Mulya Rahma Karyanti, Mulya Rahma
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo

Published : 30 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Ensefalopati Dengue pada Anak Novie Homenta Rampengan; Mulya Rahma Karyanti; Sri Rezeki Hadinegoro
Sari Pediatri Vol 12, No 6 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.6.2011.419-25

Abstract

Latar belakang. Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yangbervariasi. Ensefalopati dengue atau demam berdarah dengue (DBD) dengan keterlibatan susunan sarafpusat (SSP) merupakan kondisi yang jarang terjadi namun angka kematiannya cukup tinggi.Tujuan. Mengetahui insiden, karakteristik demografik, manifestasi klinis, laboratorium dan luaran pasiendengan ensefalopati dengue.Metode. Studi deskriptif retrospektif di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Kriteria inklusiadalah rekam medik pasien yang dirawat di RSCM tahun 2006-2010 dengan diagnosis ensefalopatidengue.Hasil. Terdapat 20 pasien (2,8%) ensefalopati dengue dari 717 pasien infeksi virus dengue. Pasien terbanyakberusia 2-5 tahun (8 pasien) diikuti usia >10 tahun (7 pasien) dengan rerata usia 6,6 tahun. Kejadian DBDdengan syok terdapat pada 13 pasien, kejang pada 8 pasien, perdarahan saluran cerna pada 12 pasien danrerata penurunan kesadaran pada hari ke 4,3 dengan lama 2,5 hari. Laboratorium didapatkan rerata natrium131,6 meq/L, rerata SGOT/AST 2347 mg/dl dan rerata SGPT/ALT 630 mg/dl. Terdapat pemanjanganPT dengan rerata 22,4” dan pemanjangan aPTT dengan rerata 86,2”. Didapatkan infeksi sekunder denguepada 18 pasien. Antimikroba diberikan pada 16 pasien sedangkan kortikosteroid pada 5 pasien. Ditemukan3 pasien dengan gejala sisa berupa slurred speech, afasia dan tetraparesis serta 1 pasien meninggal.Kesimpulan. Insiden ensefalopati dengue 2,8% dengan infeksi sekunder dengue sebagai penyebab tersering,namun tidak terdapat perbedaan kelompok usia dibandingkan DBD. Terdapat peningkatan yang tinggidari serum transaminase, pemanjangan PT/APTT, hiponatremia. Terdapat gejala sisa pada 3 dari 19 pasienyang hidup.
Fever of Unknown Origin Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 21, No 3 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.583 KB) | DOI: 10.14238/sp21.3.2019.202-6

Abstract

Fever of Unknown Origin (FUO) adalah peningkatan suhu di atas 38,3o C selama lebih dari 3 minggu dengan rawat jalan, atau selama satu minggu rawat inap setelah dilakukan pemeriksaan penunjang di fasilitas kesehatan. Diagnosis FUO merupakan diagnosis sementara di fasilitas kesehatan dengan fasilitas diagnostik yang tersedia dan sering dihadapi oleh para klinisi. Belum adanya protokol maupun algoritma yang jelas mengenai FUO menjadi salah satu kendala dalam mengevaluasi kasus FUO. Selain itu, banyaknya faktor yang memengaruhi etiologi FUO serta perlunya ketelitian dan kesabaran dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang merupakan salah satu penyulit dalam mencari etiologi dari FUO.
Evaluasi Penggunaan Antibiotik dengan Metode Gyssens pada Penyakit Infeksi dan Pola Sensitivitas Bakteri di Ruang Rawat Inap Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Mulya Rahma Karyanti; Karina Faisha
Sari Pediatri Vol 23, No 6 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.6.2022.374-82

