Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan Retno Wulan, Tyas
SODALITY: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol 1, No 1 (2007)
Publisher : SODALITY: Jurnal Sosiologi Pedesaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (13.556 KB)

Abstract

Gerakan feminisme dan ekologi mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan dominasi. Pada titik inilah kajian ekofeminisme sebagai relasi antara feminisme dan ekologi menjadi krusial dibahas. Untuk merunut hal tersebut, kajian ini mempertanyakan: 1. Bagaimana proses terjadinya reproduksi pengetahuan yang justru memposisikan perempuan (sebagai korban terbesar dalam kerusakan lingkungan) namun justru dituntut untuk bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan; 2. Merunut akar gerakan dan tipologi ekofeminisme serta bagaimana formulasi ke depan atau gerakan ekofemisme seperti apakah yang mampu meminimalisir “unequal power relations” dalam reproduksi pengetahuan lingkungan? Hasil kajian menunjukkan bahwa reproduksi pengetahuan tidak pernah bebas nilai, namun selalu dikonstruksi oleh kelompok yang berkuasa, sehingga kajian feminisme pascakolonial menemukan relevansi untuk mendekonstruksi reproduksi pengetahuan bagi kelompok subordinat (lokal, miskin dan perempuan) di dunia ketiga. Terdapat beberapa pandangan dalam ekofeminisme. Aliran keras ekofeminisme (sosialis) menuduh bahwa laki-laki yang paling banyak berperan dalam merusak alam, apalagi bila dikaitkan dengan karakter maskulin dan budaya patriarki. Kaum feminis moderat (spiritualis) mengusulkan bahwa cara berelasi manusia dengan yang non manusia harus dikaji ulang. Pada titik ini penulis memilih ekofeminisme transformatif yang memberi “ruang berpikir" tempat perempuan dan laki-¬laki dari seluruh dunia dapat berkumpul untuk bergabung dan bertukar pandangan feminis yang beragam sekaligus ada semangat agar bekerja sama melawan patriarki kapitalis dan isme-isme destruktif lain. Pada titik ini ekofeminisme transformatif secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan jender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki
PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI PEDESAAN(Studi Tentang Perilaku Seks dan Reproduksi Sehat Remaja di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas)THE SEXUAL BEHAVIOUR OF THE ADOLESCENCE IN RURAL SOCIETY(Study about Sex Behaviour and The Reproduction Health of The Adolescence in Kedungbanteng District, Banyumas Regency) Wulan, Tyas Retno; , Muslihudin
Pembangunan Pedesaan Vol 3, No 2 (2003)
Publisher : Pembangunan Pedesaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku seksual para remaja di daerah pedesaan serta bagaimana pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas dengan sasaran para remaja yang berusia 10-24 tahun. Mengingat persoalan seks masih dianggap persoalan yang sensitif, informan dijaring dengan teknik snowball sampling. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan observasi. Informan berjumlah 13 orang, terdiri dari 5 orang perempuan dan 8 orang laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan para remaja tentang kesehatan reproduksi sangat tidak memadai dan lebih banyak dipenuhi oleh mitos yang mereka yakini. Perilaku seks para informan, juga tidak bisa lepas dari bagaimana masyarakat mengkonstruksikan seksualitas laki-laki dan perempuan. Namun semua informan beranggapan bahwa hubungan seks yang dilakukan sebelum menikah, apalagi sampai menimbulkan kehamilan merupakan aib yang harus dihindari, mengingat kontrol sosial masyarakat desa yang masih cukup tinggi. Mengingat minimnya pengetahuan para remaja pada umumnya dan para orang tua di pedesaan pada khususnya terhadap kesehatan reproduksi, sudah selayaknya pendidikan seks menjadi agenda untuk ditransformasikan di pedesaan. Pendidikan seks tidak berarti mengajarkan cara untuk melakukan hubungan seks namun mengenalkan kepada para remaja fase-fase reproduksinya dan orang tua dituntut kepekaan untuk lebih memperhatikan masalah kesehatan reproduksi anak-anaknya.
Profil Pengasuh dan Masalah Anak yang Ditinggalkan (Children Left Behind) pada Keluarga Buruh Migran Indonesia di Kabupaten Banyumas WAHYUNINGSIH, ERI; Wulan, Tyas Retno
Kesmas Indonesia: Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat Vol 11 No 1 (2019): Jurnal Kesmas Indonesia
Publisher : Jurusan Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.539 KB) | DOI: 10.20884/1.ki.2019.11.1.1383

