Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

Hipoglikemia Berat pada Pasien Syok Sepsis karena Perforasi Gaster Andre Ferdinand Karema; Eddy Rahardjo; Prananda Surya Airlangga; Bambang Pujo Semedi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (849.706 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.23947

Abstract

Latar Belakang: Secara umum pasien kritis dengan syok septik mengalami hiperglikemia. Hipoglikemia berat sangat jarang terjadi pada pasien kritis. Pada penelitian Bagshaw dkk, hipoglikemia berat terjadi sekitar  1,4 % dari populasi pasien kritis. Hipoglikemia berat disebabkan gagal hati fulminan atau gagal adrenal,  syok septik, dan  komorbid berat (malnutrisi, sirosis hati, gagal ginjal kronik).Pasien perforasi gaster  yang dirawat di ruang intensif emergensi RSUD Dr. Sutomo selama  satu tahun (2017)  berjumlah  11 pasien. Pada laporan kasus ini 3  pasien mengalami hipoglikemia dimana 2 diantaranya hipoglikemia berat.Pada umumnya pasien kritis dengan syok sepsis mengalami hiperglikemia, namun pada 3 pasien  terjadi hipoglikema dan 2 di antaranya hipoglikemia berat .Kasus: Tiga kasus dilaporkan sebagai pasien hipoglikemia berat yang mengalami  syok septik disebabkan perforasi gaster. Ketiga pasien dengan mengalami acute kidney injury, hipoalbumin, serta mendapat support ventilator.Diskusi: Hipoglikemia harus segera diatasi untuk mencegah komplikasi yang tidak diinginkan. Pasien yang tidak mendapat asupan glukose selama 2 hari harus segera diberikan asupan. Bila hipoglikemia terjadi maka mortalitas akan meningkat 40% dan hipoglikemia berat akan meningkat sampai 80%. Penyebab Hipoglikemia paling banyak antara lain  acute kidney injury, hipoalbumin, dan ventilasi mekanik.Kesimpulan: Apabila dijumpai pasien kritis perforasi gaster, laparatomi, acute kidney injury, puasa dan menggunakan mekanikal ventilator sebaiknya kadar gula darah diperiksa seawal mungkin dan berulang. Apabila pasien mengalami hipoiglikemia, pasien diterapi secepatnya untuk meningkatkan gula darah, serta perlu diberikan asupan glukosa yang memadai. 
Analisis Faktor Risiko terhadap Lama Perawatan Pasien Sepsis yang Meninggal di Ruang Perawatan Intensif RSUD Dr. Soetomo Surabaya Fajra Arif Hatman; Bambang Pujo Semedi; Budiono Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v13i2.32441

Abstract

Latar Belakang: Sepsis disebabkan oleh ketidakseimbangan respons tubuh terhadap infeksi dan dapat mengakibatkan komplikasi yang berbahaya. Komplikasi yang ditimbulkan bervariasi, salah satu yang paling sering adalah disfungsi organ yang dapat dinilai melalui skor sequential organ failure assessment (SOFA). Sepsis masih menjadi masalah kesehatan karena sulitnya pengobatan dan lama perawatan yang lama sehingga menyebabkan mortalitas yang tinggi. Sepsis memiliki berbagai penyebab di antaranya pneumonia yang diketahui menjadi salah satu penyebab infeksi terbanyak pada sepsis. Selain itu, mikroorganisme juga menjadi salah satu penyebab infeksi terbanyak di ruang perawatan intensif. Pemeriksaan laboratorium memiliki hasil yang buruk pada banyak pasien sepsis seperti anemia dan leukositosis.Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor risiko meliputi riwayat penyakit, riwayat konsumsi obat, diagnosis masuk, dan jumlah alat medis invasif terhadap lama perawatan dan mengetahui karakteristik pasien sepsis yang meninggal.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan data rekam medis 42 pasien sepsis yang meninggal di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Data dideskripsikan dan dianalisis menggunakan software SPSS 26.Hasil: Terdapat 18 (42,86%) laki-laki dan 24 (57,14%) perempuan dengan rata-rata usia 55,98 + 15,411. Didapatkan median skor SOFA 7,5 (3–15) dengan sistem respirasi menjadi tempat infeksi terbanyak (50%). Pemeriksaan laboratorium menunjukkan banyak pasien sepsis mengalami anemia (66,67%) dan leukositosis (59,52%). Acinetobacter baumannii (26,08%) sebagai mikroorganisme yang paling banyak ditemukan. Hasil penelitian ditemukan hanya diagnosis masuk yang memiliki hubungan dengan lama perawatan (P = 0,05). Di sisi lain tidak ditemukan faktor risiko yang berpengaruh terhadap lama perawatan >5 hari (P > 0,05).Kesimpulan: Diagnosis masuk memperpanjang lama perawatan.  Tidak ada faktor risiko yang berpengaruh terhadap durasi perawatan >5 hari. Karakteristik pasien secara umum memiliki kondisi medis yang buruk. 
Comparison of Length of Stay and Deep Vein Thrombosis (DVT) Incidents in Dr. Soetomo Hospital Elizeus Hanindito; Prananda Surya Airlangga; Soni Sunarso Sulistiawan; Bambang Pujo Semedi; Lucky Andriyanto; Arie Utariani; Nancy Margarita Rehatta
Folia Medica Indonesiana Vol. 54 No. 4 (2018): December
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.835 KB) | DOI: 10.20473/fmi.v54i4.10713

