I Made Oka Adnyana
Department Of Neurology, Faculty Of Medicine, Udayana University/Sanglah General Hospital, Bali, Indonesia

Published : 28 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

CARDIAC CEPHALALGIA Adriana Marsha Yolanda; I Made Oka Adnyana
Callosum Neurology Vol 3 No 2 (2020): Callosum Neurology Journal
Publisher : The Indonesia Neurological Association Branch of Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (136.603 KB) | DOI: 10.29342/cnj.v3i2.108

Abstract

Cardiac cephalalgia merupakan nyeri kepala seperti migraine, umumnya namun tidak selalu diperberat dengan aktivitas fisik, timbul selama peristiwa myocardial ischaemia, membaik dengan pemberian nitroglycerine. Cardiac cephalalgia merupakan kasus nyeri kepala yang jarang namun dapat mempengaruhi aspek biopsikososial dan kualitas hidup penderita. Berdasarkan The Internasional Classification of Headache Disorder (ICHD), cardiac cephalalgia digolongkan ke dalam nyeri kepala sekunder yang terkait dengan kelainan homeostasis. Artikel ini membahas pengetahuan terbaru mengenai cardiac cephalalgia terkait definisi, epidemiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, serta pilihan terapinya dengan melakukan pencarian, review dan telaah serta menyimpulkan berbagai literatur terbaru terkait hal tersebut. Cardiac cephalalgia sering ditemukan pada usia dekade lima. Penegakkan diagnosis berdasarkan nyeri kepala yang berkaiatan dengan adanya myocardial ischaemia, dan berespon baik dengan pemberian nitroglycerine. Penatalaksanaan cardiac cephalalgia menitikberatkan pada penanganan myocardial ischaemia. Nitroglycerine merupakan pilihan utama untuk nyeri kepala Kata Kunci : Cardiac Cephalalgia, Nyeri Kepala Sekunder, Myocardial Ischaemia
Penatalaksanaan Medication-overuse Headache Ni Made Yuli Artini; I Made Oka Adnyana
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 9 (2014): Diabetes Mellitus
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i9.1104

Abstract

Medication-overuse Headache (MOH) adalah nyeri kepala kronik akibat penggunaan berlebihan analgesik, triptan, atau kombinasi obat nyeri kepala lain. Patofisiologi MOH belum jelas, diduga ada peranan faktor genetik, fisiologi dan regulasi reseptor, serta faktor psikologis. Tujuan pengobatan MOH adalah mengurangi frekuensi dan atau keparahan nyeri kepala, mengurangi konsumsi obat akut, memperbaiki respon terhadap obat akut dan obat preventif, mencegah kecacatan dan memperbaiki kualitas hidup. Langkah-langkah pencegahan termasuk membatasi konsumsi obat, menghindari kafein dan obat-obatan mengandung kafein atau kodein. Profilaksis dini mungkin diperlukan. Penanganan MOH meliputi edukasi pasien serta withdrawal obat. Pasien diikuti secara teratur untuk mencegah kambuh, terutama di tahun pertama setelah withdrawal.Medication-overuse Headache (MOH) is a chronic headache caused by overuse of analgesics, triptans, or other drugs. Pathophysiology of MOH is unknown, presumably influenced by genetics, physiology and regulation of the receptor, as well as psychological factors. The goal of MOH treatment is to reduce the frequency and/or severity of headache, to reduce acute drug consumption, to improve response to acute and preventive treatment, to prevent disability and improve quality of life. Measures to prevent MOH include limiting drugs consumption, avoiding caffeine and medications containing caffeine or codeine. Early prophylaxis either with medication or behavioral therapy may be necessary. Management consists of patient education and drug withdrawal. Patients should be followed regularly, especially in the first year, to prevent relapse.
Karakteristik metastasis tulang belakang di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah P. Gde Daniswara Raditya Rahman; Ni Putu Witari; Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi; I Made Oka Adnyana
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.139 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1002

