasa, kebersihan, nilai gizi, tidak mengandung residu pestisida, penampakan luar, tidak ada tanda busuk, harga, warna, label produk, dan kenyamanan tempat pembelian) berpengaruh nyata terhadap perbedaan karakteristik segmen konsumen cabai merah. Jumlah segmen konsumen cabai merah yang dianggap paling sensible ialah tiga segmen (segmen 1=152 orang, segmen 2=2 orang, dan segmen 3=181 orang). Komposisi anggota klaster tersebut menyarankan kepada pemasar/petani cabai merah agar lebih mengarahkan strategi pemasarannya ke segmen 3 dan 1. Penelitian lebih lanjut perlu mempertimbangkan pencantuman peubah kriteria produk secara lebih terinci dan spesifik.The objective of this study was to identify market or consumer segments of potato, shallots, and hot peppers based on socio-demographic variables and the importance of product criteria. Consumer surveys were carried out in three big cities of vegetable main consumer in Indonesia i.e. Jakarta (DKI Jaya), Bandung (West Java), and Padang (West Sumatera) from June to September 2006. Respondents of these surveys were 335 potato, shallots, and hot peppers consumers who were randomly selected. Descriptive statistics, cross tabulations, and cluster analysis were used for data elaboration. Results show that for potato, two socio-demographic variables (education and expenditures) and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, packing, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the potato clusters. Three clusters are identified as the most sensible subgroup for potato consumer segments i.e. segment 1=120 cases, segment 2=12 cases, and segment 3=203 cases. Based on this composition, potato marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 for implementing their marketing mix strategy. For shallots, three socio-demographic variables (education, employment, and expenditures) and 13 product criteria variables (freshness, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, aroma, product label, local product, imported product, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the shallots clusters. Two clusters were identified as the most sensible subgroup for shallots consumer segments i.e. segment 1=113 cases and segment 2=222 cases. Based on this composition, shallots marketers/farmers are suggested to focus on segment 2 for implementing their marketing mix strategy. For hot peppers, four socio-demographic variables (education, employment, expenditures, and self-cooking frequency), and 11 product criteria variables (freshness, taste, cleanliness, nutrient value, no pesticide-residue, appearance, no blemishes, price, color, product label, and convenient purchasing place) were significantly contributing to the separation of the hot peppers clusters. Three clusters were identified as the most sensible subgroup for hot peppers consumer segments i.e. segment 1=152 cases, segment 2=2 cases, and segment 3=181 cases. Based on this composition, hot peppers marketers/farmers were suggested to focus on segment 3 and 1 for implementing their marketing mix strategy. Further study needs to consider involving more detailed and more specific product criteria variables.
Front Mather Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 31, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perilaku Konsumen terhadap Jeruk Siam di Tiga Kota Besar Di Indonesia Witono Adiyoga; T Setyowati; Mieke Ameriana; - Nurmalinda
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 1 (2009): Maret 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v19n1.2009.p%p

Abstract