Abstract

Vein thrombosis may occur both in deep and superficial vein of all extremities. Ninety percent of vein thrombosis may progress into pulmonary embolism which is lethal. Deep vein thrombosis (DVT) is frequently found in critically ill patients in ICU, especially patients who are treated for a long time. This study aims to analyse the comparison between length of stay and DVT incidents in critically ill patients. A cross-sectional study was employed. We include all patients who were 18 years or older and  were treated in ICU of Dr Soetomo public hospital for at least 7 days. The patients were examined with Sonosite USG to look for any thrombosis in iliac, femoral, popliteal, and tibial veins and Well’s criteria were also taken. This study showed that length of stay is not the only risk factor for DVT in patients treated in ICU. In our data, we found out that the length of treatment did not significantly cause DVT. Other risk factors such as age and comorbidities in patients who are risk factors may support the incidence of DVT events. The diagnosis of DVT is enforced using an ultrasound performed by an expert in the use of ultrasound to locate thrombus in a vein. Length of treatment is not a significant risk factor for DVT. Several other factors still need to be investigated in order for DVT events to be detected early and prevented.
BACTERIAL COLONY GROWTH IN THE VENTILATOR CIRCUIT OF THE INTENSIVE OBSERVATION UNIT AT RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA Fajar Perdhana; Arie Utariani; Bambang Pujo Semedi; Philia Setiawan
Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease Vol. 6 No. 3 (2016)
Publisher : Institute of Topical Disease Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (434.886 KB) | DOI: 10.20473/ijtid.v6i3.3013

Abstract

Ventilator-associated pneumonia (VAP) remains a problem with the highest cos, morbidity and mortalityt in the Intensive Care Unit (ICU). The correlation between mechanical ventilation and pneumonia is considered as common sense, yet scientific evidence to support this statement is still needed. This research aims to analyze the bacterial colony grows in mechanical ventilation circuit and those grew in the patient’s sputum culture. We performed an observational study. Samples for bacterial culture were taken from ventilator circuit and patient sputum on Day-0, Day-3 and Day-7. Sputum samplings are collected using double catheter tracheal aspiration technique; Results are then analyzed with Chi-square test. While the similarity of bacteria species in ventilator circuit to patient’s sputum is analyzed with Binomial test. Two samples are dropped out immediately due to the rate of bacterial growth on Day-0. Bacterial colony growth in ventilator circuit shows a significant difference on Day-3 and Day-7 at 50% and 92% respectively (p = 0.05). A comparison for the bacterial similarity of the ventilator circuit and patient’s sputum shows that the bacterial growth on Day-3 is 7 out of 14 (50%) and 3 with more than 105 CFU/ml colony; while on Day-7, there are 13 out of 14 positive bacterial growth, both in the circuit and the patient’s sputum. Among them, 5 out of 14 (35%) of the bacterial colony which grow in the circuit have the same species as those grow in patient’s sputum. The recent study shows that there is bacteria colony growth in the ventilator circuit after Day-3 and a significant increase on Day-7. Almost half of the colony illustrates similar species from both ventilator circuit and patient’s sputum. This suggests that the bacterial growth on Day-7 in the ventilator circuit might be related to those growth in patient’s sputum. 
Validity of Urine Syndecan-1 as A Predictor of Acute Kidney Injury In Pediatric Sepsis Patients Bambang Pujo Semedi; Arie Utariani; Nugroho Setia Budi; Ninik Asmaningsih; Lucky Andriyanto
Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation Vol. 3 No. 2 (2021): Indonesian Journal of Anesthesiology and Reanimation (IJAR)
Publisher : Faculty of Medicine-Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.614 KB) | DOI: 10.20473/ijar.V3I22021.62-70

