Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A Dan Zat Besi Sebagai Fortifikan (The Chance of Aplication Microencapsulat Vitamin A and Iron as Fortificants) Sugiyono Sugiyono; Windi Asterini; Endang Prangdimurti
JURNAL PANGAN Vol. 25 No. 1 (2016): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v25i1.306

Abstract

Vitamin A dan zat besi termasuk salah satu zat gizi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh. Kekurangan asupan dan absorbsi zat gizi mikro dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan, pertumbuhan, dan fungsi lainnya di dalam tubuh. Program fortifikasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah defisiensi vitamin A dan zat besi. Kedua mikronutrien ini sering digunakan menjadi fortifikan akan tetapi masing-masing senyawa ini memiliki reaksi negatif di dalam bahan pangan. Vitamin A merupakan senyawa yang rentan terhadap suhu tinggi, cahaya dan udara (oksigen), sedangkan zat besi dapat menghasilkan efek negatif pada sensori (bau dan warna) pangan fortifikasi. Perlindungan fortifikan dari pengaruh lingkungan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan program fortifikasi. Salah satu caranya ialah dengan menggunakan teknologi enkapsulasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa fortifikasi dengan menggunakan teknik mikroenkapsulasi menghasilkan fortifikasi yang lebih stabil, tidak merubah bahan pangan pembawa fortifikan secara fisik dan kimia. Oleh karena itu pembuatan mikroenkapsulasi fortifikan dinilai lebih efisien dan efektif dalam mengatasi masalah defisiensi zat gizi mikro.Vitamin A and iron are essential micronutrients needed by the body. Deficiency of intake and absorption of micronutrients can lead to disturbances in health, growth and other functions in the body. Fortification is one of the government programs to cope with the deficiency of vitamin A and iron. Both compounds are often used as fortificants, but their present promotes undesirable reaction in foodstuffs. Vitamin A is susceptible to high temperature, light and air (oxygen), while iron can result in detrimental effects on the color and smell. Therefore, the protection of fortificants against environmental effect in food system is highly required, and encapsulation is a promising technique. Previous studies showed that microencapsulation technique produced more stable compounds and unchanged chemical and physical characteristics of fortified food. For this reason, microencapsulation in fortified food is considered as efficient and effective way in addressing micronutrient deficiencies. 
Efisiensi Proses Produksi dan Karakteristik Tempe dari Kedelai Pecah Kulit (Production Process Efficiency and Characteristic of Tempe from Dehulled Soybean) Intan Kusumawati; Made Astawan; Endang Prangdimurti
JURNAL PANGAN Vol. 29 No. 2 (2020): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33964/jp.v29i2.492

Abstract

Tempe merupakan salah satu pangan fermentasi yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Proses produksinya diperoleh secara turun-temurun, sehingga sangat beragam antar wilayah dan antar perajin.  Salah satu keragaman pada pembuatan tempe adalah penggunaan kedelai pecah kulit sebagai bahan bakunya. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efisiensi proses produksi dan karakteristik tempe yang terbuat dari kedelai pecah kulit dan kedelai utuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses produksi tempe dari kedelai pecah kulit cenderung lebih efisien dibandingkan tempe dari kedelai utuh, yaitu masing-masing dengan B/C 1,89 dan 1,88. Produksi tempe dari kedelai pecah kulit secara nyata mengurangi komponen biaya untuk penggunaan tenaga kerja dan air per batch produksi. Uji T menunjukkan tempe yang terbuat dari kedelai utuh mempunyai kadar air, abu, protein, aroma, daya iris dan kekerasan yang nyata lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan tempe dari kedelai pecah kulit. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kedua tempe pada kadar lemak, karbohidrat, isoflavon (daidzein dan genistein), dan atribut warna.Tempe is a popular fermented food in Indonesia which the production process is obtained by generations, so it is very varies between regions and producers. One of the variations is use dehulled soybean as raw material. The purpose of this study was to compare the production process efficiency and characteristics of tempe from dehulled soybean and whole soybean. The results of study showed that production process of tempe from dehulled soybean was tends more efficient than tempe from whole soybean, with B/C ratio were 1,89 and 1,88. Production process of tempe from dehulled soybean significantly reduced the cost for labor and water per bacth production. Based on the T-test, tempe from whole soybean more higher (p<0,05) in moisture, ash, and protein contents, aroma and texture than tempe from dehulled soybean. Besides that, tempe from dehulled soybean had fat and isoflavone (daidzein and genistein) contents, and color as high as whole soybean tempe.
Potensi rumput laut: Kajian komponen bioaktif dan pemanfaatannya sebagai pangan fungsional Erniati Erniati; Fransiska Rungkat Zakaria; Endang Prangdimurti; Dede Robiatul Adawiyah
Acta Aquatica: Aquatic Sciences Journal Acta Aquatica: Aquatic Sciences Journal, Vol. 3: No. 1 (April, 2016)
Publisher : Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aa.v3i1.332