ABSTRAK. Penelitian diarahkan untuk memperoleh pemahaman tentang perilaku konsumen terhadap jeruk siam asallokal dan impor. Penelitian survai dilaksanakan di 3 kota besar konsumen utama produk hortikultura, yaitu Jakarta(DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan Juni-September 2006. Respondenkonsumen adalah 339 ibu rumah tangga yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan adalah statistikdeskriptif, analisis conjoint, dan analisis klaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi jeruk siamsebagian besar konsumen (53,7%) cukup tinggi, yaitu 1-2 kali seminggu. Perkiraan tren peningkatan konsumsi jeruksiam 25-75% dalam 5 tahun ke depan juga dipersepsi oleh 61,3% responden. Segmentasi a priori berbasis peubahdemografis mengindikasikan agar strategi pengembangan jeruk siam lebih diarahkan untuk segmen konsumen/pasaryang memiliki karakteristik: usia 30-39 tahun, pendidikan lebih tinggi dari SLTA, ibu rumah tangga bekerja, jumlahanggota keluarga 3-4 orang, jumlah anggota keluarga dewasa 1-2 orang, jumlah anggota keluarga balita 1-2 orang,dan total pengeluaran antara Rp. 2.500.001,00-Rp. 5.000.000,00/bulan. Atribut rasa dipersepsi konsumen sebagaiatribut paling penting (urutan 1), sedangkan atribut harga/kg dipersepsi sebagai atribut dengan urutan kepentinganterendah (urutan 8). Sementara itu, segmentasi a priori berbasis preferensi mengidentifikasi jeruk siam ideal dengankarakteristik: rasa manis, berserat banyak, kandungan air banyak, dan harga Rp. 4.000,00-Rp. 6.999,00/kg. Segmenkonsumen ini menempatkan atribut kandungan air sebagai faktor terpenting (49,52%), dan berturut-turut diikutioleh rasa (23,32%), harga per kg (16,15%), serta serat buah (11,01%). Analisis tanggap konsumen secara umummengindikasikan bahwa konsumen memberikan tanggapan lebih positif terhadap atribut produk jeruk siam impordibandingkan dengan jeruk siam lokal. Label impor cenderung dipandang sebagai salah satu atribut produk yangmerepresentasikan kualitas, dependabilitas, dan reliabilitas, terutama pada saat informasi tersedia dan upaya promosimengenai jeruk siam lokal relatif terbatas. Secara implisit, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan impor jeruksiam tidak saja dihela oleh intervensi dan akses pasar (kebijakan), namun juga oleh permintaan konsumen.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. Setyowati, M. Ameriana, and Nurmalinda. 2009. Consumer Behavior on Tangerinein Three Big-Cities in Indonesia. This study was aimed to obtain understandings with regard to consumer behaviortoward both local tangerine and imported tangerine. Consumer surveys were carried out in 3 big cities in Indonesia(Jakarta-DKI Jaya, Bandung-West Java, and Padang-West Sumatera) from June to September 2006. Respondents ofthese surveys were 339 household-moms who were randomly selected. Descriptive statistics, conjoint analysis, andcluster analysis were used for data elaboration. The results showed that there was a quite high consumption frequency(1-2 times a week) indicated by 53.7% respondents. Most respondents (61.3%) also expect an increasing tangerineconsumption trend of 25-75% in the next 5 years. A priori segmentation on the basis of demographic variablesindicated that the market development of tangerine was more toward market segment that has characteristics suchas: 30-39 years old, higher than high school education, employed household-mom, 3-4 persons family member, 1-2persons adult family member, 1-2 persons of ≤ 5 years old family member, and total expenditure of Rp. 2,500,001.00-Rp. 5,000,000.00/month. Taste was perceived as the most important attribute (1st rank) while price was consideredthe least important (8th rank). A priori segementation on the basis of consumer preference has identified an idealtangerine that has characteristics such as: sweet taste, high fiber, high water content, and price of Rp. 4,000.00-Rp.6,999.00/kg. This consumer segment considers water content as the most important factor (49.52%) contributes tothe preference, and subsequently followed by taste (23.32%), price (16.15%), and fruit fiber (11.01%). In general,consumers provide more positive opinions regarding some attributes of imported tangerine as compared to thoseof local tangerine. Consumers tend to perceive import label as one of the product attributes that represents quality,dependability, and reliability, especially when available information and promotion efforts of local tangerine wererelatively limited. This result implies that the increasing import of tangerine was not only driven by foreign marketintervention and market access (trade policy), but also by consumer demand.