Abstract

Introduction: AKI (Acute Kidney Injury) complications in sepsis patients generally occur 24 hours after admission to ICU. Creatine Serum Concentration is a standard parameter to diagnose AKI. Unfortunately, the changes in creatine serum concentration will only be seen several days after the decrease of renal function to 50%.  The low detection ability has been linked with time loss before preventive therapy is commenced. Furthermore, this instigates the need for biomarkers to ensure early detection. Objective: This study aimed to identify cut-off points of urine syndecan-1 and to measure the prediction ability of urine syndecan-1 towards the AKI occurrence in pediatric sepsis patients. Materials and methods: This study was a prospective cohort study performed at a single center in Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya. The inclusion criterion was all children admitted to the resuscitation room from October until December 2019. Furthermore, urine sampling is carried out at 0, 6, 12, and 24 hours for a syndecan-1 urine examination, and every procedure performed on the patient will be recorded. This action was continued up to the third day and aimed to evaluate some factors related to AKI at 48-72 hours of admission. Result and Discussion: Out of 41 pediatric sepsis patients, 30 patients fulfilled the inclusion criteria and 57% had AKI. The value of urine syndecan-1 at hour-0 and hour-6 was significantly featured a cut-off point. Conclusion: The value of urine syndecan-1 at hour-0 and hour-6 are valid parameters to predict the occurrence of AKI grades 1, 2, and 3 in pediatric septic patients at 48-72 hours after their hospital admission. The best cut-off value of urine syndecan-1 at the 0th hour was 0.67 ng/ml.
BACTERIAL AND SENSITIVITY PATTERN OF PATHOGENS CAUSING VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA IN INTENSIVE CARE UNIT Marsheila Harvy Mustikaningtyas; Bambang Pujo Semedi; Kuntaman Kuntaman
Majalah Biomorfologi Vol. 32 No. 1 (2022): MAJALAH BIOMORFOLOGI
Publisher : Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mbiom.v32i1.2022.22-28