Abstract

ABSTRAK Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2012 menyatakan bahwa sekitar 7 juta buruh migran Indonesia berada di luar negeri. Sebanyak 80% dari mereka (5,6 juta) adalah wanita usia subur (18 ? 40 tahun). Dari kondisi ini diperkirakan 11,2 juta anak di Indonesia ditinggalkan oleh ibu mereka yang bekerja di luar negeri. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan untuk menempatkan keluarga BMI, khususnya anak-anak, sebagai kelompok rentan karena kurangnya kasih sayang dari salah satu atau kedua orang tua selama mereka bekerja di luar negeri, dan pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua tunggal atau pengasuh lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil anak-anak yang ditinggalkan (CLB) di antara keluarga IMW, masalah yang ditemukan di CLB dan cara mereka menangani masalah. Penelitian dilakukan pada tahun 2012-2013 di tiga kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data diperoleh dari 78 pengasuh CLB yang diwawancarai menggunakan kuesioner. Data dari tiga desa menunjukkan profil pengasuh didominasi oleh perempuan, berusia antara 26-79 tahun pendidikan antara SD - SMA, sebagian besar adalah pasangan BMI. Sedangkan profil CLB sebagian besar adalah laki-laki, berusia antara 15 bulan - 34 tahun, dan sebagian besar masih di sekolah dasar. Masalah yang paling banyak ditemukan di antara CLB adalah ketidakpatuhan, memaksakan keinginan, tidak mau makan, dan sakit selama lebih dari 3 hari.  Untuk menangani masalah-masalah tersebut pengasuh melakukan tindakan:  memarahi anak, memberikan apa yang anak-anak minta, membujuk anak-anak untuk makan, dan membawa anak-anak yang sakit ke pelayanan kesehatan. Disimpulkan bahwa CLB dirawat oleh anggota keluarga terdekat, dan masalah utama adalah  ketidakpatuhan. Disarankan kepada masyarakat di lingkungan keluarga BMI untuk menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal.
PEMETAAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGUATAN PUBLIC SPHERE DI PEDESAAN Wulan, Tyas Retno
Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak Vol 3 No 1 (2008)
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3012.245 KB)

Abstract

Long history of woman movement in Indonesia showing what woman has given special nuance to democratization learningin Indonesia. Indonesian woman movement dynamic in last two year show that they courageous to express issues about their interest.However, in reality, still much homework to enhance woman access and control in decision making at public sphere that influencingindividual life at family. We have to acknowledge that, woman movement still urban bias and only enjoyed by educated ones. Suburban orvillage woman that became largest part of Indonesian people not yet having access and control to became part of democratization process,so woman have room to own autonomy of herself on public sphere that impendent from other domination. At this point, empowerment andstruggle to bring village woman software they can develop themselves, is an urgent agenda
Village Elite Role on The Productive Migrant Village Program in Banyumas Indonesia Muslihudin, Muslihudin; Wulan, Tyas Retno; Sugiarto, Tri; Wardhianna, Sotyania; Wijayanti, Sri
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 13, No 2 (2021): September 2021
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v13i2.29144

Abstract

Within social structure inside society, there is a group called the elite group consists of small number of people who are at the top of the stratum of the community. The group has a big role in various activities in the community. Banyumas is one of the regencies that receive a Productive Migrant Village Program (PMVP) whose implementation is related to the group of village elite. The purpose of this paper is to show how the role of the village elite in the village community empowerment, especially in the implementation of the programs. The method of the research is a critical qualitative research method. The data are obtained by interview, observation, and documentation. An analysis of the study was conducted interactively. The results of the study are; 1) The implementation of the programs are driven by village elites, 2) village political elites are responsible for the success since the beginning of the program, 3) political elites and economic elites ally in the implementation of the productive migrant village program. Such pattern of village elite alliances can be used as a useful model for the success of development programs or the empowerment of rural communities, not only in the programs, but also in other community empowerment programs.
Village Elite Role on The Productive Migrant Village Program in Banyumas Indonesia Muslihudin, Muslihudin; Wulan, Tyas Retno; Sugiarto, Tri; Wardhianna, Sotyania; Wijayanti, Sri
Komunitas Vol 13, No 2 (2021): September 2021
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v13i2.29144

Abstract

Within social structure inside society, there is a group called the elite group consists of small number of people who are at the top of the stratum of the community. The group has a big role in various activities in the community. Banyumas is one of the regencies that receive a Productive Migrant Village Program (PMVP) whose implementation is related to the group of village elite. The purpose of this paper is to show how the role of the village elite in the village community empowerment, especially in the implementation of the programs. The method of the research is a critical qualitative research method. The data are obtained by interview, observation, and documentation. An analysis of the study was conducted interactively. The results of the study are; 1) The implementation of the programs are driven by village elites, 2) village political elites are responsible for the success since the beginning of the program, 3) political elites and economic elites ally in the implementation of the productive migrant village program. Such pattern of village elite alliances can be used as a useful model for the success of development programs or the empowerment of rural communities, not only in the programs, but also in other community empowerment programs.
Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan Tyas Retno Wulan
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 1 No. 1 (2007)
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.658 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v1i1.5935

