Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

IMPLEMENTASI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK MELALUI RESTITUSI DAN KOMPENSASI DI WILAYAH KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MAGELANG Budiharto, Dyah Adriantini Sintha Dewi &
Exsplorasi Vol 24, No 1 (2012): Eksplorasi
Publisher : Eksplorasi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (53.462 KB)

Abstract

ABSTRAK Self Assesment System menuntut sikap aktif dari wajib pajak untuk memnghitung besarnya utang pajak, dan seandainya terdapat kelebihan jumlah yang dibayar dapat dilakukan pengembalian. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak yang lain. Mengingat bahwa kelebihan itu adalah hak dari Wajib Pajak, maka pemerintah akan mengembalikan baik melalui restitusi maupun kompensasi. Kata kunci : wajib pajak, kredit pajak
PELAKSANAAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN OLEH PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 (STUDI PERIODE 2004-2009) Susanto, Edy; Budiharto, Budiharto; Suharso, Suharso; Sintha Dewi, Dyah Adriantini
Varia Justicia Vol 10 No 2 (2014): Vol 10 No. 2 Oktober 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.433 KB)

Abstract

Dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi, fenomena yang berjalan selama empat dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif (executive heavy). Posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya dapat berkembang ke arah yang negatif berupa penyalahgunaan wewenang. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945. Studi ini ingin menjadi bagian dari wacana tentang kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis kekuasaan pemerintahan dan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD1945 pasca amandemen Metode penelitian yang digunakan dalam studi atau penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menekankan pada penelitian pustaka. Penelitian pustaka berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji bahan hukum yang diperoleh dari penelitian pustaka saja dan tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesis. Penelitian tersebut dapat dilakukan terutama terhadap hukum primer dan skunder sepanjang bahan-bahan tadi mengadung kaidah-kaidah hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selesai. Namun dengan telah diselesaikannya reformasi konstitusi, muncul gejala dominasi Legislatif setelah reformasi digulirkan sampai saat ini menunjukkan tanda-tanda kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi lemahnya lembaga eksekutif. Adapun solusi terhadap hambatan tersebut, sebagai langkah nyata di Indonesia dalam hal sistem pemerintahan sesudah perubahan UUD 1945 harus menerapkan sistem presidensil, bukan dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Lebih-lebih karena pada saat ini (setelah perubahan UUD 1945) dan kedepan. Presiden disatu pihak dipilih langsung, dan dipihak lain tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka sistem presidensil di Indonesia menjadi lebih murni.
EFEKTIFITAS PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL Moch Ikhsan, Oddie; Syafingi, Habib Muhsin; Sintha Dewi, Dyah Adriantini
Varia Justicia Vol 13 No 1 (2017): Vol 13 No. 1 Maret 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (156.924 KB)

Abstract

Starting from the establishment of a suspect Candidate Former National Police Chief Pol Commissioner General Budi Gunawan then apply prapradilan to the South Jakarta District Court. Because the 77 Criminal Code stated determination of the suspect is not an object pretrial. In those articles which can be handled by pretrial regulated limitative, only for legitimate or not the arrest, detention, discontinuation or termination of the investigation and prosecution of compensation or rehabilitation for a criminal case was stopped at the level of investigation or prosecution. After a single judge South Jakarta District Court partially granted the petition Sarpin Rizaldi prapreadilan BG. In his judgment, Sarpin interprets the determination of the suspect as one of the pre-trial. Judge Sarpin Ats such action under the spotlight of the Judicial Commission for the above decision. The Judicial Commission then recommended to the Supreme Court Judge Sarpin to sanctions, but the Supreme Court rejected the recommendation because they have entered the realm of the judges decision. The formulation of the problem in this study is How Model Judicial Oversight Committee, Oversight Problems To Know judge by the Judicial Commission, the Judicial Commission How the Implementation Monitoring and Oversight How effective implementation of the functions of the Judicial Commission in supervising judges and its influence on the judicial power. The method used in this research is using normative juridical approach, the specification of the research is descriptive analytical.Based on the findings of the Judicial Commission has the concept of preventive surveillance by the repressive, namely to prevent and then are giving emphasis and contain sanctions. The Judicial Commission has the authority to give the sanction of ethics recommendations to the Supreme Court but the repressive ie without the MA recommendations, the recommendations of the Judicial Commission to be worth sia. Cooperation and there is no obvious surgical realm between the Supreme Court and the Judicial Commission.
IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG USAHA PERTAMBANGAN PADA KAWASAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG (STUDI KASUS DI DESA KENINGAR, BANYUDONO, DAN NGARGOMULYO) Nurhidayat, Nurhidayat; Adriantini Sintha Dewi, Dyah
Varia Justicia Vol 11 No 2 (2015): Vol 11 No. 2 Oktober 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.952 KB)