Abstract

Highlight:1. Antimicrobial resistance bacteria isolated from VAP patients are often associated with high mortality and length of hospital stay. 2. Mortality in VAP patients was 33.3% and the VAP group had a longer hospital stay compared to the non-VAP group. 3. The three most predominant bacteria that were found were A. baumannii, P. aeruginosa, K. pneumoniae. Cefoperazone-sulbactam, meropenem and amikacin were more than 70% sensitive against these bacteria.Abstract:Background: Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) is the most common nosocomial infection in Intensive Care Unit (ICU). Antimicrobial resistant bacteria isolated from VAP patients are often associated with high mortality and length of hospital stay. Objective: This study aimed to analyze the pattern and sensitivity among pathogens that caused VAP in ICU. Materials and Methods: The study was conducted retrospectively by extracting the data of bacterial isolates from sputum specimens in the Laboratory of Clinical Microbiology, Dr. Soetomo General Academic Hospital, Surabaya, Indonesia and confirming the clinical data on patients suffering from VAP in ICU ward. The study started from January until December 2017. Results: The total 148 pathogens were isolated, 18 of them were diagnosed as VAP, and 130 were not VAP. The most predominant isolates in the VAP group were Acinetobacter baumannii as many as 38 (9%) followed by Pseudomonas aeruginosa 22 (2%), E. coli 16 (7%), and Klebsiella pneumoniae 11 (1%). The pathogens showed a sensitivity rate above 70% to cefoperazone-sulbactam (SCF), meropenem (MEM) and amikacin (AK). Mortality in VAP patients was 33.3% and the VAP group had a longer hospital stay compared to non-VAP group. Conclusion: The three most predominant bacteria that were found were A. baumannii, P. aeruginosa, K. pneumoniae. The pathogens had sensitivity rate above 70% to cefoperazone-sulbactam, meropenem, and amikacin.
PROGRAM PEMBENTUKAN DAN PEMBEKALAN TIM TANGGAP BENCANA BERBASIS ONLINE Bambang Pujo Semedi; Herdiani Sulistyo Putri; Soni Sunarso Sulistiawan; Lila Tri Harjana; Prihatma Kriswidyatomo; Robby Dwestu Nugroho; Airi Mutiar; Alivery Raihanada Armando; Wahyu Mananda; Marsha Zahrani; Verio Damar Erlantara Putra
Jurnal Layanan Masyarakat (Journal of Public Services) Vol. 5 No. 2 (2021): JURNAL LAYANAN MASYARAKAT
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jlm.v5i2.2021.496-511

Abstract

AbstractNatural disasters are one of the natural phenomena that can threaten human lives which could cause material and immaterial losses. According to Antara. News, the National Disaster Management Authority or Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) has registered 372 natural disasters in Indonesia since the beginning of 2021. Airlangga University School of Medicine has a Natural Disaster Assistance Unit that provides volunteers and a variety of facilities as needed, but the competence of human resources is still lacking. The lack of specific roles and skills of volunteers to support disaster victims can be a problem. Faced with these issues, FK Unair's Anesthesiology and Resuscitation Community Services Team has formed a disaster response team consisting of people of different life and educational backgrounds from different locations to conduct a disaster management training program to update the latest knowledge.Keywords: Disaster Response Team, Training, Online, Disaster Risk ReductionAbstrakBencana alam merupakan salah satu fenomena alam yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia dan dapat menimbulkan kerugian materi maupun non materi. Berdasarkan Antara. News, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 372 kejadian bencana alam di wilayah Indonesia sejak awal tahun 2021. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga memiliki Unit Bantuan Bencana Alam yang memiliki relawan dan berbagai sarana yang siap berangkat kapanpun dibutuhkan namun kesiapan sumber daya manusia dinilai masih kurang. Masih kurangnya spesifik tugas dan kompetensi relawan yang berangkat membantu korban bencana dapat menjadi permasalahan. Dengan adanya permasalahan tersebut, Tim Pengabdian masyarakat Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK Unair bermaksud untuk membentuk tim tanggap bencana yang direkrut dari berbagai tempat dan dari berbagai kalangan serta berbagai latar belakang pendidikan yang akan dilakukan pelatihan tanggap bencana untuk update ilmu dan materi baru yang terkini.Kata Kunci: Tim Tanggap Bencana, Pembekalan, Online, Disaster Risk Reduction
RELATIONSHIP BETWEEN D-DIMER LEVEL AND CLINICAL SEVERITY OF SEPSIS Yessy Puspitasari; Aryati Aryati; Arifoel Hajat; Bambang Pujo Semedi
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 23, No 3 (2017)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v23i3.1196