Abstract

Gerakan feminisme dan ekologi mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan dominasi. Pada titik inilah kajian ekofeminisme sebagai relasi antara feminisme dan ekologi menjadi krusial dibahas. Untuk merunut hal tersebut, kajian ini mempertanyakan: 1. Bagaimana proses terjadinya reproduksi pengetahuan yang justru memposisikan perempuan (sebagai korban terbesar dalam kerusakan lingkungan) namun justru dituntut untuk bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan; 2. Merunut akar gerakan dan tipologi ekofeminisme serta bagaimana formulasi ke depan atau gerakan ekofemisme seperti apakah yang mampu meminimalisir “unequal power relations” dalam reproduksi pengetahuan lingkungan? Hasil kajian menunjukkan bahwa reproduksi pengetahuan tidak pernah bebas nilai, namun selalu dikonstruksi oleh kelompok yang berkuasa, sehingga kajian feminisme pascakolonial menemukan relevansi untuk mendekonstruksi reproduksi pengetahuan bagi kelompok subordinat (lokal, miskin dan perempuan) di dunia ketiga. Terdapat beberapa pandangan dalam ekofeminisme. Aliran keras ekofeminisme (sosialis) menuduh bahwa laki-laki yang paling banyak berperan dalam merusak alam, apalagi bila dikaitkan dengan karakter maskulin dan budaya patriarki. Kaum feminis moderat (spiritualis) mengusulkan bahwa cara berelasi manusia dengan yang non manusia harus dikaji ulang. Pada titik ini penulis memilih ekofeminisme transformatif yang memberi “ruang berpikir" tempat perempuan dan laki-¬laki dari seluruh dunia dapat berkumpul untuk bergabung dan bertukar pandangan feminis yang beragam sekaligus ada semangat agar bekerja sama melawan patriarki kapitalis dan isme-isme destruktif lain. Pada titik ini ekofeminisme transformatif secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan jender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki
Protection of Migrant Workers from Upstream to Downstream through “Peduli Buruh Migran” Villages (Desbumi): Study at Kuripan Village, Central Java and Nyerot Village, West Nusa Tenggara Tyas Retno Wulan; Dalhar Shodiq; Wita Ramadhanti; Sri Wijayanti
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 5 No. 2 (2017): Sodality
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.417 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v5i2.17975

Abstract

ABSTRACTThe high Number of Indonesian migrant workers (IMWs)workingin abroad, in facts, is not supported by adequate government protections. Due to BNP2TKI Crisis Center data of 2016, there are at least 27 thousand casesfaced by IMWs working in many countries all over the world. According to the research results conducted Wulan (2011), problems faced by IMWs in the destination countries, 80 percent of those come from villages. A village actually has strategic roles to becomes a foundation of safe migrations since villages arethe first exit doorsforpotential IMWs. The government negligence in protecting IMWs eventually results in village constructive fights to protect their people. IMWs protection is realized in migrant workers caring villages initiated by some villages such as inKuripan Wonosbo Central Java and Nyerot Lombok West Nusa Tenggara; Qualitative method is used in this research by having deep interviews, observation, andfocus group discussion with head of Desbumi’s village, village goverment.The results show that the existence of Desbumi can be a model of IMW’s protection from upstream to downstream and it means that the state present in the protection of IMWs.Keywords: Village, desbumi, protection, Indonesian Migrant WorkersABSTRAKTingginya jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja ke luar negeri, ternyata tidak diimbangi perlindungan yang memadai oleh negara. Pada tahun 2011-2016 berdasarkan data dari Crisis Center BNP2TKI, terdapat sedikitnya 27 ribu kasus yang menimpa BMI yang berada di berbagai negara. Berdasarkan hasil penelitian Ecosoc (2008), permasalahan yang dihadapi BMI di Negara tujuan, 80 persen sumbernya justru berasal dari desa. Desa sebenarnya memiliki peran yang sangat strategis untuk menjadi basis bermigrasi aman, karena desa adalah pintu keluar yang pertama bagi seorang calon BMI. Abainya pemerintah terhadap perlindungan BMI pada akhirnya justru melahirkan perlawanan-perlawanan yang konstruktif dari desa-desa untuk melindungi para warga mereka. Perlindungan terhadap BMI itu diwujudkan dalam desa peduli buruh migran (desbumi) yang diinisiasi beberapa desa, antara lain Desa Nyerot Lombok Nusa Tenggara Barat dan Desa Kuripan Wonosobo Jawa Tengah. Untuk itu peneilitian ini bertujuan mengidentifikasi dampak keberadaan Desbumi terhadap perlindungan BMI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan FGD terhadap kepala desa, pengurus desbumi serta tokoh masyarakat di Desa Kuripan Wonosobo Jawa Tengah dan desa Nyerot Lombok Nusa Tenggara Barat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan desbumi mampu menjadi model perlindungan BMI dari hulu sampai hilir dan menjadikan negara hadir dalam perlindungan BMI.Kata kunci; Desa, desbumi, perlindungan, Buruh Migran Indonesia
Profil Pengasuh dan Masalah Anak yang Ditinggalkan (Children Left Behind) pada Keluarga Buruh Migran Indonesia di Kabupaten Banyumas ERI WAHYUNINGSIH; Tyas Retno Wulan
Kesmas Indonesia Vol 11 No 1 (2019): Jurnal Kesmas Indonesia
Publisher : Jurusan Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.539 KB) | DOI: 10.20884/1.ki.2019.11.1.1383