Abstract

Latar belakang. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada penyakit infeksi akan menyebabkan resistensi bakteri dan dapat memperburuk kondisi pasien. Evaluasi diperlukan dari sejumlah faktor yang memengaruhi, pola bakteri penyebab, dan penggunaan antibiotik yang memengaruhi luaran.Tujuan. Mengetahui profil sensitivitas bakteri, penggunaan antibiotik dan faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas penyakit infeksi anakMetode. Penelitian kohort retrospektif dan studi deskriptif terhadap 254 pasien di RSCM pada Januari-Desember 2018. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik dan penggunaan antibiotik didata serta faktor yang memengaruhi dianalisis menggunakan uji regresi logistik multivariat.Hasil. Bakteri terbanyak adalah Gram negatif 57,1% diikuti Gram positif 42,8%. Hampir semua golongan bakteri sensitif dengan ampisilin sulbaktam (87,5-100%). Amoksisilin klavulanat, tigesiklin dan vankomisin sensitif terhadap bakteri Gram positif (100%). Amikasin dan meropenem sensitif terhadap bakteri Gram negatif (80-100%). Evaluasi penggunaan antibiotik berdasarkan kriteria Gyssens didapatkan penggunaan antibiotik yang tepat 68,1%. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat paling banyak disebabkan adanya alternatif antibiotik yang lebih efektif yaitu 16,1%.Kesimpulan. Kesalahan tersering yang ditemukan dalam penggunaan antibiotik disebabkan oleh ketidaktersediaan antibiotik di RS saat diresepkan dan ketidakmampuan keluarga pasien untuk membeli antibiotik. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens di ruang rawat inap anak didapatkan pemilihan antibiotik yang tepat sebesar 68,1%.
Karakteristik Infeksi Sitomegalovirus pada Anak dengan Infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo Dina Muktiarti; Rizqi Amalia; Nia Kurniati; Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.8-15

Abstract

Latar belakang. Infeksi sitomegalovirus (CMV) adalah infeksi oportunistik virus yang tersering pada anak dengan infeksi HIV. Setelah era penggunaan terapi ARV prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan infeksi HIV di negara berkembang belum mengalami penurunan bermakna. Tujuan. Mengetahui prevalensi , karakteristik demografi, manifestasi klinis, terapi, dan luaran infeksi sitomegalovirus pada anak ≤18 tahun dengan infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2018. Metode. Studi retrospektif deskriptif dilakukan terhadap seluruh anak ≤18 tahun dengan infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2018. Evaluasi infeksi sitomegalovirus dilakukan terhadap subyek yang memiliki manifestasi klinis sugestif infeksi sitomegalovirus. Hasil. Prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan HIV di RSUPN Cipto Mengunkusumo tahun 2018 adalah 6%, meningkat 5 kali dibandingkan dengan tahun 2007. Total anak yang mengalami ko-infeksi HIV-CMV adalah 36 orang. Sebagian besar subyek adalah lelaki, berusia 49 bulan (rentang 2-191 bulan), belum menggunakan ARV, dengan rerata CD4 382 sel/μL (11%). Manifetasi klinis tersering adalah demam ≥2 minggu, peningkatan enzim transaminase, dan diare kronik. Titer IgM dan IgG reaktif didapatkan pada 22 dan 32 subyek. Materi DNA sitomegalovirus terdeteksi pada 25 subyek. Infeksi sitomegalovirus terbanyak terjadi dalam bentuk sindrom sitomegalovirus (15/36), korioretinitis (9/36), dan hepatitis (6/36). Immune reconstitution syndrome didapatkan pada empat subyek. Seluruh subyek mendapatkan terapi inisial dengan gansiklovir, valgansiklovir, atau kombinasi keduanya. Tidak ada subyek yang meninggal saat terapi inisial, tetapi 11 subyek memiliki morbiditas permanen dengan 9 subyek di antaranya mengalami low vision atau kebutaan. Kesimpulan. Prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan infeksi HIV sebesar 6%. Infeksi sitomegalovirus perlu diwaspadai pada anak HIV dalam keadaan imunosupresi berat yang mengalami demam ≥2 minggu disertai manifestai klinis terkait organ target. 
Protokol Evaluasi Infeksi Virus Pasien Transplantasi Hati Anak Mulya Rahma Karyanti; Nina Dwi Putri; Hanifah Oswari
Sari Pediatri Vol 20, No 4 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.421 KB) | DOI: 10.14238/sp20.4.2018.258-64

Abstract

Uji tapis terhadap infeksi virus sebelum transplantasi hati dapat memperkecil risiko reaktivasi atau transmisi infeksi virus dalam proses transplantasi hati. Biasanya, pasien transplantasi hati mendapatkan terapi imunosupresan untuk mencegah rejeksi sehingga memperbesar risiko terkena infeksi. Cytomegalovirus (CMV), Ebstein-barr virus (EBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) merupakan virus penyebab tersering komplikasi infeksi pada pasien transplan hati. Komplikasi disebabkan oleh CMV, antara lain, viral syndrome, hepatitis, pneumonitis, dan kolitis. Ebstein-Barr Virus dapat menyebabkan Post-transplant Lymphoproliferative Disorder (PTLD). Infeksi HSV pasien transplan hati akan memberikan manifestasi klinis yang lebih berat dan respon terapi yang lambat. Makalah ini bertujuan untuk membuat protokol evaluasi infeksi virus pada saat uji tapis, pencegahan dan tata laksana antivirus untuk pasien transplantasi hati.
Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia Mulya Rahma Karyanti; Sri Rezeki Hadinegoro
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.424-32