Abstract

D-dimer merupakan tolok ukur laboratorium yang menunjukkan derajat keparahan pada sepsis. Selama tahapan sepsis terjadiaktivasi prokoagulan yang tidak diimbangi aktivitas antikoagulan (depresi protein C dan meningkatnya pelepasan Plasminogen activatorinhibitor) sehingga dapat meningkatkan hasilan fibrin polimer. Fibrin polimer yang telah mengalami cross-linked akan difibrinolisis olehplasmin membentuk formasi D-dimer. Tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan D-dimer dengan derajat keparahan klinis darisepsis. Metode penelitian bersifat potong lintang observasional. Sampel darah sitrat dari 52 pasien sepsis yang dirawat di IRD, ICU, ROI,Ruang penyakit dalam RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, dikumpulkan selama Februari 2016–Juni 2016. Kadar D-dimer diukur denganmetode ELFA (Enzyme Linked Fluorescent Assay). Proses dan tafsiran data menggunakan analisis deskriptif, One sample Kolmogorovsmirnovdan uji Pearson digunakan untuk menganalisis kenasaban. Didapatkan rerata kadar D-dimer 3879,46±2800,29 ng/mL.D-dimer pada non-survivors sepsis menurut skor APACHE II dan SOFA lebih tinggi daripada survivors sepsis. Terdapat kenasabanpositif yang bermakna antara kadar D-dimer dengan skor APACHE II dan skor SOFA r=0,513 dan r=0,580 (p=0,01). Berdasarkantelitian ini dapat disimpulkan D-dimer memiliki kenasaban dengan derajat keparahan klinis dari sepsis, semakin tinggi nilai D-dimermenunjukkan keparahan sepsis.
COMPARISON RESULTS OF ANALYTICAL PROFILE INDEX AND DISC DIFFUSION ANTIMICROBIAL SUSCEPTIBILITY TEST TO TECHNICAL DEDICATED REASONABLE 300B METHOD IG Eka Sugiartha; Bambang Pujo Semedi; Puspa Wardhani; IGAA Putri Sri Rejeki
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 23, No 2 (2017)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v23i2.1134

Abstract

Angka kematian infeksi aliran darah cukup tinggi, berkisar 20–50%. Patogen penyebab dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kulturdarah yang dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotika. Metode pemeriksaan dapat dilakukan secara manual atau automatis baiksemiautomatis ataupun automatis penuh. Metode manual relatif tidak memerlukan biaya yang besar dibandingkan metode automatisasi.Penelitian ini merupakan analisis observasional dengan desain potong lintang. Metode identifikasi manual memakai metode API danuji kepekaan antibiotika metode difusi cakram antibiotika Kirby Bauer. Kedua metode ini dibandingkan dengan metode semiautomatisTDR-300B. Metode automatis penuh VITEK 2 digunakan sebagai metode rujukan untuk menilai kinerja metode konvensional dansemiautomatis. Bakteri penyebab infeksi aliran darah didominasi Gram negatif kebanyakan Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia.Ketepatan metode identifikasi API terhadap VITEK 2 sebesar 87,87%, ketepatan identifikasi metode TDR-300B terhadap metode VITEK2 adalah 90,9%. Hasil ketepatan uji kepekaan antibiotika metode konvensional difusi cakram antibiotika Kirby Bauer terhadap metodeVITEK 2 adalah 84,64%. Ketepatan uji kepekaan antibiotika metode TDR-300B terhadap metode VITEK 2 sebesar 82,5%. Ketepatanmetode API terhadap metode TDR-300B sebesar 84,84%. Ketepatan uji kepekaan antibiotika metode konvensional terhadap metodeTDR-300B sebesar 78,21%. Hasil metode identifikasi dan uji kepekaan antibiotika konvensional tidak berbeda bermakna secara statistikdengan metode semiautomatis TDR-300B. Metode identifikasi dan uji kepekaan antibiotika konvensional masih dapat dipercaya terutamauntuk daerah dengan keterbatasan biaya atau pemeriksaan masih sedikit.
Ekspresi Interleukin 1 dan Tumor Necrosis Factor Alpha pada Pemberian Ropivacain Di Sekitar Luka terhadap Proses Penyembuhan Luka Ardiansyah; Arie Utariani; Christrijogo Sumartono; Bambang Pujo Semedi; Imam Susilo
Jurnal Syntax Transformation Vol 2 No 02 (2021): Jurnal Syntax Transformation
Publisher : CV. Syntax Corporation Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46799/jst.v2i2.223