Aspek Nonteknis dan Indikator Efisiensi Sistem Pertanaman Tumpang Sari Sayuran Dataran Tinggi Witono Adiyoga; Rachman Suherman; Nikardi Gunadi; Achmad Hidayat
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 3 (2004): September 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n3.2004.p1-7

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi sayuran dataran tinggi Pangalengan, Jawa Barat pada bulan No vem ber2001. Observasi lapang dan survai for mal melalui wawancara dengan 23 orang petani responden diarahkan untukmemperoleh data/informasi dasar mencakup aspek non-teknis dan indikator efisiensi sistem pertanaman tumpangsaripada komunitas sayuran dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas sayuran utama yangdiusahakan secara monokultur maupun tumpangsari di Pangalengan adalah kentang, kubis, petsai, cabai dan tomat.Petani mempersepsi kentang sebagai komoditas sayuran yang teknik budidayanya pal ing dikuasai serta pal ing dapatdiandalkan/menguntungkan. Sementara itu, tomat dan kubis dikategorikan sebagai jenis sayuran yang memiliki risikoproduksi pal ing tinggi (terutama dikaitkan dengan risiko kehilangan hasil panen akibat serangan hama penyakit).Sebagian besar petani responden cenderung lebih sering memilih sistem pertanaman tumpangsari berdasarkanpertimbangan (a) memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi petani untuk menghindarkan kemungkinankehilangan hasil secara to tal serta kerugian finansial yang disebabkan oleh rendahnya harga salah satu komoditas yangditanam, (b) memanfaatkan lahan dan energi sinar matahari secara lebih efisien, (c) instabilitas hasil yang disebabkanoleh cekaman lingkungan maupun serangan hama penyakit secara keseluruhan dapat dikurangi oleh karena sistemterdiri dari dua atau lebih spesies tanaman yang berbeda, (d) memungkinkan penggunaan tenaga kerja dan modalproduksi secara lebih efisien, dan (e) dua atau lebih cabang usaha (jenis tanaman) yang menopang sistem tersebutdapat saling menutupi jika salah satu di antaranya mengalami kerugian. Sebagian besar petani responden cenderungmemberikan penilaian positif terhadap sta tus sistem pertanaman tumpangsari berkaitan dengan kemungkinanpeningkatan pendapatan usahatani, pengurangan risiko harga/hasil dan pemeliharaan/perbaikan kelestarianlingkungan. Evaluasi produktivitas sistem pertanaman tumpangsari menunjukkan bahwa nisbah kesetaraan lahanuntuk berbagai kombinasi tanaman, berkisar antara 1,13-2,10. Berdasarkan urutan kepentingannya, petanimempersepsi fluktuasi harga, ketersediaan modal dan insiden hama penyakit sebagai tiga kendala terpentingkeberhasilan sistem pertanaman tumpangsari sayuran dataran tinggi. Secara berturut-turut kemudian diikuti olehketersediaan lahan, ketersediaan pupuk/pestisida, ketersediaan air/pengairan, erosi tanah atau kesuburan tanah,ketersediaan informasi teknis dan ketersediaan tenaga kerjaABSTRACT. Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi dan A. Hidayat. 2002. Nontechnical aspects and efficiencyindicators of highland vegetable multiple cropping systems. This study was carried out in November 2001, in thehigland vegetable production center, Pangalengan, West Java. Field observation and formal survey to interview 23respondents were aimed to obtain information on non-technical aspects and efficiency indicators of highlandvegetable multiple cropping systems. Results indicate that potato, cabbage, chinese cabbage, hot pepper and tomatoare the most common vegetable crops grown in monocropping and multiple cropping systems. Farmers perceivepotato as the most familiar/manageable, in terms of cultural practices, and the most profitable crop. Tomato andcabbage are perceived as crops that have highest risk, in relation to pest and disease yield losses. There is an increasingtrend of the use of multiple cropping by farmers since (a) it may avoid the yield and financial total loss, (b) it couldutilize land and lights more efficiently, (c) it may reduce the yield instability caused by environmental stress andpests/diseases incidence, and (d) it may use labor and capital more efficiently. Most respondents are in favor of or inagreement with the multiple cropping system’s potential in increasing net income, reducing price and yield risks, andmaintaining and improving environmental conservation. Productivity evaluation of multiple cropping systems showsthat the land-equivalent ratio for some crop combinations is quite high (1.13-2.10). Based on its relative importance,farmers perceive price fluctuation, working capital availability and pest and disease incidence as the main threeconstraints that hamper the succesfulness of the highland vegetable multiple cropping systems. The other secondarycontraints are related to the availability of land, fertilizer and pesticide, water and irrigation, technical information,labor, and soil fertility and ero sion.