Abstract

Rumput laut merupakan sumber daya hayati yang sangat berlimpah di perairan Indonesia. Namun demikian pemanfaatannya untuk pengolahan produk pangan sangat terbatas, terutama untuk produk pangan fungsional. Rumput laut berpotensi dikembangkan sebagai produk pangan fungsional karena mengandung zat gizi dan komponen bioaktif yang berkhasiat untuk kesehatan. Rumput laut mengandung sejumlah komponen bioaktif seperti senyawa fenolik, pigmen alami, polisakarida sulfat, serat dan komponen bioaktif lainnya yang telah diteliti berkhasiat untuk kesehatan. Untuk dapat dikembangkan sebagai produk pangan fungsional, rumput laut yang digunakan harus bebas dari cemaran logam berat dan bahan pencemar lainnya, harus mengandung komponen bioaktif dan zat gizi yang tinggi sehingga harus ada penerapan standar penanaman dan penanganan pasca panen yang baik di tingkat petani rumput laut. Selain itu Proses pengolahan pangan yang diterapkan tidak merusak komponen bioaktif yang terkandung dalam rumput laut. Optimalisasi pengolahan rumput laut sebagai produk pangan fungsional merupakan alternative pemanfaatan potensi rumput laut Indonesia yang dapat meningkatkan nilai ekonomi rumput laut dan yang lebih penting dapat menyediaakan akses pangan sehat bagi masyarakat luas.Seaweed is a living resource that is abundantly available in Indonesian water. However, its utilization in food processing is very limited, especially as functional food products. Seaweed has the potential to be developed as functional food products because it has nutrient and bioactive components that are beneficial for health. Seaweed has a number of bioactive components such as phenolic compound, natural pigment, polysaccharide sulphate, fiber and other bioactive components that has been studied to be advantageous for health. For a seaweed to be developed into functional food product, it must be free from heavy metal and other pollutant contamination, and must contain bioactive components and high nutrients, thus, a good cultivation and postharvest handling standard have to be applied in seaweed farmer level. Moreover, the food processing applied should not damage the bioactive component within the seaweed. Optimization of seaweed processing into functional food product is an alternative for seaweed potential utilization in Indonesia, which could improve the economic value of the seaweed, and more importantly it could provide access for healthy food for community.
Penentuan Struktur Tiga Dimensi dan Profil Hasil Hidrolisis Protein Alergen Arginin Kinase Secara in silico Indria Mahgfirah; Endang Prangdimurti; Nurheni Sri Palupi; Hendra Wijaya
Warta Industri Hasil Pertanian Vol 39, No 1 (2022)
Publisher : Balai Besar Industri Agro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32765/wartaihp.v39i1.7612

Abstract

Alergi pangan ialah suatu reaksi hipersensitivitas melalui mekanisme imunologis setelah terpapar alergen dari suatu bahan pangan. Arginin kinase dengan kode alergen (Pen m 2) merupakan alergen yang terdapat di bahan pangan udang windu (Penaeus monodon) dan dapat memicu terjadinya alergi. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan struktur tiga dimensi dan mendapatkan profil hidrolisat arginin kinase secara in silico. Metode penelitian dengan tahap pertama ialah pencarian identitas dan karakteristik fisikokimia arginine kinase berupa family, berat molekul, nilai pI teoritis, nilai grand average of hidropathicity (GRAVY) dan indeks kestabilan. Selanjutnya tahap kedua ialah penentuan struktur tiga dimensi. Tahap ketiga ialah memprediksi profil hasil hidrolisis protein alergen arginin kinase secara enzimatis (pepsin, tripsin dan kimotripsin) dan non-enzimatis (asam format). Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Pen m 2 merupakan family ATP:guanido phosphotransferase dengan pola kinase fosfagen. Struktur tiga dimensi Arginin kinase (Pen m 2) memiliki hasil identitas sekuens 96,91% dan nilai Ramachandran favoured ialah 97,18%. Hidrolisis arginin kinase menggunakan enzim pepsin, kimotripsin dan tripsin menghasilkan peptida terpanjang 11 asam amino (berat molekul 1210 Da), sehingga menunjukkan penurunan alergenisitas arginin kinase (Pen m 2). Hidrolisis menggunakan asam format menghasilkan peptida terpanjang ialah 69 asam amino (berat molekul 7590 Da) yang masih berpotensi alergenik.