Abstract

Dengue berdarah dengue yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypty masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Di Indonesia, demam berdarah dengue mulai dikenal pertama kali pada tahun 1968 di DKI Jakarta dan Surabaya, dan terus menyebar ke seluruh tiga puluh tiga propinsi di Indonesia. Pola epidemiologi infeksi dengue mengalami perubahan dari tahun ke tahun, jumlah kasus memuncak setiap siklus 10 tahunan. Dari tahun 1968-2008 angka kesakitan demam berdarah dengue terus meningkat. Pada tahun 2008 didapatkanangka kesakitan 58,85/ 100.000 penduduk. Angka kematian menurun dengan stabil dari 41% pada tahun 1968 menjadi kurang dari 2% sejak tahun 2000, dan pada tahun 2008 angka kematian menurun menjadi 0,86%.Semua serotipe virus dengue ditemukan di Indonesia, namun serotipe virus den-3 masih dominan menyebabkan kasus dengue yang berat dan fatal. Surveilans epidemiologi, dukungan edukasi masyarakat dan program pengendalian vektor diperlukan untuk mencegah transmisi. Pengembangan vaksin dengue merupakan salah satu upaya mencegah penyakit dengue.
Clinical manifestations and hematological and serological findings in children with dengue infection Mulya Rahma Karyanti
Paediatrica Indonesiana Vol 51 No 3 (2011): May 2011
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.274 KB) | DOI: 10.14238/pi51.3.2011.157-62

Abstract

Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) is endemic to Indonesia and remains a public health problem, with its highest incidence in children. There have been few reports on the clinical, hematological and serological data in children \\lith dengue.Objective To assess the clinical and laboratory profiles of children \\lith dengue infection in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.Methods Clinical, hematological and serological infonnation from children diagnosed v.ith dengue infection in Cipto Mangunkusumo Hospital were collected from 2007 to 2009.Results Of611 children admitted with dengue, 143 (23.4%) had dengue fever (DF), 252 (41.2%) had DHF grades I and II; and 216 (35.4%) had DHF grades III and IV. Of the 81 cases where dengue serotypes were identified, 12.3% were DENV1, 35.8% were DENV-2, 48.2% were DENV-3 and 3.7% were DENV-4. Mean age of subjects was 8.9 years (SD 4.4), and 48.4% of cases were boys. The mean length of fever before hospital admission was 4.2 days (SD 1.1) and mean length of stay in the hospital was 4 days (SD 2.7). Common symptoms observed were petechiae, hepatomegaly and epistaxis. Complications found mostly in those with dengue shock syndrome (DSS) were hematemesis (30 cases, 4.9% of all patients), encephalopathy (19 cases, 3.1 %) and melena (17 cases, 2.8%).Conclusion Signs and symptoms of fever, bleeding manifestations and thrombocytopenia were present in children 'With DF and DHF, while signs of increased vascular permeability were found only in those 'With DHF. Encephalopathy and gastrointestinal bleeding were found mostly in DSS cases. At admission, leukopenia was found in more DF patients than in DHF patients. Absence of leukopenia may be a sign of more severe dengue infection. 
The effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in dengue hemorrhagic fever Mulya Rahma Karyanti; Hindra Irawan Satari; Damayanti Rusli Sjarif
Paediatrica Indonesiana Vol 45 No 2 (2005): March 2005
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi45.2.2005.81-6

Abstract

Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causeshepatocelullar impairment. In management of DHF, World HealthOrganization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate(RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition toplasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence notburdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly inthe liver, thus placing a burden on the liver.Objective To compare aminotransferase changes as markers ofhepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL inthe management of DHF with and without shock.Methods This study was a double-blind randomized controlledtrial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto MangunkusumoHospital who had not received prior treatment with crystalloids orcolloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA orRL intravenously. Aminotransferase levels were examined on thefirst, second and third weeks from the onset of fever.Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria wereenrolled in this study, consisting of those without and with shock.Mean transaminase levels of patients without shock in the RA andRL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels ofpatients with shock in the RA group were lower than those in theRL group, but this difference was not significant statistically. Meanalteration of transaminase levels in patients with and without shockwere not significantly different.Conclusion In DHF without shock, there is no significant differ-ence between aminotransferase level changes of patients receiv-ing RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferaselevels of patients receiving RA tend to be lower than those receiv-ing RL, but this difference is insignificant
A comparison of axillary and tympanic membrane to rectal temperatures in children Tania Paramita; Mulya Rahma Karyanti; Soedjatmiko Soedjatmiko; Aryono Hendarto; Dadi Suyoko; Abdul Latief
Paediatrica Indonesiana Vol 57 No 1 (2017): January 2017
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.343 KB) | DOI: 10.14238/pi57.1.2017.47-51