Analisis Konjoin Preferensi Konsumen terhadap Atribut Produk Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Witono Adiyoga; Nurmalinda Nurmalinda
Jurnal Hortikultura Vol 22, No 3 (2012): September 2012
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v22n3.2012.p292-302

Abstract

ABSTRAK. Pemahaman tentang preferensi konsumen sangat penting dalam proses pengambilan keputusan pemangku kepentingan utama, termasuk bagi produsen/petani serta berbagai pihak terkait yang beroperasi di dalam subsektor sayuran. Penelitian ini diarahkan untuk menghimpun informasi menyangkut preferensi konsumen atau optimalisasi utilitas atribut produk untuk komoditas prioritas/unggulan sayuran (kentang, bawang merah, dan cabai merah). Kegiatan penelitian dilaksanakan pada Bulan Juni sampai dengan September 2008 di tiga kota besar konsumen sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat). Penelitian survai menggunakan kuesioner terstruktur dilaksanakan untuk mewawancarai 335 responden yang dipilih secara acak di ketiga kota tersebut. Atribut produk yang diamati mencakup atribut eksternal, internal, dan organoleptik. Preferensi konsumen diidentifikasi menggunakan analisis konjoin yaitu salah satu modul dalam program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen mengekspresikan preferensinya terhadap kentang yang berukuran 6­–8 butir/kg, berkulit mulus, dan memiliki jumlah mata sedikit (<10). Konsumen menganggap ukuran umbi kentang merupakan faktor terpenting dalam menilai atau membeli kentang, dan secara berturut-turut diikuti oleh faktor permukaan kulit serta jumlah mata. Sementara itu, bawang merah yang paling disukai konsumen ialah bawang merah dengan diameter umbi 2,5 cm, berwarna kulit merah-ungu tua, dan beraroma tidak menyengat. Urutan kepentingan atribut bawang merah menurut persepsi konsumen secara berturut-turut yaitu warna kulit, ukuran umbi, serta aroma. Sementara itu, konsumen lebih menyukai cabai merah yang besar, kulit berwarna merah terang, dan memiliki kepedasan agak pedas. Dalam konteks atribut produk cabai merah yang digunakan untuk mengukur preferensi, faktor terpenting yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan yaitu warna kulit, dan secara berturut-turut diikuti oleh faktor jenis cabai serta tingkat kepedasan.ABSTRACT. Adiyoga, W and Nurmalinda 2012. Conjoint Analysis of Consumer Preferences on Potato, Shallots, and Hot Pepper’s Product Attributes. Understanding consumer preferences is important in the context of decision-making of key stakeholders, including producers themselves, as well as development agencies that operate in the vegetable subsector. This study was aimed at collecting information on consumer preference or optimizing the utility of product attributes of vegetable priority crops (potato, shallots, and hot peppers). It was carried out in June-September 2008 in three big vegetable consuming cities, Jakarta (Capital Special-Region of Jakarta), Bandung (West Java), and Padang (West Sumatera). Survey method by using a structured questionnaire was implemented to interview 335 respondents randomly selected in the three cities. Parameters observed were external, internal, and organoleptic attributes. Consumer preferences were identified by using conjoint analysis – a module in Statistical Program for Social Sciences (SPSS). The results showed that consumers express their preference to potato that has some characteristics, such as medium size of tuber (6-8 tubers/kg), smooth-flawless skin, and few numbers of eyes (<10). Tuber size were perceived as the most important factor affecting purchasing decision, and followed by skin and number of eyes. The most preferred shallots was the one that has a diameter of 2.5 cm in size, dark-violet red skin color, and least strong aroma. The rank of shallot’s attributes importance as perceived by consumers were skin color, tuber size, and aroma, consecutively. Meanwhile, consumers prefer hot peppers that has the characteristics of bright-red skin color, big-hot peppers type, and slightly hot. Within the context of measuring preference, the most important hot peppers attribute that influences consumer decision making were skin color, and then followed by hot peppers type, and hotness.