Abstract

Luka merupakan gangguan integritas jaringan akibat trauma. Penanganan nyeri pasca trauma yang tidak memadai, seperti pembedahan, akan mengakibatkan gangguan penyembuhan luka. Salah satu faktor penting dalam penyembuhan luka fase akut pada 3 hari pertama adalah ekspresi Tumor Necrosis Factor (TNF) -a dan Interleukin (IL) -1. TNF-a dan IL-1β merupakan dua sitokin inflamasi utama yang bekerja secara sinergis untuk memperkuat respon inflamasi dan memiliki efek mempercepat penyembuhan luka. Nyeri dapat meningkatkan β endorfin oleh kelenjar hipofisis anterior dan mempunyai efek menekan makrofag, sehingga aktivitasnya menurun. Penurunan ini mengakibatkan penurunan aktivitas sitokin yang dilepaskan oleh makrofag seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, TGF β; Sehingga bisa menghambat penyembuhan luka. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh injeksi infiltrasi ropivacaine dalam meningkatkan IL-1 dan TNF-a. ekspresi dalam proses penyembuhan luka. Metode: 24 ekor tikus Wistar jantan dibagi menjadi 2 kelompok (Kelompok Perlakuan (P) dan Kelompok Kontrol (K)), kemudian dibuat luka insisi ketebalan superfisial pada punggung masing-masing tikus. Kelompok kontrol tidak diberikan suntikan infiltrasi ropivacaine, sedangkan kelompok perlakuan diberikan. Setiap kelompok dibagi menjadi 2 sub kelompok yang masing-masing terdiri dari 6 ekor mencit, diterminasi pada hari ke-3 dan ke-7. Kemudian dilakukan evaluasi histopatologi untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan ekspresi IL-1 dan TNF-a di sekitar jaringan luka sayatan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil: Pemberian infiltrasi ropivacaine pada luka insisi dengan ketebalan superfisial meningkatkan penyembuhan luka yang ditandai dengan peningkatan jumlah ekspresi IL-1 dan TNF-a pada hari ke 3 setelah insisi. Kesimpulan: Suntikan infiltrasi ropivacaine disekitar luka sayatan memiliki efek menguntungkan pada proses penyembuhan luka superfisial tikus Wistar hari ketiga
Co-Authors Abdul Khairul Rizki Purba Agustina Salinding Ahmad Lukman Hakim Airi Mutiar Alivery Raihanada Armando Andre Ferdinand Karema Ardiansyah Arie Utariani Arie Utariani Arifoel Hajat Aryati Aryati Bambang Herwanto Bambang Purwanto Bambang Purwanto betty Agustina Tambunan, betty Agustina Budiono Budiono Christrijogo Soemartono Waloejo Cornellius Hendra Purnama Aria Sumantrie Eddy Rahardjo Eddy Rahardjo Edwar, Pesta Parulian Maurid Elizeus Hanindito Faizatuz Azzahrah Syamsudi Fajar Perdhana Fajra Arif Hatman Habibah Teniya Ariq Fauziyah Hamzah Hamzah Hanif Hanif Hardiono Hardiono Harida Zahraini Herdiani Sulistyo Putri IG Eka Sugiartha IGAA Putri Sri Rejeki Imam Susilo Inna Maya Sufiyah Khildan Miftahul Firdaus Kuntaman Kuntaman Lila Tri Harjana Lucky Andriyanto Marsha Zahrani Marsheila Harvy Mustikaningtyas Maulydia, Maulydia Muh Kemal Putra Nanang Nurofik Ninik Asmaningsih Soemyarso Nugroho Setia Budi Nurofik, Nanang Philia Setiawan Prananda Surya Airlangga Prihatma Kriswidyatomo Pudji Lestari Purwo Sri Rejeki Puspa Wardhani Puspa Wardhani Puspitasari, Yessy Putu Laksmi Febriyani Rahmat Sayyid Zharfan Rehatta, Nancy Margarita Rezki Muhammad Hidayatullah Robby Dwestu Nugroho Samuel Hananiel Rory Sandi Ardiya Rasitullah SATRIYAS ILYAS Soni Sunarso Sulistiawan Sulistiawan, Soni Sunarso Sundari Indah Wiyasihati Teguh Sylvaranto Tri Wahyu Martanto Utariani, Arie Verio Damar Erlantara Putra Vincent Geraldus Enoch Lusida Wahyu Krishna Adjie Arsana Wahyu Mananda Widodo Widodo Yopie Wiguna