Abstract

ABSTRAK Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada tahun 2012 menyatakan bahwa sekitar 7 juta buruh migran Indonesia berada di luar negeri. Sebanyak 80% dari mereka (5,6 juta) adalah wanita usia subur (18 – 40 tahun). Dari kondisi ini diperkirakan 11,2 juta anak di Indonesia ditinggalkan oleh ibu mereka yang bekerja di luar negeri. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan untuk menempatkan keluarga BMI, khususnya anak-anak, sebagai kelompok rentan karena kurangnya kasih sayang dari salah satu atau kedua orang tua selama mereka bekerja di luar negeri, dan pengasuhan anak dilakukan oleh orang tua tunggal atau pengasuh lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil anak-anak yang ditinggalkan (CLB) di antara keluarga IMW, masalah yang ditemukan di CLB dan cara mereka menangani masalah. Penelitian dilakukan pada tahun 2012-2013 di tiga kecamatan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Data diperoleh dari 78 pengasuh CLB yang diwawancarai menggunakan kuesioner. Data dari tiga desa menunjukkan profil pengasuh didominasi oleh perempuan, berusia antara 26-79 tahun pendidikan antara SD - SMA, sebagian besar adalah pasangan BMI. Sedangkan profil CLB sebagian besar adalah laki-laki, berusia antara 15 bulan - 34 tahun, dan sebagian besar masih di sekolah dasar. Masalah yang paling banyak ditemukan di antara CLB adalah ketidakpatuhan, memaksakan keinginan, tidak mau makan, dan sakit selama lebih dari 3 hari. Untuk menangani masalah-masalah tersebut pengasuh melakukan tindakan: memarahi anak, memberikan apa yang anak-anak minta, membujuk anak-anak untuk makan, dan membawa anak-anak yang sakit ke pelayanan kesehatan. Disimpulkan bahwa CLB dirawat oleh anggota keluarga terdekat, dan masalah utama adalah ketidakpatuhan. Disarankan kepada masyarakat di lingkungan keluarga BMI untuk menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal.
Ayah Tangguh, Keluarga Utuh : Pola Asuh Ayah pada Keluarga Buruh Migran Perempuan di Kabupaten Banyumas Tyas Retno Wulan; Dalhar Shodiq; Sri Wijayanti; Dyah Woro Dwi Lestari; Ariandre Tri Hapsari; Eri Wahyuningsih; Hendri Restuadhi
Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen Vol. 11 No. 2 (2018): JURNAL ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
Publisher : Department of Family and Consumer Sciences, Faculty of Human Ecology, IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (463.364 KB) | DOI: 10.24156/jikk.2018.11.2.84

Abstract

Banyumas as one of the bases of Indonesian Migrant Workers (BMI), annually dispatches about 2.000 Women Migrant Workers (BMP). Parenting is then replaced by the father's role. This study aimed to identify the role of father in child care. The study used a constructivist paradigm becaouse of the consideration that is the paradigm has the ability to reveal details of a particular community culture by understanding its natural cultural arrangement by research subject’s point of view. The method used is qualitative, requiring the skill of the researcher to reveal the thick description about the daily life of the child left behind in Banyumas Regency among 10 informants as participants of this research. The research result showed that when the mother left the children to go abroad as migrant worker, the father’s role to nurture the child became important. When the early childhood, fathers had significant roles for instrumental and expressive functions. Meanwhile, while the children were teenagers and had more complex problems, the father was needed to be more communicative, assertive, and able to reflective listen to the children’s problems and feeling. Therefore, for the women migrant’s family; the tougher the father, the stronger the family. It means that the father should have the strong will, willing to harder work, and also willing to more learn about how to practice authoritative parenting.