Abstract

Introduction: Spinal metastases constitute 90% of spine tumors. Primary tumors  originate from a variety of malignancies. However, there are no data on the characteristics of spinal metastases in the local population. This study collected data from one of the Tertiary hospitals in Bali to be used as a reference for the initial description regarding the characteristics of spinal metastases.Methods: A cross-sectional descriptive study was conducted by collecting medical record data of patients with spinal metastases at the Sanglah General Hospital for a year (January–December 2019) by total sampling.Results: This study obtained 39 samples. Most primary cancers that metastasize to the spine were lung cancers (30.77%), followed by multiple myeloma (10.26%), prostate cancer (7.69%), and colorectal cancer (5.13%). There were also contributions from breast, cervix, bladder, thyroid, lymphoma, nasal cavity, acute myeloid leukemia, and plasmacytoma. There were 25.64% cases where the primary cancer was unknown. Most of the metastases were in the thoracic segment (35.90%), followed by the lumbar region (28.21%) and the cervical region (12.82%). There were still many lesions that were less visible or unclear (38.46%). Patients generally experienced sensory (94.87%) and motor (92.31%) deficit. Sensory disturbances include paresthesia, hypesthesia and pain. Meanwhile, motor deficit include parapharesis, paraplegia, and tetrapharesis depending on the location of the lesion. Other disorders were related to the autonomic nerves (56.41%) such as defecation and urination problem.Conclusion: Most of the patients aged ?60 years and male. Spinal metastases frequently found in lung cancer patient. There was a high percentage cases with unknown primary origin. In general, the lesions were found in the thoracic and lumbar segments. There were many lesions which unclear or less visible in location. Almost all patients had sensory and motor deficit and only about half of patients had autonomic disorders.  Pendahuluan: Metastasis tulang belakang merupakan 90% kasus tumor pada tulang belakang. Tumor primer dapat berasal dari berbagai keganasan. Akan tetap, belum ada data karakteristik metastasis tulang belakang di populasi lokal. Penelitian ini mengumpulkan data dari salah satu rumah sakit Tersier di Bali untuk dapat menjadi acuan gambaran awal terkait karakteristik metastasis tulang belakang.Metode: Penelitian deskriptif potong lintang dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medis pasien dengan metastasis tulang belakang di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah selama satu tahun (bulan Januari - Desember 2019) secara total sampling.Hasil: Penelitian ini mendapatkan 39 sampel. Kanker primer terbanyak yang bermetastasis ke tulang belakang adalah kanker paru (30,77%), lalu disusul dengan multiple myeloma (10,26%), kanker prostat (7,69%), dan kanker kolorektal (5,13%). Terdapat pula kontribusi dari kanker payudara, serviks, buli, tiroid, limfoma, cavum nasi, leukemia myeloid akut, dan plasmasitoma. Terdapat 25,64% kasus tidak ditemukan lokasi kanker primernya. Lokasi metastasis paling banyak pada segmen thorakal (35,90%) kemudian regio lumbal (28,21%) dan regio servikal (12,82%). Masih banyak lesi yang kurang terlihat atau tidak jelas (38,46%). Pasien secara umum mengalami gangguan sensorik (94,87%) dan motorik (92,31%). Gangguan sensorik termasuk parestesia, hipestesia, dan rasa nyeri. Sedangkan gangguan motorik termasuk paraparesis, paraplegia, dan tetraparesis tergantung dari letak lesi. Gangguan lainnya yaitu gangguan pada saraf otonom (56,41%) dengan kelainan seperti gangguan buang air besar dan berkemih.Simpulan: Sebagian besar pada pasien usia ?60 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Metastasis tulang belakang cenderung lebih sering pada penderita kanker paru. Selain lokasi primer tersebut, terdapat persentase tinggi dimana tidak ditemukannya dari lokasi kanker primer. Pada umumnya hasil lesi terdapat pada segmen thorakal dan segmen lumbal. Masih banyak pula lesi ini masih kurang terlihat atau tidak jelas lokasinya. Pada umumnya pasien memiliki gangguan sensorik dan motorik serta hanya sekitar setengah pasien mengalami gangguan otonom.
HIGH-INTENSITY LASER THERAPY TO TREAT NEUROPATHIC PAIN IN POST-HERPETIC NEURALGIA Richard Suherlim; I Putu Eka Widyadharma; I Made Oka Adnyana; Anak Agung Ayu Suryapraba
MNJ (Malang Neurology Journal) Vol. 9 No. 1 (2023): January
Publisher : PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Malang) - Indonesian Neurological Association Branch of Malang cooperated with Neurology Residency Program, Faculty of Medicine Brawijaya University, Malang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.mnj.2023.009.01.14