Abstract

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melaksanakan pemerintahan, dibentuk pemerintah daerah. Pemerintah Daerah dibagi atas daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, untuk menjalankan kewenangan dari pemerintah pusat, salah satunya yaitu tentang pembuatan kebijakan, untuk mengatur segala urusan dan wewenang daerah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Kegiatan pertambangan di kawasan Gunung Merapi berdampak pada kerusakan alam, Pemerintah Kabupaten Magelang mengeluarkan kebijakan berupa PERBUB Magelang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Usaha Pertambangan Pada Kawasan Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang. Dari penelitian di Desa Keningar, Banyudono, dan Ngargomulyo, dengan metode Yuridis Sosiologis bahwa kegiatan pertambangan disana tidak memiliki izin. Faktor pendukung penegakannya yaitu masyarakat setuju pelarangan penggunaan alat berat sehingga masyarakat dapat bekerja sebagai penambang manual dan bisa menekan kerusakan alam. Faktor penghambatnya yaitu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan sumber daya alam menjadi wewenang Pemerintah Provinsi, sehingga kedudukan PERBUB tidak mempunyai kekuatan hukum, perizinan menjadi wewenang Pemerintahan Provinsi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu Pemerintah Provinsi melakukan penyesuaian peraturan teknis pelaksanaannya, koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten mengatur pertambangan, dan peran Pemerintah Desa untuk melakukan sosialisasi  menjaga kelestarian alam agar dapat mengendalikan kegiatan pertambangan.
Paradigma Aparatur Desa dalam Penggunaan Dana Desa untuk Pemberdayaan Masyarakat Syafingi, Habib Muhsin; Dewi, Dyah Adriantini Sintha; Aji, Alan Bayu
Pandecta Research Law Journal Vol 13, No 2 (2018): December
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v13i2.16020

Abstract

Penggunaan dana desa secara umum untuk Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan dan untuk Pemberdayaan Masyarakat Desa. Dari keempat bidang tersebut, penggunaanya diprioritaskan untuk kegiatan pembangunan dan pemberdayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengambil studi kasus di Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paradigma Undang-undang yang dianut oleh pemerintah desa dalam memahami ketentuan tentang penggunaan dana desa untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat telah melahirkan jenis-jenis kegiatan pemberdayaan yang limitatif pada kegiatan pelatihan, kegiatan keagamaan, bantuan keuanga dan penyertaan modal. Apabila pemberdayaan difahami sebagai strategi pembangunan maka jenis-jenis kegiatan pemberdayaan akan lebih variatif dan dapat menjangkau berbagai kegiatan yang selama ini dimasukan dalam bidang pembangunan. Chamber mengidentifikasi 4 prasarat kegiatan pemberdayaan, yaitu people centered, participatory, empowerment and sustainable. Apabila pendekatan chamber ini dipergunakan maka penggunaan dana desa akan lebih membawa dampak yang lebih besar. Dana desa tidak hanya akan difahami sebagai bantuan/hibah dari pemerintah pusat namun lebih pada stimulant pembangunan yang menuntut adanya partisipasi maupun swadaya dari masyarakat.The use of village funds is generally used for the Implementation of Village Government, Implementation of Village Development, Community Development and for the Empowerment of Village Communities. From these four pillars, the use is prioritized for development and empowerment activities. This research intended to analyses the use of village funds to conduct community development, by taking case in the Borobudur Subdistrict, Magelang, Central Java. The result of this study indicates that the paradigm of the law adopted by the village government in understanding the provisions on the use of village funds for community empowerment activities has given birth to limited types of empowerment activities in training activities, religious activities, financial assistance and equity participation. If empowerment is understood as a development strategy, then the types of empowerment activities will be more varied and can reach various activities that have been included in the field of development. Chamber identifies 4 principles of empowerment activities, namely people centred, participatory, empowerment and sustainable. If this chamber approach is used then the use of village funds will have a greater impact. Village funds will not only be understood as assistance / grants from the central government but rather to development stimulants that demand participation and self-help from the community.
POLICY OF REGIONAL GOVERNMENT OF MAGELANG REGENCY ON FOREIGN INVESTMENT OF TOURISM Kurniawan, Febri Rizki; Sintha Dewi, Dyah Adriantini; Iswanto, Bambang Tjatur
Pandecta Research Law Journal Vol 14, No 1 (2019): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v14i1.18533