Abstract

Background Core body temperature measurement is not commonly done in pediatric populations because it is invasive and difficult to perform. Therefore, axillary and tympanic membrane temperature measurements are preferable, but their accuracy is still debatable.Objective To compare the accuracy of axillary and tympanic temperatures to rectal temperature in children with fever, and to measure the cut-off point for fever based on each temperature measurement method.Methods A diagnostic study was conducted among feverish children aged 6 months to 5 years who were consecutively selected from the Pediatric Outpatient Clinic, Pediatric Emergency Unit, and the inpatient ward in the Department of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH), from December 2014 to January 2015. Subjects underwent three measurements within a two minute span, namely, the axillary, tympanic membrane, and rectal temperature measurements. The values obtained from the examination were analyzed with appropriate statistical tests.Results The cut-off for fever on axilla was 37.4oC and on tympanic membrane was  37.4oC, with sensitivity 96% (95%CI 0.88 to 0.98) and 93% (95%CI 0.84 to 0.97), respectively; specificity 50% (95%CI 0.47 to 0.84) and 50% (95%CI 0.31 to 0.69), respectively; positive predictive value/PPV 90% (95%CI 0.81 to 0.95) and 85% (95%CI 0.75 to 0.91), respectively; and negative predictive value/NPV 83% (95%CI 0.61 to 0.94) and 69% (95%CI 0.44 to 0.86), respectively. The optimal cut-off of tympanic membrane and axilla temperature was 37.8oC (AUC 0.903 and 0.903, respectively).Conclusion Axillary temperature measurement is as good as tympanic membrane temperature measurement and can be used in daily clinical practice or at home. By increasing the optimum fever cut-off point for axillary and tympanic membrane temperature to 37.8oC, we find sensitivity 81% and 88%, specificity 86% and 73%, PPV 95% and 91%, and NPV 95% and 91%, respectively. 
Hepatitis B seroprotection in children aged 10-15 years after completion of basic hepatitis B immunizations Novie Homenta Rampengan; Sri Rezeki Hadinegoro; Mulya Rahma Karyanti
Paediatrica Indonesiana Vol 57 No 2 (2017): March 2017
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.24 KB) | DOI: 10.14238/pi57.2.2017.76-83

Abstract

Background The prevalence of hepatitis B viral (HBV) infection in Indonesia is high. The most effective way to control HBV infection is by hepatitis B (HB) immunization. Many studies reported that hepatitis B surface antibody (anti-HBs) seroprotection declines in children > 10 years of age. In addition many factors can influence anti-HBs titer.Objective To measure anti-HBs titer and evaluate possible factors associated with anti-HBs titer.Methods This cross sectional  study was conducted in children 10-15 years of age from ten schools at Tuminting District, Manado, North Sulawesi, from October to November 2014. All subjects had completed the hepatitis B immunization scheme. By stratified random sampling, 105 children were selected as subjects. Data was analyzed with SPSS version 22.Results. From 48 schools, we selected 10 schools from which to draw a total of 105 children, but only 23 (21.9%) children had detectable anti-HBs . Of all subjects, 76 (72.4%)  were female, 78 (74.3%)  had good nutritional status, and 98 (93.3%)  had birth weight ≥2,500 grams. Data from immunization record books showed that 26 (24.8%) subjects received the HB-1 vaccination at ≤7 days of age and 45 (42.9%) subjects had a ≥2 month interval between the HB-2 and HB-3 vaccinations. Multivariate analysis showed that administration of HB-1 at ≤7 days of age  and a ≥2 month interval between HB-2 and HB-3  had significant associations with anti-HB seroprotection in children.Conclusion A low proportion of subjects who had completed the hepatitis B immunization scheme had detectable anti-HBs titer (21.9%). Administration of HB-1 at ≤7 days of age and a ≥2-month interval between HB-2 and HB-3 vaccinations are important factors in anti-HB seroprotection in children aged 10-15 years.