Abstract

Post-herpetic neuralgia (PHN) is chronic neuropathic pain that is felt for at least 3 months or more at the site of the rash due to herpes zoster infection. Epidemiological studies get a prevalence of 0.49 cases of PHN per 1000 people per year. The clinical manifestation of PHN is chronic pain on the skin lesions due to herpes zoster infection. The therapy that is commonly used as the first line is the provision of pharmacotherapy such as gabapentin or pregabalin. An 83-year-old male patient with a diagnosis of PHN that had been felt for 5 years. He has been taking drugs for 5 years but the pain has not improved. The patient is given high-intensity laser therapy. After 5 treatments with an interval of 1-2 weeks, pain was significantly reduced from an 8/10 scale to 4/10. The frequency of occurrence of severe pain is also reduced from 5 times per day to only 1 time per day. The use of high-intensity laser therapy is not commonly used as a therapy for PHN. Based on its mechanism of action, the use of high-intensity laser therapy is worth considering because of its effectiveness in treating pain in a shorter time than low-intensity laser therapy.
Characteristics and Prevalence of Headaches in Using Devices During Online Learning in Medical Students at Udayana University Ni Putu Mira Kardila Dewi; Ida Ayu Sri Wijayanti; I Gusti Ngurah Ketut Budiarsa; I Made Oka Adnyana
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 12 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Nyeri kepala primer banyak dialami oleh mahasiswa kedokteran, salah satunya disebabkan oleh pembelajaran daring selama pandemi Covid-19, sehingga perlu untuk mencari tahu karakteristiknya. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik dan prevalensi tipe nyeri kepala primer pada penggunaan gawai selama belajar daring. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan studi potong lintang, dilakukan pada bulan Januari-Agustus 2021. Total sampel 86 responden mahasiswa kedokteran Universitas Udayana angkatan 2018, 2019, 2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi menggunakan non-probability sampling. Jenis gawai yang paling banyak digunakan adalah komputer atau laptop sebanyak 68 responden (79%). Konten yang paling banyak dibuka selama belajar daring adalah media sosial sebanyak 57 responden (57%). Durasi menggunakan gawai selama belajar daring terbanyak yaitu 5-7 jam sebanyak 42 responden (48.8%). Aktivitas fisik yang dilakukan dalam seminggu terbanyak adalah <2x selama >15 menit sebanyak 34 responden (39.5%). Posisi leher saat menatap layar gawai terbanyak dengan kemiringan 15o yaitu 44 responden (51.2%). Keluhan mata dialami oleh 50 responden (58.1%). Tipe nyeri kepala primer terbanyak adalah TTH sebanyak 52 responden (60.5%). Karakteristik nyeri kepala primer dalam penggunaan gadget berdasarkan prevalensinya diperoleh jenis gawai terbanyak yang digunakan adalah komputer atau laptop. Media sosial merupakan konten terbanyak yang dibuka, dengan durasi penggunakan gawai selama belajar daring 5-7 jam. Aktivitas fisik yang dilakukan dalam seminggu terbanyak <2x selama >15 menit. Posisi leher saat menatap layar gawai dengan kemiringan 15o dan lebih banyak responden mengalami keluhan mata. Tipe nyeri kepala primer terbanyak adalah TTH. Kata kunci : Nyeri Kepala, Gawai, Daring
Tension-type Headache and Migraine as Manifestations of Chronic Post-Traumatic Headache Eric Hartono Tedyanto; -I Made Oka Adnyana; I Putu Eka Widyadharma
Cermin Dunia Kedokteran Vol 50 No 2 (2023): Penyakit Dalam
Publisher : PT Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v50i2.528

Abstract

Introduction: A subsequent headache within seven days of a head injury (or after regaining consciousness after the head trauma)is referred to as a post-traumatic headache (PTHA); it is referred to as chronic or chronic post-traumatic headache (CPTHA) if it lasts longer than three months after the injury. Case : A 17-year-old male with headache since 3 months ago, 3 days after suffered a blow to his left head from falling from a chair. At that time, the patient fainted for about 15 minutes but had no complaints after regained consciousness. Pain is felt on the left side of the head, throbbing, mild-moderate intensity, and feels heavier with a loud sound or a too-bright light. Discussion: Post-traumatic headache is clinically diagnosed. Laboratory and routine diagnostic imaging studies are unnecessary and have minimal clinical utility. Conclusion: Chronic post-traumatic headaches often occur, especially after minimally traumatic brain injury. The clinical picture is variable and may be similar to tension-type headaches and/or migraines.   Pendahuluan: Nyeri kepala dalam tujuh hari setelah cedera kepala atau setelah sadar kembali dari trauma kepala disebut nyeri kepala pasca-trauma (post-traumatic headache/PTHA); disebut sakit kepala pasca-trauma kronis atau kronis (CPTHA) jika berlangsung lebih dari tiga bulan setelah cedera. Kasus: Seorang laki-laki berusia 17 tahun dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 bulan, 3 hari setelah kepala kiri terbentur karena jatuh dari kursi. Saat itu, pasien pingsan sekitar 15 menit, tidak ada keluhan setelah sadar. Nyeri dirasakan di sisi kiri kepala, berdenyut, intensitas ringan-sedang, terasa lebih berat jika ada suara keras atau cahaya terlalu terang. Diskusi: Nyeri kepala pasca-trauma didiagnosis secara klinis. Laboratorium dan studi pencitraan diagnostik rutin tidak diperlukan dan memiliki utilitas klinis minimal. Simpulan: Nyeri kepala pasca-trauma kronis sering terjadi, terutama setelah cedera otak traumatis minimal. Gambaran klinisnya bervariasi dan dapat mirip nyeri kepala tipe tegang dan/atau migrain  
Headache in healthcare workers related to personal protective equipment use in COVID-19 referral hospital Ida Ayu Sri Wijayanti; Ni Putu Ayu Putri Mahadewi; Putu Gede Sudira; Kumara Tini; Ni Made Susilawathi; I Made Oka Adnyana
Universa Medicina Vol. 42 No. 1 (2023)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2023.v42.52-60