Abstract

Tourism is one of the sources of Original Regional Revenue that is quite promising, when it is managed professionally. With regard to funds, the presence of foreign investment is a very possible solution. From the collected data, in the Regency of Magelang, the presence of foreign investors in tourism is still very little, while such potential is wide open for development. For this reason, this research is entitled "The Policy of the Regional Government of Magelang Regency towards Foreign Investment in Tourism". This study aims to find out how the Regional Government Policy of Magelang Regency in regulating foreign investment in the tourism sector as well as knowing its implementation and also the driving factors and obstacles in the implementation of foreign investment cooperation in tourism.This study is a normative juridical study that uses primary data, secondary data and tertiary data. Data collection is done using library research techniques, observation, interviews and online data search.Based on the results of this study indicate that the Regional Government Policy of Magelang Regency to increase foreign investment, especially in the tourism sector, is still very lacking because there are few foreign investors who invest in Magelang Regency. Based on the driving factors and constraints that exist, the prospect of foreign investment manifested by Magelang Regency Tourism towards the labor sector is very promising because it can open opportunities for employment opportunities for the people of Magelang Regency, and improve the economy in Magelang Regency. However, there are limitations to the Policy of the Regional Government of Magelang District in certain areas regulated by Presidential Regulation Number 58 Year 2014 concerning the Spatial Planning for Borobudur and Surrounding Areas and also the issuance of Regents Regulations governing Foreign InvestmentKeywords: Policy, Foreign Investment, Tourism
IMPLEMENTASI PERATURAN BUPATI MAGELANG NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG USAHA PERTAMBANGAN PADA KAWASAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG (STUDI KASUS DI DESA KENINGAR, BANYUDONO, DAN NGARGOMULYO) Nurhidayat, Nurhidayat; Adriantini Sintha Dewi, Dyah
Varia Justicia Vol 11 No 2 (2015): Vol 11 No. 2 Oktober 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.952 KB)

Abstract

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melaksanakan pemerintahan, dibentuk pemerintah daerah. Pemerintah Daerah dibagi atas daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, untuk menjalankan kewenangan dari pemerintah pusat, salah satunya yaitu tentang pembuatan kebijakan, untuk mengatur segala urusan dan wewenang daerah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Kegiatan pertambangan di kawasan Gunung Merapi berdampak pada kerusakan alam, Pemerintah Kabupaten Magelang mengeluarkan kebijakan berupa PERBUB Magelang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Usaha Pertambangan Pada Kawasan Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang. Dari penelitian di Desa Keningar, Banyudono, dan Ngargomulyo, dengan metode Yuridis Sosiologis bahwa kegiatan pertambangan disana tidak memiliki izin. Faktor pendukung penegakannya yaitu masyarakat setuju pelarangan penggunaan alat berat sehingga masyarakat dapat bekerja sebagai penambang manual dan bisa menekan kerusakan alam. Faktor penghambatnya yaitu setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan sumber daya alam menjadi wewenang Pemerintah Provinsi, sehingga kedudukan PERBUB tidak mempunyai kekuatan hukum, perizinan menjadi wewenang Pemerintahan Provinsi. Upaya yang dapat dilakukan yaitu Pemerintah Provinsi melakukan penyesuaian peraturan teknis pelaksanaannya, koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten mengatur pertambangan, dan peran Pemerintah Desa untuk melakukan sosialisasi  menjaga kelestarian alam agar dapat mengendalikan kegiatan pertambangan.
PELAKSANAAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN OLEH PRESIDEN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 (STUDI PERIODE 2004-2009) Susanto, Edy; Budiharto, Budiharto; Suharso, Suharso; Sintha Dewi, Dyah Adriantini
Varia Justicia Vol 10 No 2 (2014): Vol 10 No. 2 Oktober 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.433 KB)