Abstract

BackgroundStudies show that wearing personal protective equipment (PPE) for long periods of time can lead to discomfort such as headaches, which could affect the performance of healthcare workers. The aim of this study was to determine the prevalence and risk factors of headaches related to PPE in healthcare workers at a COVID-19 referral hospital. MethodsA cross-sectional study was conducted involving 174 healthcare workers in a COVID-19 referral hospital in Bali. We conducted interviews using a questionnaire that consisted of three main parts: characteristics of the subjects, PPE usage, and PPE-associated headaches. A multiple logistic regression was used to analyze the data. ResultsThe analysis results showed that the PPE-associated headaches had a prevalence of 63.8% and were gradual in onset, pressure-like in quality (46%), and mild in intensity (80.1%). PPE level III-associated headache was the most common type. The majority of the participants had headaches up to 6 hours after using the protective gear, but improving within 15-30 minutes of removal and/or after pharmacotherapy. A Chi-squared analysis showed a statistically significant association between duration of PPE use, working units, and PPE levels (p<0.05). A logistic regression analysis found a significant relationship between PPE level and headache occurrence (OR=4.826;95%CI: 2.433-9.572; p<0.001). ConclusionThe frequency of PPE-associated headache was high and the PPE level was a risk factor of headache among healthcare workers. Better strategies are needed to reduce the duration of PPE exposure so that the work performance and quality of life of healthcare workers are not significantly affected.
PROPORSI DAN PERBEDAAN KARAKTERISTIK KUALITAS TIDUR MAHASISWA PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN Putu Diva Pranitha; I.A. Sri Indrayani; I Putu Eka Widyadharma; I Made Oka Adnyana
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 4 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tidur dianggap sebagai kebutuhan manusia yang berupa istirahat secara alami yang untuk kesehatan tubuh. Kualitas tidur yang buruk memengaruhi fungsi kognitif, kesehatan fisik, penurunan konsentrasi, serta berbagai masalah lainnya. Kualitas tidur buruk banyak ditemukan pada mahasiswa, disebabkan oleh berbagai hal yang mampu mengganggu kualitas tidur. Penelitian ini tergolong sebagai penelitian deskriptif analitik yang bertujuan agar mengetahui proporsi dan perbedaan karakteristik kualitas tidur mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran berdasarkan pendekatan cross sectional. Sampel melibatkan mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran. Kualitas tidur dinilai dengan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), serta kuesioner berbagai faktor yang memengaruhi kualitas tidur. Data diolah serta dianalisis secara univariat supaya mengetahui distribusi frekuensi, serta analisis chi square untuk melihat perbedaan secara statistik. Total skor PSQI sebanyak 97 sampel dalam rentang 2-16 dengan rata-rata 9,35 yang menunjukkan kualitas tidur buruk. Uji statistik didapatkan bahwa perbedaan kualitas tidur yang signifikan terjadi pada pernyataan olahraga secara teratur (p=0,018), dapat tidur nyenyak walaupun sedang menghadapi masalah (p = 0,008), mengonsumsi kopi sebelum tidur (p=0,015), merokok sebelum tidur (p = 0,001), minum banyak air sebelum tidur (p = 0,030), dan mengonsumsi susu sebelum tidur (p = 0,029). Mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran memiliki kualitas tidur yang buruk, sehingga ditemukan perbedaan kualitas tidur yang signifikan secara statistik di pernyataan-pernyataan tersebut.