Abstract

Dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi, fenomena yang berjalan selama empat dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif (executive heavy). Posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya dapat berkembang ke arah yang negatif berupa penyalahgunaan wewenang. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945. Studi ini ingin menjadi bagian dari wacana tentang kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis kekuasaan pemerintahan dan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD1945 pasca amandemen Metode penelitian yang digunakan dalam studi atau penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menekankan pada penelitian pustaka. Penelitian pustaka berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji bahan hukum yang diperoleh dari penelitian pustaka saja dan tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesis. Penelitian tersebut dapat dilakukan terutama terhadap hukum primer dan skunder sepanjang bahan-bahan tadi mengadung kaidah-kaidah hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selesai. Namun dengan telah diselesaikannya reformasi konstitusi, muncul gejala dominasi Legislatif setelah reformasi digulirkan sampai saat ini menunjukkan tanda-tanda kecenderungan penyimpangan kekuasaan oleh lembaga perwakilan dan bertendensi lemahnya lembaga eksekutif. Adapun solusi terhadap hambatan tersebut, sebagai langkah nyata di Indonesia dalam hal sistem pemerintahan sesudah perubahan UUD 1945 harus menerapkan sistem presidensil, bukan dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Lebih-lebih karena pada saat ini (setelah perubahan UUD 1945) dan kedepan. Presiden disatu pihak dipilih langsung, dan dipihak lain tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR, maka sistem presidensil di Indonesia menjadi lebih murni.
EFEKTIFITAS PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL Moch Ikhsan, Oddie; Syafingi, Habib Muhsin; Sintha Dewi, Dyah Adriantini
Varia Justicia Vol 13 No 1 (2017): Vol 13 No. 1 Maret 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (156.924 KB) | DOI: 10.31603/variajusticia.v13i1.1861

Abstract

Starting from the establishment of a suspect Candidate Former National Police Chief Pol Commissioner General Budi Gunawan then apply prapradilan to the South Jakarta District Court. Because the 77 Criminal Code stated determination of the suspect is not an object pretrial. In those articles which can be handled by pretrial regulated limitative, only for legitimate or not the arrest, detention, discontinuation or termination of the investigation and prosecution of compensation or rehabilitation for a criminal case was stopped at the level of investigation or prosecution. After a single judge South Jakarta District Court partially granted the petition Sarpin Rizaldi prapreadilan BG. In his judgment, Sarpin interprets the determination of the suspect as one of the pre-trial. Judge Sarpin Ats such action under the spotlight of the Judicial Commission for the above decision. The Judicial Commission then recommended to the Supreme Court Judge Sarpin to sanctions, but the Supreme Court rejected the recommendation because they have entered the realm of the judge's decision. The formulation of the problem in this study is How Model Judicial Oversight Committee, Oversight Problems To Know judge by the Judicial Commission, the Judicial Commission How the Implementation Monitoring and Oversight How effective implementation of the functions of the Judicial Commission in supervising judges and its influence on the judicial power. The method used in this research is using normative juridical approach, the specification of the research is descriptive analytical.Based on the findings of the Judicial Commission has the concept of preventive surveillance by the repressive, namely to prevent and then are giving emphasis and contain sanctions. The Judicial Commission has the authority to give the sanction of ethics recommendations to the Supreme Court but the repressive ie without the MA recommendations, the recommendations of the Judicial Commission to be worth sia. Cooperation and there is no obvious surgical realm between the Supreme Court and the Judicial Commission.
LAW ENFORCEMENT OF STREET VENDORS BY THE CIVIL SERVICE POLICE UNIT Fariza Tama, Fasa; Sintha Dewi, Dyah Adriantini; Syafingi, Habib Muhsin
Varia Justicia Vol 15 No 1 (2019): Vol 15 No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.623 KB) | DOI: 10.31603/variajusticia.v15i1.2469

Abstract

This study aims to analyze the implementation and identify the obstacles to control of street vendors (PKL) by the Civil Service Police Unit (Satpol PP) in Temanggung Regency. This research was conducted with a qualitative approach through in-depth interviews with Satpol PP Officers. Secondary data was obtained from legal materials consisting of Regulation of the Minister of Home Affairs Number 54 of 2011 concerning Operational Standards for Civil Service Police Procedure and Regional Regulation of Temanggung District Number 12 of 2011 concerning Cleanliness, Beauty, Order, and Environmental Health. The data analysis technique used in this research is descriptive qualitative. The results showed that controlling the street vendors conducted by Satpol PP was carried out through several stages, namely 1) coaching and socialization; 2) issuing warning letters, and; 3) demolition of merchant stalls. This control effort has not been able to reduce the number of street vendors who break the rules. Constraints faced in the efforts to control street vendors, among others: 1) the rules which are used as the basis for control are still general in nature; 2) there is no specific location for the existence of street vendors; 3) sanctions are regulated only in the form of criminal sanctions; 4) human resources/personnel of Satpol PP are still lacking; 5) lack of coordination across Regional Apparatuses, and; 6) public awareness (PKL) is still low. Thus, Temanggung District Regulation Number 12 of 2011 concerning Cleanliness, Beauty, Order, and Environmental Health has not been effective in generating PKL compliance with regulations.